Sesiang ini Anna masih saja bergulum dengan selimut tebalnya, merasakan kesakitan sejak subuh tadi yang tak kunjung menghilang. Meski obat yang selama ini mendampinginya selalu diminumnya dengan teratur. "Argh... " Anna meringis, merasakan kesakitan yang semakin menjadi. Kedua matanya tak berhenti menangis, meski dalam diam. Kedua tangannya meremas bagian perutnya yang terasa nyeri. "Ya allah, tolong hentikan. Cukup sudah penderitaan ini, aku tidak ingin menyusahkan kedua orangtuaku lagi" hati Anna berteriak, ia berusaha menyimpan kesakitannya sendirian. Ia tak mau kembali melihat wajah ayah dan ibunya dirundung sendu dan alasan terbesarnya ia tak mau jika dokter pribadinya menyuruh ia untuk segera mengangkat rahimnya, sungguh ia tidak mau itu terjadi padanya.Ditengah isak tangisnya, dengan tubuh mungil yang meringkuk diselimuti badcover tebal itu Anna berusaha untuk tetap baik-baik saja meski sakit diperutnya semakin menjadi lebih dari biasanya.Tik... Tuk... Suara derap langk
Mata Anna mengerjap, menyusaikan dengan cahaya lampu diruangan serba putih. Lagi, ia menghela nafas kecewa saat tau jika dirinya tengah kembali memasuki ruangan rumah sakit dengan bau obat-obatan yang khas. Namun kali ini rasanya sedikit berbeda, kaki Anna terasa perih seakan ada luka yang mengganggu disana. Anna terbangun untuk memastikan hal itu, benar saja betis kanan Anna kini sudah terbalut perban dengan sisa-sisa darah disana. Sebenarnya ia kenapa? Anna bertanya dalam hati. Matanya kembali memejam beberapa detik mengingat apa yang sebenarnya terjadi dan ya ia ingat sebelum akhirnya ia terjatuh pingsan, ia tak sengaja menjatuhkan fotonya di atas nakas kamarnya. "Sayang, kamu sudah siuman nak?" suara ayah dan ibunya mengintrupsi. Anna berbalik, melihat kearah dua sejoli yang baru saja memasuki ruangannya. "Ayah, ibu maaf" itulah kata-kata yang bisa Anna ucapkan saat kedua orangtuanya mendekat mencium puncak kepalanya. "Tak perlu minta maaf sayang, ini terjadi karena kehend
Raut wajah sedih selarut malam ini terlihat jelas dari wajah Darius, ia sungguh tak tega melihat sahabat satu-satunya itu mengalami musibah yang tiada hentinya. Adrian mengerutkan kening ketika ia dan Rama baru saja sampai rumah, ia kebingungan saat melihat pemandangan tak biasanya selarut ini. "Ram, kamu istirahat saja sana. Biar aku yang samperin Om ius" titah Adrian seolah mengerti dengan kelelahan yang Rama rasakan. Rama mengangguk dengan senyum penuh kemenangan, akhirnya bos nya itu mengerti akan keadaannya sekarang. "Saya duluan ya bos, selamat beristirahat" ujarnya sebelum meninggalkan Adrian. Adrian hanya mengangguk, ia pun berjalan menghampiri Darius yang tengah menikmati secangkir kopi panas di ruang keluarga dengan tv yang menyala. "Om, kok belum tidur?" basa-basinya bertanya. Darius menoleh, ia menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Adrian mengerti, ia mulai duduk disebelah Darius berharap om nya itu bisa berbagi cerita padanya. Sudah lima menit berlalu na
Menolak keinginannya sama saja seperti tidak berbakti kepadanya.***Sudah hampir pukul tiga pagi, Adrian masih saja belum bisa terlelap. Perdebatannya dengan sang paman sungguh membuat pemikirannya terganggu. Gadis itu, gadis yang entah sejak kapan menjadi beban pikirannya sungguh meresahkan hatinya. Permintaan Darius tadi, jelas membuat dirinya merasakan pergulatan batin yang sangat amat. Bagaimana bisa pamannya itu ingin menikahkan dirinya dengan perempuan yang jelas-jelas sudah memiliki calon pendamping hidup. Ini aneh, mengapa disaat dirinya baru saja mau membuka hati yang datang malah gadis manja yang jelas-jelas tak Adrian sukai. "Kamu boleh tidak menurutiku, asal kamu jangan pernah anggap saya dan bundamu sebagai keluarga kamu lagi" ucapan Darius tadi sebelum dirinya benar-benar beranjak begitu mengganggu pikirannya. Bagaimana bisa ia berpisah dengan keluarga kecil ini, sementara bundanya adalah satu-satunya orang yang paham kehidupannya jauh dibanding dengan ibu kan
Jam menunjukan pukul tiga sore hari, Dirgantara dan Darius begitu sibuk menyiapkan berkas-berkas surat rujukan untuk Anna yang akan diberangkatkan nanti malam sementara Anna dan ibunya masih saja tetap saling diam dengan pemikirannya masing-masing. Tetes demi tetes air mata Anna keluar, ia menangis dalam diam. Sungguh ia tak percaya nasibnya akan sesedih ini. Begitu pula dengan ibunya, ia juga ikut menangis dalam diam. Bingung, itulah yang saat ini Ajeng rasakan. Entah harus bagaimana dan apa yang akan ia katakan nanti jika Anna tau bahwa dirinya diberangkatkan ke penang bukan hanya untuk berobat seperti biasa melainkan untuk menjalankan operasi pengangkatan rahimnya."Hey, bidadari-bidadari papah kenpa pada bengong?" sontak kedua wanita yang sama-sama tengah bergulat dengan pemikiran masing-masingnya itu menoleh kearah suara."Sejak kapan papah masuk keruangan ini?" tanya Ajeng berdiri mendekati Dirgantara.Dirgantara menggeleng, terkekeh akan tingkah kedua perempuan yang ia
"Ayah perginya jangan lama-lama ya," rengek Ratu digendongan Adrian. "Ayah jangan seperti ibu yang pergi dan gak kembali," kali ini celetuk Raja yang berada di atas koper yang Rama dorong. Adrian menghela napas panjang, tangannya terulur mengusap wajah Ratu yang sedari tadi tidak bisa berhenti merengek. Wajar putrinya itu masih dalam masa penyembuhan setelah hampir tiga hari Demamnya tak turun-turun. Sementara itu Ajeng, Anna, Dirgantara masih belum tiba dibandara membuat Rama, Adrian serta si kembar harus menunggu dengan sabar. "Ratu sayang, selama papa pergi kamu jangan nakal ya sama Om Rama." nasehat Adrian mendudukan Ratu dipangkuannya setelah mereka memutuskan untuk menunggu keluarga Dirgantara diruang tunggu biasa. "Abang enggak pah?" protes Ratu yang tak terima jika hanya dirinya saja yang mendapat wejangan dari sang ayah. "Ya abang juga, kalian berdua jangan nakal ya. Jangan manja juga sama Oma, kesihan Oma udah tua nanti kalau sakit gimana?""Kan ada kakek yang bakal r
Tiga jam sudah perjalanan yang dilalui Adrian, Anna serta ibunya. Selama perjalanan Anna enggan untuk membuka suara meski ibunya beberapa kali mengajaknya berinteraksi. Adrian yang melihatnya berdecak tak suka melihat sikap perempuan itu sama sekali tak menghargai usaha ibunya.Hanya karena sakit, bukan berarti Anna harus mengabaikan orang disekitarnya jelas Adrian tak suka apalagi yang Anna abaikan ialah wanita yang pernah berjuang melahirkannya dan sekarang sedang berikhtiar demi kesembuhannya dan Adrian rasa ini keterlaluan. Harusnya Anna sebagai anak perempuan satu-satunya itu bisa menghargai usaha sang ibu. "Nak, mau minum? Bentar lagi pesawatnya take off," tawar Ajeng. Anna menggeleng lemah seraya memalingkan wajahnya.Ajeng tersenyum getir, ia tak tau harus dengan cara apalagi untuk bisa menghibur putrinya itu. Adrian yang melihatnya begitu iba, ia ingin sekali menasehati Anna namun siapa dia? Hanyalah pria biasa yang kebetulan mengenal mereka lewat sang paman, tidak lebih da
Sudah larut malam, namun mereka masih saja berputar-putar mengelilingi kota Penang mencari penginapan yang sedari tadi sudah penuh.Anna lelah, begitupun dengan Ajeng. Ibunya itu kini tertidur pulas dengan tubuh bersandar dikursi mobil. Sementara Anna, ia masih menahan kantuknya dengan menggulir-gulir ponsel seraya mencari hotel yang masih mau menerima tamu selarut malam begini. "Kita mau kemana lagi mbak? Ini sudah larut malam, semua hotel pasti sudah tidak menerima tamu" ungkap Suryono memecah keheningan.Anna menoleh, ia pun menggeleng tak tau harus mencari kemana lagi. "Bapak bilang kalau gak nemuin hotelnya, mbak sama ibu mbak suruh buat dibawa ke apartemennya. Gimana mbak mau?" tawar Suryono. Anna menggeleng. "Tidak usah, saya gak enak sama tuan kamu. Saya sudah merepotkan dia berkali-kali" jujur inilah alasan Anna yang sebenarnya mengapa ia begitu menolak mentah-mentah tawaran Adrian tadi. Apalagi ia merasa bersalah atas sikapnya yang cuek terhadap anak-anak Adrian saat diba
Suara kumandang adzan subuh terdengar saling bersahutan dibeberapa mesjid yang tak jauh dari kediaman rumah megah tiga lantai itu yang mereka sebut dengan mansion itu berdiri paling mewah disekitaran perumahan warga. Didalamnya, gemericik suara air keran berjatuhan membelah kesunyian. Nampak, seorang wanita yang sudah mengenakan mukena berwarna putih itu bersandar di ambang pintu. Menatap remang-remang cahaya dihadapannya, menunggu kehadiran sang suami yang sepertinya tengah berwudhu.Seorang pria dewasa, berkoko putih lengkap dengan sarung hitamnya keluar dari kamar mandi dengan pandangan menunduk membuat rambutnya yang basah terkena air wudhu itu menetes. Tangannya cukup sibuk menurunkan lengan baju kokonya yang tersingkap. Matanya memindai kearah lemari, hendak mencari kopiah yang akan dikenakannya untuk shalat subuh hari ini. Setelah menemukannya, ia kenakan rapih kopiah ke kepalanya dengan sedikit menunduk, ia mendongak. Lantas terperanjat kaget saat melihat siluet berwarna puti
"Assalamualaikum, bu. Saya MUA yang dipesan bapak Adrian, bolehkah saya masuk"Anna menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari kebingungannya. "Waalaikumsalam," jawabnya akhirnya, sambil membuka pintu untuk MUA yang datang.Seorang wanita muda dengan riasan wajah profesional dan perlengkapan lengkap memasuki kamar. "Selamat pagi, Bu Anna. Kita akan mulai dengan riasan dan hijab stylish. Bapak Adrian sudah memesan semua perlengkapan yang dibutuhkan."Anna mengangguk, berusaha tenang. "Silakan, mari kita mulai."Selama proses riasan, hai Anna mulai tidak enak pasalnya riasan yang sedang MUA itu lakukan padanya seperi riasan untuk seorang pengantin dan itu membuat Anna terus-menerus memikirkan apa yang akan terjadi. Masa iya Anna akan menjadi pengantin lagi? Ia kan hanya mengajukan syarat agar Adrian melakukan ijab kabul saja didepan orang tua dan saksi. Udah itu aja, bukan meminta mengadakan pesta besar-besaran. Saat MUA menyelesaikan riasan dan Anna berdiri di
Seminggu telah berlalu, Adrian kini masih berada di kediamannya Anna. Ia masih dalam proses penyembuhan, dan dalam seminggu ini Adrian hanya tidur sendiri di ranjang besar milik istrinya itu. Sementara Anna memilih untuk tidur disofa yang lumayan besar disudut kamarnya. Cukup nyamanlah untuk dipakai tidur. Seperti malam ini, Anna baru saja memasuki kamarnya dan terkejut saat menoleh pada Adrian yang kini tengah merebahkan tubuhnya disofa yang biasa Anna tempati sembari menonton beberapa siaran berita seputaran bisnis minggu ini. "Awas," usir Anna dengan cepat. Adrian mendongak, "mau tidur sekarang?" tanyanya bangkit dari pembaringan. Anna mengangguk, berjalan mengambil bantal dan selimut didalam lemari. "Jangan tidur dulu ya, mas mau ngobrol." pinta Adrian lembut. Anna mendengus sebal, ia meletakan bantal yang dibawanya keatas sofa. "Ngapain? Udah malam, aku ngantuk" tolak Anna halus.Anna malah merebahkan tubuhnya diatas sofa, padahal Adrian masih duduk disana.Adrian melihat ra
Anna duduk di tepi tempat tidur, menatap hujan yang terus menerpa jendela kamar. Suasana di luar yang dingin dan suram mencerminkan perasaannya saat ini. Suara tetesan hujan yang monoton dan gelegar petir membuat suasana hatinya semakin berat. Ia merasa terombang-ambing antara harapan dan ketidakpastian.Hujan ini seolah memberikan penekanan pada kebingungan dan rasa sakit yang ia rasakan. Hujan diluar nampaknya mulai agak mereda, membuat Anna bangkit untuk membuka jendela sekedar untuk menghirup udara pagi ini. Ia harap bau basah tanahnya yang menguar akan mampu menenangkan pikirannya dan berharap Adrian segera pergi dari rumahnya setelah ia menolak untuk bertemu dengannya.Jujur saja, Anna masih merasakan sakit hati atas perbuatan Adrian padanya tapi ia juga merindukananya namun logika Anna kali ini sedang berjalan, ia tidak akan luluh begitu saja saat ibunya bilang jika Adrian tidak memberikan surat yang Anna maksud melainkan Adrian datang ingin memperbaiki hubungan mereka. Jujur s
Sesubuh ini, hujan deras sudah melanda kota Surabaya. Sesekali petir menyambar bumi, dan Anna kini tengah memanfaatkan keadaan, seusai shalat subuh ia masih setia duduk diatas sejadah dengan menengadah berdoa sebanyak mungkin. Anna percaya, salah satu waktu mustajabnya doa ialah diwaktu hujan turun, dan Anna yakin Allah akan mendengar segala keluh kesah serta doa-doa dirinya.Anna memejamkan matanya, membiarkan suara hujan dan petir mengisi kesunyian sekelilingnya. Dalam kegelapan pagi itu, pikirannya melayang jauh, menelusuri berbagai harapan dan impian yang belum terwujud. Ia berdoa untuk kesehatan orang-orang tercintanya, untuk ketenangan dalam hidupnya, dan untuk petunjuk yang jelas dalam menghadapi jalan hidup yang penuh ketidakpastian, terutama untuk keutuhan rumahtangganya. Anna harap, Adrian tidak sungguh-sungguh dengan perceraian itu. Tak lama setelah ia berdoa, samar-samar ia mendengar bell rumah berbunyi. Entah siapa yang bertamu sepagi ini. Anna membuka matanya perlahan d
Setelah kepergian Aruni beberapa menit yang lalu, Adrian masih setia menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya dengan kepala yang menengadah, menatap langit-langit. Ia bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang. Ucapan Aruni seperti perintah baginya, namun apakah harus secepat ini? Bahkan Adrian belum memiliki persiapan untuk bertemu dengan Anna beserta mertuanya. Tiba-tiba tubuh Adrian bergidik ngeri saat mengingat wajah ayah mertuanya yang terlihat begitu tegas nan berwibawa. Ia begitu malu, jika harus menghadap Dirgantara malam itu juga. Entahlah, nyali Adrian selalu menciut jika dirinya tau sudah melakukan kesalahan. Ah, memikirkan hal itu membuat kepalanya pening. Lebih baik ia sekarang bergegas pulang, menemui anak-anaknya. Rindu sekali ia bercanda dengan mereka. Ia pun bergegas pulang, mengendarai mobilnya sendiri tanpa ditemani Rama. Sengaja beberapa minggu ini Adrian membiarkan Rama untuk menjaga Aruni, menemani adik kesayangannya itu agar traumanya cepat sembuh. Seper
1 bulan kemudian ...Tepat satu bulan pertengkaran itu, rupanya Anna benar-benar pergi dari kehidupan Adrian dan kedua anaknya. Dengan terpaksa Anna tidak menuruti permintaan Raja kala itu, Anna benar-benar sakit mengingat Adrian mengajaknya bercerai kala itu. Padahal secara logika, Anna tidak salah dalam hal apa pun justru Anna hanya membantu agar emosi Adrian tidak menambah permasalahan kala itu. Namun, Adriaj terlalu emosi, ia mengartikan semua pembelaan dan kalimat penenangnya hanya untuk Mario, demi kebaikan mantan pacarnya itu.Dan sudah satu bulan ini hidup Adrian dan anak-anaknya begitu menyedihkan. Raja tak ingin berbicara dengannya sampai saat ini bahkan ia memilih untuk tinggal di pesantren al-anwar bersama jiddah dan jaddunnya sebelum Adrian membawa Anna kembali. Sementara Ratu, sampai sekaran putri kecilnya itu begitu murung, bahkan sering sakit-sakitan menggumamkan nama Anna sebagai bunda kesayangannya.Sudah berkali-kali Melati dan Darius menasehati agar Adrian menemui
"Bunda kenapa? Kok matanya bengkak, nangis ya?" kira-kira begitulah Ratu bertanya ketika menemui bundanya yang tengah melamun sendirian menghadap jendela kamar mereka. Anna tersenyum tipis, ia menyambut hangat putri Adrian yang semakin hari semakin cantik dan menggemaskan."Bunda ih katanya dirumah nenek, tapi pas kita kesana gak ada" kesal Raja yang tiba-tiba datang ke kamar mereka. Wajah tampannya menyiratkan kekesalan. Anna menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menjelaskan."maaf ya, tiba-tiba kepala bunda pusing. Makannya bunda pulang duluan darisana, oh iya padahal disana masih ada ayah kalian loh kenapa malah buru-buru pulang?"Ratu dan Raja saling bertukar pandang, tampak bingung sekaligus khawatir. Raja yang biasanya tegas kini menunjukkan sisi lembutnya ketika melihat ekspresi Anna."Bunda pusing kenapa? Udah minum obat atau mau abang ambilkan sesuatu buat bunda?" tanyanya Raja dengan penuh khawatir dan perhatian, ia mendekat kearah Anna dan mengulu
Aruni terduduk dan termenung di kamarnya sejak sejam yang lalu. Meratapi nasibnya sekarang ini. Apakah ia akan sanggup menjalani hidup setelah ini? Apakah ia akan sanggup mengurus bayi tidak berdosa diperutnya itu? Entahlah, Aruni hilang arah. Dia marah, terluka, kecewa. Kalau saja malam itu ia tidak menolong Mario, mungkin sekarang Aruni akan baik-baik saja atau bahkan ia sudah berada di Surabaya menyusul pria yang dicintainya. "ARGHHHH!" teriakan amarah dari dalam kamar itu terdengar begitu memilukan, Melati dan Anna berusaha untuk mencoba memasuki kamar Aruni kembali namun tidak bisa. Sejam yang lalu, Aruni mengusir keduanya saat dokter Tia menyarankan agar Aruni dibawa kerumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Namun, Aruni menolak. Ia sudah tau hasilnya dan ia yang merasakannya, bahkan gelagat dokter Tia yang mencurigakan itu membuatnya gampang ditebak. Brak ... Prang ...Suara barang pecah dan berjatuhan membuat Melati dan Aruni panik, keduanya memutuskan untuk menghubung