Saat Tiffany tiba di lokasi yang dipotret oleh Xavier, sosok Xavier dan Kendra sudah tidak terlihat lagi. Yang tersisa hanyalah iring-iringan mobil yang melaju pergi.Tiffany memandang ke arah mobil-mobil itu pergi dengan kedua tangan terkepal erat. Dia memegang ponselnya dan mencoba menelepon Xavier dengan tangan bergetar.Begitu telepon tersambung, Xavier malah langsung memutusnya. Beberapa saat kemudian, masuk pesan dari Xavier.[ Ketika waktunya tiba, kita pasti akan bertemu. Nggak usah terburu-buru. ]Tiffany menggertakkan giginya dengan geram. Bagaimana mungkin dia tidak terburu-buru? Jika Sanny tidak menyuruh Genta menjebak Sean sebelumnya, dia pasti sudah tiba di Kota Zimbab dan pergi ke rumah Keluarga Rimbawan untuk mencari pamannya.Kini, Kendra telah kembali ke kota Aven. Bagaimana mungkin dia bisa berdiam diri? Selain itu, dari foto yang dikirimkan oleh Xavier tadi, pamannya itu jelas-jelas menatap rumah Keluarga Tanuwijaya. Pamannya berdiri di dekat rumahnya, menatap ke ar
Tiffany menggigit bibirnya. "Mereka sudah pergi.""Hm." Bronson tersadar dari lamunannya, lalu mengusap kepala Tiffany dengan lembut. "Mungkin karena mereka tahu aku ada di sini."Dengan sifat Nancy, dia tidak mungkin datang dengan gaya seheboh ini hanya untuk mencari informasi. Kedatangannya seharusnya untuk bertemu Tiffany dan Sean.Namun, karena Bronson dan Derek berada di sini, mereka pun memutuskan untuk pergi. Bronson menghela napas panjang, merasa agak getir.Setelah bertahun-tahun berlalu, Nancy masih tidak bisa melepaskan simpul di hatinya. Sebenarnya, Bronson tidak akan menyalahkannya atas kejadian tahun itu. Sebaliknya, dia merasa tidak tega pada Nancy.Lagi pula, apa haknya untuk menyalahkan dan membenci Nancy? Jika bukan karena menikah dengan pria seperti dia, yang bertindak tanpa memikirkan konsekuensi, Nancy tidak akan mengalami perlakuan seperti itu.Bronson menunduk, menatap wajah Tiffany yang sangat mirip dengan Nancy. Seketika, sebuah senyuman pahit tersungging di bi
Dua hari kemudian, Tiffany akhirnya bisa mencoba gaun pengantinnya di butik.Saat hendak keluar rumah pagi itu, Sean mengatur sekelompok pengawal untuk menemani Tiffany.Tiffany mengenakan sepatunya sambil menatap Sean dengan bingung. "Kalau kamu merasa nggak aman, kenapa nggak kamu saja yang menemaniku?"Memilih gaun pengantin adalah momen penting. Sebenarnya, Tiffany sangat berharap suaminya ada di sisinya."Kalau aku pergi, keberadaanku akan memengaruhi penilaianmu." Sean mendekat, lalu berjongkok untuk mengikat tali sepatu Tiffany dengan cekatan. "Selain itu, aku punya hal penting yang harus kuurus hari ini."Tiffany memanyunkan bibirnya, lalu menunduk menatap wajah serius Sean saat mengikat tali sepatunya. "Kamu yakin nggak mau ikut?""Ya." Sean tersenyum tipis, lalu mendongak menatap Tiffany. "Aku sangat menantikan melihatmu mengenakan gaun pengantin. Tapi, aku lebih berharap itu menjadi kejutan di hari pernikahan kita."Tiffany akhirnya menerima alasan itu, meskipun dengan seten
"Terlihat jelas bahwa desainer dari ketiga gaun itu menyukai elemen bintang, bunga kecil, dan bunga lily."Julie mengangguk setuju. Sesaat kemudian, dia mengedipkan mata kepada Zara dan berkata, "Kudengar kamu cukup akrab dengan Xavier. Apa dia pernah memberitahumu kalau kepala keluarganya suka dengan elemen-elemen ini?"Begitu mendengar nama Xavier, Zara langsung memutar bola matanya. "Aku nggak akrab dengannya!"Pria itu adalah orang paling aneh dan sulit ditebak yang pernah ditemuinya. Zara sama sekali tidak ingin mengenalnya, apalagi akrab dengannya!"Omonganmu ini membuatku sedih sekali." Begitu Zara melontarkan ucapannya, tiba-tiba terdengar suara pria dengan nada nakal.Zara dan Julie pun terperanjat. Kedua gadis itu refleks memandang ke arah sumber suara, lalu menemukan Xavier bersandar di pagar lantai tiga sambil menatap mereka."Kak Zara, kita pernah minum kopi dan yoghurt bersama, bahkan pernah naik pesawat bersama. Masa kamu bilang kita nggak akrab? Hatiku bisa terluka lho.
"Benarkah?" Tiffany merasa agak canggung, lalu merapikan sedikit bagian bawah gaunnya. "Aku merasa seperti aku bukan diriku lagi." Saat ini, gayanya memang benar-benar bertolak belakang dari dirinya yang biasa.Xavier menarik napas dalam-dalam. "Kelinci kecil, kamu harus lebih percaya diri sama dirimu sendiri. Kamu cantik sekali."Tiffany mengangguk dengan serius, begitu gugup hingga dia bahkan lupa bertanya mengapa Xavier ada di sini. Dia memalingkan wajah, melihat ke arah Julie dan Zara. "Menurut kalian gimana?""Cantik sekali." Julie tersenyum tipis sambil memberikan pendapatnya. "Tapi memang agak berbeda dari gaya yang biasa kamu pakai, jadi kamu merasa agak canggung."Zara juga mengangguk setuju. "Coba saja beberapa gaun lainnya. Mungkin di antara beberapa gaun berikutnya, ada yang membuatmu merasa lebih nyaman."Tiffany mengangguk serius. Baru saja dia hendak berbalik menuju ruang ganti, Xavier memanggilnya. "Kelinci kecil!" Tiffany terkejut dan menoleh ke belakang.Klik.Saat ga
Gadis itu menarik napas dalam-dalam. "Biar Ayah, Kakek ... dan juga Ibu ... memberikan pendapat mereka."Setelah berkata demikian, dia mengambil ponselnya dan memotret kedua foto tersebut satu per satu, lalu menyerahkannya kepada Xavier. "Kamu bantu tanyakan sama dia, ya."Fakta bahwa dia adalah putri Niken yang sebenarnya bukan lagi rahasia. Oleh karena itu, Tiffany tidak merasa perlu untuk terlalu sungkan dengan Xavier.Xavier melihat foto-foto di tangannya sambil tersenyum.Pria itu meregangkan tubuh, lalu menoleh ke arah lantai tiga. "Bibi Niken, dari dua pilihan ini, salah satunya adalah desain Anda.""Meski dia masih ragu, itu artinya di dalam proses pilihannya, dia tetap tidak bisa mengabaikan gaun pengantin yang Anda buat untuknya. Apakah Anda masih ingin terus menikmati pertunjukan ini dari atas?"Perkataan Xavier membuat Tiffany terkejut hingga matanya membelalak. Dia menoleh secara refleks ke arah lantai tiga ....Di sana dia melihat sekumpulan penjaga berbaju hitam berdiri
Kendra mengangguk pelan dan melangkah mendekat. Dia ingin mengulurkan tangan untuk memeluk Tiffany, tetapi tetap ragu-ragu. Dia hanya berdiri terpaku di tempat dengan tatapan penuh kasih sayang. "Tiffany.""Paman!"Sudah lama mereka tidak bertemu. Dalam sekejap, semua perasaan yang selama ini terpendam. Kekhawatiran, rasa tertekan, ketidakberdayaan, dan kesedihan ... semua membanjiri hati Tiffany.Tanpa peduli apa pun, dia berlari ke arah Kendra dan memeluknya erat. "Paman! Aku khawatir sekali sama Paman!"Kendra mengatupkan bibirnya dengan gugup dan melirik ke arah Niken sejenak. Dia ingin memeluk Tiffany, tapi rasa takut membuatnya ragu.Bagaimanapun ... sejak asal-usul Tiffany terungkap, Kendra, seorang pengawal dari desa kecil, merasa bahwa dia tidak pantas menerima panggilan "paman" dari Tiffany.Perbedaan status mereka terlalu besar. Tiffany yang seharusnya menjadi gadis yang dimanjakan oleh takdir, justru harus menderita selama bertahun-tahun karena sebuah keputusan dari Kendra.
Namun, kemiripan Tiffany dengan Niken hanya sebatas penampilan. Tiffany merasa, aura yang dimiliki Niken adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa dia capai seumur hidupnya.Sorot mata Niken dingin, anggun, tenang dan berwibawa. Tatapan yang mencerminkan pengalaman menyaksikan begitu banyak suka dan duka dunia, penuh kebijaksanaan dan sekaligus kehampaan.Bahkan saat menatap putri kandungnya yang sudah 19 tahun tidak dia temui, mata Niken tidak menunjukkan banyak emosi, baik kegembiraan maupun keterkejutan."Terpana?" Niken tersenyum tipis, lalu menunjuk tempat di sebelahnya. "Duduk."Tiffany menggigit bibir, lalu duduk di sisi Niken dengan sedikit canggung.Ketika kakeknya mengatakan bahwa ibunya akan datang, Tiffany telah membayangkan ribuan skenario tentang pertemuan mereka. Dia mengira pertemuan itu akan penuh emosi seperti saat dia bertemu ayahnya. Berpelukan sambil menangis tersedu-sedu.Namun .... Dia melirik ke arah wanita di sebelahnya yang ekspresinya tetap tenang dengan tak
Kepala Lena langsung terpelintir ke samping karena tamparan itu. Dia menjilat darahnya yang amis dan manis di sudut bibirnya, lalu menatap Miska yang menamparnya dengan tatapan yang dingin. "Kamu pikir kamu ini siapa?"Miska menatap Lena dengan dingin dan berkata, "Aku ini tunangan pria yang di dalam. Karena kamu, tunanganku baru jadi seperti sekarang. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku nggak akan memaafkanmu."Setelah menatap Miska dengan tatapan menyindir selama beberapa saat, Lena tertawa. "Kamu adalah tunangannya pria itu? Kalau begitu, kamu benar-benar kasihan. Kalau kamu nggak bilang, aku akan mengira kamu ini adiknya Tiffany. Kemungkinan besar, pria itu bersamamu karena menganggapmu sebagai pengganti Tiffany, 'kan?"Setelah mengatakan itu, Lena melanjutkan sambil menggelengkan kepala dan ekspresinya terlihat kasihan. "Sayang sekali. Meskipun sudah ada kamu yang sebagai pengganti, hatinya tetap nggak bisa melupakan Tiffany. Kalau nggak, dia juga nggak akan menabrak truk itu demi
"Aku Miska, panggil aku Miska saja." Gadis itu meremas tali ranselnya dan bertanya dengan cemas, "Katanya dia mau datang duluan untuk kasih kamu kejutan. Kenapa tiba-tiba kecelakaan?"Tiffany memejamkan matanya, tidak tahu harus menjelaskan dari mana untuk sesaat. Namun, dia tetap menatap gadis itu dan berkata, "Miska, kamu ... harus menyiapkan mentalmu. Cedera Xavier kelihatannya cukup parah."Miska tertegun, baru menyadari betapa serius situasinya. Mata bulatnya yang hitam sontak menjadi suram. "Dia ... dia nggak apa-apa, 'kan? Kami baru saja ... tunangan."Kalau saja Miska tidak menyebut itu, mungkin Tiffany bisa menahan diri. Namun, begitu kalimat itu dilontarkan, rasa sakit langsung menyayat hatinya.Semua ini salahnya. Karena kebaikannya sendiri, dia memberi celah bagi kakak beradik itu untuk menyakitinya.Seandainya hari itu dia berbicara terus terang kepada Sean soal kejadian tiga tahun lalu, seandainya dia membongkar kebohongan Vivi, mungkin Xavier yang jauh-jauh datang untuk
Di belakang mereka mulai terdengar teriakan, ada yang mulai menelepon polisi. Suara sirene mobil patroli dan ambulans pun terdengar bersahut-sahutan.Tiffany terdiam dalam pelukan Sean, matanya masih tertutup oleh telapak tangan pria itu. Dia seperti boneka yang kehilangan jiwanya, bersandar lemas di dadanya."Xavier ... dia baik-baik saja, 'kan?""Dia akan baik-baik saja." Sean memeluknya erat. "Dia sudah dibawa ambulans untuk mendapatkan pertolongan. Kita ke sana ya.""Ya ...." Tiffany masih bersandar di pelukannya, suaranya lirih. "Sean, kamu yakin nggak salah lihat? Dia bilang besok baru sampai dan bawa tunangannya ke sini .... Gimana mungkin .... Nggak mungkin. Dia seharusnya masih di luar negeri sekarang ...."Nada suaranya pilu.Sean memeluknya lebih erat. "Mungkin dia mau kasih kejutan untukmu." Suara berat Sean terdengar serak. "Tadi dia telepon aku, tanya kamu di mana.""Aku bilang kamu di lembaga penelitian. Setelah itu, dia langsung matiin telepon. Sepertinya dia datang leb
"Tiff ... kamu benaran cuma butuh dua hari untuk menyelesaikan makalah serumit ini?"Di dalam kantor Risyad, Tiffany tersenyum sambil menatapnya. "Ini semua berkat bimbingan Pak Risyad yang luar biasa. Aku tahu kamu sangat menghargaiku, jadi aku nggak berani menyepelekan tugasku. Makanya, aku buru-buru menyelesaikannya."Risyad yang memakai kacamata tebal itu pun memancarkan kebanggaan dan kekaguman. "Anak muda memang luar biasa! Penuh semangat, penuh energi, dan punya kemampuan!"Saking semangatnya, Risyad menahan Tiffany untuk mengobrol. Sampai akhirnya ada yang mengetuk pintu dari luar, barulah Tiffany bisa terbebas dari pembicaraan panjang Risyad yang sangat antusias.Saat Tiffany keluar dari lembaga penelitian, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Matahari masih bersinar, tetapi cahayanya terasa lembut.Saat berdiri di depan gerbang lembaga penelitian, Tiffany meregangkan badan sambil menarik napas lega. Beban besar di hatinya akhirnya terangkat.Beberapa hari ke depan, tugasnya
Xavier dan tunangannya dijadwalkan tiba di Kota Aven tiga hari lagi. Agar punya waktu untuk menemani tunangan Xavier jalan-jalan di Kota Aven, Tiffany sampai mengambil cuti beberapa hari dari lembaga penelitian.Untungnya, pihak lembaga cukup pengertian. Meskipun Tiffany baru bekerja di sana, setiap kali dia meminta cuti, atasan selalu menyetujui tanpa banyak tanya."Tapi, Tiff ...." Suara Risyad terdengar dari seberang telepon, diiringi batuk kecil. "Aku ingat kamu janji, selama beberapa hari ini di rumah, kamu bakal menyelesaikan jurnal penelitianmu, 'kan?"Tiffany buru-buru mengangguk. "Tenang saja, Pak! Sebelum masa cuti habis, aku pasti akan kirim jurnal penelitianku ke lembaga! Aku nggak pernah ingkar janji kok!"Suaranya yang tegas dan meyakinkan membuat Risyad tertawa. "Oke, jangan sampai kamu ingkar janji ya!"Setelah mengobrol sebentar, Tiffany langsung merengek manja pada Sean untuk mengantarnya pulang agar bisa segera menulis jurnal.Meskipun mengatakan akan menyelesaikanny
Begitu selesai bicara, Xavier langsung mengakhiri panggilan.Di sisi lain, Tiffany masih memegang ponsel dengan perasaan yang menggebu-gebu. Xavier akhirnya menemukan cinta sejatinya! Bagi Tiffany, ini benar-benar adalah kabar bahagia!Selama lima tahun terakhir, Xavier selalu ada di sampingnya, menjaga janji yang pernah dia ucapkan pada mendiang ibunya. Tiffany bahkan sempat khawatir, apakah Xavier akan selamanya membujang demi merawatnya?Dia bahkan pernah berpikir, kalau dia akhirnya balikan dengan Sean dan meninggalkan Xavier begitu saja, bukankah itu terlalu kejam?Apalagi selama lima tahun ini, perhatian Xavier padanya benar-benar tak ada duanya. Bahkan, Xavier tidak sebaik itu terhadap adik kandungnya sendiri, Jayla.Tiffany benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Xavier. Kini, karena Xavier sudah menemukan cinta sejatinya, dia akhirnya merasa lega.Tak lama kemudian, Sean kembali ke mobil. Tiffany yang kini sudah tidak mengantuk, bersandar di kursi sambil terse
Tak lama kemudian, mobil sampai di taman kanak-kanak.Meskipun Sean sudah sangat berhati-hati, suara gaduh dari luar mobil saat parkir tetap saja membangunkan Tiffany dari tidurnya.Mata wanita itu masih terlihat mengantuk, tetapi tetap terlihat jernih dan indah. Dia menguap dan menoleh ke luar jendela. "Sudah sampai ya."Setelah itu, dia mengangkat tangan untuk membuka pintu mobil, tetapi segera dihentikan oleh Sean.Pria itu tersenyum tipis, tampak tak berdaya. "Kalau masih ngantuk, jangan turun dulu. Biar aku saja yang antar mereka masuk. Kamu tunggu di mobil saja."Tiffany menggigit bibirnya, secara refleks menoleh menatap dua anak kecil di sampingnya. "Tapi ....""Sudahlah." Arlo menghela napas panjang. "Mama yang bodoh, istirahat saja di mobil. Kami turun dulu.""Betul! Mama istirahat saja ya!" Arlene ikut mengangguk sambil tersenyum lebar.Akhirnya, Tiffany pun ditinggal sendiri di dalam mobil, sementara ketiganya orang itu turun bersama.Bersandar di jok kulit mobil, Tiffany ke
"Juga bakal jadi anak kecil yang gendut nanti," ucap Arlo yang mengikuti di belakang Sean dengan cemberut."Sembarangan! Arlene nggak bakal gendut!""Kamu bakal gendut!"Arlo menarik napas dalam-dalam. "Nggak masalah kalau Pak Sean antar kita ke sekolah setiap hari. Tapi, Mama juga harus ikut."Tiffany tertegun dan refleks bertanya, "Kenapa begitu?"Dia baru saja berpikir, kalau nanti anak-anak diantar Sean setiap hari, dia bisa bermalas-malasan di rumah dong ....Jujur saja, selama beberapa tahun ini, kecuali dalam kondisi khusus, semua urusan antar jemput anak-anak ke sekolah diurus oleh Tiffany sendiri. Itu cukup melelahkan.Sekarang dia akhirnya mendapat kesempatan untuk bermalas-malasan, tetapi anaknya malah tidak memberinya izin?"Buat menunjukkan kepemilikan." Arlo mencebik dan berkata dengan suara rendah, "Soalnya para ibu-ibu terus melihat Pak Sean kayak mau diterkam. Jadi, Mama harus selalu ikut. Kalau nggak, para guru juga bisa jadi gila."Tiffany tidak bisa berkata-kata. Ay
Tiffany keluar dari kamar Sean dengan pipi memerah. Di luar pintu, dua bocah kecil yang memakai setelan jas kecil dan gaun kecil sedang berdiri manis, dengan tas kecil di punggung mereka. Mereka bersandar di dinding koridor seperti dua murid SD yang sedang dihukum berdiri.Melihat Tiffany keluar, Arlo cemberut dan mengedipkan mata dengan nakal. "Mama ini nggak tahan godaan, cepat banget ditaklukkan."Wajah Tiffany langsung memerah.Arlene yang melihat itu buru-buru berlari ke depan Tiffany dan melindunginya. "Kakak nggak boleh bicara kayak gitu ke Mama ya! Mama itu kayak Arlene, suka sama pria ganteng!"Arlo memutar bola matanya dengan pasrah. "Kalian sama-sama bucin."Arlene membalas dengan percaya diri, "Hmph! Kata Guru, cewek yang bucin itu lebih disukai!"Suara polos kedua anak itu seketika membuat hati Tiffany hangat dan senang. Dia tersenyum tipis, lalu berjongkok sambil mengelus kepala Arlene. "Mana PR yang butuh tanda tangan Mama?"Arlene cemberut dan berjinjit mendekat ke teli