"Eee ... anu, aku seharusnya melepaskan bajuku dulu atau bajumu dulu?" tanya Tiffany Maheswari dengan hati-hati. Dia berdiri di depan kamar mandi dan hanya membalut tubuhnya dengan handuk.Malam ini adalah malam pertamanya. Pria di depan sana, yang duduk di kursi roda dan menutup matanya dengan sutra hitam adalah suaminya.Ini pertama kalinya Tiffany bertemu calon suaminya. Parasnya lebih tampan daripada yang terlihat di foto. Hidungnya mancung, alisnya tebal, tubuhnya tinggi dan tegap. Ini adalah tipe pria Tiffany.Sayang sekali, pria itu buta dan duduk di kursi roda. Ada yang mengatakan bahwa Sean Tanuwijaya adalah pembawa sial. Ketika berusia 9 tahun, orang tuanya meninggal karenanya. Ketika berusia 13 tahun, kakaknya meninggal karenanya. Kemudian, 3 wanita yang pernah menjadi calon istrinya juga mati.Ketika mendengar rumor ini, Tiffany sangatlah takut. Namun, pamannya bilang mereka baru bisa mengobati penyakit neneknya jika dia menikah dengan Sean. Demi neneknya, Tiffany bersedia
Tiffany bertanya dengan heran, "Kalau aku keluar, kamu bisa mandi sendirian?"Bukannya pria ini tidak bisa melihat apa pun? Sean tidak berbicara, tetapi suasana menjadi makin menegangkan.Tiffany bisa merasakan kemarahan Sean. Dia melepaskan handuk gosoknya, lalu berucap sebelum pergi, "Kalau begitu, kamu hati-hati ya. Panggil aku kalau butuh bantuan."Setelah keluar dari kamar mandi, Tiffany tampak gelisah dan terus memandang ke arah kamar mandi. Bagaimana kalau Sean terjatuh dan mati di dalam sana? Mereka baru menikah. Tiffany tidak ingin menjadi janda.Ketika Tiffany sedang mencemaskan Sean, ponselnya tiba-tiba berdering. Ternyata sahabatnya, Julie, mengirimnya sebuah video. Judul video itu adalah materi pelajaran.Materi pelajaran? Tiffany mengkliknya dengan heran sambil bertanya-tanya dalam hati, 'Ujian masih lama. Untuk apa mengirimnya materi pelajaran sekarang?'"Um ... ah ... hm ...." Begitu video diputar, terlihat seorang wanita bersandar di atas tubuh seorang pria ....Wajah
Kemudian, Tiffany berbalik untuk kembali ke dapur. Kedua pelayan itu segera menghentikannya. "Nyonya, nggak perlu."Mereka digaji untuk masak, tetapi semua sudah disiapkan oleh Tiffany. Kalau sampai Sean tahu soal ini, bukankah mereka akan dipecat?"Nyonya, aku dan Rika bertanggung jawab masak sarapan. Kamu baru datang ke rumah ini, nggak mungkin tahu selera Tuan. Sebaiknya jangan membuat masalah di dapur," ujar salah seorang pelayan dengan kesal.Pelayan bernama Rika itu segera menyahut, "Ya, Bibi Prisa benar. Sebaiknya Nyonya istirahat saja.""Tuan nggak makan makanan seperti ini. Dia selalu sarapan roti lapis, ham, dan susu. Sarapan yang Nyonya buat terlalu kuno," ucap Prisa sambil memandang sarapan yang terlihat hambar itu.Ekspresi Tiffany tampak heran sesaat, lalu menjadi suram. Dia menunduk dan mengiakan. "Kalian benar."Orang kaya memang suka bergaya. Di kampusnya, para siswa kaya saja tidak pernah pergi ke kantin untuk makan, apalagi orang sekaya Sean. Tiffany merasa dirinya s
Suara Sean terdengar sangat dingin, seolah-olah ingin membekukan seluruh ruang makan. Saat berikutnya, buk! Prisa berlutut di lantai dan berujar dengan mata merah, "A ... aku nggak seharusnya bicara begitu dengan Nyonya ...."Sean memang terlihat baik. Namun, jika dia marah, tidak ada yang bisa menanggung amarahnya.Prisa meneruskan, "Tapi, aku nggak berniat jahat! Aku cuma nggak ingin Nyonya masak karena takut dia lelah ...."Sean tersenyum sambil menghadap Prisa dan bertanya, "Makanya, kamu sengaja merusak suasana hati istri baru yang masak untuk suaminya?"Suasana di ruang makan menjadi hening untuk sesaat. Perkataan Sean ini bukan hanya mengejutkan Rika dan Prisa, tetapi Tiffany juga memelotot terkejut. Sean sedang membelanya?Prisa ketakutan hingga gemetaran. Dia menyahut, "A ... aku nggak bermaksud begitu .... Aku nggak membuang masakan Nyonya. Aku dan Rika memakannya ...."Senyuman Sean menjadi makin dingin. Dia mengejek, "Sepertinya kamu lebih mirip majikan di sini daripada aku
Setelah tersadar kembali, Tiffany memungut ponselnya dengan panik. Dia mendongak menatap Garry, lalu bertanya, "Kak, rupanya kamu kerja di sini?"Garry menyunggingkan senyuman manis. Dia mengelus kepala Tiffany dengan penuh kasih sayang sambil menegur, "Sebenarnya berapa usiamu? Kenapa ceroboh seperti anak kecil?""Dua puluh tahun," jawab Tiffany dengan mata berbinar-binar.Garry memalingkan wajah dan terkekeh-kekeh, lalu bertanya, "Kenapa kamu datang ke rumah sakit?"Tiffany menunjuk ruangan di belakang sambil membalas, "Temanku sedang mengobrol dengan kakak sepupunya."Garry melirik jam dan berujar, "Sudah waktunya jam makan siang. Temanmu mungkin nggak akan keluar secepat itu. Kebetulan aku mau makan siang. Gimana kalau kutraktir?"Tiffany berpikir sejenak, lalu mengetuk pintu untuk berpamitan dengan Julie, "Aku pergi sebentar."Garry berjalan di depan dengan wajah berseri-seri dan Tiffany mengikuti dari belakang. Sepertinya dari SMA 2, Tiffany sudah mengagumi pria ini.Saat itu, pe
Suasana di vila menjadi menegangkan. Sean melirik beberapa botol obat di atas meja. Tebersit kilatan dingin di matanya saat berkata, "Ternyata istriku pergi ke rumah sakit demi aku. Aku malah menyalahkanmu."Tiffany tidak bodoh. Dia tentu memahami makna tersirat pada ucapan Sean. Sean memberi isyarat tangan kepada pelayan di samping. Kepala pelayan segera menghampiri dan mengambil beberapa botol obat itu.Tiffany merasa kurang percaya diri. Dia bertanya, "Kamu menyuruh kepala pelayan menyimpannya karena nggak ingin makan ya?"Tiffany bisa merasakan kekesalan pada Sean. Sean tersenyum tipis dan berujar, "Makan saja dulu."Suara Sean terdengar sangat dingin dan rendah. Hal ini membuat Tiffany merasa gugup. Sepertinya, pria ini benar-benar marah.Tiffany mengepalkan tangan dengan erat. Mereka baru menikah 2 hari, tetapi dia sudah membawakan obat untuk Sean. Apakah ini terkesan kurang pantas? Apakah Sean mengira Tiffany membelikannya obat karena tidak menyukai kondisinya?Tiba-tiba, Tiffan
Ketika Tiffany belum tahu harus bagaimana menjelaskan, bibir Sean tiba-tiba menempel pada bibirnya. Sean menahan lengan dan tubuh Tiffany sambil menciumnya secara intens.Keintiman yang mendadak ini membuat Tiffany pusing. Dia merasa jiwanya akan diserap oleh Sean melalui ciuman ini.Sean melepaskannya, lalu tersenyum nakal dan bertanya, "Istriku, apa kamu cukup puas?"Perasaan Tiffany sungguh kacau balau. Dia mencoba melepaskan diri dari pelukan Sean, tetapi Sean menahannya dengan sangat erat. Jarak keduanya sangat dekat. Pada akhirnya, Tiffany kehabisan tenaga."Kenapa tenagamu besar sekali?" tanya Tiffany sambil mencebik. Sebelum menikah, kakek Sean jelas-jelas memberitahunya bahwa Sean sakit-sakitan sehingga Tiffany harus merawatnya dengan baik.Tiffany mengira penyakit Sean hampir sama dengan penyakit neneknya. Namun, tangan kekar yang memegang pinggang Tiffany tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa Sean penyakitan.Tiffany tampak cemberut . Sean pun tertawa melihatnya. Sean mengangk
Suara itu terdengar sangat manis dan lembut.Saat ini, mobil berhenti. Sean berucap, "Kamu punya setengah jam untuk mengganti baju."Suara Sean terdengar rendah, tetapi Tiffany bisa mendengar kegembiraan darinya. Sepertinya pria ini tidak marah lagi.Tiffany segera turun dari pangkuan Sean dan keluar dari mobil. Begitu mengambil langkah, dia teringat pada sesuatu sehingga bertanya, "Kamu nggak ikut turun?"Sean menyunggingkan bibirnya dan bertanya balik, "Kamu bertanya seperti itu karena ingin melanjutkan permainan kita di kamar ya?"Begitu ucapan ini dilontarkan, Tiffany langsung berlari masuk ke vila.Sambil menatap sosok belakang Tiffany yang bersemangat, Sean meletakkan kedua tangannya di belakang kepalanya untuk bersandar dengan santai. Muncul pula senyuman tipis di bibirnya.Tiffany dan Rika berdebat sekitar 10 menit di ruang ganti. Pada akhirnya, mereka mencapai kesepakatan. Mereka memilih sebuah gaun berwarna merah muda yang terlihat sangat feminin.Selesai berganti pakaian, Ri
Usai berbicara, Tiffany mengambil jasnya dan keluar dari kamar.Di luar, Brandon menatapnya dengan penuh kekaguman. "Dokter, sudah setengah bulan kita nggak bertemu, kamu tetap secantik seperti biasanya."Tiffany mengerutkan alisnya, lalu meliriknya sekilas dengan ekspresi datar. "Cari tempat duduk saja. Sebenarnya jantungmu sudah nggak ada masalah lagi. Tapi kalau kamu masih merasa khawatir, aku akan melakukan pemeriksaan sederhana.""Baik! Baik!" Brandon menatapnya dengan terkagum-kagum. "Aku akan pesan kamar sekarang ...."Tiffany langsung mengernyit. "Kita cuma berdua, jangan pesan kamar."Setelah berkata demikian, Tiffany melirik ke arah area duduk di kejauhan yang biasanya digunakan untuk menikmati pemandangan dari atas. "Kita duduk di sana saja."Brandon menggigit bibir dan bergumam, "Justru aku suka kalau cuma berdua denganmu ...."Tiffany mengambil barang-barangnya, lalu berjalan ke tempat duduk itu. Sementara itu, Brandon tampak sedikit enggan, tetapi tetapi mengikuti dari be
Makanya, selama 5 tahun ini, Tiffany menjalani hidupnya sendirian.Kini, dia akhirnya bertemu kembali dengan Sean. Namun, dia tidak tahu apakah dia seharusnya kembali bersama Sean atau tetap memegang kebencian masa lalu dan melanjutkan semuanya seperti sebelumnya ....Namun, saat ini dalam pelukan ini, Tiffany bisa merasa tenang tanpa rasa bersalah sedikit pun."Tiff." Suara rendah pria itu terdengar.Tiffany menggigit bibir, lalu bergumam pelan, "Apa?""Apa ada cara ...." Sean memejamkan matanya, suaranya rendah dan serius. "Supaya aku bisa terbiasa makan makanan pedas?""Aku nggak ingin melihatmu mengorbankan kesukaanmu demi aku, juga nggak ingin hanya bisa melihatmu menikmati makanan favoritmu tanpa bisa ikut menikmatinya. Aku ingin ....""Jangan pikir yang aneh-aneh!" Tiffany menggigit bibirnya. "Pencernaanmu nggak kuat. Tubuhmu memang nggak tahan terhadap kapsaisin. Itu sudah bawaan lahir, jadi jangan dipikirkan lagi!""Tapi ....""Nggak ada tapi-tapian." Seperti 5 tahun lalu, ket
Ketika Tiffany kembali ke kamar, bubur putih di nakas masih belum disentuh. Tiffany meletakkan obat yang baru dibelinya dari apotek, lalu menoleh ke arah Sean. "Nggak sesuai selera ya? Kenapa nggak dimakan?"Pria yang bersandar di ujung ranjang itu sudah melepas jaketnya, hanya mengenakan kemeja tipis dengan dua kancing atas terbuka. Ada sedikit noda keringat di kemejanya, membuatnya terlihat sangat seksi.Saat ini, Sean sedang bersandar dan menatap Tiffany dengan tatapan menggoda sekaligus lemah. "Nggak bisa makan."Tiffany merasa hatinya agak bergetar karena sikap Sean ini. Dia memalingkan wajah dan berdeham pelan. "Kalaupun nggak selera makan, kamu tetap harus makan. Pencernaanmu sedang buruk ...."Melihat keadaan Sean yang lemah, Tiffany mulai menyesali keputusannya. Saat diundang makan, seharusnya dia tidak membawa pria ini ke restoran dengan hidangan pedas hanya karena kesal.Dia tahu betul bahwa Sean tidak bisa makan pedas, tetapi tetap saja memesan berbagai macam hidangan pedas
Tiba-tiba, masuk pesan dari Sanny yang dipenuhi antusiasme.[ Dik, gimana? Tadi aku dengar dari suster, Tiffany pergi dengan seorang pria tampan dan wajahnya merah. Ke mana kamu membawanya? ]Sean tersenyum getir, lalu mengambil ponselnya untuk membalas.[ Sejak kapan kamu begitu peduli dengan urusanku dan Tiffany? ][ Seharusnya aku sudah peduli sejak lama. ]Di seberang telepon, wajah Sanny dipenuhi penyesalan.[ Sayangnya, dulu aku nggak ngerti perasaan antara pria dan wanita. Kalau aku ngerti, aku pasti nggak akan .... ][ Tapi, semua itu sudah berlalu. Sekarang tugasmu adalah merebut kembali Tiffany dan membawa kembali dua anak itu! ]Sean tersenyum tipis.[ Aku juga ingin begitu. ]Saat mengetik kalimat itu di ponselnya, Sean mengangkat kepalanya dan memandang ke arah dapur. Bibirnya membentuk senyuman tipis.[ Hanya saja ... jalannya masih panjang dan berliku. ]Di ujung telepon, Sanny mengernyit.[ Kalau begitu, kamu harus terus semangat. Kalau kamu bisa merebut kembali Tiffany
"Tiff." Sean mengangkat pandangannya dan menatapnya. "Dulu aku memang salah. Aku ... nggak pernah benar-benar berusaha memahami dirimu. Aku pikir, apa yang kamu tunjukkan di depanku adalah perasaan yang sesungguhnya."Tatapan Sean yang dalam kini dipenuhi penyesalan. "Seharusnya aku menyadarinya sejak awal. Dengan sifatmu yang begitu lembut, tentu saja ... kamu bersedia berpura-pura hanya demi membuatku bahagia."Sambil berkata begitu, Sean tersenyum. "Sekarang, biarkan aku yang membahagiakanmu. Apa lagi yang kamu suka, tapi belum kamu katakan padaku? Katakan saja."Tiffany menatap wajahnya yang semakin pucat. Wajahnya sendiri menjadi merah karena panik. "Jangan bicara lagi! Ikut aku kembali ke rumah sakit!"Namun, Sean malah berusaha menenangkannya. "Aku baik-baik saja.""Baik-baik saja apanya?" Suara Tiffany mulai bergetar. Dia nyaris menangis. "Kamu sendiri tahu perutmu lemah, 'kan?""Makanan pedas bisa melukai lambungmu! Dua tahun lalu kamu sakit maag, sekarang kamu malah ceroboh s
Setelah mengatakan itu, Tiffany berbalik dan pergi bersama Sean. Begitu keluar dari pintu utama, pria yang mengenakan setelan putih dengan aksen emas itu langsung menuju ke BMW merah milik Tiffany.Tiffany mengerutkan kening dan mengikutinya. "Pak Sean, kalau kamu yang mengundang makan, kenapa aku yang harus nyetir?""Karena aku nggak familier dengan tempat ini." Pria itu menyilangkan tangan dan bersandar di mobil. "Dari pertama kali aku mendengar nama kota ini sampai sekarang, belum genap 72 jam. Kamu rasa, apa mungkin aku tahu jalan atau tahu restoran mana yang enak?”Tiffany tidak bisa merespons. Benar juga, dia sampai lupa soal itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia membuka pintu mobil dan duduk di kursi pengemudi. Sementara itu, Sean yang bersetelan putih duduk di kursi penumpang dengan elegan.Tiffany menarik napas dalam-dalam. "Pak Sean ingin makan apa?”"Karena aku yang mengundangmu, tentu kamu yang harus pilih. Aku nggak terlalu pemilih soal makanan."Tiffany menyipitkan mata. "
Adegan penuh gairah yang telah lama tertunda ini tidak berlangsung terlalu lama. Meskipun tubuhnya masih menuntut lebih, Sean tahu Tiffany yang sekarang sudah berbeda.Dulu Tiffany polos dan menggemaskan, masih seorang mahasiswa, bisa sesuka hati. Sean bisa membuatnya tidak sanggup turun dari ranjang.Namun, kini dia cerdas dan dewasa. Dia adalah dokter ternama dengan status yang tidak bisa diremehkan. Sean tidak bisa terlalu menyita waktunya, apalagi merusak reputasinya."Pak Sean." Setelah selesai merapikan diri, Tiffany keluar dari toilet dengan ekspresi canggung. "Anggap saja nggak ada yang pernah terjadi.""Tapi kuharap kamu menepati janjimu dengan mendonasikan 40 miliar untuk dana medis rumah sakit kami. Nggak boleh kurang sepeser pun."Setelah mengatakan itu, dia seperti teringat sesuatu dan menatap Sean dengan datar. "Oh ya, saat menyumbangkan dana itu, tolong pastikan 30 miliar dari dana itu digunakan untuk departemen bedah jantung. Terima kasih."Sean tersenyum santai sambil
"Sean! Kamu gila ya!" Tiffany menggigit bibirnya, menahan amarah. "Ini rumah sakit!""Tapi, di sini ada ranjang." Sean menekan tubuhnya lebih erat. Bibirnya membentuk senyuman jahil. "Apa instruksi medisnya tadi? Apa Dok Tiff bisa mengulanginya untukku?"Tiffany memaki, "Dasar nggak tahu malu!""Aku cuma bertingkah nakal padamu." Sean mencium wajahnya, lalu turun ke lehernya dan menarik jasnya. Kemudian, dia terus mengecup ke bawah. "Tiff, aku sudah menahan diri selama 5 tahun.""Sejak kamu pergi, aku nggak pernah bersama wanita lain. Kamu tahu aku selalu seperti ini. Aku telah memikirkanmu selama 5 tahun. Sekarang kita bertemu lagi dan kamu berdiri di depanku mengatakan aku harus lebih sering melakukan ini. Gimana aku bisa menahan diri?"Tiffany tidak bisa berkata-kata. Sialan! Dia harus tahu siapa dokter urologi yang bertugas hari ini! Begitu dia tahu, dia akan langsung menghajarnya!Namun, ini bukan saatnya memikirkan bagaimana menangani dokter urologi itu! Sean telah mencium sampai
Tiffany menghabiskan sepanjang pagi menemani Sean menjalani pemeriksaan. Karena hari ini ada beberapa perusahaan yang datang untuk pemeriksaan kesehatan kolektif, staf medis di departemen medical check-up pun sangat sibuk. Akibatnya, banyak pemeriksaan Sean yang harus dilakukan langsung oleh Tiffany sendiri.Meskipun Tiffany adalah spesialis bedah jantung, dia adalah orang yang rajin dan gemar belajar. Dia memahami semua prosedur dan alat yang biasa digunakan dalam pemeriksaan kesehatan di rumah sakit.Sepanjang pagi, Tiffany seperti lebah pekerja yang sibuk. Dia membawa Sean ke berbagai ruangan pemeriksaan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat.Dia tidak ingin berduaan terlalu lama dengan Sean, jadi dia sengaja mempercepat semua proses pemeriksaan.Saat jam menunjukkan pukul 10 pagi, Tiffany sudah berhasil menyelesaikan seluruh rangkaian pemeriksaan Sean."Ada beberapa hasil yang baru akan keluar besok, lainnya sudah tersedia." Tiffany berdiri di depan Sean dengan ma