"Sean!" Air mata Tiffany mulai jatuh tanpa bisa dihentikan, bahkan tangisannya terdengar sangat menyedihkan."Jangan nangis." Tubuh Sean semakin berat. Suaranya rendah dan serak dengan sedikit penyesalan dan sedikit rasa bersalah. "Aku nggak bisa memelukmu lagi."Begitu Sean selesai berbicara, tubuhnya yang lemas langsung jatuh setengah berlutut di lantai. Tiffany tahu ini adalah efek dari obat tidur dan anestesi. Hatinya terasa cemas dan marah.Mereka benar-benar tega melakukan hal seperti ini kepada Sean! Meskipun tubuhnya tidak terluka parah, obat-obatan seperti ini bisa merusak saraf Sean.Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat tangannya untuk menopang tubuh Sean. "Sayang, nggak apa-apa. Kamu nggak bisa memelukku, tapi aku bisa memelukmu! Aku sangat kuat, kamu harus percaya padaku!"Tiffany memeluknya, berusaha sekuat tenaga agar tubuhnya dapat menopang berat tubuh Sean."Dasar bodoh." Sean tersenyum pahit. Tubuhnya akhirnya tidak kuat lagi. Dia benar-benar terjatuh di
Jari Carla berdarah. Rasa perih ini sampai membuat kepalanya sakit. Carla menggertakkan giginya sambil menekan jarinya dengan tangan yang satu lagi. "Pengawal, panggil dokter kemari!"Dengan mata memerah, Carla memelototi tangan Sean yang merangkul Tiffany. "Kamu nggak mau lepas, 'kan? Suruh dokter potong daging Tiffany pakai pisau bedah!"Carla yakin dirinya tidak akan kalah dari pasangan ini. Lagi pula, mereka jatuh pingsan.Sofyan yang berdiri di samping pun menasihati, "Nona, kamu yakin? Aku tahu kamu sangat marah, tapi jangan sampai melukai orang. Gimana kalau Tuan Sean membencimu karena masalah ini?""Hehe." Carla terkekeh-kekeh. "Kamu rasa aku takut dibenci Sean? Kalau aku takut, mana mungkin aku berdiri di sini dan menyuruh orang membawa Tiffany pergi!"Carla melirik Sofyan dengan dingin. "Aku nggak pernah peduli pada orang lain. Yang kumau adalah posisi sebagai istri Sean dan uang yang diberikan Kak Sanny. Aku nggak peduli Sean menyukai atau membenciku!"Sofyan termangu, lalu
Eee ... memukul wanita ....Bronson berdeham, lalu mendongak melirik Carla yang berdiri di depannya.Harus diakui bahwa dia sangat marah dengan tindakan Carla. Namun, dia tidak akan memukul gadis muda seperti Carla.Bagaimanapun, Carla sebaya dengan Tiffany. Bronson yang sudah berusia 40-an tahun tidak mungkin main tangan dengan Carla. Kalaupun memukul wanita, tidak mungkin yang usianya masih semuda ini. Jangan sampai orang lain mengira Carla adalah putrinya.Bronson mengernyit, lalu melirik lengan baju berwarna biru yang terlihat di pojok. Dia memanggil, "Chaplin?"Pemuda berusia 13 tahun itu pun melangkah maju dengan ragu. "Ya, aku di sini."Bronson memberinya isyarat mata. "Kamu lihat itu tadi? Dia mau melukai kakak dan kakak iparmu. Pukul dia.""Oh." Chaplin mengangguk, lalu bergegas mendekati Carla.Carla termangu sejenak. Kemudian, dia menatap Chaplin dengan dingin. "Kamu berani memukulku? Aku calon istri ...."Plak! Sebelum Carla menyelesaikan ucapannya, Chaplin sudah melayangka
Kedatangan mereka adalah sesuatu yang sangat terhormat. Tidak peduli di mana pun, orang-orang pasti akan merasa takjub mendengarnya."Aku kurang suka sama adikmu." Bronson menguap, lalu melirik Sanny dengan dingin. "Kami datang untuk menjenguk Tiffany."Begitu mendengarnya, ekspresi Sanny sontak menegang. "Menjenguk ... Tiffany ...?"Apa yang berharga dari gadis ini? Dia hanya anak adopsi seorang pelaku pembakaran. Dia hanya gadis desa yang tidak tahu diri!"Ya." Bronson melepaskan tangannya yang terus memapah Derek. Kemudian, dia datang ke sisi Sofyan untuk memapah Tiffany yang tidak sadarkan diri. "Kami datang untuk mencarinya."Bronson mengernyit, mencoba melepaskan tangan Sean dari tubuh Tiffany. Namun, usahanya sia-sia.Carla yang babak belur pun tertawa dan berkata, "Tangannya nggak bakal lepas dari tubuh Tiffany. Kami semua sudah mencobanya. Selain memotong daging jalang itu, nggak ada cara lain lagi."Bronson mengernyit mendengarnya. Saat berikutnya, dia langsung mengangkat kak
Carla yang berdiri di samping pun membelalak. "Kak ...."Ucapan Sanny ini sama dengan mengakui bahwa Sean dan Tiffany tak terpisahkan. Lantas, bagaimana dengan dirinya?Carla memegang dinding untuk menopang tubuhnya. Dia datang ke hadapan Sanny dengan susah payah. "Bukannya kamu bilang mereka akan cerai sebentar lagi? Aku calon istri Sean, 'kan?"Derek mengelus janggutnya sambil tersenyum tipis. "Dik, kamu bilang kamu calon istri Sean? Kalau Sean kehilangan tangannya, apa kamu masih mau sama dia? Kamu akan melayaninya nggak?"Begitu mendengarnya, Carla sontak termangu. Dia tentu tidak bersedia! Saat mengetahui Sean buta saja, dia menolak untuk menikah! Jika Sean tidak mengklarifikasi kebenaran, Carla tidak mungkin mempertimbangkan Sean!Lagi pula, siapa yang akan sebodoh Tiffany, menikah dengan orang cacat? Namun, Carla tidak berani mengungkapkan pemikirannya ini. Dia tersenyum tulus sambil menyahut, "Tentu saja mau!"Carla mengira jawabannya ini akan menunjukkan ketulusannya terhadap
"Eee ... anu, aku seharusnya melepaskan bajuku dulu atau bajumu dulu?" tanya Tiffany Maheswari dengan hati-hati. Dia berdiri di depan kamar mandi dan hanya membalut tubuhnya dengan handuk.Malam ini adalah malam pertamanya. Pria di depan sana, yang duduk di kursi roda dan menutup matanya dengan sutra hitam adalah suaminya.Ini pertama kalinya Tiffany bertemu calon suaminya. Parasnya lebih tampan daripada yang terlihat di foto. Hidungnya mancung, alisnya tebal, tubuhnya tinggi dan tegap. Ini adalah tipe pria Tiffany.Sayang sekali, pria itu buta dan duduk di kursi roda. Ada yang mengatakan bahwa Sean Tanuwijaya adalah pembawa sial. Ketika berusia 9 tahun, orang tuanya meninggal karenanya. Ketika berusia 13 tahun, kakaknya meninggal karenanya. Kemudian, 3 wanita yang pernah menjadi calon istrinya juga mati.Ketika mendengar rumor ini, Tiffany sangatlah takut. Namun, pamannya bilang mereka baru bisa mengobati penyakit neneknya jika dia menikah dengan Sean. Demi neneknya, Tiffany bersedia
Tiffany bertanya dengan heran, "Kalau aku keluar, kamu bisa mandi sendirian?"Bukannya pria ini tidak bisa melihat apa pun? Sean tidak berbicara, tetapi suasana menjadi makin menegangkan.Tiffany bisa merasakan kemarahan Sean. Dia melepaskan handuk gosoknya, lalu berucap sebelum pergi, "Kalau begitu, kamu hati-hati ya. Panggil aku kalau butuh bantuan."Setelah keluar dari kamar mandi, Tiffany tampak gelisah dan terus memandang ke arah kamar mandi. Bagaimana kalau Sean terjatuh dan mati di dalam sana? Mereka baru menikah. Tiffany tidak ingin menjadi janda.Ketika Tiffany sedang mencemaskan Sean, ponselnya tiba-tiba berdering. Ternyata sahabatnya, Julie, mengirimnya sebuah video. Judul video itu adalah materi pelajaran.Materi pelajaran? Tiffany mengkliknya dengan heran sambil bertanya-tanya dalam hati, 'Ujian masih lama. Untuk apa mengirimnya materi pelajaran sekarang?'"Um ... ah ... hm ...." Begitu video diputar, terlihat seorang wanita bersandar di atas tubuh seorang pria ....Wajah
Kemudian, Tiffany berbalik untuk kembali ke dapur. Kedua pelayan itu segera menghentikannya. "Nyonya, nggak perlu."Mereka digaji untuk masak, tetapi semua sudah disiapkan oleh Tiffany. Kalau sampai Sean tahu soal ini, bukankah mereka akan dipecat?"Nyonya, aku dan Rika bertanggung jawab masak sarapan. Kamu baru datang ke rumah ini, nggak mungkin tahu selera Tuan. Sebaiknya jangan membuat masalah di dapur," ujar salah seorang pelayan dengan kesal.Pelayan bernama Rika itu segera menyahut, "Ya, Bibi Prisa benar. Sebaiknya Nyonya istirahat saja.""Tuan nggak makan makanan seperti ini. Dia selalu sarapan roti lapis, ham, dan susu. Sarapan yang Nyonya buat terlalu kuno," ucap Prisa sambil memandang sarapan yang terlihat hambar itu.Ekspresi Tiffany tampak heran sesaat, lalu menjadi suram. Dia menunduk dan mengiakan. "Kalian benar."Orang kaya memang suka bergaya. Di kampusnya, para siswa kaya saja tidak pernah pergi ke kantin untuk makan, apalagi orang sekaya Sean. Tiffany merasa dirinya s
Carla yang berdiri di samping pun membelalak. "Kak ...."Ucapan Sanny ini sama dengan mengakui bahwa Sean dan Tiffany tak terpisahkan. Lantas, bagaimana dengan dirinya?Carla memegang dinding untuk menopang tubuhnya. Dia datang ke hadapan Sanny dengan susah payah. "Bukannya kamu bilang mereka akan cerai sebentar lagi? Aku calon istri Sean, 'kan?"Derek mengelus janggutnya sambil tersenyum tipis. "Dik, kamu bilang kamu calon istri Sean? Kalau Sean kehilangan tangannya, apa kamu masih mau sama dia? Kamu akan melayaninya nggak?"Begitu mendengarnya, Carla sontak termangu. Dia tentu tidak bersedia! Saat mengetahui Sean buta saja, dia menolak untuk menikah! Jika Sean tidak mengklarifikasi kebenaran, Carla tidak mungkin mempertimbangkan Sean!Lagi pula, siapa yang akan sebodoh Tiffany, menikah dengan orang cacat? Namun, Carla tidak berani mengungkapkan pemikirannya ini. Dia tersenyum tulus sambil menyahut, "Tentu saja mau!"Carla mengira jawabannya ini akan menunjukkan ketulusannya terhadap
Kedatangan mereka adalah sesuatu yang sangat terhormat. Tidak peduli di mana pun, orang-orang pasti akan merasa takjub mendengarnya."Aku kurang suka sama adikmu." Bronson menguap, lalu melirik Sanny dengan dingin. "Kami datang untuk menjenguk Tiffany."Begitu mendengarnya, ekspresi Sanny sontak menegang. "Menjenguk ... Tiffany ...?"Apa yang berharga dari gadis ini? Dia hanya anak adopsi seorang pelaku pembakaran. Dia hanya gadis desa yang tidak tahu diri!"Ya." Bronson melepaskan tangannya yang terus memapah Derek. Kemudian, dia datang ke sisi Sofyan untuk memapah Tiffany yang tidak sadarkan diri. "Kami datang untuk mencarinya."Bronson mengernyit, mencoba melepaskan tangan Sean dari tubuh Tiffany. Namun, usahanya sia-sia.Carla yang babak belur pun tertawa dan berkata, "Tangannya nggak bakal lepas dari tubuh Tiffany. Kami semua sudah mencobanya. Selain memotong daging jalang itu, nggak ada cara lain lagi."Bronson mengernyit mendengarnya. Saat berikutnya, dia langsung mengangkat kak
Eee ... memukul wanita ....Bronson berdeham, lalu mendongak melirik Carla yang berdiri di depannya.Harus diakui bahwa dia sangat marah dengan tindakan Carla. Namun, dia tidak akan memukul gadis muda seperti Carla.Bagaimanapun, Carla sebaya dengan Tiffany. Bronson yang sudah berusia 40-an tahun tidak mungkin main tangan dengan Carla. Kalaupun memukul wanita, tidak mungkin yang usianya masih semuda ini. Jangan sampai orang lain mengira Carla adalah putrinya.Bronson mengernyit, lalu melirik lengan baju berwarna biru yang terlihat di pojok. Dia memanggil, "Chaplin?"Pemuda berusia 13 tahun itu pun melangkah maju dengan ragu. "Ya, aku di sini."Bronson memberinya isyarat mata. "Kamu lihat itu tadi? Dia mau melukai kakak dan kakak iparmu. Pukul dia.""Oh." Chaplin mengangguk, lalu bergegas mendekati Carla.Carla termangu sejenak. Kemudian, dia menatap Chaplin dengan dingin. "Kamu berani memukulku? Aku calon istri ...."Plak! Sebelum Carla menyelesaikan ucapannya, Chaplin sudah melayangka
Jari Carla berdarah. Rasa perih ini sampai membuat kepalanya sakit. Carla menggertakkan giginya sambil menekan jarinya dengan tangan yang satu lagi. "Pengawal, panggil dokter kemari!"Dengan mata memerah, Carla memelototi tangan Sean yang merangkul Tiffany. "Kamu nggak mau lepas, 'kan? Suruh dokter potong daging Tiffany pakai pisau bedah!"Carla yakin dirinya tidak akan kalah dari pasangan ini. Lagi pula, mereka jatuh pingsan.Sofyan yang berdiri di samping pun menasihati, "Nona, kamu yakin? Aku tahu kamu sangat marah, tapi jangan sampai melukai orang. Gimana kalau Tuan Sean membencimu karena masalah ini?""Hehe." Carla terkekeh-kekeh. "Kamu rasa aku takut dibenci Sean? Kalau aku takut, mana mungkin aku berdiri di sini dan menyuruh orang membawa Tiffany pergi!"Carla melirik Sofyan dengan dingin. "Aku nggak pernah peduli pada orang lain. Yang kumau adalah posisi sebagai istri Sean dan uang yang diberikan Kak Sanny. Aku nggak peduli Sean menyukai atau membenciku!"Sofyan termangu, lalu
"Sean!" Air mata Tiffany mulai jatuh tanpa bisa dihentikan, bahkan tangisannya terdengar sangat menyedihkan."Jangan nangis." Tubuh Sean semakin berat. Suaranya rendah dan serak dengan sedikit penyesalan dan sedikit rasa bersalah. "Aku nggak bisa memelukmu lagi."Begitu Sean selesai berbicara, tubuhnya yang lemas langsung jatuh setengah berlutut di lantai. Tiffany tahu ini adalah efek dari obat tidur dan anestesi. Hatinya terasa cemas dan marah.Mereka benar-benar tega melakukan hal seperti ini kepada Sean! Meskipun tubuhnya tidak terluka parah, obat-obatan seperti ini bisa merusak saraf Sean.Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat tangannya untuk menopang tubuh Sean. "Sayang, nggak apa-apa. Kamu nggak bisa memelukku, tapi aku bisa memelukmu! Aku sangat kuat, kamu harus percaya padaku!"Tiffany memeluknya, berusaha sekuat tenaga agar tubuhnya dapat menopang berat tubuh Sean."Dasar bodoh." Sean tersenyum pahit. Tubuhnya akhirnya tidak kuat lagi. Dia benar-benar terjatuh di
Tiffany bergidik. Saat Tiffany tersadar, polisi sudah datang. Tiffany mengerahkan tenaganya ketika tangannya diborgol.Tiffany berteriak ke arah kamar Sean, "Sean! Cepat bangun! Aku tahu obat tidur nggak bisa sepenuhnya mengendalikan saraf seseorang! Kalau kamu bisa dengar, cepat bangun! Kalau kamu nggak bangun sekarang, kamu nggak akan bisa melihatku lagi!"Energi Tiffany terkuras setelah melontarkan semua ucapan itu. Air matanya juga terus mengalir. Begitu tahu dendam di antara pamannya dan Keluarga Tanuwijaya, Tiffany pernah memikirkan berbagai macam cara dirinya dan Sean berpisah.Tidak disangka, mereka akan berpisah dengan cara seperti ini. Selama bertahun-tahun, Sean tidak memiliki teman dekat. Orang-orang yang bisa dipercayainya hanya Sofyan, Genta, Chaplin, dan beberapa orang lainnya. Namun, Sean malah dikhianati.Tiffany merasa sedih. Carla memelototi Tiffany dan berujar dengan geram, "Nggak ada gunanya kamu teriak! Pak Polisi, cepat bawa dia pergi!"Polisi membawa Tiffany ke
Tiffany berujar seraya memelotot, "Kalian ...."Kemudian, Tiffany menenangkan dirinya dan menambahkan, "Ternyata kalian yang rencanakan serangan kali ini."Jika semua ini tidak direncanakan mereka, Sanny tidak mungkin begitu yakin bisa memfitnah Tiffany. Sanny melihat kukunya dan menyahut, "Benar. Mungkin Sean nggak menyangka orang yang kuutus untuk menjaganya dulu akan mematuhiku begitu aku kembali."Genta menghampiri Sanny dan berucap dengan sopan, "Nona Sanny, aku sudah meminta dokter untuk menambah dosis obatnya. Tuan Sean nggak akan bisa sadar untuk sementara waktu.""Oke," ujar Sanny. Dia menatap Tiffany seraya tersenyum bangga dan bertanya, "Sudah jelas, 'kan?"Tiffany mengernyit. Dia baru paham sebenarnya Sean tidak diserang. Sean hanya diberi obat agar tidak sadarkan diri.Akhirnya, Tiffany merasa tenang. Ternyata Sean tidak benar-benar terluka, melainkan dikhianati keluarganya.Carla tersenyum lebar sembari menggenggam pegangan kursi roda Sanny dan berkata, "Kak, kita jalanka
Tiba-tiba, Sanny menampar Tiffany. Alhasil, Tiffany yang lemas hampir terjatuh ke lantai."Tiffany!" seru Julie. Dia bergegas menghampiri Tiffany dan memapahnya. Julie memelototi Sanny seraya memarahi, "Atas dasar apa kamu memukul Tiffany?"Sanny mencibir, lalu menyahut, "Karena dia nggak tahu diri."Tatapan Sanny sangat dingin. Dia menatap Tiffany seraya melanjutkan, "Kemarin aku sudah bilang dengan jelas. Tapi, kamu masih bersikeras ingin bersama adikku. Tiffany, aku nggak pernah lihat wanita yang begitu nggak tahu malu sepertimu!"Tiffany menggertakkan giginya. Dia memandangi Sanny dan menegaskan, "Bukan aku yang membakarmu. Seharusnya dendam di generasi sebelumnya nggak memengaruhi hubunganku dengan Sean."Tiffany menambahkan, "Aku mencintai Sean, jadi aku nggak bisa meninggalkannya. Aku nggak merasa tindakanku salah."Sebelumnya, Tiffany hanya bisa menangis di depan Sanny. Sekarang, dia bisa berbicara dengan tegas. Sikapnya membuat Sanny terlihat seperti orang yang keterlaluan.Na
Zara sudah memberi tahu Julie apa yang terjadi saat Tiffany bertemu Sanny terakhir kali. Julie tidak ingin Tiffany berhadapan dengan Sanny. Namun, dia tidak bisa menghalangi Tiffany yang ingin melihat kondisi Sean.Julie yang memapah Tiffany mencebik dan mengingatkan, "Nanti kalau kamu bertemu Sanny, jangan anggap serius omongannya."Tiffany menyahut sembari mengangguk, "Iya, aku tahu."Sanny memang tidak menyukai Tiffany. Julie mendesah, lalu memapah Tiffany keluar. Kamar Sean terletak di lantai paling atas. Belasan pria kekar yang berpakaian hitam berdiri di depan pintu kamar Sean.Tiffany yang dipapah Julie berucap dengan lirih, "Sofyan, aku mau lihat Sean."Wajah Tiffany sangat pucat. Sofyan yang dilema memandang Tiffany sambil menjelaskan, "Nyonya, tapi Nona Sanny memerintahkan siapa pun nggak boleh masuk tanpa persetujuannya."Tiffany membalas, "Tapi, aku ini istri Sean."Julie menimpali seraya mengernyit, "Benar, Tiffany ini istri sah Sean. Kenapa kalian halangi dia lihat suami