Selama ini Sasi hanya tahu jika Mentari sudah bercerai dengan ayahnya saat gadis itu masih sangat kecil. Hubungan keduanya tidak direstui, lalu memutuskan kawin lari. Namun, pada akhirnya mereka menyerah dengan keadaan. Sang ayah sudah menikah lagi dan tinggal di luar negeri.
Sasi memercayai hal itu. Dia tidak bertanya lagi soal ayahnya seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, Reta yang mendesak Mentari agar memperlihatkan bukti perceraian mereka membuat Sasi ingin mengetahuinya juga."Bunda?" Anak itu menunggu Mentari memberi jawaban.Mentari menghela napas sambil memejam sesaat. "Akta perceraiannya tidak tahu ketinggalan di mana. Keseringan pindah membuat Bunda sering melupakan barang," jawabnya."Artinya Tante janda cerai, kan? Bilang begitu saja susah banget," ucap Reta.Tidak bisa dipungkiri jika Mentari kurang menyukai kemenakan Ranggi itu. Mentari mengatatkan rahang, menahan kesal. Sementara Ranggi hanya mengatupakan kedua tangannya dengan wajah memelas."Tante mungkin berpikir aku cerewet. Tapi, aku melakukan ini demi Om Ranggi. Orang tua dan kakak perempuan yang harus mengurusnya sudah meninggal. Jadi aku yang turun tangan," sambung gadis itu.Ranggi langsung menyahut. "Mengurus? Apa tidak kebalik?"Reta sontak pura-pura mengorek kuping menggunakan jari kelingkingnya.Akhirnya mereka bisa pergi makan malam setelah sempat terjadi ketegangan. Mentari sekarang bisa menyimpulkan jika Reta sebenarnya baik, hanya saja memiliki mulut yang terkadang tidak bisa dijaga.Reta menyarankan Sasi untuk melanjutkan sekolah di SMA-nya. Dia adalah murid populer, sehingga tidak ada yang akan berani mengganggu Sasi. Reta berjanji Sasi akan berada di bawah perlindungannya.Mentari cukup lega mendengar hal itu. Sama seperti Mentari, sebagian siswi di sekolah Sasi memusuhinya dengan alasan beragam yang sama sekali bukan kesalahan Sasi.Makan malam itu seharusnya berjalan lancar. Reta dan Sasi sibuk membicarakan soal sekolah, sementara Ranggi dan Mentari membahas pernikahan mereka. Namun, keempat orang itu seketika merapatkan mulut saat seseorang datang ke meja mereka."Ada perlu apa, Mas?" tanya Ranggi.Pria itu tidak menyahut. Tatapannya justru terkunci kepada Mentari yang juga melebarkan mata."Tari," panggilnya dingin. "Akhirnya kita bisa bertemu.""Kalian saling mengenal?" Ranggi bertanya lagi seraya menoleh calon istrinya. Keterkejutan tampak jelas di wajah perempuan itu."Om siapa? Mantan suami Tante Tari?" Reta menebak asal."Saya Bentala, kakak sepupunya," jawab pria itu."Oalah, sepupu." Reta menghela napas.Setelah mengatasi keterkejutannya, Mentari bangkit dari kursi. "Kita bicara di tempat lain saja, Kak," ucapnya."Kenapa harus di tempat lain? Apa kalian akan membicarakan rahasia yang tidak boleh kita dengar?" Reta menyela sebelum keduanya benar-benar pergi.Di bawah meja Ranggi menendang pelan kaki keponakannya. Reta itu memang terlalu blakblakan tanpa peduli situasi dan kondisi. Ranggi tidak bisa mengontrol apa saja yang akan keluar dari mulut tajam anak itu."Tidak apa-apa, Mbak. Silakan saja," ucap Ranggi.Mentari tersenyum. "Terima kasih," gumamnya.Mentari dan Bentala lantas pergi ke luar restoran."Benar itu sepupu Tante Tari?" Reta bertanya kepada Sasi.Sasi mengangguk. "Kayaknya iya.""Kayaknya?" Reta mengernyit dalam."Bunda pernah cerita kalau Bunda punya kakak sepupu. Tapi, aku belum pernah ketemu sampai barusan.""Kenapa, tuh?" Reta semakin penasaran."Konflik keluarga," jawab Sasi.***"Kenapa kamu pergi secara tiba-tiba, Tari?"Bentala akhirnya menghancurkan hening yang sempat memerangkap keduanya."Aku sudah memberikan alasan di surat yang aku tinggalkan," jawab Mentari. Pandangannya lurus menatap jalanan di depan.Dalam suratnya, Mentari menulis jika dia tidak ingin menjadi beban untuk Nawang dan Bentala. Harsya, ibunya Mentari adalah adik angkat Nawang. Harsya meninggal karena jadi korban perampokan saat Mentari masih kecil. Setelah itu Mentari tinggal bersama Nawang."Kepergian kamu justru menambah beban pikiran kami. Ibu sampai jatuh sakit.""Bagaimana kabar Tante Nawang sekarang?""Beliau masih berharap kamu pulang."Mentari lega. Setidaknya Nawang masih ada. Sebenarnya Mentari juga tidak ingin pergi. Namun, keadaan membuat dia harus meninggalkan keluarganya."Temuilah Ibu," pinta Ben sedikit memelas. "Sudah enam belas tahun Ibu merindukan kamu."Jauh di lubuk hatinya, dia juga merindukan Nawang. Namun, apa tidak masalah jika Mentari menemui orang-orang di masa lalunya? Bersinggungan lagi dengan mereka berisiko membuka sesuatu yang selama ini Mentari sembunyikan."Tari?"Mentari menghela napas berat. "Kalian masih tinggal di rumah yang dulu?""Tentu saja. Ibu tidak mau pindah karena takut kamu kebingungan saat memutuskan pulang."Mentari menahan air matanya agar tidak menetes. Dia selalu tahu jika Nawang menyayanginya seperti anak sendiri. Maka dari itu Mentari memilih pergi karena tidak ingin menempatkan beliau dalam posisi yang sulit."Aku akan menyempatkan diri menemui Tante Nawang," tutur Mentari."Aku boleh tahu siapa mereka?"Maksud Bentala pasti Ranggi dan anak-anak."Calon suamiku dan keponakannya.""Jadi kamu mau menikah? Ibu pasti senang jika menyaksikan pernikahan kamu nanti."Mentari mendongak menatap lawan bicaranya. Sorot mata pria itu selalu tidak bisa diartikan.Mentari lantas mengangguk. Dia kembali ke meja Ranggi setelah menyelesaikan urusannya dengan Bentala. Pria itu ternyata pemilik restoran ini."Maaf membuat kalian menunggu," ucap Mentari. Ranggi dan Sasi belum makan, sedangkan Reta sudah menghabiskan setengah hidangannya."Tidak ada masalah, kan, Mbak?" tanya Ranggi.Pria itu tidak sedang menuntut Mentari kembali mengatakan apa yang Mentari bicarakan dengan Bentala. Dia hanya ingin memastikan jika semuanya baik-baik saja."Tidak. Kak Ben hanya meminta saya menemui Tante Nawang, ibunya.""Bunda akan pergi?""Iya."Mungkin tidak apa-apa jika Mentari pergi ke sana sendirian. Bagaimanapun juga Mentari tidak ingin mereka tahu soal Sasi. Namun, Mentari lupa bahwa hidup tidak selalu sesuai dengan rencana manusia.Pertemuannya dengan Nawang berjalan haru. Mentari masih bisa merasakan kasih sayang dari perempuan paruh baya tersebut. Mentari menghabiskan waktu bernostalgia bersama tantenya itu. Dia tidak tahu jika Sasi di luar sana bertemu juga dengan Bentala."Kamu putri Tari?" tanya Bentala dengan mata membelalak.Sasi sengaja datang ke restoran itu lagi. "Iya, Om."Wajah gadis itu memang mirip Mentari."Jadi, pernikahan yang dimaksud Tari kemarin itu pernikahan keduanya?"Sasi mengangguk ragu. "Om ... tidak tahu?""Tidak.""Tapi Om pasti tahu pacar Bunda dulu. Bunda bilang, Bunda sempat dilarang pacaran."Bentala menggeleng. "Setahu Om, Tari tidak punya pacar. Baik Om, atau Ibu tidak pernah melarang Tari pacaran."Sasi mengangguk lagi."Berapa umur kamu?" tanya Bentala."Lima belas, Om."Bentala lantas menghitung mundur usia gadis di hadapannya dengan kepergian Mentari dulu. Dia langsung mendapat kesimpulan. Mentari sedang hamil saat melarikan diri.Sekarang semuanya sudah jelas. Mentari tidak mungkin meninggalkan rumah hanya karena tidak ingin menjadi beban, apalagi Mentari langsung menghilang seperti ditelan bumi."Laki-laki mana yang berani menghamili Tari?" Bentala membatin. Dia spontan mengepalkan tangan.Bentala merasa gagal menjadi seorang kakak karena membiarkan adiknya berjuang sendirian selama bertahun-tahun.Bentala lalu menatap Sasi. Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata saat tahu jika gadis itu adalah putrinya Tari. "Kamu sengaja menemui Om karena ingin tahu masa lalu ibumu?" tanyanya."Iya, Om. Kalau aku tanya langsung ke Bunda, Bunda pasti sedih. Aku jadi tidak tega."Selama ini Sasi pura-pura percaya dengan semua ucapan ibunya karena tahu ada luka yang akan kembali basah jika Mentari mengatakan yang sebenarnya. Sasi tidak menginginkan hal itu, meskipun dia sangat penasaran ketika menemukan sesuatu yang janggal.Soal akta perceraian, misalnya. Sasi benar-benar baru tahu tentang itu. Dia lantas mencarinya di internet untuk mendapatkan informasi lebih banyak. Akta perceraian didapat jika kedua pasangan bercerai secara hukum, sedangkan Mentari pernah mengatakan jika dia dan ayah Sasi hanya menikah siri.Mentari juga mengaku tidak kembali kepada keluarganya karena keluarganya marah lantaran Mentari memilih kawin lari. Namun, Bentala justru tidak tahu menahu soal itu."Kalau masa lalu sebelum ibu kamu pergi, Om bisa ceritakan. Tapi, setelah itu Om benar-benar tidak tahu apa yang terjadi kepada ibumu.""Termasuk ayahku?""Termasuk ayahmu."Setelah mendengar kisah hidup Mentari dari Bentala, Sasi mulai ragu jika Ardi adalah ayahnya. Entahlah siapa yang benar. Namun, jika Ardi adalah tokoh fiksi karangan Mentari, lantas siapa ayah Sasi?"Tari, kamu menganggap kami ini apa? Kenapa kamu tidak mengatakan apa pun?"Nawang menangis tersedu-sedu setelah mengetahui fakta jika Mentari pergi dari rumahnya karena ingin menyembunyikan kehamilan. Nawang sedikit kecewa karena Mentari memilih minggat alih-alih terbuka kepadanya."Apa yang harus Tante katakan kepada ibumu?"Sang adik angkat, Harsya, sudah menitipkan Mentari kepadanya. Nawang menganggap Mentari seperti putrinya sendiri. Mengetahui Mentari menjalani kehidupan yang sulit, Nawang tidak memiliki keberanian jika dia bertemu dengan Harsya di akhirat nanti.Sementara itu Mentari tetap bergeming. Dia tidak menyangka rahasia ini terbongkar juga. Pagi-pagi Bentala dan Nawang sudah datang berkunjung hanya untuk mengonfirmasi hal ini. Mentari belum sempat bertanya dari mana mereka tahu soal itu dan alamat rumahnya karena Nawang lebih dulu menyerangnya dengan pertanyaan."Tari, laki-laki bejat mana yang sudah menyusahkan hidupmu?" N
"Kak Ben ... tolong ... jangan."Bentala seketika membuka kelopak matanya. Dia tidak sedang bermimpi, melainkan mengingat sesuatu yang selalu dia yakini sebagai mimpi. Bunga tidur yang anehnya tidak bisa Bentala lupakan meskipun kilasan itu samar dan hanya sebagian."Tapi, suara Tari begitu nyata," ucapnya.Bentala segera menggeleng mengenyahkan keyakinan itu. Bermimpi menyentuh Mentari adalah hal yang sangat memalukan. Meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah, tetapi tetap saja. Mentari sudah seperti adiknya sendiri.Ya, adik. Kenyataan yang membuat Bentala bimbang bertahun silam.Rasa sayangnya kepada Mentari bukan rasa sayang dari kakak kepada adiknya. Bentala menyadari hal itu. Namun, hubungan mereka tidak bisa berkembang, terlebih Bentala sudah dijodohkan dengan anak perempuan sahabat ayahnya. Jika Bentala menolak, maka ikatan persahabatan dua keluarga akan dipertaruhkan."Mas Tala!"Pria itu menoleh. Dia lalu
"Sasi putriku, kan, Tari? Kami memiliki banyak kesamaan," ucap Bentala. "Kamu tidak perlu menyembunyikannya. Sasi berhak tahu siapa ayahnya, terlebih aku sudah ada di sini.""Apa Kak Ben akan memberi tahu Sasi kalau dia lahir di luar pernikahan?" tanya Mentari. Dadanya terasa sesak saat mengatakan hal itu."Bukankah itu sama saja? Kamu membuat tokoh fiksi menjadi ayahnya Sasi. Kamu membuatnya dalam kebingungan karena Sasi sudah mengendus kebohongan kamu."Perempuan itu membelalak. Kasihan sekali putrinya. Mentari sengaja membuat kebohongan seperti itu demi menyelamatkan nama baiknya dan Sasi. Berpura-pura menjadi janda saja dia sering dipandang rendah, apalagi jika mereka tahu Mentari memiliki anak tanpa menikah."Tari?"Mentari menghela napas panjang. Dia sudah berusaha agar fakta ini tidak terungkap. Namun, Sasi dan Bentala ditakdirkan untuk mengetahui identitas masing-masing."Iya. Sasi darah daging Kak Ben," jawab Mentari pas
"Halo, Mbak Tari." Ranggi menyapa hangat.Pria itu sudah lebih dulu memberi tahu Mentari perihal kedatangannya ke rumah. Namun, tetap saja Mentari sedikit terkejut saat mendapati Ranggi di hadapannya. Mungkin karena sejak kemarin dia memikirkan Ranggi."Di luar saja, ya, Ranggi. Sasi sedang tidak ada.""Oh, dia belum pulang?"Mentari menggeleng. Tadi Sasi izin ingin menemui Bentala di restoran.Mentari lantas kembali ke dalam untuk membawakan tamunya minuman dan camilan. Keduanya duduk di anak tangga. Tidak bersisian. Ranggi berada tiga langkah di bawah dari posisi Mentari."Hal apa yang ingin kamu bicarakan itu?" tanya Mentari sambil menggenggam cangkir berisi teh rosemary."Bukannya Mbak Tari yang memiliki sesuatu untuk dikatakan kepadaku?" Ranggi justru balik bertanya."Saya?" Mentari tampak heran. Jelas karena dalam pesannya Ranggi mengatakan jika dia ingin membicarakan sesuatu."Iya, Mbak. Soal ren
"Tante menyayangkan keputusan kamu, Tari," ujar Nawang.Jangan tanya seperti apa reaksinya saat Nawang tahu yang membuat Mentari hamil adalah putranya sendiri. Nawang sangat marah, bahkan tidak ragu menampar Bentala. Yang bisa meredakan emosinya saat itu adalah Sasi."Kenapa kamu tidak membiarkan Ben bertanggung jawab?"Mentari meraih kedua tangan Nawang. Dia lalu tersenyum. "Kak Ben bertanggung jawab saja kepada Sasi. Tari sudah memilih Ranggi, Tante."Nawang menghela napas. Meskipun Nawang sangat ingin Bentala yang menikahi Mentari agar bisa menjaga dan membahagiakannya. Akan tetapi, Nawang tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya berharap pria pilihan Mentari memang tepat untuknya.Mentari lalu menoleh Sasi yang masih berwajah masam."Bulanku, kamu menyaksikan sendiri sebesar apa cinta Ranggi pada Bunda, kan?"Sasi tidak menjawab. Anak itu justru membuang muka."Restui Bunda, ya, Sayang."Mentari yang sudah memakai gaun pengantin memeluk putrinya dan mendaratkan kecupan singkat di pipi
"Sudah boleh mengatakan hal selain nama kamu, kan?" tanya Mentari setelah hari berganti menurut perhitungan masehi.Dengan mata terpejam Ranggi menjawab, "Mbak sudah mengucapkan hal lain saat bertanya."Mentari tertawa pelan. "Artinya boleh, kan?"Pria itu membuka kelopak matanya, lalu menggeleng. "Belum, Mbak. Waktu subuh saja masih sangat lama."Ya ampun! Mentari menghela napas lelah. "Saya sudah tidak memiliki tenaga, Ranggi."Ranggi mengangguk. Tangannya terulur mengusap kening Mentari yang berkeringat. "Istirahat sebentar. Nanti kita lanjut lagi," ucap pria itu, lalu menarik istrinya ke dalam dekapan.Mentari sudah lelah. Namun, dia tidak melontarkan protes. Dia membiarkan Ranggi memeluknya erat. Mentari bisa merasakan cinta dan kasih sayang yang besar dari sana. Sebuah rasa yang tidak pernah Mentari dapatkan dari pria yang sudah ditemuinya selama ini.Ranggi bukan pria hidung belang yang hanya tergoda karena kemole
"Sunshine, aku minta maaf," ucap Ranggi benar-benar merasa bersalah.Mentari mendengkus. Dia meletakkan secara kasar plastik segitiga berisi krim warna hijau ke meja. "Kalau kamu mau pergi, pergi saja! Tidak usah pakai cium-cium segala! Dekorasinya jadi hancur, kan?" Perempuan itu menatap sang suami dengan sorot mata marah.Ranggi sontak terperangah. Dia tidak menyangka Mentari akan semarah itu. "Kamu tinggal memperbaikinya, Sunshine."Jawaban Ranggi justru membuat Mentari semakin kesal. Bagaimana tidak? Perempuan itu sedang membuat daun di bagian atas kue. Akan tetapi, karena Ranggi menyenggolnya, krim warna hijau itu mengenai bagian pinggir kue yang sudah dilapisi krim putih dan ada hiasan krim lain berwarna pink."Memperbaiki tidak semudah merusaknya, Ranggi!" kata Mentari ketus. "Sasi bahkan tidak pernah mengacau seperti ini." Perempuan itu bergumam. Namun, Ranggi masih bisa mendengarnya.Ranggi berdecak. Kenapa Mentari harus membandi
"Separuh jiwaku rasanya ikut pergi."Mentari duduk termenung di tempat tidur yang biasa dipakai Sasi di rumah ini. Perempuan itu mengedarkan pandangan. Langit-langit kamar penuh oleh stiker glow in the dark. Di nakas, ada lampu tidur berbentuk bulan purnama pemberian Mentari tahun lalu. Sasi tidak membawanya entah lupa atau sengaja."Kamu masih bisa menemui Sasi kapan saja, Sunshine." Ranggi mencoba menghibur.Mentari melirik sekilas, lalu menghela napas. Dia tidak mengira masalah akan jadi serunyam ini. Apa memilih Ranggi adalah sebuah kesalahan? Mentari hanya ingin mengikuti kata hati."Aku harus membujuk Sasi agar dia kembali," ucap Mentari seraya menghapus air matanya."Sebaiknya besok saja. Beri Sasi waktu."Mentari mendengkus kasar. "Tapi aku tidak bisa menunggu sampai besok, Ranggi. Aku ingin anakku kembali."Ranggi segera duduk di samping istrinya. Dia kemudian menggenggam sebelah tangan perempuan itu. "Sasi buka
"Reta?"Mentari terperanjat ketika mendapati gadis itu mengunjungi kediamannya. Reta memang pernah ke sini saat mereka berkemah di halaman. Akan tetapi, waktu itu dia bersama Ranggi, tidak seorang diri seperti hari ini."Silakan duduk, Reta," ucap Mentari aasedikit canggung. "Mau dibuatkan minuman apa?"Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak usah. Aku tidak akan lama. Ada sesuatu yang ingin aku katakan."Mentari lantas mengambil tempat di seberang Reta. Dia bertanya-tanya hal apa yang membawa Reta sampai menemuinya. "Ada apa?""Ini soal Om Ranggi.""Ranggi?""Iya. Sebenarnya aku tidak punya hak membicarakan hal ini. Tapi, karena aku menduga aku menjadi penyebabnya, mau tidak mau aku harus terlibat.""Apa sesuatu terjadi lagi kepada Ranggi?" Mentari sontak panik. Dia sedikit trauma jika ada orang lain yang ingin memberikan kabar soal pria itu kepadanya. Dulu Xavier saat Ranggi kecelakaan. Belum lama ini Sasi memberi tahu jika mantan suaminya tersebut dibegal."Om Ranggi masih mencintai And
Sasi pikir Lukman akan memiliki pandangan buruk kepadanya karena menyembunyikan pernikahan. Namun, pria itu justru khawatir. Sasi benar-benar terkejut. Pesan Lukman belum Sasi balas. Selain karena tidak tahu harus menjawab apa, Sasi juga harus segera membersihkan diri lantaran Emir sudah keluar. Keterlambatannya itu ternyata semakin membuat Lukman cemas hingga dia kembali mengirim pesan. Lukman : [Sasi, aku harap kamu baik-baik saja.] Pria itu mungkin tidak akan tenang sebelum Sasi menjawabnya. Sasi : [Aku baik-baik saja, Kak.] Lukman : [Benarkah?] Sepertinya Lukman benar-benar peduli kepada Sasi. Perempuan itu refleks terenyum. Sasi : [Iya.] "Ada apa, Babe?" Ah! Sasi lupa jika dia sedang berada di dalam mobil bersama Emir. Sasi lantas menunjukkan foto Rai yang sedang mengikuti acara outbond. Sasi sengaja meminta foto Rai kepada Mentari karena merindukan adiknya itu. "Sepertinya aku kenal tempat itu." "Iya. Di Nuraga Park. Sekolah Rai sedang mengadakan study tour ke sana."
"Papi, Mami kenapa tidak pulang-pulang?" Danta bertanya sambil berurai air mata. Dia pasti sangat merindukan Vanya.Ranggi segera merangkul tubuh kecil anak itu. "Urusan mami kamu belum selesai. Sabar, ya? Kan, ada Papi, ada Kak Reta juga.""Mau Mami." Danta menggeleing.Ranggi belum bisa menceritakan keadaan Vanya. Danta masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi."Kalau sekarang kita main ke rumah Kak Rai, gimana? Mau, kan?"Danta berpikir sejenak. Dihapusnya air mata menggunakan punggung tangan, lalu mengangguk pelan. "Mau," jawabnya.Ranggi tersenyum lega. Dia lantas membawa anak itu menemui Rai. Kesedihan Danta perlahan berkurang saat dia bekerja sama merakit lego bersama kakaknya."Mbak, apa malam ini Rai boleh menginap di rumahku? Mungkin Danta tidak akan terlalu kepikiran Vanya kalau ada anak seumurannya," kata Ranggi kepada Mentari."Aku tidak keberatan kalau anaknya mau. Tapi, Rai susah tidur di tempat asin
"Hanya karena aku menerima keadaanku, itu tidak berarti aku akan menceraikanmu, Sasi. Aku tetap tidak akan membiarkanmu bersama lelaki lain yang wajahnya sempurna, sedangkan aku seperti ini."Perkataan Emir menampar Sasi dengan telak. Seharusnya dia yang memiliki wajah rusak. Seharusnya dia yang tidak percaya diri hingga tidak ingin bertemu orang lain. Seharusnya dia juga yang saat ini sibuk perawatan dengan biaya mahal.Bagaimana mungkin Sasi sempat berpikir akan terbebas dari pernikahan ini saat ucapan terima kasih dan kata maaf saja tidak akan cukup untuk membayar tindakan Emir?Sasi akan menjadi orang yang tidak tahu diuntung."Aku mengerti," sahutnya."Jangan pernah membahas perceraian lagi denganku!" kata Emir tegas."Iya." Sasi kemudian menyentuh pipi Emir yang terkena siraman air keras. Bulan depan pria itu akan menjalani operasi terakhir.Tatapan Emir melembut. Dia menahan tangan Sasi agar tetap berada di pipinya. "Maaf, aku
"Jadi, Emir, kapan kamu akan mentalakku?"Pertanyaan tersebut keluar dari bibir mungil Sasi. Dia mengatakannya dengan santai, seolah-olah hal itu perkara sangat sepele tanpa tahu dampak yang akan dialami oleh si pendengar. Untuk sesaat, Emir merasa jantungnya berhenti berdetak.Pria yang sedang menonton siaran ulang pertandingan voli itu seketika mengetatkan rahang. Dicengkeramnya kuat-kuat remot yang berada digenggaman."Kamu lupa, ya? Toko buka minggu depan. Besok kita harus mulai mengundang tamu-tamu untuk pembukaan nanti," jawab Emir. Tatapannya tetap menatap layar yang memperlihatkan dua tim lokal sedang bertanding. Namun, hatinya remuk redam."Oh, iya juga." Helaan napas terdengar.Apa Sasi kecewa? Rupanya dia ingin cepat-cepat melepaskan diri dari Emir, padahal perasaan pria itu sudah berubah. Ternyata selama ini cinta Emir tidak bersambut. Menyedihkan. Mungkinkah dia sedang dihukum karena dengan sengaja menikahi Sasi hanya untuk membuatnya
Lukman : [Sasi, kamu sudah punya pacar?]Seharusnya pertanyaan itu mudah. Namun, Sasi justru kesulitan menjawab. Jari-jarinya terhenti begitu saja di atas layar. Dia mendadak sesak. Entah kenapa Sasi enggan memberi tahu statusnya saat ini.Alih-alih memberi jawaban, dia malah balik bertanya.Sasi : [Memangnya kenapa, Kak?]Lukman : [Tidak. Takutnya ada yang marah kita berbalas pesan begini.]Perempuan itu seketika menoleh ke arah pintu kamar mandi. Guyuran shower terdengar dari dalam sana. Dia merasa Emir tidak memiliki alasan untuk marah karena hal ini. Lagi pula, Sasi dan Lukman hanya berkirim pesan. Itu juga membahas pekerjaan, meskipun sedikit keluar konteks.Sasi : [Tidak, kok.]Lukman : [Syukurlah.]Pria itu mengirim emoji senyum, yang membuat Sasi turut menarik kedua sudut bibirnya.Lukman : [Untuk logonya benar tidak ada yang harus direvisi? Kalau menurut kamu ada yang kurang, katakan saja.]Sasi : [Sudah
Lukman Respati adalah kakak kelas Sasi sejak SMP. Sasi bisa naksir Lukman karena dia berbeda dari anak-anak cowok yang sering menyatakan cinta. Lukman memperlakukan Sasi sama seperti perlakuannya kepada orang lain. Tidak membeda-bedakan, tidak memprioritaskan, hanya karena Sasi cantik.Sasi terkesan pada Lukman. Dia jadi penasaran tipe perempuan seperti apa yang pria itu suka. Sampai SMA Sasi masih diam-diam memperhatikannya. Akan tetapi, sejak pindah sekolah, dia tidak pernah tahu kabar Lukman lagi.Tanpa sadar Sasi tersenyum. Dia teringat hari-hari jatuh cinta saat Lukman selalu menjadi sosok yang Sasi cari di sekolah. Hanya memperhatikannya dari jauh sudah cukup untuk Sasi. Asalkan dalam sehari dia bisa melihat pria itu."Bagaimana kabarnya sekarang? Apa dia sudah menikah?" Sasi membatin.Dia lalu memeriksa akun Lukman. Di sana pria itu membuka jasa ilustrasi untuk logo brand, sampul buku, dan lain-lain. Dari testimoninya sudah banyak yang memesan dan
Jalanan malam cukup lenggang, sehingga Ranggi menambah kecepatan berkendara. Dia ingin segera mengistirahatkan badan dan pikiran setelah masalah yang terjadi dengan Wizurai. Lain kali Ranggi akan lebih berhati-hati dalam memilih partner. Dia juga harus memastikan kejadian seperti ini tidak terulang.Pria itu mendengkus. Meskipun masalah berhasil diselesaikan lantaran Ranggi sudah memberikan kompensasi, kekesalannya tetap ada. Ini adalah kali pertama Wizurai tersandung kasus memalukan. Ilustrator yang bekerja sama dengannya memplagiat karya orang luar negeri. Selain membuat brand Wizurai tercoreng, dia juga membuat negara sendiri ikut terkena tinta hitam.Kedongkolan Ranggi belum menghilang saat seseorang tiba-tiba melintas di depan. Dia sontak membelalak. Beruntung dia berhasil menghentikan mobil sebelum menabrak. Namun, hal itu tetap membuatnya berada dalam masalah.Teman-teman orang yang hampir Ranggi tabrak lekas mengerumuni mobil."Keluar lo! Tanggung
"Emir?"Pria itu menatap tepat ke dalam mata perempuan di hadapannya. Dia sudah berusaha menahan diri. Akan tetapi, dorongan itu terus mendesak untuk dituruti.Emir menundukkan kepala. Mengikis ruang kosong di antara dirinya dan Sasi. Gadis itu tersentak. Namun, Emir tidak berhenti. Bagaimanapun juga, dia adalah pria normal. Batas yang selama ini dia bangun untuk membentengi diri sendiri perlahan roboh. Barangkali karena kesadaran jika Sasi adalah istrinya dan mereka selalu bersama.Saat di Amerika, Emir bisa menahan godaan lantaran sejak remaja orang tuanya sudah sering mengajari soal hal-hal yang dilarang agama, beserta dampak buruk dari perbuatan tersebut. Emir bisa tahan banting meskipun banyak perempuan cantik dan seksi, juga kehidupan bebas di sana. Tambah lagi, sang papa diam-diam menyuruh orang mengawasi setiap gerak-gerik Emir. Makin tidak beranilah dia.Akan tetapi, saat ini penghalang yang mengikat naluri biologisnya sudah semakin longgar. Seka