Sepertinya kelab itu memang milik ayah temannya Talitha karena saat mereka melewati pintu, penjaganya hanya menatap dengan sorot menyelidik. Mereka kemudian mengangguk dan mempersilakan Sasi dan Talitha masuk.Temanya Talitha itu sengaja memilih kelab karena ingin menyambut usia dewasa. Rupanya yang ulang tahun itu kakak kelas Talitha dulu. Sasi pikir masih satu angkatan dengan mereka."Ke sana!" seru Talitha.Sasi menurut saja saat dia ditarik ke salah satu meja yang sudah diisi dua orang lelaki. Jika Sasi perhatikan, mereka memang masih remaja. Pengunjung yang lain juga dominan anak muda. Namun, jelas lebih tua darinya. Hal itu tidak membuat Sasi sedikit pun merasa lega."Kenapa hanya ada dua cowok, Tha?" tanya Sasi berbisik.Talitha tidak menjawab."Cantik juga, nih. Kenalin, gue Niko." Orang yang mengaku Niko itu mengulurkan tangan pada Sasi.Sasi menelan ludah. Dia sempat gelagapan. Sebelum membalas uluran tangan Ni
Sasi tidak bisa menahan tangisannya. Dia terus memanggil Talitha, Niko, bahkan Ari sambil menerobos masuk orang-orang yang tidak berhenti bergoyang. Akan tetapi, tidak satu pun dari ketiga orang itu yang Sasi temukan. Kaki Sasi mulai lemas karena cemas yang berlebihan."Tolong," ucapnya lirih. Dia sekarang berada di tengah kerumunan. Kanan, kiri, depan, belakang, penuh orang-orang asing."Hai, Cantik." Seseorang tiba-tiba merangkul pundaknya, membuat Sasi menjengit luar biasa.Dia berusaha melepaskan tangan orang itu. Berhasil. Namun, rangkulannya justru beralih ke pinggang. Sasi semakin gemetar. Dia tidak ingin mengakui hal ini. Akan tetapi, Sasi mulai buang air kecil di celana."Tolong lepaskan saya," pinta Sasi dengan air mata yang semakin membanjiri pipinya."Hah? Apa?" Pria yang merangkul Sasi berteriak sambil bergoyang. Sedikit sempoyongan karena mabuk."Lepas. Saya mohon." Sasi memelas.Sasi sangat ingin melarikan
"Bulanku, kamu kenapa?"Mentari langsung menempelkan telapak tangannya di kening Sasi begitu melihat putrinya itu meringkuk di ranjang orang. Kemarin Sasi izin mengantar Talitha ke pesta ulang tahun temannya yang lain. Dia bilang, kemungkinan akan menginap di rumah Talitha karena pasti pulang malam.Semalaman Mentari tidak bisa tenang karena Sasi tidak membalas pesan-pesannya. Perempuan itu sudah hendak menyusul. Akan tetapi, Ranggi meminta Mentari untuk percaya pada Sasi. Sasi mungkin akan malu jika dia dijemput seperti itu.Paginya Sasi tetap tidak membalas, membuat Mentari semakin kalang kabut. Baru agak siang ada balasan jika Sasi akan kembali menginap. Namun, satu jam berselang, Mentari justru menerima kabar jika putrinya itu sakit. Dia lantas bergegas ke rumah Talitha."Semalam kalian pulang jam berapa?" tanya Mentari seraya menoleh Talitha."Jam 10 malam, Tante," jawab anak itu tanpa benar-benar menatap Mentari. "Terus begadang nonton drakor."Mentari menghela napas. Dia lantas
"Aku tidak akan tinggal diam." Bentala mengepalkan tangannya kuat-kuat.Pria itu memang sudah memiliki banyak praduga soal kejadian yang menimpa putrinya. Namun, dia berharap apa yang ada di pikirannya salah. Mendengar langsung penjelasan dari Ranggi meskipun tidak 100% lengkap, Bentala tetap tidak bisa menahan emosi. Jika tidak ingat sedang berada di rumah sakit, niscaya Bentala akan mengamuk.Keadaan Mentari tidak jauh lebih baik. Keterangan dari Ranggi memang hanya sampai Talitha berpisah dari Sasi, lalu bertemu lagi esok paginya. Akan tetapi, Mentari langsung bisa menebak hal mengerikan apa yang membuat Sasi begitu trauma.Mentari pernah ada di kondisi serupa. Mengetahui putrinya juga mengalami hal itu, Mentari sampai tidak bisa menjelaskan perasaannya. Mungkin lebih dari kehancuran. Air matanya sempat mengering saat Sasi sadarkan diri. Setelah mendengar apa yang menimpa anak itu, Mentari kembali menangis. Dia bahkan histeris hingga harus dibawa ke luar ruangan."Sebelumnya, aku s
"Kenapa kamu tega melakukan itu ke aku, Litha? Aku punya salah apa?" Sasi berdiri. Matanya memanas. Dia kecewa karena ternyata Talitha mengkhianatinya. Oh, bukan. Sejak awal Talitha memang tidak pernah tulus berteman dengannya."Aku pengin masuk ke geng Kak Reta. Aku juga sebenarnya takut sama dia. Maaf, Sasi." Talitha menunduk."Kamu meminta maaf karena merasa bersalah, atau karena takut disalahkan saja?" Sasi memandang sinis.Talitha menggeleng dengan kepala tertunduk. "Aku benar-benar merasa bersalah saat tahu kamu masuk rumah sakit," jawabnya pelan.Talitha melanjutkan, "Makanya aku bilang semuanya ke ayah tiri kamu. Tapi, aku tidak tahu kenapa Om Ranggi tidak menjelaskannya secara lengkap ke kalian."Mentari seketika mengernyit ketika nama suaminya disebut. "Ranggi?"Talitha mengangguk. "Saat di kantor polisi pun, Om Ranggi secara tidak langsung menyuruh aku memberikan keterangan versi tidak ada keterlibatan Kak Reta di dalam kejadian malam itu."Mentari membelalak. Dadanya menda
"Aku mau Om Ranggi dan bundamu bercerai! Menjadi orang asing. Bagaimana aku bisa melupakan dendamku kalau bundamu masih berada di dekatku?"Sasi seketika melirik Mentari yang tampak terkejut dengan ucapan Reta barusan. Begitu juga dengan Ranggi. Kedua orang itu jelas saling mencintai, terlihat dari tatapan mereka yang tidak ingin berpisah."Bagaimana, Bunda?" tanya Sasi. Mentari yang berhak memutuskan hal itu."Bunda setuju," jawab Mentari seraya memalingkan pandangan.Reta dan Sasi kemudian berjabat tangan."Aku ingin perjanjian ini bersifat resmi. Harus ada tanda tangan di atas materai oleh pihak-pihak yang bersangkutan," ucap Reta.Surat perjanjian itu dibuat setelahnya. Manyatakan jika Reta tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan baik fisik dan mental kepada Sasi. Sebaliknya, ikatan yang membuat mereka bekerabat harus benar-benar putus. Bahkan jika tidak sengaja berpapasan di jalan, dianjurkan untuk bersikap seolah tidak pernah saling mengenal.Mentari dan Ranggi menjadi or
"Apa Mbak belum tahu? Kemarin Bos kecelakaan," ucap salah satu pegawai Ravocado.Mentari kontan melebarkan mata. Jantungnya berdebar keras. "Sekarang bagaimana keadaannya?" Dalam hati perempuan itu berharap Ranggi baik-baik saja."Masih di rumah sakit, Mbak. Belum sadarkan diri."Tubuh Mentari seketika lemas. Dia lantas bertanya rumah sakit tempat Ranggi dirawat, kemudian bergegas ke sana. Mulutnya tidak berhenti berkomat-kamit berdoa untuk keadaan Ranggi.Mentari melaju cepat ingin lekas sampai.Sebelumnya Mentari sempat ragu soal memberi tahu kehamilannya. Kondisi yang mereka hadapi mungkin akan semakin rumit. Akan tetapi, Nawang memberi nasihat jika Ranggi sebagai ayah dari janin yang dikandung Mentari berhak tahu soal hal itu.Oleh karenanya, Mentari menemui Ranggi. Dia tidak mengabari lebih dulu lewat pesan karena Ranggi sudah memblokirnya. Entah keinginan Ranggi sendiri, atau suruhan Reta.Mentari pergi ke Ravocado
"Berjanjilah kamu akan tetap berada di sisiku. Kamu tidak akan pergi kecuali maut yang memisahkan.""Aku tidak akan pergi kecuali kamu yang memintaku pergi.""Tidak akan."Ranggi perlahan membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit ruangan berwarna putih. Dirinya masih terbaring di ranjang rumah sakit."Apa yang barusan itu mimpi?" batin Ranggi.Dia melihat dirinya sedang bersama Mentari di suatu tempat. Dalam mimpi itu dia dan Mentari bahkan berpelukan.Ranggi menghela napas. Pastinya memang hanya bunga tidur. Dia dan Mentari tidak jadi menikah karena ayah Sasi kembali. Mentari lebih memilih pria itu daripada Ranggi. Ranggi sendiri tidak mengingatnya. Vanya yang cerita.Dia pikir amnesia hanya ada di sinetron. Namun, saat ini Ranggi benar-benar mengalaminya. Ranggi tidak mampu mengingat kejadian apa pun, setelah dia menemui Mentari.Apa Mentari mengundangnya ke pernikahan perempuan itu?
"Reta?"Mentari terperanjat ketika mendapati gadis itu mengunjungi kediamannya. Reta memang pernah ke sini saat mereka berkemah di halaman. Akan tetapi, waktu itu dia bersama Ranggi, tidak seorang diri seperti hari ini."Silakan duduk, Reta," ucap Mentari aasedikit canggung. "Mau dibuatkan minuman apa?"Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak usah. Aku tidak akan lama. Ada sesuatu yang ingin aku katakan."Mentari lantas mengambil tempat di seberang Reta. Dia bertanya-tanya hal apa yang membawa Reta sampai menemuinya. "Ada apa?""Ini soal Om Ranggi.""Ranggi?""Iya. Sebenarnya aku tidak punya hak membicarakan hal ini. Tapi, karena aku menduga aku menjadi penyebabnya, mau tidak mau aku harus terlibat.""Apa sesuatu terjadi lagi kepada Ranggi?" Mentari sontak panik. Dia sedikit trauma jika ada orang lain yang ingin memberikan kabar soal pria itu kepadanya. Dulu Xavier saat Ranggi kecelakaan. Belum lama ini Sasi memberi tahu jika mantan suaminya tersebut dibegal."Om Ranggi masih mencintai And
Sasi pikir Lukman akan memiliki pandangan buruk kepadanya karena menyembunyikan pernikahan. Namun, pria itu justru khawatir. Sasi benar-benar terkejut. Pesan Lukman belum Sasi balas. Selain karena tidak tahu harus menjawab apa, Sasi juga harus segera membersihkan diri lantaran Emir sudah keluar. Keterlambatannya itu ternyata semakin membuat Lukman cemas hingga dia kembali mengirim pesan. Lukman : [Sasi, aku harap kamu baik-baik saja.] Pria itu mungkin tidak akan tenang sebelum Sasi menjawabnya. Sasi : [Aku baik-baik saja, Kak.] Lukman : [Benarkah?] Sepertinya Lukman benar-benar peduli kepada Sasi. Perempuan itu refleks terenyum. Sasi : [Iya.] "Ada apa, Babe?" Ah! Sasi lupa jika dia sedang berada di dalam mobil bersama Emir. Sasi lantas menunjukkan foto Rai yang sedang mengikuti acara outbond. Sasi sengaja meminta foto Rai kepada Mentari karena merindukan adiknya itu. "Sepertinya aku kenal tempat itu." "Iya. Di Nuraga Park. Sekolah Rai sedang mengadakan study tour ke sana."
"Papi, Mami kenapa tidak pulang-pulang?" Danta bertanya sambil berurai air mata. Dia pasti sangat merindukan Vanya.Ranggi segera merangkul tubuh kecil anak itu. "Urusan mami kamu belum selesai. Sabar, ya? Kan, ada Papi, ada Kak Reta juga.""Mau Mami." Danta menggeleing.Ranggi belum bisa menceritakan keadaan Vanya. Danta masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi."Kalau sekarang kita main ke rumah Kak Rai, gimana? Mau, kan?"Danta berpikir sejenak. Dihapusnya air mata menggunakan punggung tangan, lalu mengangguk pelan. "Mau," jawabnya.Ranggi tersenyum lega. Dia lantas membawa anak itu menemui Rai. Kesedihan Danta perlahan berkurang saat dia bekerja sama merakit lego bersama kakaknya."Mbak, apa malam ini Rai boleh menginap di rumahku? Mungkin Danta tidak akan terlalu kepikiran Vanya kalau ada anak seumurannya," kata Ranggi kepada Mentari."Aku tidak keberatan kalau anaknya mau. Tapi, Rai susah tidur di tempat asin
"Hanya karena aku menerima keadaanku, itu tidak berarti aku akan menceraikanmu, Sasi. Aku tetap tidak akan membiarkanmu bersama lelaki lain yang wajahnya sempurna, sedangkan aku seperti ini."Perkataan Emir menampar Sasi dengan telak. Seharusnya dia yang memiliki wajah rusak. Seharusnya dia yang tidak percaya diri hingga tidak ingin bertemu orang lain. Seharusnya dia juga yang saat ini sibuk perawatan dengan biaya mahal.Bagaimana mungkin Sasi sempat berpikir akan terbebas dari pernikahan ini saat ucapan terima kasih dan kata maaf saja tidak akan cukup untuk membayar tindakan Emir?Sasi akan menjadi orang yang tidak tahu diuntung."Aku mengerti," sahutnya."Jangan pernah membahas perceraian lagi denganku!" kata Emir tegas."Iya." Sasi kemudian menyentuh pipi Emir yang terkena siraman air keras. Bulan depan pria itu akan menjalani operasi terakhir.Tatapan Emir melembut. Dia menahan tangan Sasi agar tetap berada di pipinya. "Maaf, aku
"Jadi, Emir, kapan kamu akan mentalakku?"Pertanyaan tersebut keluar dari bibir mungil Sasi. Dia mengatakannya dengan santai, seolah-olah hal itu perkara sangat sepele tanpa tahu dampak yang akan dialami oleh si pendengar. Untuk sesaat, Emir merasa jantungnya berhenti berdetak.Pria yang sedang menonton siaran ulang pertandingan voli itu seketika mengetatkan rahang. Dicengkeramnya kuat-kuat remot yang berada digenggaman."Kamu lupa, ya? Toko buka minggu depan. Besok kita harus mulai mengundang tamu-tamu untuk pembukaan nanti," jawab Emir. Tatapannya tetap menatap layar yang memperlihatkan dua tim lokal sedang bertanding. Namun, hatinya remuk redam."Oh, iya juga." Helaan napas terdengar.Apa Sasi kecewa? Rupanya dia ingin cepat-cepat melepaskan diri dari Emir, padahal perasaan pria itu sudah berubah. Ternyata selama ini cinta Emir tidak bersambut. Menyedihkan. Mungkinkah dia sedang dihukum karena dengan sengaja menikahi Sasi hanya untuk membuatnya
Lukman : [Sasi, kamu sudah punya pacar?]Seharusnya pertanyaan itu mudah. Namun, Sasi justru kesulitan menjawab. Jari-jarinya terhenti begitu saja di atas layar. Dia mendadak sesak. Entah kenapa Sasi enggan memberi tahu statusnya saat ini.Alih-alih memberi jawaban, dia malah balik bertanya.Sasi : [Memangnya kenapa, Kak?]Lukman : [Tidak. Takutnya ada yang marah kita berbalas pesan begini.]Perempuan itu seketika menoleh ke arah pintu kamar mandi. Guyuran shower terdengar dari dalam sana. Dia merasa Emir tidak memiliki alasan untuk marah karena hal ini. Lagi pula, Sasi dan Lukman hanya berkirim pesan. Itu juga membahas pekerjaan, meskipun sedikit keluar konteks.Sasi : [Tidak, kok.]Lukman : [Syukurlah.]Pria itu mengirim emoji senyum, yang membuat Sasi turut menarik kedua sudut bibirnya.Lukman : [Untuk logonya benar tidak ada yang harus direvisi? Kalau menurut kamu ada yang kurang, katakan saja.]Sasi : [Sudah
Lukman Respati adalah kakak kelas Sasi sejak SMP. Sasi bisa naksir Lukman karena dia berbeda dari anak-anak cowok yang sering menyatakan cinta. Lukman memperlakukan Sasi sama seperti perlakuannya kepada orang lain. Tidak membeda-bedakan, tidak memprioritaskan, hanya karena Sasi cantik.Sasi terkesan pada Lukman. Dia jadi penasaran tipe perempuan seperti apa yang pria itu suka. Sampai SMA Sasi masih diam-diam memperhatikannya. Akan tetapi, sejak pindah sekolah, dia tidak pernah tahu kabar Lukman lagi.Tanpa sadar Sasi tersenyum. Dia teringat hari-hari jatuh cinta saat Lukman selalu menjadi sosok yang Sasi cari di sekolah. Hanya memperhatikannya dari jauh sudah cukup untuk Sasi. Asalkan dalam sehari dia bisa melihat pria itu."Bagaimana kabarnya sekarang? Apa dia sudah menikah?" Sasi membatin.Dia lalu memeriksa akun Lukman. Di sana pria itu membuka jasa ilustrasi untuk logo brand, sampul buku, dan lain-lain. Dari testimoninya sudah banyak yang memesan dan
Jalanan malam cukup lenggang, sehingga Ranggi menambah kecepatan berkendara. Dia ingin segera mengistirahatkan badan dan pikiran setelah masalah yang terjadi dengan Wizurai. Lain kali Ranggi akan lebih berhati-hati dalam memilih partner. Dia juga harus memastikan kejadian seperti ini tidak terulang.Pria itu mendengkus. Meskipun masalah berhasil diselesaikan lantaran Ranggi sudah memberikan kompensasi, kekesalannya tetap ada. Ini adalah kali pertama Wizurai tersandung kasus memalukan. Ilustrator yang bekerja sama dengannya memplagiat karya orang luar negeri. Selain membuat brand Wizurai tercoreng, dia juga membuat negara sendiri ikut terkena tinta hitam.Kedongkolan Ranggi belum menghilang saat seseorang tiba-tiba melintas di depan. Dia sontak membelalak. Beruntung dia berhasil menghentikan mobil sebelum menabrak. Namun, hal itu tetap membuatnya berada dalam masalah.Teman-teman orang yang hampir Ranggi tabrak lekas mengerumuni mobil."Keluar lo! Tanggung
"Emir?"Pria itu menatap tepat ke dalam mata perempuan di hadapannya. Dia sudah berusaha menahan diri. Akan tetapi, dorongan itu terus mendesak untuk dituruti.Emir menundukkan kepala. Mengikis ruang kosong di antara dirinya dan Sasi. Gadis itu tersentak. Namun, Emir tidak berhenti. Bagaimanapun juga, dia adalah pria normal. Batas yang selama ini dia bangun untuk membentengi diri sendiri perlahan roboh. Barangkali karena kesadaran jika Sasi adalah istrinya dan mereka selalu bersama.Saat di Amerika, Emir bisa menahan godaan lantaran sejak remaja orang tuanya sudah sering mengajari soal hal-hal yang dilarang agama, beserta dampak buruk dari perbuatan tersebut. Emir bisa tahan banting meskipun banyak perempuan cantik dan seksi, juga kehidupan bebas di sana. Tambah lagi, sang papa diam-diam menyuruh orang mengawasi setiap gerak-gerik Emir. Makin tidak beranilah dia.Akan tetapi, saat ini penghalang yang mengikat naluri biologisnya sudah semakin longgar. Seka