"Tari, kamu menganggap kami ini apa? Kenapa kamu tidak mengatakan apa pun?"
Nawang menangis tersedu-sedu setelah mengetahui fakta jika Mentari pergi dari rumahnya karena ingin menyembunyikan kehamilan. Nawang sedikit kecewa karena Mentari memilih minggat alih-alih terbuka kepadanya."Apa yang harus Tante katakan kepada ibumu?"Sang adik angkat, Harsya, sudah menitipkan Mentari kepadanya. Nawang menganggap Mentari seperti putrinya sendiri. Mengetahui Mentari menjalani kehidupan yang sulit, Nawang tidak memiliki keberanian jika dia bertemu dengan Harsya di akhirat nanti.Sementara itu Mentari tetap bergeming. Dia tidak menyangka rahasia ini terbongkar juga. Pagi-pagi Bentala dan Nawang sudah datang berkunjung hanya untuk mengonfirmasi hal ini. Mentari belum sempat bertanya dari mana mereka tahu soal itu dan alamat rumahnya karena Nawang lebih dulu menyerangnya dengan pertanyaan."Tari, laki-laki bejat mana yang sudah menyusahkan hidupmu?" Nawang memegang kedua tangan Mentari, menggoyangnya pelan.Pertanyaan itu akhirnya keluar juga. Pertanyaan yang tidak akan pernah bisa Mentari jawab. Mungkin, bisa. Namun, Mentari memilih tetap merahasiakan hal itu. Tidak boleh ada yang tahu siapa ayah Sasi sebenarnya."Tante," panggil Mentari lembut. "Sekarang Tari sudah memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Tari akan menikah dengan laki-laki yang mencintai Tari. Kita tidak perlu membicarakan masa lalu." Perempuan itu mengulas senyum manis.Nawang masih menitikan air mata. Mentari perlu memeluk perempuan renta itu agar beliau bisa tenang. Apa yang terjadi kepada Mentari sama sekali bukan kesalahan Nawang. Tanpa sengaja, mata Mentari bertemu dengan milik Bentala. Keduanya berserobok pandang selama beberapa detik.Netra hazel milik Mentari selalu berhasil memerangkap Bentala, membawa pria itu pada kilatan-kilatan ingatan dari masa lalu yang pernah datang ke mimpinya. Mimpi memalukan sekaligus indah, Bentala menyebutnya.Mentari menjadi yang pertama memutus kontak mata mereka. Bentala sedikit kecewa. Sebentar lagi adik sepupunya itu akan segera menikah. Akan ada orang lain yang menikmati keindahan mata Mentari. Bentala menghela napas. Padahal mereka baru bertemu. Akan tetapi, perpisahan lagi yang harus dirasa."Anakmu mana? Tante ingin melihatnya," ucap Nawang setelah tangisannya reda."Sekolah, Tante. Hari ini pengumumam kelulusannya," jawab Mentari.Mentari harap Sasi kembali dari sekolahnya setelah Nawang dan Bentala pergi. Namun, lagi-lagi keinginannya tidak terkabul."Om Ben!"Ketiga orang yang berada di ruang tamu itu tersentak saat mendengar seruan seorang gadis remaja di ambang pintu.Mentari sontak melebarkan mata. Jantungnya berdegub kencang seiring langkah Sasi yang semakin mendekat. Sasi menyalami ibunya lebih dulu, lalu pada Nawang."Ini?" Nawang menoleh Mentari meminta penjelasan.Bukannya menjawab, Mentari justru menelan ludah."Nenek Nawang?" tanya Sasi.Nawang mengangguk pelan."Aku Sasi, Nek. Putrinya Bunda Tari," ucap Sasi.Nawang langsung memeluk erat Sasi. Tangisnya tumpah lagi. "Cucuku," ujar Nawang sambil terisak. "Kamu sangat cantik seperti ibumu," sambung perempuan itu setelah melepaskan pelukannya.Nawang mengusap wajah Sasi. Sekilas memang mirip Mentari. Namun, jika diperhatian lebih saksama, ada bagian dari wajah Sasi yang mirip dengan seseorang, terlebih bentuk mata dan bibir."Sama Om tidak salim?" tanya Bentala.Sasi langsung membalikkan tubuhnya dan menyalami pria itu."Katanya hari ini kamu menerima pengumuman kelulusan?" Bentala bertanya lagi."Iya." Sasi lantas mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya yang menyatakan jika dia sudah lulus SMP."Patut dirayakan ini," kata Ben."Wah, asyik!" Sasi berseru girang. "Aku mau jalan-jalan ke Nuraga Park," ujarnya semangat."Oke. Nanti Om ajak kamu ke sana."Diam-diam Mentari mencengkeram rok yang dia kenakan. Perempuan itu sangat cemas melihat kedekatan Bentala dan Sasi. Kenapa mereka bisa seakrab itu dalam waktu yang sangat singkat?"Boleh, Bunda?" Sasi menoleh, meminta izin kepada Mentari.Mentari menelan ludah. Dia tidak ingin membiarkan Sasi pergi bersama Bentala. Namun, alasan apa yang harus Mentari katakan? Sasi juga jarang dia ajak jalan-jalan karena lebih mengutamakan kebutuhan primer. Anak itu kelihatan senang sekali. Mentari jadi serba salah."Kenapa tidak boleh? Boleh, dong, Sayang," ucap Nawang menyetujui."Nenek juga ikut, ya?"Nawang mengangguk.Sasi semakin girang. "Akhirnya aku bisa merasakan liburan bareng keluarga, tidak sama Bunda saja," ujarnya yang membuat Mentari terenyuh. Selama ini Sasi tidak pernah mengeluh. Namun, ternyata hal itu tidak berarti Sasi tidak menginginkan keluarga utuh.Mau tidak mau, akhirnya Mentari menyetujui keinginan putrinya. Akan tetapi, Mentari memberi tahu rencana jalan-jalan mereka kepada Ranggi. Mentari juga mengajak Reta, dan membolehkan anak itu membawa teman-temannya jika ingin.Jadilah mereka pergi rombongan. Di luar dugaan, penanggung jawab Nuraga Park adalah teman Ranggi. Lelaki itu mendapat diskon harga sehingga bisa membeli tiket kelas A yang bisa dipakai di semua wahana."Naik roller coaster enggak, sih, kita?" tanya Reta kepada ketiga teman perempuannya. Mereka kompak menyetujui. "Ayo, Sas." Reta mengulurkan tangan mengajak Sasi. Akan tetapi, Sasi menggeleng."Fobia ketinggian aku, Kak," jawabnya."Yah. Serius?"Sasi mengangguk. "Kalau Kak Reta dan kakak-kakak lainnya mau naik itu, silakan saja.""Ya sudah kalau begitu."Reta dan ketiga temannya pergi menuju wahana yang mereka inginkan. Padahal Mentari sangat berharap Sasi bergabung dengan mereka. Mentari mengajak Reta dan teman-temannya bukan tanpa alasan."Terus kamu mau apa, Bulanku? Kita ke sini untuk merayakan kelulusan kamu," ucap Mentari."Aku penasaran sama food court, Bun. Katanya di sini cuma menyediakan jajanan tradisional dari berbagai daerah di Indonesia."Sasi memang doyan jajan. Bercita-cita ingin keliling Indonesia demi berburu kulinernya saja. Selagi ada satu tempat yang menyediakan banyak makanan, Sasi tidak ingin melewatkan kesempatan.Mereka pergi ke tempat yang dimaksud. Stand makanan dan minuman mengelilingi kursi dan meja yang disediakan. Mereka lantas duduk di satu meja yang sama. Mentari sedikit risi saat Ranggi ingin berdekatan dengannya terus."Ranggi, kita belum menikah." Mentari mengingatkan.Pria itu justru tersenyum tanpa merasa bersalah. "Tidak sampai bersentuhan, kok, Mbak. Aku, kan, harus menjaga Mbak Tari. Banyak yang jelalatan tahu, Mbak."Mentari juga menyadari hal itu. Dia sudah terbiasa saat menjadi pusat perhatian ke mana pun dia pergi. Makanya sebisa mungkin Mentari jarang keluar rumah jika tidak ada hal yang mendesak. Namun, dia sedikit tidak enak karena ada Nawang yang kentara sekali menahan senyuman.Berbeda dengan Nawang yang senang melihat kedekatan Ranggi dan Mentari, Bentala menunjukkan ekspresi datar. Dia tidak banyak berbicara sejak mengetahui Ranggi juga ikut."Tante mau makan apa?" tanya Mentari kepada Nawang. "Di sini ada makanan berat dan ringan."Nawang lalu menyarankan membeli paket nasi liwet yang stand-nya tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ranggi mengajukan diri untuk memesannya."Aku mau keliling dulu biar tahu ada jajanan apa saja," ucap Sasi."Ayo! Om juga ikut," sahut Bentala.Mentari sontak melotot. "Tidak, Sasi. Tempat ini luas. Nanti kamu hilang." Dia melarang tanpa benar-benar memikirkan alasannya, yang membuat Sasi mengerutkan kening."Bun, aku sudah gede. Ada Om Ben juga, kan?""Iya, Tari. Apa yang kamu khawatirkan?" Bentala bertanya.Justru yang Mentari khawatirkan adalah kedekatan Bentala dan Sasi.Keduanya justru pergi tanpa menghiraukan larangan Mentari."Sasi!" Mentari hendak menyusul. Akan tetapi, Nawang menghentikannya."Kenapa, Tari? Biarkan saja," ujar Nawang.Mentari menatap cemas kepergian Sasi dan Bentala. Keduanya tengah asyik mengobrol sambil melihat satu per satu stand makanan yang mereka lewati."Om juga sejak dulu tidak tertarik naik wahana ekstrem karena takut ketinggian," ucap Bentala."Sama dong, seperti aku."Bentala mengangguk."Eh, ada es doger!" Sasi berseru senang. Dia langsung menuju tempatnya."Om juga mau," kata Bentala.Mereka lalu memesan secara bersamaan, "Ketan hitamnya banyakin, ya, Mas."Keduanya terkejut, kemudian saling memandang. "Ih, Om ikut-ikutan aku terus.""Kamu kali yang ikut-ikutan Om. Kan, Om yang lahir duluan."Sasi merengut. "Om suka ketan hitam?""Iya," jawab Bentala."Kita punya dua kesamaan," tutur Sasi, "Kalau sampai ada tiga, berarti rekor.""Kamu punya alergi makanan?" tanya Bentala.Sasi mengangguk. Lagi-lagi mereka menjawab bersamaan, "Udang."Sasi dan Bentala sama-sama terkejut untuk yang kedua kalinya.Sasi jadi tertarik mengajukan pertanyaan baru. "Jangan bilang Om suka makan tempe mentah!"Bentala sontak membelalak, lalu tertawa. "Tanya Ibu. Dulu beliau sering memarahi Om karena mencuri tempe mentah di dapur. Giliran mau diolah, sudah hilang seperempatnya."Sasi menggeleng tidak percaya. "Kok, bisa kita banyak kesamaan padahal tidak berhubungan darah?" tanyanya heran.Bentala ikut mempertanyakannya. Dia dan orang tuanya bahkan tidak memiliki kesamaan sebanyak itu. Terlalu di luar nalar jika hanya kebetulan.Pria itu lantas memandangi Sasi yang sudah mendapatkan es dogernya. Sejak awal Sasi sudah menarik perhatian Bentala. Dia pikir itu karena Sasi adalah putri dari Mentari. Namun, sekarang, Bentala semakin penasaran kepada gadis ini.Siapa Sasi sebenarnya?"Kak Ben ... tolong ... jangan."Bentala seketika membuka kelopak matanya. Dia tidak sedang bermimpi, melainkan mengingat sesuatu yang selalu dia yakini sebagai mimpi. Bunga tidur yang anehnya tidak bisa Bentala lupakan meskipun kilasan itu samar dan hanya sebagian."Tapi, suara Tari begitu nyata," ucapnya.Bentala segera menggeleng mengenyahkan keyakinan itu. Bermimpi menyentuh Mentari adalah hal yang sangat memalukan. Meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah, tetapi tetap saja. Mentari sudah seperti adiknya sendiri.Ya, adik. Kenyataan yang membuat Bentala bimbang bertahun silam.Rasa sayangnya kepada Mentari bukan rasa sayang dari kakak kepada adiknya. Bentala menyadari hal itu. Namun, hubungan mereka tidak bisa berkembang, terlebih Bentala sudah dijodohkan dengan anak perempuan sahabat ayahnya. Jika Bentala menolak, maka ikatan persahabatan dua keluarga akan dipertaruhkan."Mas Tala!"Pria itu menoleh. Dia lalu
"Sasi putriku, kan, Tari? Kami memiliki banyak kesamaan," ucap Bentala. "Kamu tidak perlu menyembunyikannya. Sasi berhak tahu siapa ayahnya, terlebih aku sudah ada di sini.""Apa Kak Ben akan memberi tahu Sasi kalau dia lahir di luar pernikahan?" tanya Mentari. Dadanya terasa sesak saat mengatakan hal itu."Bukankah itu sama saja? Kamu membuat tokoh fiksi menjadi ayahnya Sasi. Kamu membuatnya dalam kebingungan karena Sasi sudah mengendus kebohongan kamu."Perempuan itu membelalak. Kasihan sekali putrinya. Mentari sengaja membuat kebohongan seperti itu demi menyelamatkan nama baiknya dan Sasi. Berpura-pura menjadi janda saja dia sering dipandang rendah, apalagi jika mereka tahu Mentari memiliki anak tanpa menikah."Tari?"Mentari menghela napas panjang. Dia sudah berusaha agar fakta ini tidak terungkap. Namun, Sasi dan Bentala ditakdirkan untuk mengetahui identitas masing-masing."Iya. Sasi darah daging Kak Ben," jawab Mentari pas
"Halo, Mbak Tari." Ranggi menyapa hangat.Pria itu sudah lebih dulu memberi tahu Mentari perihal kedatangannya ke rumah. Namun, tetap saja Mentari sedikit terkejut saat mendapati Ranggi di hadapannya. Mungkin karena sejak kemarin dia memikirkan Ranggi."Di luar saja, ya, Ranggi. Sasi sedang tidak ada.""Oh, dia belum pulang?"Mentari menggeleng. Tadi Sasi izin ingin menemui Bentala di restoran.Mentari lantas kembali ke dalam untuk membawakan tamunya minuman dan camilan. Keduanya duduk di anak tangga. Tidak bersisian. Ranggi berada tiga langkah di bawah dari posisi Mentari."Hal apa yang ingin kamu bicarakan itu?" tanya Mentari sambil menggenggam cangkir berisi teh rosemary."Bukannya Mbak Tari yang memiliki sesuatu untuk dikatakan kepadaku?" Ranggi justru balik bertanya."Saya?" Mentari tampak heran. Jelas karena dalam pesannya Ranggi mengatakan jika dia ingin membicarakan sesuatu."Iya, Mbak. Soal ren
"Tante menyayangkan keputusan kamu, Tari," ujar Nawang.Jangan tanya seperti apa reaksinya saat Nawang tahu yang membuat Mentari hamil adalah putranya sendiri. Nawang sangat marah, bahkan tidak ragu menampar Bentala. Yang bisa meredakan emosinya saat itu adalah Sasi."Kenapa kamu tidak membiarkan Ben bertanggung jawab?"Mentari meraih kedua tangan Nawang. Dia lalu tersenyum. "Kak Ben bertanggung jawab saja kepada Sasi. Tari sudah memilih Ranggi, Tante."Nawang menghela napas. Meskipun Nawang sangat ingin Bentala yang menikahi Mentari agar bisa menjaga dan membahagiakannya. Akan tetapi, Nawang tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya berharap pria pilihan Mentari memang tepat untuknya.Mentari lalu menoleh Sasi yang masih berwajah masam."Bulanku, kamu menyaksikan sendiri sebesar apa cinta Ranggi pada Bunda, kan?"Sasi tidak menjawab. Anak itu justru membuang muka."Restui Bunda, ya, Sayang."Mentari yang sudah memakai gaun pengantin memeluk putrinya dan mendaratkan kecupan singkat di pipi
"Sudah boleh mengatakan hal selain nama kamu, kan?" tanya Mentari setelah hari berganti menurut perhitungan masehi.Dengan mata terpejam Ranggi menjawab, "Mbak sudah mengucapkan hal lain saat bertanya."Mentari tertawa pelan. "Artinya boleh, kan?"Pria itu membuka kelopak matanya, lalu menggeleng. "Belum, Mbak. Waktu subuh saja masih sangat lama."Ya ampun! Mentari menghela napas lelah. "Saya sudah tidak memiliki tenaga, Ranggi."Ranggi mengangguk. Tangannya terulur mengusap kening Mentari yang berkeringat. "Istirahat sebentar. Nanti kita lanjut lagi," ucap pria itu, lalu menarik istrinya ke dalam dekapan.Mentari sudah lelah. Namun, dia tidak melontarkan protes. Dia membiarkan Ranggi memeluknya erat. Mentari bisa merasakan cinta dan kasih sayang yang besar dari sana. Sebuah rasa yang tidak pernah Mentari dapatkan dari pria yang sudah ditemuinya selama ini.Ranggi bukan pria hidung belang yang hanya tergoda karena kemole
"Sunshine, aku minta maaf," ucap Ranggi benar-benar merasa bersalah.Mentari mendengkus. Dia meletakkan secara kasar plastik segitiga berisi krim warna hijau ke meja. "Kalau kamu mau pergi, pergi saja! Tidak usah pakai cium-cium segala! Dekorasinya jadi hancur, kan?" Perempuan itu menatap sang suami dengan sorot mata marah.Ranggi sontak terperangah. Dia tidak menyangka Mentari akan semarah itu. "Kamu tinggal memperbaikinya, Sunshine."Jawaban Ranggi justru membuat Mentari semakin kesal. Bagaimana tidak? Perempuan itu sedang membuat daun di bagian atas kue. Akan tetapi, karena Ranggi menyenggolnya, krim warna hijau itu mengenai bagian pinggir kue yang sudah dilapisi krim putih dan ada hiasan krim lain berwarna pink."Memperbaiki tidak semudah merusaknya, Ranggi!" kata Mentari ketus. "Sasi bahkan tidak pernah mengacau seperti ini." Perempuan itu bergumam. Namun, Ranggi masih bisa mendengarnya.Ranggi berdecak. Kenapa Mentari harus membandi
"Separuh jiwaku rasanya ikut pergi."Mentari duduk termenung di tempat tidur yang biasa dipakai Sasi di rumah ini. Perempuan itu mengedarkan pandangan. Langit-langit kamar penuh oleh stiker glow in the dark. Di nakas, ada lampu tidur berbentuk bulan purnama pemberian Mentari tahun lalu. Sasi tidak membawanya entah lupa atau sengaja."Kamu masih bisa menemui Sasi kapan saja, Sunshine." Ranggi mencoba menghibur.Mentari melirik sekilas, lalu menghela napas. Dia tidak mengira masalah akan jadi serunyam ini. Apa memilih Ranggi adalah sebuah kesalahan? Mentari hanya ingin mengikuti kata hati."Aku harus membujuk Sasi agar dia kembali," ucap Mentari seraya menghapus air matanya."Sebaiknya besok saja. Beri Sasi waktu."Mentari mendengkus kasar. "Tapi aku tidak bisa menunggu sampai besok, Ranggi. Aku ingin anakku kembali."Ranggi segera duduk di samping istrinya. Dia kemudian menggenggam sebelah tangan perempuan itu. "Sasi buka
"Aku terlambat tahu gara-gara kamu, Ranggi! Ibu macam apa aku ini? Anaknya sedang kesakitan, aku malah ...."Mentari tidak melanjutkan ucapannya. Dia benar-benar kesal kepada Ranggi karena semalam melarangnya menerima panggilan. Sasi jatuh dari motor saat sedang belajar mengendarai kendaraan roda dua tersebut. Dia mengalami patah tulang tangan sebelah kanan, yang membuatnya harus memakai gips.Ranggi membasahi bibir bawahnya. Dia mengaku salah. Namun, alih-alih menyesal karena tidak memeriksa siapa yang menelepon, Ranggi lebih khawatir pada Mentari yang jadi menyalahkan diri sendiri."Iya, aku minta maaf, Sunshine," ucap Ranggi tulus seraya merangkul Mentari.Mentari mendengkus. Kenapa semalam dia harus menerima ajakan Ranggi? Tidak akan ada drama Ranggi yang mencegahnya menerima telepon dari Bentala. Mentari bisa datang tepat waktu, dan Sasi tidak mengambek kepadanya.Namun, Mentari juga tetap bersalah karena dia yang sudah terpancing tidak terlalu memedulikan panggilan itu. Mentari
"Reta?"Mentari terperanjat ketika mendapati gadis itu mengunjungi kediamannya. Reta memang pernah ke sini saat mereka berkemah di halaman. Akan tetapi, waktu itu dia bersama Ranggi, tidak seorang diri seperti hari ini."Silakan duduk, Reta," ucap Mentari aasedikit canggung. "Mau dibuatkan minuman apa?"Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak usah. Aku tidak akan lama. Ada sesuatu yang ingin aku katakan."Mentari lantas mengambil tempat di seberang Reta. Dia bertanya-tanya hal apa yang membawa Reta sampai menemuinya. "Ada apa?""Ini soal Om Ranggi.""Ranggi?""Iya. Sebenarnya aku tidak punya hak membicarakan hal ini. Tapi, karena aku menduga aku menjadi penyebabnya, mau tidak mau aku harus terlibat.""Apa sesuatu terjadi lagi kepada Ranggi?" Mentari sontak panik. Dia sedikit trauma jika ada orang lain yang ingin memberikan kabar soal pria itu kepadanya. Dulu Xavier saat Ranggi kecelakaan. Belum lama ini Sasi memberi tahu jika mantan suaminya tersebut dibegal."Om Ranggi masih mencintai And
Sasi pikir Lukman akan memiliki pandangan buruk kepadanya karena menyembunyikan pernikahan. Namun, pria itu justru khawatir. Sasi benar-benar terkejut. Pesan Lukman belum Sasi balas. Selain karena tidak tahu harus menjawab apa, Sasi juga harus segera membersihkan diri lantaran Emir sudah keluar. Keterlambatannya itu ternyata semakin membuat Lukman cemas hingga dia kembali mengirim pesan. Lukman : [Sasi, aku harap kamu baik-baik saja.] Pria itu mungkin tidak akan tenang sebelum Sasi menjawabnya. Sasi : [Aku baik-baik saja, Kak.] Lukman : [Benarkah?] Sepertinya Lukman benar-benar peduli kepada Sasi. Perempuan itu refleks terenyum. Sasi : [Iya.] "Ada apa, Babe?" Ah! Sasi lupa jika dia sedang berada di dalam mobil bersama Emir. Sasi lantas menunjukkan foto Rai yang sedang mengikuti acara outbond. Sasi sengaja meminta foto Rai kepada Mentari karena merindukan adiknya itu. "Sepertinya aku kenal tempat itu." "Iya. Di Nuraga Park. Sekolah Rai sedang mengadakan study tour ke sana."
"Papi, Mami kenapa tidak pulang-pulang?" Danta bertanya sambil berurai air mata. Dia pasti sangat merindukan Vanya.Ranggi segera merangkul tubuh kecil anak itu. "Urusan mami kamu belum selesai. Sabar, ya? Kan, ada Papi, ada Kak Reta juga.""Mau Mami." Danta menggeleing.Ranggi belum bisa menceritakan keadaan Vanya. Danta masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi."Kalau sekarang kita main ke rumah Kak Rai, gimana? Mau, kan?"Danta berpikir sejenak. Dihapusnya air mata menggunakan punggung tangan, lalu mengangguk pelan. "Mau," jawabnya.Ranggi tersenyum lega. Dia lantas membawa anak itu menemui Rai. Kesedihan Danta perlahan berkurang saat dia bekerja sama merakit lego bersama kakaknya."Mbak, apa malam ini Rai boleh menginap di rumahku? Mungkin Danta tidak akan terlalu kepikiran Vanya kalau ada anak seumurannya," kata Ranggi kepada Mentari."Aku tidak keberatan kalau anaknya mau. Tapi, Rai susah tidur di tempat asin
"Hanya karena aku menerima keadaanku, itu tidak berarti aku akan menceraikanmu, Sasi. Aku tetap tidak akan membiarkanmu bersama lelaki lain yang wajahnya sempurna, sedangkan aku seperti ini."Perkataan Emir menampar Sasi dengan telak. Seharusnya dia yang memiliki wajah rusak. Seharusnya dia yang tidak percaya diri hingga tidak ingin bertemu orang lain. Seharusnya dia juga yang saat ini sibuk perawatan dengan biaya mahal.Bagaimana mungkin Sasi sempat berpikir akan terbebas dari pernikahan ini saat ucapan terima kasih dan kata maaf saja tidak akan cukup untuk membayar tindakan Emir?Sasi akan menjadi orang yang tidak tahu diuntung."Aku mengerti," sahutnya."Jangan pernah membahas perceraian lagi denganku!" kata Emir tegas."Iya." Sasi kemudian menyentuh pipi Emir yang terkena siraman air keras. Bulan depan pria itu akan menjalani operasi terakhir.Tatapan Emir melembut. Dia menahan tangan Sasi agar tetap berada di pipinya. "Maaf, aku
"Jadi, Emir, kapan kamu akan mentalakku?"Pertanyaan tersebut keluar dari bibir mungil Sasi. Dia mengatakannya dengan santai, seolah-olah hal itu perkara sangat sepele tanpa tahu dampak yang akan dialami oleh si pendengar. Untuk sesaat, Emir merasa jantungnya berhenti berdetak.Pria yang sedang menonton siaran ulang pertandingan voli itu seketika mengetatkan rahang. Dicengkeramnya kuat-kuat remot yang berada digenggaman."Kamu lupa, ya? Toko buka minggu depan. Besok kita harus mulai mengundang tamu-tamu untuk pembukaan nanti," jawab Emir. Tatapannya tetap menatap layar yang memperlihatkan dua tim lokal sedang bertanding. Namun, hatinya remuk redam."Oh, iya juga." Helaan napas terdengar.Apa Sasi kecewa? Rupanya dia ingin cepat-cepat melepaskan diri dari Emir, padahal perasaan pria itu sudah berubah. Ternyata selama ini cinta Emir tidak bersambut. Menyedihkan. Mungkinkah dia sedang dihukum karena dengan sengaja menikahi Sasi hanya untuk membuatnya
Lukman : [Sasi, kamu sudah punya pacar?]Seharusnya pertanyaan itu mudah. Namun, Sasi justru kesulitan menjawab. Jari-jarinya terhenti begitu saja di atas layar. Dia mendadak sesak. Entah kenapa Sasi enggan memberi tahu statusnya saat ini.Alih-alih memberi jawaban, dia malah balik bertanya.Sasi : [Memangnya kenapa, Kak?]Lukman : [Tidak. Takutnya ada yang marah kita berbalas pesan begini.]Perempuan itu seketika menoleh ke arah pintu kamar mandi. Guyuran shower terdengar dari dalam sana. Dia merasa Emir tidak memiliki alasan untuk marah karena hal ini. Lagi pula, Sasi dan Lukman hanya berkirim pesan. Itu juga membahas pekerjaan, meskipun sedikit keluar konteks.Sasi : [Tidak, kok.]Lukman : [Syukurlah.]Pria itu mengirim emoji senyum, yang membuat Sasi turut menarik kedua sudut bibirnya.Lukman : [Untuk logonya benar tidak ada yang harus direvisi? Kalau menurut kamu ada yang kurang, katakan saja.]Sasi : [Sudah
Lukman Respati adalah kakak kelas Sasi sejak SMP. Sasi bisa naksir Lukman karena dia berbeda dari anak-anak cowok yang sering menyatakan cinta. Lukman memperlakukan Sasi sama seperti perlakuannya kepada orang lain. Tidak membeda-bedakan, tidak memprioritaskan, hanya karena Sasi cantik.Sasi terkesan pada Lukman. Dia jadi penasaran tipe perempuan seperti apa yang pria itu suka. Sampai SMA Sasi masih diam-diam memperhatikannya. Akan tetapi, sejak pindah sekolah, dia tidak pernah tahu kabar Lukman lagi.Tanpa sadar Sasi tersenyum. Dia teringat hari-hari jatuh cinta saat Lukman selalu menjadi sosok yang Sasi cari di sekolah. Hanya memperhatikannya dari jauh sudah cukup untuk Sasi. Asalkan dalam sehari dia bisa melihat pria itu."Bagaimana kabarnya sekarang? Apa dia sudah menikah?" Sasi membatin.Dia lalu memeriksa akun Lukman. Di sana pria itu membuka jasa ilustrasi untuk logo brand, sampul buku, dan lain-lain. Dari testimoninya sudah banyak yang memesan dan
Jalanan malam cukup lenggang, sehingga Ranggi menambah kecepatan berkendara. Dia ingin segera mengistirahatkan badan dan pikiran setelah masalah yang terjadi dengan Wizurai. Lain kali Ranggi akan lebih berhati-hati dalam memilih partner. Dia juga harus memastikan kejadian seperti ini tidak terulang.Pria itu mendengkus. Meskipun masalah berhasil diselesaikan lantaran Ranggi sudah memberikan kompensasi, kekesalannya tetap ada. Ini adalah kali pertama Wizurai tersandung kasus memalukan. Ilustrator yang bekerja sama dengannya memplagiat karya orang luar negeri. Selain membuat brand Wizurai tercoreng, dia juga membuat negara sendiri ikut terkena tinta hitam.Kedongkolan Ranggi belum menghilang saat seseorang tiba-tiba melintas di depan. Dia sontak membelalak. Beruntung dia berhasil menghentikan mobil sebelum menabrak. Namun, hal itu tetap membuatnya berada dalam masalah.Teman-teman orang yang hampir Ranggi tabrak lekas mengerumuni mobil."Keluar lo! Tanggung
"Emir?"Pria itu menatap tepat ke dalam mata perempuan di hadapannya. Dia sudah berusaha menahan diri. Akan tetapi, dorongan itu terus mendesak untuk dituruti.Emir menundukkan kepala. Mengikis ruang kosong di antara dirinya dan Sasi. Gadis itu tersentak. Namun, Emir tidak berhenti. Bagaimanapun juga, dia adalah pria normal. Batas yang selama ini dia bangun untuk membentengi diri sendiri perlahan roboh. Barangkali karena kesadaran jika Sasi adalah istrinya dan mereka selalu bersama.Saat di Amerika, Emir bisa menahan godaan lantaran sejak remaja orang tuanya sudah sering mengajari soal hal-hal yang dilarang agama, beserta dampak buruk dari perbuatan tersebut. Emir bisa tahan banting meskipun banyak perempuan cantik dan seksi, juga kehidupan bebas di sana. Tambah lagi, sang papa diam-diam menyuruh orang mengawasi setiap gerak-gerik Emir. Makin tidak beranilah dia.Akan tetapi, saat ini penghalang yang mengikat naluri biologisnya sudah semakin longgar. Seka