"Kamu tidak pulang?" tanya Cempaka kali ketiga melihat Danendra tak kunjung beranjak dari duduk melantai di rumah yang disewanya.Danendra menggeleng, dia masih asyik melakukan permainan papan dengan dadu bersama Saras.Cempaka berdecak merasa perkataan diabaikan oleh keduanya."Saras, masuk kamar."Dari nada suara rendah sampai meninggi, barulah Saras memberi perhatian pada ibunya."Yah, mama... lagi asyik main. Mama ikutan sini.""Masuk kamar, Saras, sudah jam setengah 10 malam," ucap Cempaka menunjuk arah jam dinding.Terasa bagi Saras waktu berlalu begitu cepat. Parasnya berubah jadi kecewa."Biar saja, ini akhir pekan," sanggah Danendra yang menciptakan pelototan dari Cempaka yang berdiri menjulang di hadapan keduanya."Mau akhir pekan atau tidak, hidup disiplin harus ditegakkan," sahut Cempaka lalu melihat kembali pada putrinya.Kekecewaan tersirat di iras Saras, bola matanya berputar menunjukkan malas melihat ibunya yang terlalu ketat mengatur, menurut Saras."Bapak, masih di s
Sebelum semuanya memburuk, Danendra memutuskan untuk meninggalkan kediaman Cempaka."Besok aku akan datang lagi."Cempaka melipat kedua tangan di depan dada."Untuk apa? Setiap kali aku lihat wajah kamu, emosiku selalu meninggi, membuat aku tidak sehat. Jangan egois!"Danendra menghela napas panjang. Wajar saja Cempaka marah padanya bila demikian adanya.Menarik selembar amplop dari rak di ruang tamu, Danendra mengangkatnya."Aku yakin kamu butuh bantuanku."Senyum miring Danendra menunjukkan kemenangan. Mendadak Cempaka teringat masalah yang mendera diri dan putrinya."Tadi sewaktu kamu pergi ke warung, Saras menceritakan apa yang terjadi di sekolahnya. Kamu tidak bisa sendirian menyelesaikan kasus hukum, Cempaka."Belum Cempaka mengungkap kalimat, Danendra begitu saja keluar dari rumah lalu memakai sepatu slip on bermerek.Berjalan gontai ke arah pintu, Cempaka menyender sampai terduduk melantai.Ia menangis tertahan, takut suaranya terdengar oleh Saras.***Malam itu juga, Danendra
Ponsel Danendra berdering, Natali sedari tadi menghubungi dirinya. Namun, dikarenakan percakapan yang serius dengan Cempaka, terpaksa Danendra mengabaikan."Ya, Natali?""Dane, mengangkat telepon lama sekali, dari sore Aku menghubungi," gerutu Natali tanpa basa basi."Aku dari ...." Danendra mendadak diam, teringat bila ia mengatakan yang sebenarnya Natali pun akan mencecar dengan masalah baru.Dia sadar ada tiga perempuan yang bersangketa pada setiap langkah hidupnya."Kamu dari mana?""Tidak... tidak dari mana-mana. Kamu di mana Natali?""Mamamu mengusir aku dari rumah, telah aku jelaskan kalau aku istri kamu yang harus dirawat dan mempermudah Kamu mengontrol. Masa mama kamu katakan kalau kamu bukan dokter yang mengurusi kanker lambung dan ia mengusirku, Dane." Terdengar suara isakan dari seberang. Dengkusan napas kencang dan dalam dari Danendra menyertai, ia benar-benar lelah saat ini dan ingin beristirahat. "Jemput aku, Dane," rengeknya.Danendra pusing lalu memijat pelipisnya.
Tak bisa tidur akibat banyak pikiran kini menghantui Danendra. Sebagai seorang dokter, dia tahu kalau terlalu sering begadang tidak baik untuk kesehatannya.Hanya bolak balik di kamar lalu rebahan, kemudian bangkit lagi, mengotak-atik ponsel, seperti itulah Danendra menghabiskan waktu di kamar dalam kegelisahan.Serangan sesal tak mampu dihalau. Nasi sudah jadi bubur, apa mau dikata."Sudah tengah malam, sulit sekali mata ini terpejam."Rasa kantuk menyerang, tetapi pikirannya penuh dengan segala permasalahan yang belakangan membelit hidupnya.Danendra beranjak ke meja rias milik Cempaka yang beberapa bulan ini kosong. Melihat dirinya di cermin, badan terlihat kurus dengan cambang di parasnya.Jelas sekali pria di cermin itu punya masalah hidup yang berat sampai tak ada waktu mengurus diri sendiri."Harus mulai dari mana ini? Ini keputusan paling bodoh yang pernah kamu ambil, Danendra. Sok baik," cetusnya pada pantulan Danendra di cermin.Kembali ke ranjang, Danendra memaksa matanya t
Qonita senang bukan main menemui Cempaka, Saras. dan calon cucunya."Kamu dan Saras sehat, 'kan?" Mereka saling berangkulan. "Ya, Ma," sahut Cempaka sembari mengelus perut besarnya."Saras, mana?""Kebetulan lagi ke warung di balik gang ini, Ma.""Mama kapan datang?" Cempaka mengajak masuk ke rumah sederhananya, tetapi rasa segan menyeruak lantaran tidak ada kursi di sana. "Tidak ada bangku, Ma," lanjutnya."Sudah, tidak apa-apa, di sini juga tak masalah." Qonita duduk melantai beralas karpet dibantu oleh putranya."Mama datang semalam, entah gimana, ada feeling kurang enak. Nggak tahunya....." Qonita menahan kalimat seraya melirik Danendra yang tersenyum tipis di sampingnya. Cempaka kurang mengerti makna gestur Qonita."Dia sudah Mama usir!" ucap Qonita dengan ekspresi tajam.Mendadak Danendra memejamkan mata, dia lupa untuk membriefing mamanya agar tidak menyinggung soal orang lain dalam pertemuan bersama ini."Siapa yang mama maksud?" Cempaka hanya ingin memastikan."Ma, ke sini k
"Kamu gagal membawa Cempaka kembali ke rumah, apa mau dibiarkan melahirkan sendiri? Kalau Saras dan Bima di klinik bersalin lahir, kita masih bisa mengerti. Ini anak ketiga, risikonya juga tinggi, usia istri kamu hampir 40 tahun, Dane," gerutu Qonita di dalam mobil sewaktu mereka kembali ke Bekasi."Diberi waktu, bukannya dimanfaatkan dengan baik," lanjut Qonita mengungkap rasa kesalnya."Ma... ada andil Mama juga, mengapa Mama katakan mengusir Natali, Cempaka jadi marah saat tahu Natali pernah tinggal di rumah," sahutnya sambil menyetir. Badan Qonita menghadap ke arah Danendra."Salahkan diri kamu sendiri, maksud kamu mau membohongi Cempaka?!""Bukan, Ma --""Sudahlah, Dane. Mama ini sangat sayang pada kamu, hanya kamu anak mama satu-satunya. Mama mau lihat rumah tangga kamu baik adanya," ungkap Qonita penuh harap, ia menurunkan nada suara."Sekarang rumah tangga kamu berantakan lagi, mama minta dengan sangat kamu bertanggungjawab terhadap hidup Cempaka, dia mengandung anak kamu dan
"Bu Cempaka, kita akan berkomunikasi dengan keluarga Anita untuk kasus ini. Bukti keluarga Diego memperkarakan Saras sangat lemah," ucap seseorang yang mengaku dari sebuah kantor hukum.Cempaka mengangguk seraya menatap tak percaya ada orang yang membantunya mengatasi masalah yang muncul karena berani mempersoalkan Diego, sang anak donatur sekaligus pemilik sekolah."Ibu tidak perlu khawatir, semua akan kita tangani dengan baik. Kami juga sudah menyiapkan anggota untuk mendampingi Anita bila keluarganya berkenan."Lagi-lagi Cempaka hanya mengangguk.Mereka berpisah di depan kantor pihak berwajib."Ma, om tadi bantuin kita, ya?"Cempaka kehilangan fokus, pikirannya masih berkutat tentang bantuan seseorang yang mendadak sifatnya. "Mama," sebut Saras membuyarkan lamunan Cempaka. Anak itu kembali mengulangi pertanyaannya."Iya, Nak," jawabnya singkat.Sore hari di rumah Cempaka, Saras membukakan pintu untuk kedatangan seseorang."Bapaaak," teriak Saras sambil melonjak girang.Terdengar
"Ayo, kita makan," ucap Cempaka kembali dari dapur ke ruang tamu dengan membawa tiga buah piring.Danendra dan Saras menoleh bersamaan."Mau makan di luar, ngga?""Mau... mauuu, Pak," jawab Saras antusias. Danendra tersenyum pada Saras, lain hal terjadi dalam hati Cempaka.Ia kembali ke dapur membawa piring yang tadi ditenteng. Makanan yang telah dimasak, dimasukkan ke dalam wadah kotak satu per satu, kecuali satu piring untuk dirinya saja.Cempaka tidak lagi kembali ke ruang tamu, Danendra menyusul ke dapur. Ia mendapati Cempaka sedang makan sendiri di sebuah bangku dan meja berukuran kecil."Loh, masih di sini. Kami menunggu kamu.""Pergi sama Saras saja, aku makan di rumah. Jangan pulang terlalu malam."Danendra berjalan ke arah wastafel, ia melihat ada ikan dan sayur matang ditaruh dalam kotak."Kamu masak?" tanya Danendra menoleh ke belakang.Cempaka tidak menjawab. Dia kembali menyuapi makanan ke dalam mulut."Kenapa tidak bilang kalau masak. Makan ini saja, kangen merasakan mas
Setelah Joko Chandra, giliran Natali ditemui oleh Cempaka. Ia datang sendiri ke kediaman perempuan yang menjadi istri kedua suaminya."Mau apa datang kemari!" Sambutan Natali dingin saat membuka pintu rumahnya. Di belakang Natali, dia melihat seorang perempuan yang diketahui Cempaka sebagai teman dekat Natali."Suruh masuk, ada tamu," ucap Dahlia ramah.Cempaka tak berminat masuk, ia langsung bicara ke topik inti."Ayahmu sudah mendekam di penjara, Natali."Badan Natali meremang, senyum miring Cempaka malah membuatnya gentar."Aku hanya peringatkan, pelan tapi pasti aku minta kamu mundur dari hubunganki dan Danendra!" tegas Cempaka tanpa ada rasa takut.Natali menatap manik Cempaka dalam-dalam lalu tawa lepas dari bibirnya."Kamu datang kemari untuk mengancam aku, heh?!"Natali membalas menggertak Cempaka."Kartumu ada di aku."Tawa Natali terhenti disambut kalimat ramah Dahlia."Apa kita masuk dulu untuk membicarakan hal penting ini?"Tatapan Cempaka beralih pada Dahlia yang tampak t
Natali gelisah usai menonton berita mengenai penangkapan ayahnya sebagai dalang kebakaran ruko yang pernah ditempati Cempaka. "Memang si Tua ini keras kepala, dari dulu merasa benar dan sekarang dapat akibatnya."Meskipun gelisah, ada rasa marah yang menggerogoti hatinya. Ia teringat bagaimana perlakuan Joko Chandra terhadap ibunya di masa silam, bukannya baik-baik saja, melainkan sebaliknya.Natali kecil sering melihat pertengkaran ayah dan ibunya, dia tidak paham masalah apa yang menimpa. Semakin dewasa, ia mendapati kesalahan ibunya yang dituturkan ayahnya, yakni bersama pria lain.Tertawa miris, itulah yang dilakukan Natali. Memiliki orang tua yang menelantarkan dirinya secara batin, membuatnya tidak yakin dengan relasi pernikahan seumur hidup."Kalian membuat masa depanku hancur, penuh dendam dan kebencian," ucapnya di hadapan bingkai berisi gambar kedua orang tuanya.Bukan sedih yang dirasakan oleh Natali atas kejadian yang menimpa ayahnya."Memang pantas mendapatkannya."Natal
Di malam hari, setelah Devano dan Anita pulang, Danendra duduk di ruang keluarga sendirian. Ia mengulir ponsel tanpa berkonsentrasi dengan apa yang dikerjakan. Pikirannya menerawang pada masa lalu, bagaimana hubungan pertemanan dengan Devano kandas karena pria itu menjalin hubungan dengan Natali di belakangnya.Kekhawatiran menyerang Danendra saat melihat istrinya, Cempaka, terlihat nyaman berada di dekat Devano."Sudah jam setengah sebelas, tidak tidur?" tanya Cempaka yang muncul dari arah belakang badan Danendra. Pria itu hanya diam saja tanpa respon."Cantik ngga kalau bunga ini di taruh di sini?" tanya Cempaka membawa vas berisi bunga yang dibawanya tadi."Hm...," jawab Danendra sembari melirik ke arah bunga cantik di nakas.Cempaka duduk di bangku berhadapan dengan Danendra. "Pak Devan tadi datang sekalian mengabarkan kalau dalang kebakaran ruko sudah ditangkap pihak berwajib."Pandangan Danendra mendadak terarah pada Cempaka. Dia belum mendapat kabar apapun."Namanya Joko Cha
Setelah menidurkan Keenan, Cempaka mengulir media sosial miliknya sembari beristirahat.Matanya membelalak membaca sebuah artikel, berulang kali Cempaka membaca dengan seksama."Pelaku pembakaran ruko sudah ditangkap," ulangnya pelan, tersinggung senyum di parasnya.Tidak lama, layar ponselnya menampilkan nama Danendra. Gegas Cempaka menanggapi."Cempaka, aku tadi dihubungi kuasa hukum. Pelaku pembakaran ruko yang kamu sewa sudah tertangkap. Mereka ada tiga orang.""Apa datangnya ada di antara mereka?" tanya Cempaka antusias."Belum sampai ke sana. Wajah mereka dipakaikan masker, diduga masih ada kawanan lainnya."Cempaka mengangguk, dugaannya juga serupa dengan itu. Hanya saja bukti tidak ada."Siapapun orangnya cepat atau lambat pasti akan tertangkap," ujar Cempaka dengan nada emosional. "Tapi, jangan terlalu memikirkan hal ini, ya." Dari nada bicara Cempaka, Danendra bisa mengira-ngira perasaan istrinya sejauh mana."Nanti aku pulang lebih cepat, mau dibawain makanan tidak?" Danen
Insiden di rumah Natali membuat Danendra membatalkan prakteknya secara mendadak. Alasan istrinya sakit dipakai untuk menemani Natali yang memintanya tidak pergi bekerja setelah dirinya meminta maaf."Apa masih sakit?" tanya Danendra memandang pipi Natali memerah. "Sudah berkurang." Natali tersenyum sembari memegang kompres dingin, berbeda dengan raut Danendra yang datar.Danendra melirik jam estetik yang menempel di dinding, tidak terasa setengah hari dilalui di kediaman Natali."Sore nanti aku mau keluar," ucap Danendra seperti seorang anak yang minta izin ke ibunya."Apa tidak bisa menginap lagi di sini?" Natali menyulap pertanyaan dengan keinginan keras. "Temanilah aku lagi," ujarnya dengan merengek. "Aku akan datang lagi besok," janji Danendra, meskipun dia tidak begitu yakin bisa dipenuhi atau tidak.Usai makan siang, Danendra meninggalkan rumah Natali. Beralasan ke rumah sakit lagi, Danendra menyetir ke rumah miliknya, ia ingin melihat istri dan anak-anak.Rumah dalam keadaan
Danendra terbangun di pagi hari dengan ruangan serasa berputar, kepalanya pening.Memandang sekitar, dia tahu kalau malam tadi dirinya menginap di kediaman Natali.Pakaiannya sudah berganti dengan bahan yang lebih ringan.Berjalan memegang dinding agar tidak jatuh, sampai Danendra di luar kamar. Tercinta aroma wangi masakan dari dapur. Ia yakin kalau Natali ada di sana."Mengapa aku bisa menginap di sini?" tanyanya dengan suara meninggi.Tersentak Natali mendengar suara Danendra, ia berbalik dan langsung mengubah raut menjadi lebih ramah."Kamu sudah bangun? Aku lagi siapin sarapan," sahutnya tanpa menjawab pertanyaan Danendra. Natali mengambil sebuah gelas lalu pergi menuju dispenser untuk mengisi dengan air minum. "Minum air hangat setiap pagi baik untuk kesehatan. Aku selalu ingat pesan kamu," ucapnya.Danendra hanya menatap gelas berisi air, tanpa memedulikan hal itu, Danendra berjalan menuju bangku di sekitar meja makan lalu duduk di sana.Memejamkan mata menjadi jalan untuk me
"Maaf, Bu. Ada apa ini? Suara ibu mengganggu tetangga, hari sudah malam." Seorang bapak datang menghampiri Cempaka untuk menegurnya. Cempaka mengatur emosinya dengan baik. Dia meminta maaf lalu menjelaskan perihal Danendra di dalam rumah Natali. "Suami ibu?" "Ya." Tampak bapak-bapak itu pergi lalu berbisik dengan tetangga lain. "Saya RT di sini, apakah ibu yakin ada orang di dalam?" tanyanya. "Itu mobil suami saya." Cempaka menunjuk kendaraan roda empat yang terparkir di garasi. Ketua RT meminta bukti mengenai data suami Cempaka. Ketua RT bersama warga menggedor-gedor pintu kediaman Natali sampai Natali merasa terpojok. "Bu Natali silakan di buka atau kami membuka paksa." Merasa terancam akhirnya Natali membuka pintu. "Mana Danendra?!" jerit Cempaka berusaha memaksa masuk, tetapi cepat dihalangi Natali. "Tidak ada yang boleh masuk paksa ke rumah saya atau saya lapor polisi!" teriak Natali melawan. Cempaka dan warga lain berdiri mematung. "Bu Natali, ibu
Natali merasa tidak puas dengan penuturan Joko Chandra, ia menghadapi masalah baru. yakni Cempaka jadi kembali ke Bekasi paska kejadian kebakaran. Hal membuat Natali kesal adalah keputusan kembali Cempaka dan Danendra kembali serumah."Kamu cukup berempati pada perempuan itu, masalah lain Papa akan membantu," ujar Joko Chandra waktu itu.Natali menghubungi Danendra, ia punya permintaan."Dane, temani aku konsultasi ke dokter kandungan, ya," pintanya melalui sambungan telepon."Kalau mau ke rumah sakit, datang saja, Natali," sahut Danendra sambil memeriksa jadwal operasi, seminar, dan praktek di poliklinik.Gegas Natali melakukan apa yang disuruh Danendra, mereka berdua masuk ke dalam ruang praktek."Coba dilihat ini janinnya masih berukuran kecil. Harap dokter dan istri memperhatikan kebutuhan sang bayi melalui nutrisi ibu hamil," ingat sang dokter.Dokter kandungan meresepkan vitamin untuk Natali."Kamu sudah selesai praktek, 'kan? Mau pulang?" tanya Natali di luar ruangan."Sudah.
Malam ini Cempaka dan anak-anak mulai menginap di Bekasi. Danendra girang bukan kepalanya, tanpa paksaan Cempaka menyerahkan diri padanya.Danendra tidak yakin alasan apa yang membuat istrinya memutuskan hal itu. Apapun alasannya bagi Danendra tidak begitu penting."Saras masih bersekolah di Jakarta, besok Heru bisa mengantar ke sekolah, 'kan?" tanya Cempaka saat mereka berada dalam kamar yang sama. Cempaka memutuskan bersedia sekamar tanpa syarat apapun."Ya, Heru bisa antarkan. Tapi, kamu tidak berniat Saras bolak-balik sejauh itu, bukan? Dia harus bangun sepagi apa, pasti lelah perjalanan jauh."Cempaka telah memikirkannya. "Saras sebenarnya sudah nyaman bersekolah di sana, sejak masalah di sekolahnya dulu. Waktu aku membicarakan hal ini padanya, Saras sedih, jadi aku beri pilihan mau tinggal di Bekasi pindah sekolah atau tetap di Jakarta."Danendra mengangguk. "Jadi jawaban Saras apa?""Kamu tidak tanya?" Cempaka menoleh pada suaminya dengan kernyitan di kening.Danendra berdehem