Tiffany sangat memahami Sean. Dia tidak mungkin berbicara dengan nada seperti itu kepada seorang pria. Kalau perempuan .... Satu-satunya wanita yang paling dekat dengannya, Sanny, masih dirawat di Rumah Sakit Kintan.Tiffany merasa sedikit jengkel. Dia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Julie meliriknya sekilas, seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya memilih diam.Setelah beberapa saat, dia menepuk bahu Tiffany pelan. "Aku sudah cari tahu. Dalam lima tahun terakhir, dia memang nggak pernah dekat sama wanita mana pun.""Tapi ... wanita yang mengincarnya sih nggak sedikit.""Tenang saja."Tiffany mengangguk, tapi beberapa detik kemudian, dia menyadari ada yang janggal. "Kenapa aku harus tenang?" Dia bahkan belum berniat untuk kembali bersama Sean."Cepat atau lambat," sahut Julie.Dia menghela napas panjang sebelum menambahkan, "Lagian, setelah kalian bersama lagi, masih ada satu hal yang harus kalian selesaikan."Tiffany mengernyit. "Apa itu?""Nanti juga kamu akan tahu."
Keesokan harinya, setelah mengantar Arlo dan Arlene ke taman kanak-kanak, Tiffany langsung mengemudikan mobilnya menuju kota tempat tinggal Zion sesuai alamat yang diberikan Morgan.Dari pusat kota yang ramai, dia melewati pinggiran kota, masuk ke jalan tol, lalu berbelok ke jalan pedesaan yang semakin sepi.Sepanjang perjalanan, sebuah Land Rover hitam terus mengikutinya dari belakang. Dari kaca spion, Tiffany bisa melihat dengan jelas bahwa mobil itu memiliki pelat nomor dari Kota Aven.Orang dari Kota Aven.Tiffany bahkan tidak perlu berpikir lama untuk tahu siapa yang ada di dalam mobil itu. Akhirnya, dia tidak bisa menahan diri lagi. Tiffany memasang earphone bluetooth dan langsung menelepon Sean. "Kamu ngikutin aku?"Pria di ujung telepon terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Kamu sadar ya?"Tiffany terdiam.Mengikuti seseorang secara terang-terangan dengan Land Rover yang mencolok baik dari segi ukuran maupun model, bukankah itu memang sengaja ingin ketahuan?"Aku cuma mau
"Eee ... anu, aku seharusnya melepaskan bajuku dulu atau bajumu dulu?" tanya Tiffany Maheswari dengan hati-hati. Dia berdiri di depan kamar mandi dan hanya membalut tubuhnya dengan handuk.Malam ini adalah malam pertamanya. Pria di depan sana, yang duduk di kursi roda dan menutup matanya dengan sutra hitam adalah suaminya.Ini pertama kalinya Tiffany bertemu calon suaminya. Parasnya lebih tampan daripada yang terlihat di foto. Hidungnya mancung, alisnya tebal, tubuhnya tinggi dan tegap. Ini adalah tipe pria Tiffany.Sayang sekali, pria itu buta dan duduk di kursi roda. Ada yang mengatakan bahwa Sean Tanuwijaya adalah pembawa sial. Ketika berusia 9 tahun, orang tuanya meninggal karenanya. Ketika berusia 13 tahun, kakaknya meninggal karenanya. Kemudian, 3 wanita yang pernah menjadi calon istrinya juga mati.Ketika mendengar rumor ini, Tiffany sangatlah takut. Namun, pamannya bilang mereka baru bisa mengobati penyakit neneknya jika dia menikah dengan Sean. Demi neneknya, Tiffany bersedia
Tiffany bertanya dengan heran, "Kalau aku keluar, kamu bisa mandi sendirian?"Bukannya pria ini tidak bisa melihat apa pun? Sean tidak berbicara, tetapi suasana menjadi makin menegangkan.Tiffany bisa merasakan kemarahan Sean. Dia melepaskan handuk gosoknya, lalu berucap sebelum pergi, "Kalau begitu, kamu hati-hati ya. Panggil aku kalau butuh bantuan."Setelah keluar dari kamar mandi, Tiffany tampak gelisah dan terus memandang ke arah kamar mandi. Bagaimana kalau Sean terjatuh dan mati di dalam sana? Mereka baru menikah. Tiffany tidak ingin menjadi janda.Ketika Tiffany sedang mencemaskan Sean, ponselnya tiba-tiba berdering. Ternyata sahabatnya, Julie, mengirimnya sebuah video. Judul video itu adalah materi pelajaran.Materi pelajaran? Tiffany mengkliknya dengan heran sambil bertanya-tanya dalam hati, 'Ujian masih lama. Untuk apa mengirimnya materi pelajaran sekarang?'"Um ... ah ... hm ...." Begitu video diputar, terlihat seorang wanita bersandar di atas tubuh seorang pria ....Wajah
Kemudian, Tiffany berbalik untuk kembali ke dapur. Kedua pelayan itu segera menghentikannya. "Nyonya, nggak perlu."Mereka digaji untuk masak, tetapi semua sudah disiapkan oleh Tiffany. Kalau sampai Sean tahu soal ini, bukankah mereka akan dipecat?"Nyonya, aku dan Rika bertanggung jawab masak sarapan. Kamu baru datang ke rumah ini, nggak mungkin tahu selera Tuan. Sebaiknya jangan membuat masalah di dapur," ujar salah seorang pelayan dengan kesal.Pelayan bernama Rika itu segera menyahut, "Ya, Bibi Prisa benar. Sebaiknya Nyonya istirahat saja.""Tuan nggak makan makanan seperti ini. Dia selalu sarapan roti lapis, ham, dan susu. Sarapan yang Nyonya buat terlalu kuno," ucap Prisa sambil memandang sarapan yang terlihat hambar itu.Ekspresi Tiffany tampak heran sesaat, lalu menjadi suram. Dia menunduk dan mengiakan. "Kalian benar."Orang kaya memang suka bergaya. Di kampusnya, para siswa kaya saja tidak pernah pergi ke kantin untuk makan, apalagi orang sekaya Sean. Tiffany merasa dirinya s
Suara Sean terdengar sangat dingin, seolah-olah ingin membekukan seluruh ruang makan. Saat berikutnya, buk! Prisa berlutut di lantai dan berujar dengan mata merah, "A ... aku nggak seharusnya bicara begitu dengan Nyonya ...."Sean memang terlihat baik. Namun, jika dia marah, tidak ada yang bisa menanggung amarahnya.Prisa meneruskan, "Tapi, aku nggak berniat jahat! Aku cuma nggak ingin Nyonya masak karena takut dia lelah ...."Sean tersenyum sambil menghadap Prisa dan bertanya, "Makanya, kamu sengaja merusak suasana hati istri baru yang masak untuk suaminya?"Suasana di ruang makan menjadi hening untuk sesaat. Perkataan Sean ini bukan hanya mengejutkan Rika dan Prisa, tetapi Tiffany juga memelotot terkejut. Sean sedang membelanya?Prisa ketakutan hingga gemetaran. Dia menyahut, "A ... aku nggak bermaksud begitu .... Aku nggak membuang masakan Nyonya. Aku dan Rika memakannya ...."Senyuman Sean menjadi makin dingin. Dia mengejek, "Sepertinya kamu lebih mirip majikan di sini daripada aku
Setelah tersadar kembali, Tiffany memungut ponselnya dengan panik. Dia mendongak menatap Garry, lalu bertanya, "Kak, rupanya kamu kerja di sini?"Garry menyunggingkan senyuman manis. Dia mengelus kepala Tiffany dengan penuh kasih sayang sambil menegur, "Sebenarnya berapa usiamu? Kenapa ceroboh seperti anak kecil?""Dua puluh tahun," jawab Tiffany dengan mata berbinar-binar.Garry memalingkan wajah dan terkekeh-kekeh, lalu bertanya, "Kenapa kamu datang ke rumah sakit?"Tiffany menunjuk ruangan di belakang sambil membalas, "Temanku sedang mengobrol dengan kakak sepupunya."Garry melirik jam dan berujar, "Sudah waktunya jam makan siang. Temanmu mungkin nggak akan keluar secepat itu. Kebetulan aku mau makan siang. Gimana kalau kutraktir?"Tiffany berpikir sejenak, lalu mengetuk pintu untuk berpamitan dengan Julie, "Aku pergi sebentar."Garry berjalan di depan dengan wajah berseri-seri dan Tiffany mengikuti dari belakang. Sepertinya dari SMA 2, Tiffany sudah mengagumi pria ini.Saat itu, pe
Suasana di vila menjadi menegangkan. Sean melirik beberapa botol obat di atas meja. Tebersit kilatan dingin di matanya saat berkata, "Ternyata istriku pergi ke rumah sakit demi aku. Aku malah menyalahkanmu."Tiffany tidak bodoh. Dia tentu memahami makna tersirat pada ucapan Sean. Sean memberi isyarat tangan kepada pelayan di samping. Kepala pelayan segera menghampiri dan mengambil beberapa botol obat itu.Tiffany merasa kurang percaya diri. Dia bertanya, "Kamu menyuruh kepala pelayan menyimpannya karena nggak ingin makan ya?"Tiffany bisa merasakan kekesalan pada Sean. Sean tersenyum tipis dan berujar, "Makan saja dulu."Suara Sean terdengar sangat dingin dan rendah. Hal ini membuat Tiffany merasa gugup. Sepertinya, pria ini benar-benar marah.Tiffany mengepalkan tangan dengan erat. Mereka baru menikah 2 hari, tetapi dia sudah membawakan obat untuk Sean. Apakah ini terkesan kurang pantas? Apakah Sean mengira Tiffany membelikannya obat karena tidak menyukai kondisinya?Tiba-tiba, Tiffan
Keesokan harinya, setelah mengantar Arlo dan Arlene ke taman kanak-kanak, Tiffany langsung mengemudikan mobilnya menuju kota tempat tinggal Zion sesuai alamat yang diberikan Morgan.Dari pusat kota yang ramai, dia melewati pinggiran kota, masuk ke jalan tol, lalu berbelok ke jalan pedesaan yang semakin sepi.Sepanjang perjalanan, sebuah Land Rover hitam terus mengikutinya dari belakang. Dari kaca spion, Tiffany bisa melihat dengan jelas bahwa mobil itu memiliki pelat nomor dari Kota Aven.Orang dari Kota Aven.Tiffany bahkan tidak perlu berpikir lama untuk tahu siapa yang ada di dalam mobil itu. Akhirnya, dia tidak bisa menahan diri lagi. Tiffany memasang earphone bluetooth dan langsung menelepon Sean. "Kamu ngikutin aku?"Pria di ujung telepon terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Kamu sadar ya?"Tiffany terdiam.Mengikuti seseorang secara terang-terangan dengan Land Rover yang mencolok baik dari segi ukuran maupun model, bukankah itu memang sengaja ingin ketahuan?"Aku cuma mau
Tiffany sangat memahami Sean. Dia tidak mungkin berbicara dengan nada seperti itu kepada seorang pria. Kalau perempuan .... Satu-satunya wanita yang paling dekat dengannya, Sanny, masih dirawat di Rumah Sakit Kintan.Tiffany merasa sedikit jengkel. Dia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Julie meliriknya sekilas, seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya memilih diam.Setelah beberapa saat, dia menepuk bahu Tiffany pelan. "Aku sudah cari tahu. Dalam lima tahun terakhir, dia memang nggak pernah dekat sama wanita mana pun.""Tapi ... wanita yang mengincarnya sih nggak sedikit.""Tenang saja."Tiffany mengangguk, tapi beberapa detik kemudian, dia menyadari ada yang janggal. "Kenapa aku harus tenang?" Dia bahkan belum berniat untuk kembali bersama Sean."Cepat atau lambat," sahut Julie.Dia menghela napas panjang sebelum menambahkan, "Lagian, setelah kalian bersama lagi, masih ada satu hal yang harus kalian selesaikan."Tiffany mengernyit. "Apa itu?""Nanti juga kamu akan tahu."
Tiffany kembali ke rumah sakit dan mendapati Julie sudah menunggunya di kantor dengan tangan bersedekap."Aku sudah lihat beritanya," ucap Julie.Dengan jas putih yang membalut tubuh tinggi semampainya, Julie bersandar di kursi sambil menatap Tiffany dengan sorot mata dingin. "Cuma pergi ngajar sebentar saja bisa bikin heboh begini."Tanpa perlu ditanyakan sekalipun, Tiffany sudah bisa memahami apa yang sedang dibicarakan Julie.Tiffany berjalan ke mejanya dengan tenang dan duduk, "Masalah tentang Zion sudah kuselidiki dan kujelaskan semuanya dua tahun lalu. Aku nggak perlu takut."Julie mengangkat alis dan menatapnya dengan sorot mata yang tetap tenang. "Kamu kira aku lagi membicarakan tentang Zion?""Soal itu sudah lama diselesaikan. Tim investigasi rumah sakit melakukan penyelidikan menyeluruh waktu itu. Apa lagi yang bisa dia lakukan sekarang?""Ini yang kubicarakan!" Julie mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto.Di dalamnya, Tiffany tampak memeluk sebuket besar mawar m
"Turun dari mobil." Tiffany mengernyit. "Sekarang sudah jam 3 sore. Aku harus ke rumah sakit untuk absen. Nanti sore harus menjemput anak di sekolah."Sean menggigit bibirnya, memasang ekspresi keras kepala. "Aku harus melindungimu. Jadi, ke mana pun kamu pergi, aku akan ikut."Tiffany mendengus. "Melindungiku? Apa kamu juga mempelajarinya dari novel?"Wanita itu menoleh, menatap Sean dengan sorot mata penuh ejekan. "Lemah sekali, yang suka membaca novel romansa itu aku yang lima tahun lalu. Sekarang aku cuma suka membaca jurnal medis."Sean mengangguk. "Kalau begitu, lain kali aku akan meneliti jurnal medis."Tiffany termangu sesaat. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menekan tombol pintu mobil. "Aku nggak peduli apa yang ingin kamu teliti. Tapi, sekarang aku butuh kamu turun dari mobil."Sean mengernyit menatap Tiffany lekat-lekat. "Dok Tiff, kamu harus tahu satu hal, aku ini punya kebiasaan buruk. Aku orangnya cukup pemberontak. Kalau kamu menyuruhku turun, justru aku nggak akan tu
"Aku mengenalmu lebih baik dari siapa pun."Ketika kalimat itu diucapkan dengan suara rendah oleh Sean, hati Tiffany tak kuasa bergetar. Baik lima tahun yang lalu maupun sekarang, kalimat ini selalu membawa kehangatan aneh setiap kali mendengar Sean mengatakannya.Terutama di saat seperti ini. Mereka telah terpisah selama lima tahun penuh. Lima tahun sudah cukup untuk mengubah banyak hal, cukup lama untuk membuat seseorang menjadi pribadi yang benar-benar berbeda.Namun, setelah bertemu lagi dan di saat dirinya difitnah, Sean masih bisa duduk dengan tenang di kursi belakang mobilnya dan berkata, "Aku mengenalmu lebih baik dari siapa pun."Perasaan dan ketulusan seperti ini membuatnya tersentuh. Tiffany menarik napas dalam-dalam. Senyuman tipis terukir di sudut bibirnya. "Kalau begitu, terima kasih, Pak Sean.""Sama-sama, Dok Tiff." Sean menyandarkan kedua lengannya di belakang kepala. "Tapi, kulihat tadi ada beberapa mahasiswa yang mengambil foto di kelas. Aku rasa masalah ini nggak ak
"Malam ini aku masih ingin makan pangsit buatanmu."Tiffany memutar matanya. "Nggak mood buat."Dia benar-benar tidak mengerti kenapa tiba-tiba muncul seseorang yang ingin memperjuangkan keadilan untuk Zion, seolah-olah dia adalah orang jahat di sini.Cedera tangan Tiffany sangat parah dulu. Setiap beberapa waktu, dia harus pergi ke Elupa untuk menjalani perawatan.Suatu kali, saat dia sedang dalam perjalanan untuk berobat, rumah sakit menerima pasien dengan kondisi medis yang sangat kompleks.Tanpa mengabari Tiffany, Zion merasa kondisi pasien sangat mirip dengan salah satu kasus yang pernah dia tangani bersama Tiffany sebelumnya.Demi membuktikan kemampuannya, dia nekat mengajukan diri untuk menangani operasi, bahkan berbohong kepada rumah sakit bahwa rencana operasinya adalah hasil arahan Tiffany.Saat itu, kondisi pasien cukup mendesak. Karena pihak rumah sakit tidak dapat menghubungi Tiffany, mereka pun memercayai Zion.Akibatnya, terjadi insiden medis yang cukup besar. Jika bukan
Quinn tertegun sejenak, baru menyadari bahwa Sean sedang menyindirnya dengan kata-katanya sendiri. Wajahnya langsung memerah karena marah. "Aku hanya nggak tahan melihat ini terjadi!""Kalau begitu, ada satu pertanyaan." Sean tersenyum tipis. "Bahkan kamu, seorang mahasiswa biasa, bisa nggak tahan dan tahu soal 'kebenaran' ini. Tapi anehnya, rahasia sebesar ini bisa tersembunyi begitu dalam, sampai-sampai seluruh dunia medis Kota Kintan nggak mengetahuinya dan butuh mahasiswa sepertimu menegakkan keadilan?"Wajah Quinn langsung pucat pasi. Dia menggigit bibirnya, ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi Tiffany sudah melangkah naik ke podium dengan ekspresi tenang. Hanya alisnya yang berkerut sedikit."Tentang insiden malapraktik Zion, aku jarang membicarakannya. Dia adalah murid pertamaku dan dulu adalah rekan terbaikku. Saat insiden itu terjadi, aku benar-benar sedih dan terpukul.""Aku nggak ingin orang lain menghakimi dirinya dan aku juga memahami perasaannya saat itu. Tapi, dia mema
Semakin berbicara, Quinn semakin emosi. Hingga akhirnya, dia langsung menangis tersedu-sedu.Dia menepis tangan satpam yang menahannya, suaranya penuh dengan isak tangis. "Tiffany! Jangan kira aku nggak tahu rahasiamu! Kamu punya dua anak! Kamu juga punya seorang suami!""Tapi, pria yang selalu ada di sisimu ini sudah mengejarmu sejak lama! Kamu bukan hanya tidak menolaknya, tapi bahkan pernah masuk hotel bersamanya!"Setelah berkata demikian, Quinn langsung menunjukkan sebuah foto dari ponselnya. Di foto itu, terlihat Tiffany sedang membantu Sean masuk ke hotel setelah makan malam di restoran. Saat itu, Sean mengalami sakit perut karena makan makanan yang terlalu pedas.Karena sudut pengambilan gambar, foto itu tampak seperti Tiffany tersenyum bahagia sambil menggandeng lengan Sean dengan mesra.Foto itu ditambah dengan tuduhan yang dilontarkan Quinn, membuat seluruh kelas langsung gempar!Di Kota Kintan, Tiffany adalah ahli bedah jantung nomor satu. Dia adalah sosok yang dihormati da
Menghadapi tuduhan tak berdasar dari Quinn, Tiffany tersenyum dingin. Tak ada lagi kelembutan di matanya seperti sebelumnya.Tiffany tahu bahwa bersikap terlalu baik hanya akan membuat seseorang dimanfaatkan dan dirugikan.Dia menatap Quinn dengan tatapan dingin. "Aku bermain dengan banyak orang? Aku bahkan nggak ingat aku pernah 'bermain' denganmu. Apa aku perlu membuktikan dengan fakta bahwa aku sudah punya anak untuk memberitahumu aku ini bukan lesbian?"Kata-kata Tiffany membuat seluruh ruangan kelas tiba-tiba sunyi. Sesaat kemudian, para mahasiswa mulai tertawa terbahak-bahak.Quinn tertegun, mungkin dia tidak menyangka Tiffany akan menanggapinya dengan kalimat seperti itu.Namun, dia segera tersenyum sinis, menatap Tiffany dengan dingin. "Akhirnya kamu menunjukkan sisi aslimu. Aku sudah berkali-kali bilang pada Kak Zion kalau kamu ini munafik, tapi dia nggak percaya!""Sekarang akhirnya kamu memperlihatkan wajah aslimu, 'kan? Kamu sama sekali nggak baik, nggak manis, dan cuma wan