Awalnya, Lena begitu bangga dan ingin terus menyombongkan Vivi. Namun, sekarang dia seperti anak kucing yang bulunya berdiri. "Tiffany!"Dia melemparkan barang di tangannya dan langsung menerjang ke arah Tiffany. "Berani sekali kamu bicara seperti itu tentang aku dan kakakku! Sean pun nggak berani berkata seperti itu!"Tiffany menghindari Lena dengan tenang, menyunggingkan senyuman mencela. "Sean adalah pria yang sangat menghargai hubungan, tentu saja dia nggak akan mengungkapkan kebenaran dengan kata-kata sepedas ini untuk menilai 'penyelamat hidupnya'. Tapi, aku bisa."Dia menghindari Lena yang seperti banteng liar dengan lincah. "Aku memang meremehkan kamu dan kakakmu. Aku memang merasa kalian patut dihina dan sama sekali nggak layak di mataku. Ada masalah dengan itu?""Kamu ...!" Lena berulang kali menerjang, tetapi tidak bisa menyentuh Tiffany sama sekali. Dia hanya bisa terengah-engah karena marah, menunjuk wajah Tiffany dan memaki, "Apa hakmu bicara seperti itu tentang aku dan k
Lena menggigit bibirnya dengan marah. Dia hendak berbicara, tetapi pandangannya tiba-tiba menangkap sosok pria di pintu yang sedang bersandar pada pilar sambil menonton dengan ekspresi santai. Seketika, dia menutup mulut rapat-rapat.Sesaat kemudian, Lena menarik napas dalam-dalam, lalu mencoba memancing Tiffany berbicara sebelum menyadari kehadiran Sean. "Jadi, kamu berharap Sean mengalami kecelakaan?""Nggak sepenuhnya salah." Tiffany tersenyum santai. "Aku berharap dia mengalami kecelakaan yang nggak terlalu ringan tapi juga nggak terlalu parah, lalu aku akan menyelamatkannya.""Setelah itu, aku pun bisa hidup seperti kakakmu, yang nggak perlu khawatir soal uang karena ada yang mengatur segalanya untukku, bahkan ada yang merawat adikku. Aku bisa bersikap arogan, semena-mena, menunjuk sambil memaki orang sesuka hati."Tiffany menatap Lena dengan senyuman dipenuhi ejekan. "Sepertinya itu bukan ide yang buruk, 'kan?"Wajah Lena langsung pucat pasi. Dia buru-buru menggigit bibir dan mem
Kata-kata selanjutnya tentu tidak keluar dari mulut Tiffany. Saat dia hendak berbicara, suara Lena yang penuh kepanikan tiba-tiba terdengar dari lantai atas. "Kak!!!"Tiffany dan Sean sama-sama mengernyit."Kamu naik dan lihatlah," kata Tiffany, meskipun sebenarnya dia sama sekali tidak tertarik untuk melihat kedua saudari munafik itu. Bagaimanapun, ini adalah rumah Sean. Kalau sesuatu benar-benar terjadi pada mereka, akan sulit untuk menjelaskannya.Sean langsung menggenggam tangannya. "Ayo."Tiffany berusaha menarik tangannya, mencoba melepaskan. "Aku nggak mau pergi. Mereka ada hubungannya denganmu, tapi nggak ada hubungannya denganku.""Tapi, kamu ini dokter." Sean menghela napas dengan pasrah, lalu menariknya ke pelukannya. Dengan lembut, dia mengusap kepala Tiffany dengan penuh kasih sayang. "Selain itu, kalau aku sendiri ...."Sean mengangkat dagunya, membuat mata mereka saling bertemu. "Kamu nggak cemburu?"Tiffany mendengus dan memutar bola matanya. "Aku nggak cemburu."Jika d
"Kebetulan, adik perempuan Mark, Valerie, punya Porsche yang sudah nggak dipakai lagi. Jadi, aku kasih saja ke mereka ...."Penjelasan Sean membuat Tiffany hampir tidak bisa menahan tawa. Jika Lena tahu bahwa rumah yang dibanggakannya sebenarnya hanya standar fasilitas karyawan, dan mobil yang dipamerkannya hanyalah mobil bekas yang sudah tidak diinginkan Valerie, apakah dia masih bisa begitu arogan?"Aku juga ingin ganti mobil," ucap Tiffany sambil mengerutkan kening.Sean tertegun sesaat, lalu segera memahami maksudnya. Dia pun merangkul bahu Tiffany. "Nanti biar Genta membawamu ke garasiku, lihat saja mobil mana yang kamu suka."Tiffany mendongak meliriknya. "Kamu juga ingin aku mengendarai mobil bekas?"Sean tertawa. "Kalau mobilku diberikan kepadamu, mana bisa disebut mobil bekas? Atau kamu bisa mulai cari mobil yang kamu inginkan. Aku akan membelikannya untukmu."Setelah mengatakan itu, Sean melirik Tiffany dengan ekspresi pasrah. "Takutnya, meskipun aku beli kasih kamu, kamu ngg
"Arlo!" Begitu keluar dari kamar tamu, Tiffany langsung mendorong pintu kamar anak tempat Arlo dan Arlene berada.Saat ini, Arlo dan Arlene sedang berbaring di sisi kiri dan kanan Kendra, mendengarkan cerita yang sedang diceritakan.Melihat Tiffany masuk, Arlo langsung merasa bersalah dan melirik ke arah wanita yang berdiri di ambang pintu dengan perasaan bersalah. "Ma ... Mama, kenapa tiba-tiba naik?"Melihat ekspresi bersalahnya, Tiffany langsung tahu bahwa ini pasti ulahnya. Bocah ini memang cerdas dan dewasa seperti ayahnya, tetapi dia tetap mewarisi beberapa sifat dari Tiffany, yaitu tidak bisa berbohong.Tiffany menarik napas dalam-dalam, menahan amarahnya. Dia menatap Arlo. "Sebelum aku benar-benar marah, lebih baik kamu segera mengaku. Apa yang kamu masukkan ke air yang kamu berikan kepada Bibi Rika?"Kendra yang sedang menikmati momen hangat bersama kedua anak itu pun mengerutkan kening. Dia tidak menyukai nada bicara Tiffany. "Tiff, kenapa marah-marah?""Arlo ini anak yang pa
Arlo mengangguk pelan, meskipun masih belum sepenuhnya mengerti. "Aku paham. Aku nggak akan diam-diam memasukkan obat pencahar ke dalam minuman orang lain lagi ...."Tiffany menghela napas panjang, lalu mengusap kepala Arlo dengan lembut. Namun, tiba-tiba tangannya yang sedang mengusap kepala anaknya itu terhenti."Tunggu ... barusan kamu bilang ... yang kamu masukkan itu obat pencahar?""Iya." Arlo cemberut. "Itu obat pencahar yang Mama bawa dari rumah sakit untuk Paman Xavier yang sembelit. Paman bilang obatnya sangat manjur, jadi aku diam-diam mengambil sedikit ...."Tiffany sungguh kehabisan kata-kata. Anak macam apa yang dia besarkan ini? Obat pencahar untuk Xavier pun dicuri?"Katakan yang sejujurnya, selain ini, apa lagi yang sudah kamu ambil dari Paman Xavier tanpa sepengetahuanku?""Banyak ...." Arlo menggigit bibirnya. Dengan wajah polos, dia mencoba mengalihkan pembicaraan. "Mama, apa sekarang wanita itu sudah mulai sakit perut? Mau ... kasih dia obat diare nggak?"Ucapan Ar
Tiffany menaikkan alisnya. Harus diakui, kemampuan Lena dalam berpura-pura memang hebat. Saat berada di hadapannya, Lena mencerca kedua anaknya tanpa ampun. Namun, saat berada di hadapan Sean, dia malah mengatakan bahwa anak-anak tidak tahu apa pun, semuanya adalah ajaran orang tua?"Tapi, tadi aku sudah tanya sama anakku."Tiffany mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara tenang, "Anakku bilang, dia cuma menaruh tablet vitamin yang biasa aku hancurkan dan larutkan dalam air, ke dalam gelas air Vivi."Lena tertegun, lalu langsung menunjuk hidung Tiffany dan mulai memaki. "Vitamin? Kalau cuma vitamin, kenapa kakakku langsung pingsan setelah minum? Jelas-jelas itu racun!""Huh, demi menutupi kejahatan mengajari anakmu meracuni orang, kamu malah bilang itu cuma vitamin?"Suara Lena sangat kuat dan tajam saat menuding Tiffany, "Orang seperti kamu masih berani mengaku-ngaku sebagai dokter hebat? Hebat jadi algojo mungkin ya?"Tiffany tersenyum tenang, "Hebat jadi dokter atau algojo, kamu
"Sejak kapan Sean datang? Lena juga kenapa bisa menangis?"Tiffany menonton pertunjukan itu dengan senyum sinis. "Tadi kamu pingsan, jadi adikmu panik dan menangis. Sean juga naik ke atas karena khawatir melihatmu.""Pingsan?" Lena memasang wajah bingung. "Aku nggak pingsan kok .... Aku cuma minum air yang diberikan Kak Rika, lalu merasa agak ngantuk dan ketiduran."Tiffany pura-pura tersenyum. "Kalau begitu, tidurnya nyenyak nggak?""Cukup ... cukup nyenyak." Vivi tersenyum kikuk, lalu melirik tajam ke arah Lena. "Dasar kamu ini, suka panik berlebihan. Pasti bikin Sean dan Bu Tiffany ketakutan. Aku cuma ketiduran!"Lena cemberut dan tidak berbicara lagi karena kesal."Sudahlah, yang penting sudah sadar." Sejak tidak merasakan apa pun setelah meminum air tersebut, Sean sudah bisa menebak trik apa yang sedang dimainkan oleh Vivi. Hanya saja, dia malas mengungkapkannya."Kami turun dulu. Vivi, aku masih bisa menoleransi kamu tidur di rumahku kali ini, tapi aku nggak mau lihat hal seperti
Suara lembut Tiffany seperti suntikan adrenalin yang langsung membuat jantung Sean berdebar kencang.Pria itu mengatupkan bibirnya. Nada bicaranya rendah dan menyiratkan kelembutan saat dia meraih tangan Tiffany dengan jemarinya yang panjang dan kokoh. "Aku cuma mau nyalain panel listrik.""Aku nyalain dulu ya, tunggu di sini."Tiffany menggigit bibir, lalu mengangguk pelan sambil menggumam, "Iya ...." Namun, tangannya masih enggan melepaskan pinggang Sean.Dia menggigit bibir bawahnya sedikit lebih keras. "Bawa aku juga."Sean tersenyum tak berdaya. "Aku cuma turun satu lantai. Kamu tunggu sini sebentar, ya.""Nggak mau."Sejak mereka bertemu kembali, Tiffany sudah jarang bermanja-manja seperti ini pada Sean. "Aku mau ikut.""Aku ...."Di tengah kegelapan, wajah Tiffany mulai terasa panas.Di saat-saat seperti ini, dia justru merasa bersyukur karena listrik tidak menyala. Kalau Sean melihat wajahnya yang memerah, Tiffany pasti sudah diledek habis-habisan ....Suara manjanya membuat Se
"Dia itu pria idaman di Kota Aven, dari wanita usia 18 sampai 80 tahun semuanya ingin menikah sama dia!""Kalau aku tahu siapa yang dia suka, siapa yang mau dia tembak, aku pasti akan langsung wawancara wanita itu. Gimana caranya dia bisa mendapatkan Sean, si suami idaman!"Tiffany menirukan ucapan itu dengan begitu mirip, bahkan ekspresi wajah dan gayanya pun sama persis.Sean terdiam. "Sebenarnya aku nggak sampai segitu disukainya sama wanita, aku ....""Hentikan."Tiffany mengangkat tangan. "Disukai atau nggak, bukan kamu yang nentuin, tapi perempuan.""Pokoknya, aku putuskan mau izin besok, kerja di rumah urus urusan akademik. Nanti kalau situasi sudah mereda, baru aku masuk kerja lagi. Sekalian, aku akan terbitkan makalah terbaruku.""Sekarang antar aku ke lembaga penelitian untuk ambil datanya dulu."Sean menarik napas panjang, akhirnya hanya bisa pasrah dan mengangguk. Dia pun mengambil kunci mobil dari Genta dan resmi menjadi sopir pribadi Tiffany malam itu.Saat tiba di lembag
Tiffany membuka pintu ruang ICU. Dari luar, Lena langsung menerjang ke arahnya dan menatapnya dengan marah. "Kamu apakan kakakku?""Nggak ada." Tiffany melepas jas dokternya dengan anggun dan meletakkannya di kursi di samping. Kemudian, dia menoleh dengan tenang pada para dokter yang sedang menunggu dengan cemas di luar."Kalian boleh masuk. Dia seharusnya sebentar lagi sadar." Para dokter saling berpandangan, lalu buru-buru bergegas masuk ke dalam ruang ICU.Melihat para dokter sudah masuk, Lena juga cepat-cepat menyusul.Sesaat kemudian, terdengar suara Lena yang begitu emosional dari dalam ruangan, "Kak! Akhirnya kamu sadar juga! Huhu! Kamu bikin aku takut setengah mati!"Mendengar suara wanita itu dari dalam, Sean melirik sekilas ke arah Tiffany dan tersenyum tipis. "Hebat juga, ya?""Penyakit hati tentu harus disembuhkan dengan obat untuk hati."Tiffany mengangkat kepala dan tersenyum cerah padanya. "Mau masuk lihat-lihat?"Mata Sean sedikit memicing dan bibirnya mengangkat senyum
Setelah semua orang pergi, Tiffany yang mengenakan jas dokter putih dengan anggun berjalan ke pintu dan menutupnya, lalu mengambil ponselnya. Sambil memainkan ponsel, tanpa sadar dia melirik dingin ke arah Vivi yang masih "pingsan" di atas tempat tidur."Bu Vivi, sekarang cuma ada kita berdua. Kamu nggak usah pura-pura lagi."Wanita yang terbaring di tempat tidur tidak bergerak sedikit pun, seolah benar-benar pingsan. Namun, Tiffany tahu bahwa dia sebenarnya sadar. Sebab, waktu Tiffany baru saja berbicara tadi, dia melihat dengan jelas bahwa ritme pada monitor EKG Vivi menjadi kacau.Itu adalah tanda terkejut. Mungkin Vivi sama sekali tidak menyangka Tiffany akan tiba-tiba berbicara padanya, sehingga dia merasa agak panik."EKG-mu sudah membocorkan rahasiamu."Tiffany menguap, lalu tetap menatap Vivi dengan tenang. "Tapi kalau Bu Vivi mau terus akting, aku juga nggak akan membongkarnya.""Lagian kamu sudah berakting selama tiga tahun, bukan?"Begitu ucapan itu dilontarkan, Tiffany kemb
Lena tidak menyangka Tiffany akan bersikap seperti ini. Dia tertegun sejenak sebelum akhirnya sadar dan berteriak, "Tiffany, apa maksudmu?""Kamu nggak ngerti bahasaku?" Tiffany tersenyum sinis. "Harus aku ulang dalam bahasa lain? Tapi, dengan ijazah SMP-mu, sepertinya kamu tetap nggak akan paham ya?""Kalau bodoh, belajarlah lebih giat. Jangan cuma mengandalkan jasa kakakmu untuk bertindak sewenang-wenang. Memangnya kamu pantas?" Tatapan Tiffany sedingin suaranya.Lena terdiam, lalu menggertakkan gigi. "Apa maksudmu?"Sambil berkata, dia langsung maju, berniat menyerang Tiffany. Dia paling benci diejek soal pendidikannya! Ini bukan karena dia bodoh!Tahun itu saat orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan, dia tidak ingin menjadi beban bagi kakaknya. Makanya, dia sendiri yang meminta untuk berhenti sekolah.Dia sebenarnya anak yang sangat pengertian, tetapi banyak orang yang malah menjadikan hal itu sebagai bahan ejekan!"Maksudnya sesuai dengan yang kukatakan." Tiffany meliriknya s
"Saat Bu Vivi mengalami kecelakaan, Bu Lena memaksa kami mencari mawar untuk kakaknya di lantai bawah ...."Sean mengaktifkan pengeras suara sehingga suara pria di ujung telepon terdengar jelas oleh Tiffany.Sambil memegang anggur merah di satu tangan dan mengetuk meja pelan dengan tangan lainnya, Tiffany mencerna informasi itu.Dari penjelasan pria itu, dia bisa menebak apa yang baru saja terjadi di rumah sakit. Kemungkinan besar, Vivi dan Lena melihat video yang beredar di internet.Vivi mengeluh karena tidak mendapatkan mawar, jadi Lena yang tidak terima dengan hal itu pun memaksa para pengawal mengikutinya mencari mawar untuk kakaknya!Namun, seluruh mawar di kota sudah diborong oleh Sean. Hal ini jelas diketahui oleh Vivi. Meskipun demikian, dia tetap meminta adiknya membawa orang-orang untuk mencarikannya bunga.Alasannya hanya satu, yaitu menciptakan situasi di mana tidak ada yang bisa menjaganya, sehingga dia bisa terluka dengan sempurna.Trik ini memang sangat cerdik. Tiffany
Iring-iringan mobil berhias mawar melaju melewati sebagian besar kota sebelum akhirnya berhenti di depan Restoran Proper.Di sana, Mark, pemilik Restoran Proper, sudah berdiri di depan pintu bersama para manajer dan koki untuk menyambut kedatangan mereka.Melihat Mark yang biasanya tampil gagah dalam setelan jas kini berdiri seperti seorang pelayan hanya untuk menyambutnya, Tiffany merasa cukup puas.Terlebih setelah mengingat bagaimana Mark memperlakukan Julie dulu, kini melihatnya berdiri dengan patuh sesuai arahan Sean, membuat Tiffany merasa semakin puas.Pintu mobil terbuka. Dengan bantuan Sean, Tiffany turun dengan anggun layaknya seorang ratu.Begitu turun, dia melirik sekilas ke arah Mark yang berdiri di kejauhan. "Wah, sejak kapan pemilik restoran punya waktu luang untuk menyambutku secara langsung?"Mark memasang senyuman tipis. "Kenapa aku di sini? Orang lain mungkin nggak tahu alasannya, tapi kamu pasti tahu, 'kan?""Kamu pasti lebih paham bagaimana sifat tunanganmu ini. Ka
Namun, Tiffany benar-benar tidak menyangka Sean akan menggunakan lamaran seromantis ini untuk mengumumkan bahwa hubungan mereka telah kembali seperti semula.Dia tahu dengan lamaran sebesar ini, tak akan butuh waktu lama sebelum berita ini tersebar hingga ke luar negeri. Para senior Keluarga Japardi akan segera melihatnya.Mungkin Vivi dan Lena juga akan marah besar? Namun, apakah semua itu penting? Tidak ada yang lebih penting dibandingkan pria yang kini berada di hadapannya, Sean.Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke arah Sean. "Tebak, aku terima atau nggak?"Senyuman malu-malu di wajahnya sudah menjawab semuanya.Sean mengatupkan bibirnya, tak lagi meragu. Dia segera meraih tangan Tiffany dan menyematkan cincin di jarinya. "Aku tebak, kamu sangat ingin menikah denganku."Setelah mengatakan itu, Sean langsung menariknya ke dalam pelukan.Sorakan dan tepuk tangan dari kerumunan terdengar bergemuruh.Tiffany bersandar di dadanya, merasa malu
Ketika Tiffany baru saja selesai mengobrol dengan rekan kerjanya, di kejauhan Sean sudah melihat sosok mungil wanita itu.Dengan senyuman tipis di wajah, pria itu membawa sebuket besar mawar dan melangkah perlahan ke arah Tiffany.Tiffany mendengar jelas suara tarikan napas terkejut dari para rekan kerja wanita di sekitarnya. Dia menggigit bibirnya dan tetap berdiri di tempat, meskipun hatinya sudah penuh kegelisahan.Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, yang tidak pernah dia duga adalah Sean tiba-tiba berhenti dua langkah di depannya, lalu berlutut dengan satu kaki dan menatapnya sambil memegang buket.Di wajah Sean yang selalu terlihat tegas, kini penuh dengan kelembutan yang mendalam. "Tiff."Suara bariton yang dalam memanggil nama Tiffany dengan lembut. Nada penuh kasih itu seketika membuat kegelisahan Tiffany menghilang.Tiffany menunduk, menatap wajah pria itu. "Hmm."Teriakan dan gumaman dari rekan-rekan wanita kembali terdengar. Mereka mulai bergosip dengan heboh.