"Ke rumah sakit!" Setelah Charles memeriksa luka di tangan Tiffany, dia langsung mengambil keputusan, "Sepertinya otot dan tulangnya terluka. Harus segera ke rumah sakit!""Baik!"Begitu Charles selesai bicara, Sean langsung menggendong Tiffany dalam pelukannya. "Tiffany, jangan takut."Tiffany menahan rasa sakit, wajahnya pucat, tetapi dia masih tersenyum lembut ke arah Sean. "Aku nggak takut. Cuma sakit sedikit saja .... Aku nggak apa-apa.""Mana mungkin nggak apa-apa!" Untuk pertama kalinya, suara Sean terdengar panik. "Jangan bicara, aku akan bawa kamu ke rumah sakit!""Lalu bagaimana dengan pernikahan ini?" Keringat dingin mulai membasahi dahi Tiffany karena rasa sakit, tetapi dia masih menanyakan hal itu dengan polosnya."Tunda atau jadwal ulang. Kamu yang paling penting. Tanganmu juga yang paling penting!"Ketika Sean berlari keluar dari aula dengan Tiffany dalam pelukannya, tiba-tiba ....Terdengar jeritan tajam!"Ada pembunuhan!!!""Kepala Keluarga Rimbawan!"Teriakan dari dal
"Pada akhirnya, istri Raymond jadi ikut meninggal. Hari itu, sebenarnya Bibi Niken cuma ingin menabrak mati Raymond seorang diri."Sean duduk di bangku panjang, tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia mengangkat wajahnya dengan dingin dan menatap Xavier dengan tajam, "Aku nggak ingat ayahku punya dendam sama Keluarga Rimbawan atau Keluarga Japardi!""Bukan dengan keluarga mereka, tapi dengan Bibi Niken." Xavier menutup matanya sejenak, lalu berbicara dengan tenang, "Kamu pasti pernah mendengarnya.""Setelah Bibi Niken menjadi kepala Keluarga Rimbawan, hal pertama yang dia lakukan adalah memburu satu per satu pria yang pernah menodainya."Xavier menatap wajah Sean yang semakin kelam, "Ayahmu, adalah salah satunya."Perkataan itu bagaikan palu yang menghantam dada Sean dengan keras. Tangannya menggenggam begitu erat hingga hampir berdarah. Dia berkata dengan suara serak, "Kamu bohong!""Benar atau nggak, bukan aku atau kamu yang bisa menentukan. Semua pria it
Tiffany terbangun dan langsung menyadari bahwa tangan kanannya telah dibalut seperti kepompong."Ibu ...!" Begitu membuka mata, pikiran pertama yang muncul di benaknya adalah Nancy. Gambaran terakhir yang dia lihat sebelum pingsan adalah tubuh Nancy yang berlumuran darah saat dibawa ke ambulans.Tubuh ibunya sudah sangat lemah .... Apakah dia bisa bertahan ...?"Bibi Niken baik-baik saja." Xavier bangkit dari duduknya, mengambil bantal dan menyelipkannya di belakang Tiffany agar dia bisa bersandar dengan nyaman."Entah apakah Sania ragu-ragu di detik terakhir atau tangannya terpeleset," lanjutnya. "Tapi, dia nggak sampai melukai organ vital Bibi Niken. Jadi, nyawanya masih terselamatkan.""Haus?" Dia mengangkat gelas. "Mau aku ambilkan air?""Iya."Setelah mendengar kabar itu, Tiffany akhirnya bisa bernapas lega. Dia hendak menerima gelas yang diberikan Xavier, tetapi baru sadar bahwa tangan kanannya sudah tidak bisa digunakan.Xavier juga menyadari hal itu. Dia tersenyum tipis dan men
"Nggak tahu." Xavier mengangkat bahu. "Mungkin dia ingin memastikan sesuatu."Setelah berkata demikian, ekspresinya menjadi serius. Dia menatap Tiffany lekat-lekat. "Tapi, Tiff .... Aku sarankan kamu mulai mempertimbangkan kembali hubunganmu dengan Sean."Tiffany terdiam. Wajahnya perlahan menjadi pucat. "Apa maksudmu ...?"Mereka baru saja mengadakan pernikahan. Baru saja memulai kehidupan yang bahagia. Baru saja ... memulai segalanya."Aku bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan pribadi orang lain."Xavier tersenyum tipis dan menggeleng. "Kamu bisa lihat sendiri. Aku memang menyukaimu, tapi aku nggak pernah mencoba mengganggu atau mencampuri hubunganmu dengan Sean.""Aku nggak suka ikut campur dalam kehidupan orang lain. Tapi, Tiff ... hubunganmu dengan Sean ... terlalu banyak rintangan."Pria itu menghela napas pelan. Jantung Tiffany berdebar kencang. Namun, dia tetap tersenyum, meski senyumnya semakin hambar. "Kenapa? Bukankah aku dan Sean baik-baik saja? Hanya karena kakakny
Kata-kata Xavier membuat hati Tiffany terasa nyeri seakan ditusuk berulang kali. Gadis itu menggenggam tangannya erat.Ibunya ....Demi dirinya, ibunya rela melepaskan namanya, dendamnya, dan meninggalkan segalanya. Karena dia mencintai Sean, ibunya rela melupakan apa yang telah dilakukan ayah Sean padanya dan memilih untuk menerima Sean ....Tiffany memejamkan mata. Hatinya terasa hangat sekaligus menyakitkan. Nancy benar-benar telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk berkorban.Setengah hidupnya dia habiskan untuk Bronson.Setengah hidupnya lagi ...."Kamu tenangkan diri dulu." Xavier menarik napas dalam, lalu berbalik pergi.Setelah pria itu pergi, hanya Tiffany yang tersisa di kamar rumah sakit. Dia bersandar di kepala tempat tidur, menatap dinding putih pucat di hadapannya dengan pikiran yang berkecamuk.Entah kenapa, wajah kedua orang tuanya dan semua kebaikan mereka padanya terus bermunculan di benaknya. Begitu pula dengan segala perhatian dan kelembutan Sean selama ini.Setela
Sementara itu, Tiffany adalah putri dari musuh yang membunuh orang tua Sean. Seharusnya Sean tidak akan memilih Tiffany. Hati Tiffany hancur.Julie menepuk bahu Tiffany, lalu mendesah dan menghibur, "Semuanya akan berlalu. Tiffany, jangan sampai dendam di generasi sebelumnya memengaruhi hubunganmu dan Sean. Hak pilih ada di tanganmu."....Dalam beberapa hari selanjutnya, Sean sama sekali tidak mencari Tiffany. Jadi, Tiffany melakukan operasi, bangun karena mimpi buruk setiap hari, dan menjenguk Niken sendirian.Niken yang bersandar di kepala tempat tidur tersenyum dan menasihati, "Tiffany, jangan sampai hidupmu terpengaruh karena masalah Ibu."Tiffany memanggil, "Ibu ...."Niken memandang ke luar jendela, lalu melanjutkan, "Ibu nggak hidup bersamamu selama 19 tahun. Ke depannya Ibu juga nggak bisa menemanimu, begitu pula ayahmu. Dia bukan orang yang perhatian."Niken meneruskan, "Kalau kamu mengakui ayahmu, itu berarti kamu harus menjaganya. Hidupmu nggak akan begitu sempurna seperti
Suasana menjadi hening. Setelah beberapa saat, Sean menatap Tiffany dan bertanya, "Kapan kamu kembali?"Tiffany meminum kopi, lalu menyahut, "Lihat kondisinya dulu. Mungkin aku akan kembali setelah mengantar ibuku. Mungkin aku nggak akan kembali lagi setelah membawa Nenek dan lainnya ke sana."Selesai bicara, Tiffany tersenyum kepada Sean dan menambahkan, "Kamu harus jaga dirimu."Sean hanya memandangi Tiffany dan tidak berbicara. Dia tampak tidak berdaya. Tiffany tiba-tiba merasa dirinya sangat kejam. Namun, dia tidak akan menyesali keputusannya.Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu bertatapan dengan Sean dan menjelaskan, "Orang tuaku berharap masalah mereka nggak memengaruhi hubungan kita. Tapi, kakakmu membenciku dan hal ini nggak bisa diselesaikan dengan mudah."Tiffany meneruskan, "Orang tuaku merasa tenang menyerahkanku padamu, tapi mereka nggak tenang kalau aku hidup bersama kakakmu."Sean memegang cangkir kopi dengan erat. Dia tetap memandangi Tiffany dan tidak bersuara. Tif
Tiffany juga tidak bisa memikirkan kemungkinan lain lagi. Dia memahami Sean. Sebagai putra Raymond, Sean pasti tidak bisa menerima kenyataan ayahnya adalah orang yang keji. Namun, semuanya sudah jelas.Sejak kapan Sean lebih mementingkan keluarga dan tidak memedulikan kebenaran? Tiffany menghela napas, lalu menceletuk, "Mungkin dulu aku menganggapmu terlalu sempurna."Sebenarnya, Sean sama dengan Sanny. Dia hanya mementingkan keluarganya. Jadi, kenapa Tiffany juga tidak bersikap egois dan mengutamakan keluarganya?Tiffany tersenyum getir. Sebelum datang, dia berpikir jika Sean bersedia memutuskan hubungan dengan Sanny, dia akan kembali bersama Sean. Jika Sean mempertimbangkan pengaruh Sanny terhadap Tiffany, nantinya Tiffany akan menghabiskan sisa hidupnya bersama Sean setelah mengantar Niken.Bahkan, jika Sean menjamin ke depannya dia akan mengutamakan Tiffany dibandingkan keluarganya sendiri, Tiffany juga tidak akan memedulikan segalanya dan terus mencintai Sean.Namun, Sean tidak be
Setelah berkata demikian, wanita itu langsung melepaskan tangan Sean dan berlari menuju kamar tempat Brandon berada. Sean tetap berdiri di tempatnya dan matanya menyipit tajam.Tak lama kemudian, ambulans rumah sakit pun tiba. Tiffany bersama staf hotel mengangkat Brandon ke atas tandu dan ikut pergi bersama ambulans.Saat hendak naik ke ambulans di luar hotel, dia melihat Sean berdiri di pintu masuk hotel dan memandangnya dengan tatapan suram. Wanita itu menggertakkan giginya dan langsung menutup pintu ambulans.Sean ... tidak pantas!Jelas-jelas hubungan mereka sudah berbeda dari lima tahun lalu. Meskipun Sean ingin mendekatinya kembali, itu tetap membutuhkan waktu. Sekarang hubungan mereka masih terasa asing, tetapi Sean sudah berani melakukan hal seperti itu terhadap orang yang mendekatinya.Selain itu, Brandon adalah seorang pasien!Tadi Brandon sudah memberi tahu Sean bahwa jantungnya bermasalah. Namun, Sean tetap saja bertarung dengan Brandon hingga membuatnya pingsan.Setelah l
"Pertama, aku nggak enak membicarakan masa lalu di antara kami di depannya secara langsung. Aku takut itu akan membangkitkan kenangan menyakitkan baginya.""Kedua, Dokter Tiffany masih belum kenyang. Nggak mungkin kita mengganggunya bahkan saat dia sedang makan, 'kan?"Brandon berpikir sejenak dan merasa itu masuk akal. Dia pun bangkit dan berucap, "Dokter Tiffany, silakan lanjut makan. Kami akan keluar sebentar untuk mengobrol."Tiffany bahkan belum sempat bereaksi. Kedua pria itu sudah bangkit dan turun dengan lift bersama.Tiffany termangu sesaat. Kemudian, dia berdiri untuk mengejar mereka. Namun, setelah mengambil dua langkah, akhirnya dia berhenti.Sudahlah. Terserah mereka mau melakukan apa. Lagi pula, dia ingin menjauh dari kedua pria ini. Jadi, kalau mereka pergi bersama, itu justru lebih baik.Dengan tenang, Tiffany melanjutkan makannya. Sesudah selesai, dia bahkan membayar tagihan di restoran.Sepuluh menit kemudian, saat turun ke lobi hotel, dia mendengar suara panik dari m
Restoran di Grand Oriental, restoran bintang lima, sunyi senyap.Demi mengundang Tiffany dan Sean makan, Brandon meminta manajer hotel untuk mengosongkan seluruh restoran. Di dalam restoran yang luas itu, hanya ada tiga orang, yaitu Brandon, Tiffany, dan Sean.Di sebuah meja persegi panjang, ketiganya duduk dalam posisi yang aneh. Tiffany duduk di satu sisi, sementara Brandon dan Sean duduk di sisi lainnya.Dari sudut pandang mereka berdua, Tiffany seperti sedang berhadapan langsung dengan masing-masing dari mereka.Tak lama setelah mereka duduk, pelayan mulai menyajikan semua hidangan. Sean duduk di kursi yang empuk, tersenyum tipis sambil menatap meja makan di depannya.Jelas sekali, Brandon benar-benar telah berusaha keras untuk Tiffany. Jika tidak, bagaimana mungkin seluruh meja dipenuhi makanan yang sesuai dengan selera Tiffany?Memikirkan hal ini, Sean mengangkat alisnya sedikit, lalu menatap Tiffany sambil bertanya kepada Brandon dengan suara datar, "Semua ini makanan favorit Ti
Brandon mengernyit, menatap Tiffany dengan curiga. "Jadi, kalian berdua di dalam itu ...."Tiffany hanya merasa kepalanya semakin pusing. Dia menarik napas dalam-dalam. "Barusan mantan suamiku sakit, aku hanya merawatnya."Brandon memiliki banyak koneksi di rumah sakit. Tiffany tidak ingin semua orang di rumah sakit mengetahui hubungan serta perkembangan antara dirinya dan Sean.Jadi, dia tersenyum tipis ke arah Brandon. "Kamu juga tahu, dokter harus memiliki hati yang penuh belas kasih.""Dia memang mantan suamiku, tapi saat dia sakit dan butuh perawatan, aku nggak mungkin tinggal diam."Brandon langsung menatap Tiffany dengan mata berbinar. "Dokter memang seperti yang aku bayangkan, benar-benar malaikat kecil yang baik hati!"Tiffany terdiam untuk sesaat. Kemudian, dia berdeham pelan. "Bukannya kamu bilang ingin aku memeriksamu? Kemarilah ...."Brandon langsung berlari kecil ke arah Tiffany. "Maaf sudah merepotkanmu."Tiffany berdeham dua kali. "Duduk dulu, aku akan memeriksamu ...."
Usai berbicara, Tiffany mengambil jasnya dan keluar dari kamar.Di luar, Brandon menatapnya dengan penuh kekaguman. "Dokter, sudah setengah bulan kita nggak bertemu, kamu tetap secantik seperti biasanya."Tiffany mengerutkan alisnya, lalu meliriknya sekilas dengan ekspresi datar. "Cari tempat duduk saja. Sebenarnya jantungmu sudah nggak ada masalah lagi. Tapi kalau kamu masih merasa khawatir, aku akan melakukan pemeriksaan sederhana.""Baik! Baik!" Brandon menatapnya dengan terkagum-kagum. "Aku akan pesan kamar sekarang ...."Tiffany langsung mengernyit. "Kita cuma berdua, jangan pesan kamar."Setelah berkata demikian, Tiffany melirik ke arah area duduk di kejauhan yang biasanya digunakan untuk menikmati pemandangan dari atas. "Kita duduk di sana saja."Brandon menggigit bibir dan bergumam, "Justru aku suka kalau cuma berdua denganmu ...."Tiffany mengambil barang-barangnya, lalu berjalan ke tempat duduk itu. Sementara itu, Brandon tampak sedikit enggan, tetapi tetapi mengikuti dari be
Makanya, selama 5 tahun ini, Tiffany menjalani hidupnya sendirian.Kini, dia akhirnya bertemu kembali dengan Sean. Namun, dia tidak tahu apakah dia seharusnya kembali bersama Sean atau tetap memegang kebencian masa lalu dan melanjutkan semuanya seperti sebelumnya ....Namun, saat ini dalam pelukan ini, Tiffany bisa merasa tenang tanpa rasa bersalah sedikit pun."Tiff." Suara rendah pria itu terdengar.Tiffany menggigit bibir, lalu bergumam pelan, "Apa?""Apa ada cara ...." Sean memejamkan matanya, suaranya rendah dan serius. "Supaya aku bisa terbiasa makan makanan pedas?""Aku nggak ingin melihatmu mengorbankan kesukaanmu demi aku, juga nggak ingin hanya bisa melihatmu menikmati makanan favoritmu tanpa bisa ikut menikmatinya. Aku ingin ....""Jangan pikir yang aneh-aneh!" Tiffany menggigit bibirnya. "Pencernaanmu nggak kuat. Tubuhmu memang nggak tahan terhadap kapsaisin. Itu sudah bawaan lahir, jadi jangan dipikirkan lagi!""Tapi ....""Nggak ada tapi-tapian." Seperti 5 tahun lalu, ket
Ketika Tiffany kembali ke kamar, bubur putih di nakas masih belum disentuh. Tiffany meletakkan obat yang baru dibelinya dari apotek, lalu menoleh ke arah Sean. "Nggak sesuai selera ya? Kenapa nggak dimakan?"Pria yang bersandar di ujung ranjang itu sudah melepas jaketnya, hanya mengenakan kemeja tipis dengan dua kancing atas terbuka. Ada sedikit noda keringat di kemejanya, membuatnya terlihat sangat seksi.Saat ini, Sean sedang bersandar dan menatap Tiffany dengan tatapan menggoda sekaligus lemah. "Nggak bisa makan."Tiffany merasa hatinya agak bergetar karena sikap Sean ini. Dia memalingkan wajah dan berdeham pelan. "Kalaupun nggak selera makan, kamu tetap harus makan. Pencernaanmu sedang buruk ...."Melihat keadaan Sean yang lemah, Tiffany mulai menyesali keputusannya. Saat diundang makan, seharusnya dia tidak membawa pria ini ke restoran dengan hidangan pedas hanya karena kesal.Dia tahu betul bahwa Sean tidak bisa makan pedas, tetapi tetap saja memesan berbagai macam hidangan pedas
Tiba-tiba, masuk pesan dari Sanny yang dipenuhi antusiasme.[ Dik, gimana? Tadi aku dengar dari suster, Tiffany pergi dengan seorang pria tampan dan wajahnya merah. Ke mana kamu membawanya? ]Sean tersenyum getir, lalu mengambil ponselnya untuk membalas.[ Sejak kapan kamu begitu peduli dengan urusanku dan Tiffany? ][ Seharusnya aku sudah peduli sejak lama. ]Di seberang telepon, wajah Sanny dipenuhi penyesalan.[ Sayangnya, dulu aku nggak ngerti perasaan antara pria dan wanita. Kalau aku ngerti, aku pasti nggak akan .... ][ Tapi, semua itu sudah berlalu. Sekarang tugasmu adalah merebut kembali Tiffany dan membawa kembali dua anak itu! ]Sean tersenyum tipis.[ Aku juga ingin begitu. ]Saat mengetik kalimat itu di ponselnya, Sean mengangkat kepalanya dan memandang ke arah dapur. Bibirnya membentuk senyuman tipis.[ Hanya saja ... jalannya masih panjang dan berliku. ]Di ujung telepon, Sanny mengernyit.[ Kalau begitu, kamu harus terus semangat. Kalau kamu bisa merebut kembali Tiffany
"Tiff." Sean mengangkat pandangannya dan menatapnya. "Dulu aku memang salah. Aku ... nggak pernah benar-benar berusaha memahami dirimu. Aku pikir, apa yang kamu tunjukkan di depanku adalah perasaan yang sesungguhnya."Tatapan Sean yang dalam kini dipenuhi penyesalan. "Seharusnya aku menyadarinya sejak awal. Dengan sifatmu yang begitu lembut, tentu saja ... kamu bersedia berpura-pura hanya demi membuatku bahagia."Sambil berkata begitu, Sean tersenyum. "Sekarang, biarkan aku yang membahagiakanmu. Apa lagi yang kamu suka, tapi belum kamu katakan padaku? Katakan saja."Tiffany menatap wajahnya yang semakin pucat. Wajahnya sendiri menjadi merah karena panik. "Jangan bicara lagi! Ikut aku kembali ke rumah sakit!"Namun, Sean malah berusaha menenangkannya. "Aku baik-baik saja.""Baik-baik saja apanya?" Suara Tiffany mulai bergetar. Dia nyaris menangis. "Kamu sendiri tahu perutmu lemah, 'kan?""Makanan pedas bisa melukai lambungmu! Dua tahun lalu kamu sakit maag, sekarang kamu malah ceroboh s