Persidangan Mas Yoga sudah mulai di gelar. Aku, Paman, Bibi dan juga Mas Candra selalu menghadiri persidangan. Selama persidangan yang panjang itu, Mas Yoga bersikap baik. Dia berkata jujur tentang semua yang terjadi.
Hingga memudahkan semua proses persidangan. Sepertinya dia sudah benar-benar menyesali semua yang pernah dia lakukan. Aku sesekali menghapus airmata saat mendengar penjelasan Mas Yoga. Seketika bayang-bayang kedua orang tuaku yang kesakitan membuatku tak mampu menahan tangis.
Apalagi saat dia menjelaskan bagaimana Ayahku berusaha memanggilnya untuk meminta pertolongan. Aku tak kuat mendengar semua itu. Aku hanya mampu menangis dalam pelukan Bibi.
Aku tak menyangka sedikitpun, saat aku berada di rumah sakit untuk menemani kedua orang tuaku yang tengah berjuang di ICU, ternyata Mas Yoga ada disana. Dia menyaksikan semua kesedihanku. Saat kedua orang tuaku menghembuskan nafas terakhirnya, dia juga mengetahui itu.
Aku sangat marah dan kecewa pad
"Apa yang ingin Mas katakan?" tanyaku pada Mas Candra."Mas cuma mau bilang, apa tidak sebaiknya kamu tinggal bersama Paman dan Bibi saja? Di sini kamu sendirian. Mas takut terjadi apa-apa denganmu jika hanya sendirian seperti ini!" ucapnya sambil memandangiku.Permintaannya sama dengan Paman dan Bibi. Sama-sama memintaku untuk tinggal dengan Paman dan Bibi."Tidak, Mas! Aku tidak ingin tinggal dengan Paman dan Bibi. Aku ingin di sini. Aku merasa lebih nyaman di sini.""Jika nanti tiba-tiba kamu ingin melahirkan bagaimana?""Tidak usah khawatir, Mas. Ada Bik Inah dan juga Pak Budi. Mereka bisa membantuku!"Mas Candra menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Dia menatapku dalam."Apa karena kamu masih sedih karena Yoga?" pertanyaannya membuatku menatapnya seketika."Apa maksud, Mas?""Mas pikir kamu masih sedih atas semua yang terjadi hingga tidak ingin Paman dan Bibi tahu semua itu.""Benar, Mas. Aku tidak ing
Sedikit demi sedikit aku mampu mengobati luka hatiku akibat perlakuan Mas Yoga. Waktu yang ada kujalani dengan kebahagiaan. Mas Candra bertindak seakan menggantikan peran Mas Yoga dalam hidupku.Apapun yang aku butuhkan dengan cepat Mas Candra berikan. Tidak jarang dia yang mencarikan saat aku ngidam sesuatu. Aku merasa sedikit tenang. Aku punya tempat untuk berbagi. Itu semua aku dapatkan dari Mas Candra.Tiap hari tidak pernah sekalipun dia absen menanyakan keadaanku. Aku merasa bahagia mendapatkan perhatian darinya."Mas, hari ini aku mau periksa kandungan. Kandunganku sudah lebih dari delapan bulan. Aku ingin tahu keadaan calon anakku!" Mas Candra mendengarkan pembicaraanku melalui sambungan telpon."Jam berapa? Apa kamu sudah bikin janji sama dokter?" tanyanya."Sudah, Mas. Nanti jam sebelas siang. Mas bisa temenin aku?" aku berharap Mas Candra bisa menemaniku."Maaf, Riana. Mas ada persidangan jam segitu. Nggak bisa di undu
Mas Candra mengajakku menuju ruang pemeriksaan kandungan. Dia mengurus kembali jadwal pemeriksaan untukku. Karena aku sudah melewatkan jadwal pemeriksaan sebelumnya.Kami menunggu panggilan untuk di periksa."Mas, aku khawatir dengan keadaan Rindu. Dia terlihat tidak baik setelah operasi itu. Bagaimana jika terjadi sesuatu? Aku kasihan sekali pada anaknya!" ucapku dengan raut wajah khawatir.Mas Candra menggenggam erat jemariku. "Jangan terlalu di pikirkan. Semuanya akan baik-baik saja!" hiburnya.Aku menghela nafas berat. Rindu tak sadarkan diri setelah operasi itu. Aku selalu kepikiran anaknya. Ingin sekali menemui anak itu untuk mengecek keadaannya."Mas, kita ke ruangan bayi itu yok? Aku kepikiran dia!" ajakku berdiri dari dudukku.Dengan cepat Mas Candra menarik lagi lenganku agar kembali duduk."Nanti, setelah kita periksa kandunganmu, baru kita kesana!" jawabnya tak terima ajakank
Mas Candra memegangi pundakku dengan kuat. Aku sangat kaget mendengar kabar meninggalnya Rindu dari dokter yang merawatnya."Riana, yang kuat! Kita harus segera mengurus pemakaman Rindu!" ucap Mas Candra."Mas, aku bahkan tidak tahu dia punya keluarga lain atau bukan? Bagaimana jika mereka mencari Rindu? Kita harus mengabari keluarganya!""Nanti kita cari tahu setelah mengurus pemakamannya." Ucapan Mas Candra ada benarnya juga. Aku dan Mas Candra lalu mengurus pemakaman Rindu dengan cepat. Untung pihak rumah sakit memberikan bantuan sehingga kami tidak terlalu sulit mengurusnya.Aku menatapi gundukan merah kuburan Rindu. Sungguh aku tidak sedikitpun menyangka bahwa niatku ke rumah sakit untuk periksa kandungan membawaku bertemu dengannya.Dalam pelukanku tertidur pulas anak Rindu yang baru dia lahirkan. Aku menyentuh pipinya yang masih merah. Aku kasihan padanya. Sekecil ini dia sudah menjadi piatu. Sedangkan Ayahnya tidak tahu rimbanya
Aku sungguh merasa sangat kesakitan. Perutku rasanya sangat sakit. Aku bahkan tidak pernah membayangkan rasa sakit ketika melahirkan itu seperti ini.Pak Budi dan Bik Inah dengan cepat membawaku ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, dokter langsung memeriksa keadaan kandunganku."Baru bukaan dua, kamu yang kuat ya? Semoga bisa lahiran normal", ucap dokter itu sambil membuka sarung tangan setelah memeriksa kandunganku."Dok, harus berapa lama lagi aku menahan sakit? Rasanya sakit sekali!""Kita akan menunggu sampai pembukaannya sempurna. Baru setelah itu kamu bisa ngeden, sekarang jangan ngeden ya? Istigfar saja kalau rasa sakitnya muncul!" ucap dokter itu lagi."Sampai pembukaan berapa baru sempurna, Dok?" tanyaku lagi.Dokter tersenyum kecil padaku. Mungkin dia tahu bahwa ini adalah pengalaman pertama bagiku. Dan bodohnya aku, selama ini kurang mencari tahu informasi tentang melahirkan."Sampai pe
"Bi, ayo jawab? Dimana putriku? Kenapa Bibi hanya diam? Aku mohon! Bicaralah, Bi!" suaraku parau memaksa Bibi untuk bicara. Kenapa Paman dan Mas Candra belum datang juga? Apa anakku ada pada mereka?"Riana, kamu harus sabar dan kuat! Bibi yakin kamu anak yang kuat. Bibi harus menunggu Paman dan Candra dulu. Nanti, semua pertanyaanmu akan di jawab oleh mereka", bujuk Bibi padaku.Aku menatap raut wajah Bibi yang sembab. Dia seperti habis menangis seharian. Apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa dengan putriku? Aku sangat cemas. Rasa sakit pada bekas jahitan cesar tak kuhiraukan. Aku harus mencari tahu keberadaan putriku. Aku berupaya untuk duduk. Tapi aku kesusahan. Bahkan untuk mereng ke kiripun aku tidak bisa."Bibi, aku mohon! Tolong bantu aku berdiri! Aku ingin mencari putriku!"Bibi semakin menangis mendengar ucapanku. Aku tambah ketakutan. Tidak biasanya Bibi bertindak seperti ini. Jarang sekali aku melihat Bibi menangis pasti hal besar sudah ter
"Mas, anterin aku ke makam putriku!" pintaku pada Mas Candra sebelum sampai ke rumah."Kamu belum pulih, Riana! Bagaimana jika nanti saja, jika keadaanmu sedikit lebih baik?" tolaknya."Mas, aku mohon! Jangan larang aku!""Baiklah!" Mas Candra dengan terpaksa membawaku ke tempat pemakaman putriku.Hatiku begitu perih, saat melangkahkan kaki mendekati pemakaman putriku."Ini, Riana! Ini pemakaman putrimu! Namanya Nadira Putri Yoga. Sesuai nama yang kamu pernah sebutkan pada mas!" ucap Mas Candra.Aku terduduk lesu di samping makam putriku. Memegangi pusara putriku dengan tangan bergetar."Nak, kenapa kamu tidak membiarkan mama memelukmu walau hanya sedetik saja?" aku menangis memeluk batu nisan pemakaman putriku. Hatiku sangat hancur. Ini kehilangan yang paling berat yang pernah aku alami.Masih terekam jelas dalam ingatanku betapa aktifnya dia saat dalam kandunganku. Dia adalah sumber kekuatanku. Sekarang semua itu
Sebulan sudah semenjak aku melahirkan. Sebulan juga aku berkabung atas meninggalnya putriku. Kulalui hari demi hari dengan keikhlasan yang susah payah aku bangun.Semua takdir yang aku hadapi ini terasa sedikit lebih bisa aku terima karena kehadiran Adam. Tiap kali aku rindu pada putriku, aku selalu memeluk erat Adam. Dia seperti penyemangat hidupku. Melalui dia juga, aku merasakan menjadi seorang Ibu seutuhnya.Dengan penuh kasih sayang aku memberikan dia ASI. Menyayanginya dengan setulus hatiku. Aku tak bisa membayangkan jika harus berpisah juga darinya. Mungkin aku bisa gila karenanya.Mas Candra sering datang ke rumahku hanya untuk memantau keadaanku dan Adam. Aku mulai merasa nyaman dan bahagia saat Mas Candra datang.Bahkan sering aku menelponnya hanya untuk bertanya saat dia tak bisa datang mengunjungiku. Perhatian dan kasih sayang yang Mas Candra berikan padaku sedikit banyaknya memberi aku kekuatan untuk menjalani kehidupanku.
Aku tak henti mengucapkan rasa syukur, setelah Mas Candra dan kedua orang tuanya pergi dari rumahku. Restu yang Mama Mas Candra berikan membuat hidupku seakan kembali semangat. Aku tak sabar ingin segera menjadi istrinya Mas Candra. Seseorang yang sudah membuatku merasakan semangat untuk menjalani kehidupan ini.Sesuai janjinya, Mas Candra menjemputku keesokan harinya untuk menemui Paman dan Bibi. Aku sengaja membawa Adam dan Bi Inah. Pasti Paman dan Bibi rindu pada Adam. Aku sengaja tidak memberi kabar pada paman bahwa aku dan Mas Candra serta keluarganya akan datang mengunjungi mereka. Aku hanya menanyakan apa yang akan mereka lakukan hari ini. Dan syukurnya, Paman dan Bibi hari ini sedang di rumah. Paman tidak ke kantor karena sekarang hari sabtu.Saat mobil Mas Candra masuk ke halaman rumah Paman, aku segera turun di ikuti oleh yang lainnya. Bibi yang tengah menyiram tanaman di halaman depan rumahnya, terlihat sangat kaget dan langsung menghampiri kami."Rum
Jika ada yang bilang cinta itu harus di perjuangkan, aku setuju dengan ujaran itu. Tapi bagiku, cinta itu tak harus menimbulkan derita bagi orang lain. Aku tak ingin menyakiti hati perempuan lain untuk menciptakan kebahagiaanku sendiri. Itu terkesan egois bagiku, apalagi dengan semua derita yang pernah aku alami. Itu semakin membuatku tak mau menyakiti hati perempuan lain. Biarlah aku yang mengalah. Aku tak akan memperjuangkan Mas Candra.Jika dia adalah jodohku, aku yakin Tuhan akan menyatukan kami. Aku hanya ingin menyerahkan semuanya pada takdir. Apapun yang terjadi, aku tidak akan berkecil hati. Walau Mas Candra sudah berjanji untuk mendapatkan restu dari Mamanya, tetap saja aku tak menaruh harapan yang berlebihan. Walau di dalam sudut hatiku yang terdalam, aku mendoakan Mas Candra.Pagi harinya aku tetap menjalankan aktifitasku seperti biasa, untuk menghilangkan rasa jenuh aku berencana untuk membawa Adam dan Bi Inah berbelanja ke swalayan. Apalagi, sudah banyak k
Seperti ancamannya, Mbak Lisa ternyata menggunakan Mama untuk memuluskan jalannya. Dengan menghasut Mama agar tidak merestui aku dengan Riana. Hatiku rasanya sangat geram melihat Mbak Lisa tengah memasak di dapur bersama dengan Mama.Perkataan kasar Mama pada Riana tadi, aku yakin sekali itu akibat dari hasutan dari Mbak Lisa."Candra, ayo makan! Semua sudah terhidang di meja makan!" Panggil Mbak Lisa padaku dengan suara di buat semerdu mungkin. Aku melengos jengah melihat tatapan matanya padaku."Aku tidak lapar!" jawabku dengan ketus. Tanpa menghiraukan wajahnya yang berubah seketika, aku langsung memasuki kamar.Rasanya aku tidak ingin menikmati sedikitpun makanan yang sudah dia buat. Walaupun di bantu oleh Mama. Aku tidak ingin memberikan sedikitpun harapan padanya. Karena aku tidak akan bersedia menikah dengannya apapun bujuk rayu Mama dan Papa."Nak, ayo makan! Nak Lisa sudah susah payah memasak makanan kesukaanmu, kamu jangan bertindak
Aku meletakkan handphone di atas meja ruang tamu rumahku. Setelah Riana memutuskan sambungan telpon itu. Apa yang Riana ucapkan membuatku merasa khawatir. Dia tidak mau menikah denganku tanpa restu dari Mama. Sedangkan aku mengenal betul watak Mama. Sekali dia bilang tidak, maka akan tetap seperti itu pendiriannya. Apapun yang akan aku lakukan untuk membujuknya akan sia-sia.Ucapan Riana tadi seakan meruntuhkan impianku yang begitu besar untuk bisa membina rumah tangga dengan wanita yang selama ini selalu aku cintai. Ya, Riana adalah satu-satunya wanita yang sangat aku cintai. Dari semasa kuliah aku sudah menaruh hati padanya. Bahkan jauh hari sebelum aku dan dia jadian, aku sudah mencintainya.Sebenarnya, bukan maksud hatiku dulunya untuk menjauh dari Riana setelah kami wisuda. Aku hanya ingin mencari pekerjaan yang bagus sebelum memberanikan diri untuk melamar Riana. Tapi, semuanya terlambat. Saat aku sudah mempunyai pekerjaan yang bagus, aku baru menemui
"Memang seharusnya sikapmu seperti itu. Kamu harusnya sadar diri, jangan menjadi perusak hubungan orang lain, tidak baik!" Ujar Mamanya Mas Candra menyela ucapanku.Hatiku langsung remuk redam mendengar perkataan Mamanya Mas Candra. Tak ada kesempatan sedikitpun untukku bersatu dengan Mas Candra. Kebahagiaan yang sempat ku impikan harus musnah secepat ini. Senyuman kemenangan di perlihatkan oleh Mbak Lisa. Dia sepertinya sangat bahagia mendapat pembelaan dari Mamanya Mas Candra."Mas, kalau begitu aku pergi dulu! Maafkan aku, jika kehadiranku di kehidupanmu sempat mendatangkan derita!" ujarku. Aku langsung meraih tas yang tergeletak di atas sofa di samping tempat dudukku.Mbak Lisa dan Mamanya Mas Candra langsung saling pandang dan memberikan kode. Sepertinya mereka merasa menang karena aku akhirnya mengalah seperti itu."Jangan pergi dulu, Riana! Ini belum selesai. Mas sungguh-sungguh ingin menikahi kamu!" Mas Candra menarik tanganku agar kem
Belum berapa jauh mobil Mas Candra meninggalkan rumahku, lagi-lagi handphonenya berdering. Kali ini wajah Mas Candra berseri saat melihat layar handphonenya."Iya, Ma! Ini aku lagi di jalan menuju ke rumah Mama," ujar Mas Candra melalui sambungan telpon itu."Apa? Mama dan Papa sekarang ini lagi menuju ke rumahku? Udah berangkat dari tadi? Kok nggak ngasih kabar? Kemaren kan aku sudah bilang mau pulang ke rumah bawa seseorang," jawab Mas Candra lagi.Aku mendengar semua pembicaraan Mas Candra dengan Mamanya. Perasaanku langsung tidak enak. Kenapa Mama dan Papa Mas Candra memutuskan untuk datang ke sini? Padahal mereka sudah di beritahu Mas Candra bahwa hari ini kami akan menuju rumah mereka di kampung."Ya sudah, kalau begitu, aku tunggu Mama dan Papa di rumah!" jawab Mas Candra akhirnya.Saat Mas Candra menyimpan kembali hamdphonenya ke dalam saku celananya, aku langsung bertanya padanya."Ada apa, Mas?" tanyaku dengan heran."
Aku membiarkan begitu saja saat dering handphoneku memekakkan telinga. Sudah dari tadi Mas Candra mencoba menelponku. Rasanya aku tidak bisa lagi dekat dengan Mas Candra.Perkataan perempuan itu masih terngiang di telingaku. Aku tidak ingin menjadi perusak dalam hubungan orang lain. Lebih baik aku yang mundur. Walau hatiku sudah mulai bisa menerima kehadiran Mas Candra. Sudah mulai bisa merasakan getaran saat tatapan matanya bertemu denganku.Rasa cinta itu sebenarnya sudah datang di hatiku untuk Mas Candra. Tapi aku tidak ingin apa yang aku rasakan dulu, di rasakan juga oleh perempuan lain. Sakitnya di khianati oleh Mas Yoga masih membekas di hatiku. Tiap ingat Mas Yoga aku masih tetap menitikkan air mata. Cinta yang begitu ku agungkan ternyata memendam duri yang begitu tajam.Walaupun sekarang dia tengah menjalani hukuman atas perbuatannya, tetap saja luka di hatiku tak bisa hilang oleh perbuatannya.Karena tak ku gubris sedikitpun, ak
Pikiranku kalut, semua kata-kata yang di lontarkan perempuan itu seperti bom yang selalu meledakkan jantungku. Kenapa dia sampai tega memfitnahku seperti itu. Dia bilang akulah yang merusak hubungan pernikahan Mas Candra dengan adiknya, bahwa akulah yang menyebabkan adiknya meninggal.Apa yang sebenarnya Mas Candra lakukan pada mantan istrinya itu, hingga dia sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Apa benar akulah yang menjadi biang rusuh dalam pernikahan mereka? Karena Mas Candra kecewa dengan lamarannya yang aku tolak dulu hingga membuatnya berlaku tidak adil pada istrinya sendiri?Tiba-tiba aku ingat Amira, dia adalah teman dari mantan istrinya Mas Candra. Aku ingin mencari tahu kebenarannya dari dia. Aku segera menghubungi Amira."Amira, apa kamu punya waktu untuk bertemu denganku?" Kuutarakan langsung niatku saat Amira menjawab panggilan telpon dariku."Kebetulan hari ini anak-anak di bawa neneknya, suamiku juga lagi kerja. Kamu mau ketemu di mana?" b
Aku menatap punggung Sakti dan temannya yang beranjak keluar dari pintu utama rumahku. Di tangan Sakti, dia membawa tas berisi uang 2M yang dia minta padaku. Sedangkan aku, memegang surat perjanjian yang sudah dia tanda tangani. Ada sedikit perasaan lega, sekaligus sedih. Lega karena mulai sekarang, Adam akan menjadi milikku. Dia akan menjadi putraku dalam segi hukum. Sakti tidak akan bisa lagi merampas dia dari diriku. Sedih, karena aku harus kehilangan uang dalam jumlah sebanyak itu. Mas Candra memandangi wajahku yang sedikit murung setelah kepergian mereka. "Apa sekarang kamu menyesal? Mas sudah memperingatkan kamu sebelumnya, sekarang semua uang itu sudah mereka bawa. Seandainya kamu mau menempuh jalur hukum, kemungkinan kamu bisa menang. Karena Sakti selama ini memang tidak mau bertanggung jawab pada Adam." "Aku hanya tidak mau berurusan dengan pengadilan, Mas! Proses hukum Mas Yoga saja, sudah membuatku lelah. Aku tidak ingin kembali bolak balik