"Sudah boleh mengatakan hal selain nama kamu, kan?" tanya Mentari setelah hari berganti menurut perhitungan masehi.Dengan mata terpejam Ranggi menjawab, "Mbak sudah mengucapkan hal lain saat bertanya."Mentari tertawa pelan. "Artinya boleh, kan?"Pria itu membuka kelopak matanya, lalu menggeleng. "Belum, Mbak. Waktu subuh saja masih sangat lama."Ya ampun! Mentari menghela napas lelah. "Saya sudah tidak memiliki tenaga, Ranggi."Ranggi mengangguk. Tangannya terulur mengusap kening Mentari yang berkeringat. "Istirahat sebentar. Nanti kita lanjut lagi," ucap pria itu, lalu menarik istrinya ke dalam dekapan.Mentari sudah lelah. Namun, dia tidak melontarkan protes. Dia membiarkan Ranggi memeluknya erat. Mentari bisa merasakan cinta dan kasih sayang yang besar dari sana. Sebuah rasa yang tidak pernah Mentari dapatkan dari pria yang sudah ditemuinya selama ini.Ranggi bukan pria hidung belang yang hanya tergoda karena kemole
"Sunshine, aku minta maaf," ucap Ranggi benar-benar merasa bersalah.Mentari mendengkus. Dia meletakkan secara kasar plastik segitiga berisi krim warna hijau ke meja. "Kalau kamu mau pergi, pergi saja! Tidak usah pakai cium-cium segala! Dekorasinya jadi hancur, kan?" Perempuan itu menatap sang suami dengan sorot mata marah.Ranggi sontak terperangah. Dia tidak menyangka Mentari akan semarah itu. "Kamu tinggal memperbaikinya, Sunshine."Jawaban Ranggi justru membuat Mentari semakin kesal. Bagaimana tidak? Perempuan itu sedang membuat daun di bagian atas kue. Akan tetapi, karena Ranggi menyenggolnya, krim warna hijau itu mengenai bagian pinggir kue yang sudah dilapisi krim putih dan ada hiasan krim lain berwarna pink."Memperbaiki tidak semudah merusaknya, Ranggi!" kata Mentari ketus. "Sasi bahkan tidak pernah mengacau seperti ini." Perempuan itu bergumam. Namun, Ranggi masih bisa mendengarnya.Ranggi berdecak. Kenapa Mentari harus membandi
"Separuh jiwaku rasanya ikut pergi."Mentari duduk termenung di tempat tidur yang biasa dipakai Sasi di rumah ini. Perempuan itu mengedarkan pandangan. Langit-langit kamar penuh oleh stiker glow in the dark. Di nakas, ada lampu tidur berbentuk bulan purnama pemberian Mentari tahun lalu. Sasi tidak membawanya entah lupa atau sengaja."Kamu masih bisa menemui Sasi kapan saja, Sunshine." Ranggi mencoba menghibur.Mentari melirik sekilas, lalu menghela napas. Dia tidak mengira masalah akan jadi serunyam ini. Apa memilih Ranggi adalah sebuah kesalahan? Mentari hanya ingin mengikuti kata hati."Aku harus membujuk Sasi agar dia kembali," ucap Mentari seraya menghapus air matanya."Sebaiknya besok saja. Beri Sasi waktu."Mentari mendengkus kasar. "Tapi aku tidak bisa menunggu sampai besok, Ranggi. Aku ingin anakku kembali."Ranggi segera duduk di samping istrinya. Dia kemudian menggenggam sebelah tangan perempuan itu. "Sasi buka
"Aku terlambat tahu gara-gara kamu, Ranggi! Ibu macam apa aku ini? Anaknya sedang kesakitan, aku malah ...."Mentari tidak melanjutkan ucapannya. Dia benar-benar kesal kepada Ranggi karena semalam melarangnya menerima panggilan. Sasi jatuh dari motor saat sedang belajar mengendarai kendaraan roda dua tersebut. Dia mengalami patah tulang tangan sebelah kanan, yang membuatnya harus memakai gips.Ranggi membasahi bibir bawahnya. Dia mengaku salah. Namun, alih-alih menyesal karena tidak memeriksa siapa yang menelepon, Ranggi lebih khawatir pada Mentari yang jadi menyalahkan diri sendiri."Iya, aku minta maaf, Sunshine," ucap Ranggi tulus seraya merangkul Mentari.Mentari mendengkus. Kenapa semalam dia harus menerima ajakan Ranggi? Tidak akan ada drama Ranggi yang mencegahnya menerima telepon dari Bentala. Mentari bisa datang tepat waktu, dan Sasi tidak mengambek kepadanya.Namun, Mentari juga tetap bersalah karena dia yang sudah terpancing tidak terlalu memedulikan panggilan itu. Mentari
"Bapak menjadikan aku jaminan utang-utangnya ke rentenir," ungkap Vanya sambil sesenggukkan. "Aku harus gimana, Ranggi? Aku tidak mau jadi istri keempat kakek-kakek yang sudah bau tanah."Ranggi sebenarnya tidak ingin peduli. Dia sendiri sudah memiliki beban pikiran. Kenapa juga harus memusingkan masalah orang lain? Namun, nuraninya tidak mau diajak bekerja sama. "Terus aku harus gimana?" tanyanya."Tolong carikan aku tempat persembunyian yang benar-benar aman," jawab Vanya.Ranggi lantas berpikir sejenak. "Kayak ... lubang tikus?"Vanya mengentak-entakkan kakinya ke lantai. Dia merengek manja. "Ranggi ... aku serius!""Kalau bapakmu melaporkan kehilanganmu ke polisi, gimana? Nanti aku yang disalahkan."Vanya menggeleng. "Aku akan bikin surat kalau aku sengaja pergi.""Kamu bisa cari kosan, kontrakan, atau apalah yang sejenisnya."Perempuan itu manyun. "Aku, kan, menganggur, Ranggi," jawabnya berupa gumaman.Pantas saja bapaknya menjadikan Vanya jaminan utang. Tidak berguna, sih. Rang
"Sudah sarapan?"Setelah memastikan kebutuhan Sasi, Mentari lekas pergi ke rumah Ranggi. Dia harus berbicara lagi dengan pria itu yang entah kenapa tidak mau mengerti kondisinya."Belum," jawab Ranggi datar."Mau sarapan apa?""Kamu," jawabnya lagi. Sebenarnya Ranggi tidak sungguh-sungguh mengatakan hal itu. Dia asal bicara karena rasa kesalnya belum hilang.Bagaimana tidak? Ranggi dituduh sudah membuat keributan di rumah Nawang, padahal dia hanya melakukan tugasnya sebagai seorang suami. Apa salah jika Ranggi ingin memastikan tidak ada pria lain yang dekat dengan istrinya?Bukankah kemarin yang memulai juga Sasi dan Bentala? Anaknya tidak suka Ranggi ada di sana, sedangkan bapaknya lebih dulu mengibarkan bendera permusuhan. Ranggi hanya menanggapi ucapan Bentala yang berpikir jika Ranggi menjadikannya saingan."Baiklah kalau itu yang kamu inginkan," ujar Mentari. Perempuan itu beranjak mengunci pintu. "Sebentar, aku siap-siap dulu," sambungnya seraya pergi ke lantai atas.Ranggi meng
"Kamu kekasih gadis ini?" tanya pria tua itu sambil memandang Ranggi dengan tatapan sinis.Dengan sangat terpaksa Ranggi menjawab, "Iya, dan Vanya sedang hamil anak saya.""Kalau begitu, artinya kamu harus membayar utang ayah gadis ini kepada saya. Semuanya 150 juta."Ranggi sontak membelalak. Dia lantas memicing tajam pada Vanya yang masih memeluk tubuhnya."Uang itu harus ada besok. Kalau tidak, gadis ini dan orang tuanya akan saya habisi." Setelah mengatakan itu, pria tua tersebut keluar dari kafe Ranggi."Saya bukan--" Ranggi hendak mengatakan yang sesungguhnya. Dia tidak sudi membantu Vanya jika seperti ini akhirnya. Namun, Vanya segera membungkam mulut Ranggi dengan tangannya.Vanya menggeleng dengan tatapan mengiba. "Please," ucapnya tanpa suara.Dari dinding kaca Ranggi bisa melihat pak tua itu sudah benar-benar pergi. Dia lekas mendorong Vanya. "Apa ini, Van? Bukannya kamu sedang bersembunyi di rumah Reta? Kenapa malah ketemuan dengan orang yang kamu hindari?""Aku tadi ke min
"Sunshine?"Ranggi sontak melebarkan mata begitu istrinya memanggil dengan suara dingin. Orang yang menyaksikan reaksi Ranggi mungkin berpikir jika pria itu seperti sedang melihat algojo yang akan mengeksekusi mati dirinya.Ranggi menelan ludah. Mentari datang di saat yang tidak tepat. Semua ini gara-gara si kakek bau tanah yang kembali lagi ke kafe. Dia meminta pembuktian jika Ranggi dan Vanya betulan sepasang kekasih dengan menikah langsung di hadapannya.Gila, bukan? Vanya memang biang masalah!Ranggi segera berlari mendekati Mentari. Digenggamnya kedua tangan kurus perempuan itu. "Sunshine, ini tidak seperti yang kamu lihat. Aku bisa jelaskan semuanya," ucap Ranggi, "Aku cuma akting demi membantu perempuan itu," sambungnya.Ranggi lalu menjelaskan cepat kronologi kenapa dia bisa terjebak dalam situasi tidak menyenangkan seperti ini. Masa bodoh dengan Vanya. Pernikahannya dengan Mentari jauh lebih penting."Percaya padaku, Sunshine." Ranggi menciumi punggung tangan Mentari. "Aku ti
"Reta?"Mentari terperanjat ketika mendapati gadis itu mengunjungi kediamannya. Reta memang pernah ke sini saat mereka berkemah di halaman. Akan tetapi, waktu itu dia bersama Ranggi, tidak seorang diri seperti hari ini."Silakan duduk, Reta," ucap Mentari aasedikit canggung. "Mau dibuatkan minuman apa?"Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak usah. Aku tidak akan lama. Ada sesuatu yang ingin aku katakan."Mentari lantas mengambil tempat di seberang Reta. Dia bertanya-tanya hal apa yang membawa Reta sampai menemuinya. "Ada apa?""Ini soal Om Ranggi.""Ranggi?""Iya. Sebenarnya aku tidak punya hak membicarakan hal ini. Tapi, karena aku menduga aku menjadi penyebabnya, mau tidak mau aku harus terlibat.""Apa sesuatu terjadi lagi kepada Ranggi?" Mentari sontak panik. Dia sedikit trauma jika ada orang lain yang ingin memberikan kabar soal pria itu kepadanya. Dulu Xavier saat Ranggi kecelakaan. Belum lama ini Sasi memberi tahu jika mantan suaminya tersebut dibegal."Om Ranggi masih mencintai And
Sasi pikir Lukman akan memiliki pandangan buruk kepadanya karena menyembunyikan pernikahan. Namun, pria itu justru khawatir. Sasi benar-benar terkejut. Pesan Lukman belum Sasi balas. Selain karena tidak tahu harus menjawab apa, Sasi juga harus segera membersihkan diri lantaran Emir sudah keluar. Keterlambatannya itu ternyata semakin membuat Lukman cemas hingga dia kembali mengirim pesan. Lukman : [Sasi, aku harap kamu baik-baik saja.] Pria itu mungkin tidak akan tenang sebelum Sasi menjawabnya. Sasi : [Aku baik-baik saja, Kak.] Lukman : [Benarkah?] Sepertinya Lukman benar-benar peduli kepada Sasi. Perempuan itu refleks terenyum. Sasi : [Iya.] "Ada apa, Babe?" Ah! Sasi lupa jika dia sedang berada di dalam mobil bersama Emir. Sasi lantas menunjukkan foto Rai yang sedang mengikuti acara outbond. Sasi sengaja meminta foto Rai kepada Mentari karena merindukan adiknya itu. "Sepertinya aku kenal tempat itu." "Iya. Di Nuraga Park. Sekolah Rai sedang mengadakan study tour ke sana."
"Papi, Mami kenapa tidak pulang-pulang?" Danta bertanya sambil berurai air mata. Dia pasti sangat merindukan Vanya.Ranggi segera merangkul tubuh kecil anak itu. "Urusan mami kamu belum selesai. Sabar, ya? Kan, ada Papi, ada Kak Reta juga.""Mau Mami." Danta menggeleing.Ranggi belum bisa menceritakan keadaan Vanya. Danta masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi."Kalau sekarang kita main ke rumah Kak Rai, gimana? Mau, kan?"Danta berpikir sejenak. Dihapusnya air mata menggunakan punggung tangan, lalu mengangguk pelan. "Mau," jawabnya.Ranggi tersenyum lega. Dia lantas membawa anak itu menemui Rai. Kesedihan Danta perlahan berkurang saat dia bekerja sama merakit lego bersama kakaknya."Mbak, apa malam ini Rai boleh menginap di rumahku? Mungkin Danta tidak akan terlalu kepikiran Vanya kalau ada anak seumurannya," kata Ranggi kepada Mentari."Aku tidak keberatan kalau anaknya mau. Tapi, Rai susah tidur di tempat asin
"Hanya karena aku menerima keadaanku, itu tidak berarti aku akan menceraikanmu, Sasi. Aku tetap tidak akan membiarkanmu bersama lelaki lain yang wajahnya sempurna, sedangkan aku seperti ini."Perkataan Emir menampar Sasi dengan telak. Seharusnya dia yang memiliki wajah rusak. Seharusnya dia yang tidak percaya diri hingga tidak ingin bertemu orang lain. Seharusnya dia juga yang saat ini sibuk perawatan dengan biaya mahal.Bagaimana mungkin Sasi sempat berpikir akan terbebas dari pernikahan ini saat ucapan terima kasih dan kata maaf saja tidak akan cukup untuk membayar tindakan Emir?Sasi akan menjadi orang yang tidak tahu diuntung."Aku mengerti," sahutnya."Jangan pernah membahas perceraian lagi denganku!" kata Emir tegas."Iya." Sasi kemudian menyentuh pipi Emir yang terkena siraman air keras. Bulan depan pria itu akan menjalani operasi terakhir.Tatapan Emir melembut. Dia menahan tangan Sasi agar tetap berada di pipinya. "Maaf, aku
"Jadi, Emir, kapan kamu akan mentalakku?"Pertanyaan tersebut keluar dari bibir mungil Sasi. Dia mengatakannya dengan santai, seolah-olah hal itu perkara sangat sepele tanpa tahu dampak yang akan dialami oleh si pendengar. Untuk sesaat, Emir merasa jantungnya berhenti berdetak.Pria yang sedang menonton siaran ulang pertandingan voli itu seketika mengetatkan rahang. Dicengkeramnya kuat-kuat remot yang berada digenggaman."Kamu lupa, ya? Toko buka minggu depan. Besok kita harus mulai mengundang tamu-tamu untuk pembukaan nanti," jawab Emir. Tatapannya tetap menatap layar yang memperlihatkan dua tim lokal sedang bertanding. Namun, hatinya remuk redam."Oh, iya juga." Helaan napas terdengar.Apa Sasi kecewa? Rupanya dia ingin cepat-cepat melepaskan diri dari Emir, padahal perasaan pria itu sudah berubah. Ternyata selama ini cinta Emir tidak bersambut. Menyedihkan. Mungkinkah dia sedang dihukum karena dengan sengaja menikahi Sasi hanya untuk membuatnya
Lukman : [Sasi, kamu sudah punya pacar?]Seharusnya pertanyaan itu mudah. Namun, Sasi justru kesulitan menjawab. Jari-jarinya terhenti begitu saja di atas layar. Dia mendadak sesak. Entah kenapa Sasi enggan memberi tahu statusnya saat ini.Alih-alih memberi jawaban, dia malah balik bertanya.Sasi : [Memangnya kenapa, Kak?]Lukman : [Tidak. Takutnya ada yang marah kita berbalas pesan begini.]Perempuan itu seketika menoleh ke arah pintu kamar mandi. Guyuran shower terdengar dari dalam sana. Dia merasa Emir tidak memiliki alasan untuk marah karena hal ini. Lagi pula, Sasi dan Lukman hanya berkirim pesan. Itu juga membahas pekerjaan, meskipun sedikit keluar konteks.Sasi : [Tidak, kok.]Lukman : [Syukurlah.]Pria itu mengirim emoji senyum, yang membuat Sasi turut menarik kedua sudut bibirnya.Lukman : [Untuk logonya benar tidak ada yang harus direvisi? Kalau menurut kamu ada yang kurang, katakan saja.]Sasi : [Sudah
Lukman Respati adalah kakak kelas Sasi sejak SMP. Sasi bisa naksir Lukman karena dia berbeda dari anak-anak cowok yang sering menyatakan cinta. Lukman memperlakukan Sasi sama seperti perlakuannya kepada orang lain. Tidak membeda-bedakan, tidak memprioritaskan, hanya karena Sasi cantik.Sasi terkesan pada Lukman. Dia jadi penasaran tipe perempuan seperti apa yang pria itu suka. Sampai SMA Sasi masih diam-diam memperhatikannya. Akan tetapi, sejak pindah sekolah, dia tidak pernah tahu kabar Lukman lagi.Tanpa sadar Sasi tersenyum. Dia teringat hari-hari jatuh cinta saat Lukman selalu menjadi sosok yang Sasi cari di sekolah. Hanya memperhatikannya dari jauh sudah cukup untuk Sasi. Asalkan dalam sehari dia bisa melihat pria itu."Bagaimana kabarnya sekarang? Apa dia sudah menikah?" Sasi membatin.Dia lalu memeriksa akun Lukman. Di sana pria itu membuka jasa ilustrasi untuk logo brand, sampul buku, dan lain-lain. Dari testimoninya sudah banyak yang memesan dan
Jalanan malam cukup lenggang, sehingga Ranggi menambah kecepatan berkendara. Dia ingin segera mengistirahatkan badan dan pikiran setelah masalah yang terjadi dengan Wizurai. Lain kali Ranggi akan lebih berhati-hati dalam memilih partner. Dia juga harus memastikan kejadian seperti ini tidak terulang.Pria itu mendengkus. Meskipun masalah berhasil diselesaikan lantaran Ranggi sudah memberikan kompensasi, kekesalannya tetap ada. Ini adalah kali pertama Wizurai tersandung kasus memalukan. Ilustrator yang bekerja sama dengannya memplagiat karya orang luar negeri. Selain membuat brand Wizurai tercoreng, dia juga membuat negara sendiri ikut terkena tinta hitam.Kedongkolan Ranggi belum menghilang saat seseorang tiba-tiba melintas di depan. Dia sontak membelalak. Beruntung dia berhasil menghentikan mobil sebelum menabrak. Namun, hal itu tetap membuatnya berada dalam masalah.Teman-teman orang yang hampir Ranggi tabrak lekas mengerumuni mobil."Keluar lo! Tanggung
"Emir?"Pria itu menatap tepat ke dalam mata perempuan di hadapannya. Dia sudah berusaha menahan diri. Akan tetapi, dorongan itu terus mendesak untuk dituruti.Emir menundukkan kepala. Mengikis ruang kosong di antara dirinya dan Sasi. Gadis itu tersentak. Namun, Emir tidak berhenti. Bagaimanapun juga, dia adalah pria normal. Batas yang selama ini dia bangun untuk membentengi diri sendiri perlahan roboh. Barangkali karena kesadaran jika Sasi adalah istrinya dan mereka selalu bersama.Saat di Amerika, Emir bisa menahan godaan lantaran sejak remaja orang tuanya sudah sering mengajari soal hal-hal yang dilarang agama, beserta dampak buruk dari perbuatan tersebut. Emir bisa tahan banting meskipun banyak perempuan cantik dan seksi, juga kehidupan bebas di sana. Tambah lagi, sang papa diam-diam menyuruh orang mengawasi setiap gerak-gerik Emir. Makin tidak beranilah dia.Akan tetapi, saat ini penghalang yang mengikat naluri biologisnya sudah semakin longgar. Seka