Hay, guys, kalau pengikut author bertambah sekitar 30/40 nanti double up deh
“Yah, tante tahu kalau itu adalah sebuah takdir, tapi misalkan ada orang lain yang datang mendekatimu dan mengatakan kalau dia ingin menjadi istrimu, apa Kamu menerimanya?” Desi bertanya dengan nada seirus. “Em, haha ... urusan ini saja masih belum kelar, Tante, jadi mana bisa aku menerima seseorang yang datang kepadaku,” Riana tertawa canggung. “Siapa tahukan ada seseorang yang diam-diam menaruh rasa terhadapmu. Kamu kan cantik, Riana,” “Kalau aku adalah orang yang cantik, kenapa suamiku sendiri tidak menyadarinya? Dan bahkan dia bermain api dengan wanita lain, berarti aku bukanlah wanita cantik seperti yang Tante katakan,” gumam Riana lirih. Suaranya tercekat saat mengatakan hal tersebut, ada perasaan sesak di dalam dada seperti ada sebuah beban berat yang menindih sampai membuatnya menjadi sesak. Seketika teringat perkataan Reynald, perkataan yang ingin dia lupakan tetapi kembali teringat lagi, istri hanyalah orang asing! Tes, sebutir bulir bening jatuh dari sudut mata Riana mem
Desi melihat mereka berdua terlihat sangat canggung, membuat dia menghela napas panjang, ia berpikir sepertinya sangat susah sekali kalau berharap mereka akan semakin akrab dalam waktu dekat ini. “Yuk, makan lagi, Mbok!” seru Desi. Yah memang sedari tadi Mbok ikut makan bersama mereka, Desi tidak pernah membeda-bedakan orang lain walau pun itu bawahannya sendiri. Wanita tersebut memang hidup bergelimangan harta tetapi tidak sedikit pun dirinya bertingkah sombong, karena menurutnya semua sama saja hanya berbeda nasib hidup ia hanya sedikit beruntung bisa hidup enak bersama sang suami selama ini. “Mbok sudah kenyang, Bu. Izin ke dapur dulu, ya, ada yang aku lupakan tadi,” pamit Mbok. “Jangan terlalu rajin, Mbok. Ini sudah malam lebh baik istirahat saja,” saran Desi. “Tidak apa, toh hanya sedikit setelah itu akan istirahat.” Mbok beranjak ke dapur meninggalkan tiga orang yang masih menyantap martabak tersebut. Saat Mbok pergi semuanya semakin terasa sunyi, padahal sebenarnya kehadir
“Benar kata Mbok kamu tidak usah membantu, nanti kamu malah kelelahan lagi.” Desi tiba-tiba datang dari belakang dan langsung menghampiri mereka. “Nah, dengar sendiri kata Ibukan, Dek Riana tidak usah bantuin Mbok,” “Em, baiklah, tapi kalau aku membantu menata piring di meja tidak masalah kan?” tanya Riana. “Kalau itu tidak masalah,” Desi tersenyum menatap Riana. Sejauh ini dia mengenal Riana dengan sifat baik, ramah, pintar sekaligus wanita yang polos, tidak seperti yang Mayang katakan kepadanya. Kalau Riana adalah wanita tidak baik, pembangkang dan tentunya kurang ajar, begitulah kalau seseorang tidak menyukai orang lain mereka akan melebih-lebihkan sendiri supaya yang lain juga menjadi ikut-ikutan tidak menyukainya. Teringat itu Desi jadi menggelengkan kepala pelan, dia tidak menyangka telah berteman dengan orang seperti Mayang. “Tante, ayo makan!” suara Riana menyentakkan Desi dari lamunan. “Panggil Wira dulu, biar kita makan bersama!” perintah Desi, karena dia belum melihat
“Lelaki culun?” Riana mengulang perkataan Wira. “Ya, Aku adalah lelaki culun berkacamata dengan wajah penuh dengan jerawat, aku selalu mengikutimu kemana pun kamu pergi dengan membawa buku,” Setelah mendengar pengakuan dari Wira, Riana kali ini menatap lelaki tersebut dengan teliti ia berusaha membandingkan wajah dengan lelaki culun temannya dulu. Apakah Wira adalah lelaki culun tersebut atau hanya mengada-ngada saja? Tetapi ternyata memang ada kemiripan saat Riana memakaikan kacamata yang berada di meja kerja bosnya, yang berbeda hanyalah wajahnya lebih terawat dan tidak mengenakan kacamata lagi. “Ternyata benar kamu adalah Wira temanku dulu, tapi kenapa kamu tidak mengatakannya sedari awal?” Riana bertanya dengan nada kecewa. “Karena aku yakin kamu tidak akan mengingatku,” sahut Wira. “Kenapa aku tidak mengingatmu? Apa karena penampilanmu yang berubah?” Riana terus menatap Wira meminta penjelasan. “Bukan, itu karena aku mengira kamu sudah hidup bahagia dan melupakan temanmu ini
“Memang benarkan kalau temanmu itu adalah wanita penggoda?!” sungut Lia sambil terus menjambak rambut Kiki dengan kuat. “Sudah kukatakan dia tidak seperti itu, masih saja mulutmu yang tidak sekolah itu berkicau!” Kiki menarik rambut Lia sampai banyak rontok. “Argh! Sialan Kamu!” Lia melihat rambut yang dia rawat sepenuh hati rontok sangat banyak karena ulah Kiki, langsung menerjang wanita tersebut dengan membabi-buta. Yah tentu saja dia marah karena dia selalu menyisihkan gajih untuk merawat rambut tersebut, dia ingin menjadi tampil cantik di perusahaan Wira lantaran mau menarik salah satu karyawan lelaki di sana. “Makanya kalau jadi orang itu mulutnya dijaga!” geram Kiki. Saat suasana makin memanas, Riana menuju ke dapur ingin mengambil minum karena haus dia harus melihat kedua wanita yang sedang berkelahi berguling-guling di lantai. Terlihat jelas penampilan mereka sangat acak-acakan dan kotor akibat saling menyerang sedari tadi. Riana langsung berlari memanggil satpam untuk me
“Ibu Wulan!” Lia terkejut melihat Wulan berada di belakangnya.Wulan memilih duduk di samping Lia. “Iya, ini Aku, apa Kamu menerima tawaranku tadi?”“Em, Saya takut kalau melakukan hal itu,” Walau Lia sangat kesal kepada Riana, dia tetap tidak mau melakukan hal yang jauh dan bisa membuat dirinya dipecat. Buktinya saja kemarin sempat terbesit hal jahat tetapi urung dia lakukan.“Kamu tidak usah takut, toh yang penting tidak ada yang tahu. Oh, iya satu lagi, bicaralah santai kepadaku karena Aku bukan Sekertaris lagi di perusahaan,” bujuk Wulan.Toh menurut Wulan kalau Lia ketahuan paling dipecat oleh Wira seperti dirinya dan juga rencana yang akan mereka lakukan tidak akan membuat dia mendapatkan posisi Sekertaris lagi di perusahaan Wira. Hanya saja diaakan mendapatkan posisi itu di tempat lain, perusahaan saingan Wira dengan satu syarat harus mengambil satu berkas penting milik Wira untuk meraih kerja sama dengan orang luar negri.“Benarkah Saya boleh berbicara santai dengan, Ibu Wulan
“Apa-apa’an sih Kamu, Wira!? Kaki Mama jadi sakit!”Rupanya yang disenggol Wira sedari tadi bukan kaki Riana melainkan kaki mamanya sendiri, pantas saja Riana tidak merespon sedari tadi.“Maaf, Ma, tadi Aku kira tikus.” Wira menunduk malu, malu sekali dirinya sekarang di depan sang Mama dan Riana.Desi yang menyadari kalau sang Putra ingin menggoda Riana, tetapi malah salah sasaran tidak ingin memperpanjang urusan lebih jauh. “Iya, tidak masalah, tapi lain kali jangan diulangi lagi. Sakit kakiMama sekarang karena ulahmu,”“Baik, Ma,” sahut Wira menahan malu.Riana mengulum senyum, dia juga menyadari kalauWira mau menggodanya lagi seperti di kantor dengan terus menyenggol kakinya, sayang malah salah sasaran.“Alhamdulillah, sudah kenyang,” ucap Tante Desi setelah mereka selesai makan malam.“Kalau begitu, Aku bantu Mbok buat cuci piring.” Riana berdiri, dia membereskan semua piring kotor.“Jangan, Riana! Nanti Kamu malah kelelahan,” larang Desi.“Tidak papa kok, Tante, hanya membantu m
“Apa yang Anda lakukan, Pak?!” Riana kaget melihat Wira menjilat bekas sisa makanan yang menempel di bibirnya. “Hanya melakukan hal biasa saja,” sahut Wira. “Itu kotor, Pak, lain kali jangan lakukan lagi!” “Menurutku tidak kotor karena berasal dari Kamu,” goda Wira. “Hah?! Tetap saja itu kotor mau berasal dari Saya atau tidak! Pokoknya jangan lakukan lagi, Saya sangat tidak menyukainya!” gerutu Riana. “Iya-iya, Aku tidak akan melakukannya lagi untuk ke depannya.” Wira menompang kepalanya di atas satu tangan sambil menatap Riana lekat. “Pak, Saya sedang berbicara serius.” Riana bersedekap dada menatap Wira, menurutnya lelaki itu sedang mempermainkan dirinya. “Aku juga serius,” “Tapi wajah Bapak tidak terlihat seperti itu,” “Lalu wajahku terlihat seperti apa?” Wajah Wira mendekati Riana, karena posisi mereka sekarang terhalang oleh meja. Riana memalingkan wajahnya tidak mau melihat wajah Wira yang sekarang hanya berjarak beberapa inchi saja. “Seperti mempermainkan Saya.” “Kala