Keinginan Barra tak banyak, ia tahu diri. Tuhan belum membekali Barra dengan harta berlimpah. Barra hanya ingin istri cantik luar dalam. Istri yang bisa menerima Barra lahir dan batin. Sebelum memulai, Barra memohon izin untuk mencari pendamping hidup pada dua adik dan ibunya. Satu-satunya orang tua yang Barra miliki.
Jika ada kata yang bisa mendeskripsikan seorang Barra, mungkin adiknya akan mengatakan strong brother atau mungkin superhero, atau bisa juga malaikat. Ya, karena mereka tak pernah tahu apa yang Barra lakukan. Mereka hanya tahu Barra adalah kepala keluarga yang nyaris sempurna. Ia bekerja keras untuk keluarga. Ketika di rumah, Barra juga tak segan untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
"Saya akan membayar 1 milyar kalau kamu mau menikahi anak saya secara hukum dan agama."
Otak dan hati Barra mendadak tak sinkron. Menikah tapi dibayar, ini jelas salah. Hati kecil Barra berkata tidak, ini bukanlah hal yang benar. Namun, isi kepala mendorong Barra untuk menerima tawaran tersebut. Tawaran menggiurkan itu sukses merontokkan keteguhan iman Barra. Siapa yang tak khilaf ketika diiming-imingi sejumlah uang dengan nominal yang begitu banyak. Barra bekerja sebagai staf disalah satu perusahaan kecil dengan gaji UMR. Bukan tak cukup lagi, tapi sangat kurang untuk hidup Barra dan keluarga. Ia harus pontang-panting mencari pekerjaan sampingan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Barra telah menjual seluruh harta peninggalan sang ayah demi mengobati penyakit ibunya.
"Baik, saya mau," ucap Barra lantang. Ia pikir ini adalah rejeki, pantang menolak rejeki yang datang.
Kepala Barra kini sudah dipenuh dengan deretan angka. Tiga ratus juta untuk operasi Ibu, empat ratus lima puluh juta untuk beli rumah, seratus lima puluh juta untuk buka rumah makan. Sisanya akan ia gunakan untuk biaya pengobatan rutin sang Ibu dan sekolah adik-adiknya. Barra tak peduli dengan siapa ia akan menikah. Mungkin ini memang akhir dari pencarian, Tuhan mengabulkan permohonannya.
Barra sangat yakin melakukan pernikahan, ia tanda tangani secarik kertas yang diberikan Hiro padanya -- tanpa membaca terlebih dahulu. Barra datang hanya membawa badan saja, bahkan harga diri Barra sudah dibeli oleh Hiro.
Pria tersebut mendatangi rumah mewah sore hari sepulang bekerja. Sebelumnya Barra sudah mengabarkan pada Alby kalau ia ada lembur sampai pagi. Motor Vespa jadul milik Barra melaju membelah jalanan sempit. Ia harus melewati jalan tikus untuk menghindar dari razia polisi. Maklum saja, motor tua itu sudah lama mati pajak.
Sesekali Barra berhenti mengecek alamat dengan benar. Satu blok lagi Barra akan sampai ke alamat tujuan. Ia kembali berhenti sesaat, di depan pagar besi yang tingginya mencapai dua setengah meter. Pagar tersebut berwarna coklat berhias aksen ukiran bunga warna emas. Barra kembali menggeser layar ponsel. Tiga kali ia mengulang membaca alamat, tetap sama. Tiba-tiba Barra merasa grogi, bukan karena ia akan ijab kabul, melainkan gugup karena akan memasuki istana. Seumur hidup, baru sekali ini ia berada di titik terdekat dengan rumah mewah.
Pertama yang di lakukan Barra adalah, turun dari motor dan menyentuhkan ujung jari ke gerbang tersebut. Barra mencium harum aroma uang di sana, seketika hatinya bersorak gembira. Setelah dibawa masuk oleh seorang satpam, Barra diserahkan pada penata busana. Didandani ala pengantin. Ya jelas. Kan emang dia mau nikah. Hehe.
Barra mematut diri di cermin. Sempurna, pujinya pada ketampanan sendiri. Seorang ibu paruh baya membawa dirinya ke ruangan besar. Sudah ada penghulu dan saksi. Tak banyak manusia yang hadir di sana, Barra masa bodo. Ia tak mengenal satu pun. Tibalah waktu Barra mengucapkan janji pernikahan. Ijab kabul pernikahan seharusnya menjadi momen sakral pengikat hubungan. Namun, tanpa sadar mereka telah mempermainkan.
Barra celingukan mencari sosok gadis yang di klaim calon istrinya. Fokus Barra teralih saat Pak penghulu memberi secarik kertas robekan, benar-benar tak ada niat. Kertas berisi nama mempelai pria yang tak lain adalah dirinya, dan mempelai perempuan.
Annisa Yuzawa, gadis yang akan sah menjadi istri Barra beberapa detik lagi. Dari namanya sudah cantik, Barra berharap dapat uang juga dapat gadis cantik. Gadis blasteran Jawa dan Jepang. Barra sudah menduga-duga kalau ia akan dapat gadis sempurna, hidupnya akan berubah menjadi sultan dalam semalam. Yey. Teriak Barra kegirangan di dalam hati. Tanpa memikirkan alasan dibalik pernikahan bayaran itu.
"Saya terima nikah dan ..."
"Bagaimana para saksi, sah?"
"Sah."
"Alhamdulillah."
Seorang Bapak memimpin doa. Usai serangkaian acara, gadis cantik berdiri di depan Barra, lalu mencium punggung tangannya. Namun, ada hal aneh, Barra seperti merasakan basah di punggung tangannya setelah dikecup gadis itu. Ah mungkin hanya perasaannya saja.
Semua orang bubar, termasuk orang tua Annisa. Barra tak paham, lagi-lagi Barra bersikap tak acuh. Lagian ia sudah dapat perempuan cantik. Hanya tinggal Annisa, Barra dan asisten rumah tangga di rumah megah bak istana itu.
"Ayo, Mas. Ke kamar," ajak Annisa. Baru ini Annisa bicara sejak dua jam lalu mereka bertemu. Barra menyipitkan mata, lumayan agresif menurutnya. Saat di kamar, Annisa yang mulai memimpin permainan. Barra bersiap menembakkan senjatanya, tapi ia ragu. Ia tegang, gugup dan ada rasa takut menyakiti sang istri. Ini pengalaman pertama bagi Barra, ia akan serahkan keperjakaan pada istri sementara. Baru ia tarik napas pelan.
Sleepp! Annisa lebih dulu memasukkan. Tanda tanya kedua. Meski Barra belum pernah melakukan itu, tapi naluri lelakinya bisa membaca. Ronde pertama berlangsung selama 1.5 jam, bukankah itu waktu yang luar biasa untuk sekali klimaks? Tentu saja. karena dalam waktu sepanjang itu Barra dua kali mencapai puncak, sedangkan Annisa baru sekali. Barra terjatuh lemah di sisi tubuh polos gadisnya. Ia duduk mencari bercak merah, benar. Ternyata Annisa bukan perawan. Barra tak ambil pusing, karena ia memang berlaku sebagai suami bayaran.
Annisa tak banyak bicara, tapi sikapnya aneh menurut Barra. Baru saja Barra akan terlelap, tangan Annisa sudah kembali mengusik kejantanannya. Dia bermain agresif. Ronde kedua dimulai. Pertahanan Annisa begitu kuat, sesi kedua berjalan lebih lama. Istirahat tiga puluh menit, dan Annisa minta lanjut lagi.
Semalam penuh mereka bercinta. Barra sampai kewalahan. Paginya dia harus mengirim surat izin ke perusahaan tempatnya bekerja. Badannya seperti patah tulang. Seluruh sendi terasa pegal.
Hal seperti itu terjadi selama tiga hari, dan selama itu Barra tak masuk kantor. Ia juga tak pulang ke rumah. Barra rasa ada yang mereka sembunyikan. Ia ingin melarikan diri dari sana. Hari keempat Barra menyandang gelar suami, tepat hari minggu. Barra bisa gunakan untuk kabur jika ia tak bisa istirahat.
"Mas, ada Bapak ingin ketemu," panggil Bi Sumi. Sial, Barra benar-benar sial. Keinginan kabur harus ia kubur, Hiro memberi ancaman keras pada Barra. Secarik kertas yang dibubuhi tanda tangannya sore itu ternyata surat perjanjian pernikahan. Barra terikat pernikahan siri selama satu tahun. Ia tak bisa lari. Setelah satu tahun, ia baru bisa bebas. Awalnya Barra berpikir akan mempertahankan pernikahan itu. Namun, setelah mengarungi bahtera rumah tangga selama empat hari, Barra menyadari ada yang tak beres.
Hiro sudah mengirimkan surat resign ke tempat Barra bekerja. Shok! Satu kata yang menggambarkan kondisi Barra sekarang. Dia tidak bisa berbuat apa pun. Nyatanya Hiro sudah membeli tubuh dan harga diri Barra selama satu tahun. Barra bergidik takut membayangkan waktu selama itu. Baru jalan hari keempat saja Barra sudah kena demam. Apalagi satu tahun.
Hiro mengulurkan botol berukuran sedang. Warnanya gelap jadi Barra tak bisa menebak maksud dan tujuan Hiro dengan botol itu. Barra meringis malu setelah membaca lebel yang ada di bagian luar. Namun, kenapa Hiro sampai memberinya obat kuat. Terlalu rumit untuk Barra mengerti keluarga konglomerat itu. Annisa terlihat menuruni tangga, seperti biasa ia selalu pasang wajah datar.
"Mas, ayo ke kamar," ajaknya. Selalu saja kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Barra merasa tak sanggup kalau harus melayani istrinya lagi. Badan Barra masih terasa remuk. "Nanti malam saja, An. Masih ada ayahmu di sini," jawab Barra pelan dan lembut.
Hiro sudah hendak membuka mulut, entah kalimat apa yang akan diucapkan. Namun, hanya menguap. Mereka langsung panik saat benda tajam sudah ada di tangan Annisa. Barra mendekat, pelan ia ambil benda itu dan ia bawa Annisa ke kamar atas. Menuntaskan gairah yang tak mampu Barra puaskan.
Akankah Annisa melepas Barra setelah perjanjian itu selesai? Atau justru mereka terlibat skandal hubungan gelap?
* *
Dua tahun berpisah dari Annisa, hidup Barra dan keluarga naik satu tingkat. Uang perjanjian itu membawa manfaat untuk Barra dan keluarga. Ibunya berhasil melakukan transplantasi jantung. Alby adik pertama Barra masuk salah satu universitas dengan jurusan sesuai bidang yang ia sukai. Ervi adik bungsu Barra berhasil lulus sekolah menengah atas tanpa hambatan. Barra patut bersyukur atas pengalaman tersebut. Kalau dibilang menyesal, tentu ada. Namun, ya sudah semua telah terjadi. Barra niatkan saling membantu, simbiosis mutualisme, tak ada pihak yang dirugikan. Satu tahun itu Barra lalui penuh kesakitan. Sakit yang tampak oleh mata, Annisa meninggalkan banyak goresan di tubuh Barra. Untungnya ada di dalam, bukan wajah atau tangan yang bisa dilihat banyak orang. Barra duduk di atas Vespa bututnya, di pinggir sawah. Jangan salah, meski Jakarta adalah Ibukota Negara Indonesia. Kota metropolitan, tetapi Jakarta masih memiliki sawah yang menjadi akses jalan tikus Barra setiap hari saat berang
Pagi-pagi sekali Alby sudah membangunkan Barra. Hari itu jadwal mereka belanja kebutuhan warung makan. "Catatannya mana, Al?" Barra bertanya pada Alby. Catatan yang dimaksud adalah daftar bahan makanan yang hendak mereka beli di pasar pagi. "Sudah di dalam tas, Da," sahut Alby. Selain kuliah, Alby menjalankan bisnis rumah makan Minang bersama Ervi si adik bungsu. "Uda, aku titip kue talam ya. Semalam Ibu bilang ingin makan kue itu." Ervi bicara pada Barra. Bu Neini akan bangun saat kedua anaknya sudah kembali dari pasar tradisional. Bukan karena Bu Neini pemalas, tetapi kondisi sakit membuat Bu Neini sering kesulitan tidur saat malam tiba dan baru terlelap dini hari. Ervi menyiapkan bumbu masakan khas Padang. "Iya Dek, nanti Uda belikan. Jangan lupa buatkan Ibu bubur." Barra ingatkan sang adik. Ervi sering lupa menyiapkan bubur untuk sang Ibu. Padahal Bu Neini tak bisa terlambat sarapan, makan pun harus yang lembut-lembut. Jam di tangan Barra menunjukkan angka lima. Setelah dua ja
Pukul empat sore Barra tiba di kediaman Annisa, kedatangannya langsung mendapat sambutan hangat dari sang istri. Barra menyunggingkan senyum datar. Tiba-tiba ada perasaan tak nyaman memasuki relung hati Barra. Annisa terlihat begitu menyedihkan. Pelipis sebelah kanannya tertutup kain perban, sedangkan di bagian leher tertinggal darah segar yang masih mengalir. Itu segores luka. Sepertinya Bi Sumi belum sempat mengobatinya."Mas. Aku merindukanmu." Annisa menghambur ke dalam dekapan Barra. Annisa menangis tersedu. Barra merasa kebingungan dengan sikap aneh yang seringkali Annisa perlihatkan."Iya.. sudah, jangan menangis. Aku sudah di sini." Barra terdengar tulus mengucapkannya. Ia memang jujur mengatakan itu. Namun ia tak bisa mengungkapkan bahwa ia merindukan Annisa. Kenyataannya Barra tak menaruh sedikitpun rasa rindu pada perempuan yang kini berada di pelukannya. Menurutnya perasaan yang menelusup ke hati kecilnya merupakan rasa simpati belaka."Jangan tingga
Hari berikutnya, Barra sengaja bangun sebelum jam menunjuk pukul empat pagi. Barra mengendap-endap seperti seorang maling. Ia sangat hati-hati untuk mencapai pintu keluar, tak ingin gerakannya menimbulkan suara dan akhirnya membangunkan manusia yang tengah merajut mimpi di pulau kapuk. Sebenarnya Annisa lah seorang yang sangat Barra takutkan. Ia khawatir Annisa akan menyanderanya lagi, sehingga rencana pernikahan yang di gadang-gadang akan hancur total. Barra tak menginginkan hal seburuk itu terjadi, ia sangat menjaga hati calon permaisurinya. Sepeninggal Barra dari rumah mewah tersebut, Annisa tampak biasa saja. Ia tak mencari keberadaan suami ketiganya. Entah bagaimana bisa seseorang berubah dalam waktu sesingkat itu. Kemarin ia seolah-olah menjadi perempuan penggila Barra Farzan, sedangkan hari selanjutnya, Annisa seperti kehilangan memori kemarin. Bi Sumi satu-satunya orang yang mencari ketiadaan Barra Farzan. Namun, ia memilih bungkam, dan menerka-nerka ada kemungkinan Barra
Annisa Yuzawa sedang berkeliling mall bersama Denis. Ia telah menghabiskan waktu setengah hari penuh di tempat perbelanjaan tersebut. Dari mulai berbelanja pakaian, perhiasan, hingga singgah ke tempat permainan yang disediakan mall. Denis dengan telaten membawakan kantong belanjaan milik Annisa. Ia sangat bertanggung jawab akan tugasnya menjaga sang anak bos. Denis sebenarnya lebih merasa iba pada sosok Annisa Yuzawa. Meski Annisa terlahir dari keluarga bergelimang harta, tetapi ia tak bisa menikmatinya lahir batin. Kebahagiaan yang Annisa rasakan kala itu menulari relung batin Denis. Meskipun Denis sudah lelah, ia tak mengeluhkannya sama sekali. Jarang ia bisa melihat tawa renyah Annisa Yuzawa. Banyak pasang mata yang menatap aneh ke arah mereka berdua. Ya, karena tempat itu merupakan taman bermain yang dikhususkan untuk anak-anak. Annisa memainkan beberapa permainan sampai yang terakhir adalah street basketball. "Kak, aku kayak lihat Beby dan Mami, Papi juga," seru Annisa, ia tib
Di kediaman Berli Astrata Bustomi sedang digelar acara adat Betawi Malam Pacar. Nusantara memang memiliki banyak kebudayaan, termasuk dalam hal pernikahan. Salah satunya adalah adat Betawi. Malam pacar merupakan ritual pemakaian pacar oleh sang piare dan keluarga serta teman dekat. Ritual ini adalah salah satu rentetan acara adat sebelum acara puncak pernikahan dimulai. Malam pacar adalah istilah Betawi yang digunakan untuk menyebut acara pewarnaan kuku mempelai perempuan. Seperti Midodareni untuk istilah adat Jawa. Perlengkapan yang diperlukan untuk malam pacar yakni daun pacar yang telah ditumbuk halus. Meski di era modern sekarang ini sudah banyak produk yang lebih praktis seperti kutek instan, namun Astra memilih mengikuti adat yang sesungguhnya. Dan masih banyak beberapa bahan lain seperti bakulan lengkap dengan isian di dalamnya, kue basah khas betawi serta tak ketinggalan bantal beralas daun pisang yang diukir guna alas tangan sang mempelai perempuan.
Di dalam kamar hotel, Astra menangis tergugu. Ia tak percaya, kebahagiannya menjadi petaka. Barra sangat sabar menunggu Astra sampai tak mengucapkan apapun sampai Astra berhenti dari isakannya."Kak, apa semua yang dikatakan perempuan tadi itu benar??" Tanya Astra dengan suara parau."Bersa,, bukankah aku sudah menunjukkan surat cerai itu padamu dan Papa? Percayalah, aku tidak pernah berniat mempermainkanmu, sungguh aku mencintaimu." Barra merengkuh tubuh mungil Astra ke dalam pelukannya. Bersa merupakan panggilan sayang Barra untuk Astra, yang berarti Berli sayang.Astra mengangguk, ia menyeka sisa bulir beningnya. Hatinya sudah lebih tenang. Pikirannya kembali berputar normal."Sekarang, coba hubungi Kak Zen. Bagaimana kondisi Papa saat ini." Lanjut Barra, Astra kembali mengangguk patuh.Astra mulai sibuk dengan ponselnya, sedang Barra mengganti pakaiannya."Papa sudah di rumah, Kak." Seru Astra ketika ia menyudahi teleponnya."Cepa
Hari demi hari Astra jalani sebagai seorang istri Barra Farzan. Genap satu minggu ia benar-benar di rumah tanpa melakukan aktivitas yang lain di luar. Untuk pekerjaan rumah seperti yang dilakukan seorang ibu rumah tangga, Astra belajar dari suaminya. Maklum, anak sultan tak pernah menyentuh pekerjaan kasar. Barra fokus mengembangkan rumah makan Minang, sedang dua adiknya sibuk merampungkan tugas kuliahnya. Astra kini tengah mencoba untuk membersihkan cumi. Ia ingin sekali memakan seafood. Namun, ia berpikir ulang untuk mendatangi restoran. Sejak Astra keluar dari rumah Pak Abbas dan memilih Barra sebagai prioritasnya, detik itu juga Alfa Zen memutuskan hubungan kerja dengan Astra juga Barra. Ya, kini Astra dipaksa untuk mandiri. Pagi tadi ia sudah meminta Barra membelikan sekilo cumi berukuran jumbo. Matanya seketika bersinar kala melihat cumi tersebut. Astra membuka kulkas, mengambil cumi yang masih dalam wadah plastik. Belum dibersihkan, pasalnya Ba
“Apa! Papi ditangkap polisi karena menyuruh seseorang menembak Kak Barra?” Nayumi terduduk lemah. Bukan kaget mendengar kabar sang ayah ditangkap, melainkan ia terkejut dengan tindakan sang ayah yang melampaui batas.Nayumi menyeka air mata, meskipun tak begitu dekat dengan Barra Farzan, tetapi mendengar selentingan cerita seorang Barra dari beberapa sumber, membikin ia prihatin. Bagus Nayumi, Barra adalah pria terbaik untuk Annisa sang Kakak. Kalau saja Barra bukan suami dari Astrata, mungkin Nayumi juga akan menyatukan keduanya.“Mbak Nay kenapa nangis?” tanya Bi Sumi.“Kak Barra ditembak Papi, Bi. Aku harus melihat keadaan Kak Barra, titip Kak Nisa sebentar ya, Bu.”“Tapi, Mbak ... Non Annisa kan sedang kritis.”“Sebentar saja, Bi. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku, ya.”Nayumi melangkah cepat meninggalkan Bi Sumi sendiri, Laksmi sang ibu sudah pulang lebih dulu karena tidak memungkinkan menunggui Annisa bersama bocah balita.Nayumi berjalan menuju ruang UGD, sebab ia tidak ta
Brugh!Tubuh ringannya tumbang ... tepat di depan gerbang rumah sakit. Suasana pecah, kocar-kacir manusia ketakutan mendengar ledakan menggema. Petugas keamanan berpencar, beberapa pergi mengejar, dan ada sebagian yang menolong korban.Langit jingga menjadi kelabu bersama cerita pilu itu. Barra Farzan, inginnya menemui sang istri terhalang petaka.“Cepat kejar pelakunya, dia pake motor besar warna hitam ke arah sana,” seru seorang saksi.“Tolong ini, tolong ... cepat bawa brankar ke sini.” Suara-suara kekhawatiran terdengar jelas. Beruntunglah ia, banyak orang peduli dengan kemalangannya.Tubuhnya berlumur darah. Kaos coklatnya berubah kehitaman. Brankar didorong cepat oleh perawat. Satu tangan masih setia menggenggam map coklat.Sesekali pria itu terbatuk demi mencukupi oksigen dalam otak. Suaranya tertahan rasa sakit. Tangan kirinya mencoba menjawil perawat.“Buk ... to .... tolong ... panggil, uhuk ... uhuk.” Napasnya terpotong-potong, menyulitkan Barra Farzan untuk buka suara.“S
Di hari yang sama, usai kepulangan Barra Farzan, Nayumi mencoba masuk ruangan Astrata. Ia ingin menjelaskan banyak hal mengenai Barra Farzan. Namun, begitu mengetuk pintu, Nayumi mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari Alfa Zen.“Permisi ... .” Nayumi melongok pintu yang terbuka. Meski tidak begitu mengenal Nayumi, tetapi Astrata tahu bahwa gadis yang tengah berdiri di ambang pintu ruangan adalah gadis yang pernah mengejar sang Kakak Alfa Zen. Astrata ikut tersenyum, juga dengan Mbok Yami.“Masuk, Kak ... eh ... hem ... .”“Panggil Nayumi saja.” Kaki Nayumi melangkah ke ruang rawat Astrata Bustomi.Sreet!“Auh,” pekik Nayumi terkejut.Tangan Nayumi ditarik dari belakang, bahkan tubuhnya terlempar hampir jatuh membentur kursi tunggu kalau saja kakinya tidak kuat menahan.Astrata terduduk, ia menurunkan kaki ingin keluar dan membantu Nayumi.“Kak ... jangan kasar-kasar sama perempuan.”“Eh, mau ke mana, Neng? Mas Zen, ini ... tolong Neng Berli mau turun.” Mbok Yami menahan tubuh Astr
Barra Farzan melangkah gontai meninggalkan ruang UGD. Seluruh sisa tenaga yang ia miliki seakan lenyap oleh penolakan. Kini, ia berencana pulang, menengok dua adik yang lama ditinggal. Tak ada lagi keluarga yang dipunya selain Alby dan Ervi.Barra meninggalkan rumah sakit tanpa berpamitan pada Nayumi dan Laksmi. Ia menaiki kendaraan umum untuk membawa ke alamat tinggalnya.Tak habis pikir kalau Pak Abbas sang mertua ternyata sudah meninggal dunia. Sungguh sesak menatap aura letih Astrata. Ia sangat Bu ingin mendekap dan saling bertukar kabar dengan perempuan yang dicintai tersebut. Namun, apa mau dikata, dokter sudah mengatakan bahwa Astrata tidak boleh terlampau stres agar kandungannya tetap sehat.Dari gerbang masuk perumahan daerah tinggalnya, Barra berjalan. Ia agak ragu untuk pulang, pasalnya ia sendiri yakin kalau kehidupan Alby dan Ervi baik-baik saja tanpa ada dirinya.“Maafkan Papa, Nak ... Papa tidak bisa menemani kamu dan ibumu. Namun, doa Papa tetap bersama kalian dan
Brankar didorong kencang. Pasien yang terbaring di atasnya meringis kesakitan sambil terus melafalkan doa-doa agar ia tetap sadar. Wanita tua yang mendampingi sampai terseok-seok akibat langkahnya lambat.“Jangan telepon Kak Zen dulu ya, Mbok, aku nggak apa-apa.”“Tapi, Neng ... .”“Sudah, nggak apa-apa. Mbok Yami jangan khawatir.” Astrata berusaha menarik kedua ujung bibir.Ia merasa selama kembali ke rumah hanya menjadi beban sang Kakak. Oleh karena itu, saat ia tiba-tiba jatuh sakit, ia masih berusaha kuat. Astrata sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada tubuhnya. Kenapa dan apa sebabnya ia sampai pendarahan, sama sekali ia tidak paham.Ruangan ICU menyatu dengan ruang gawat darurat. Ketika brankar hampir masuk ke ruang penanganan, seorang pria berlari – menahan brankar dan menatap pasien yang tengah kesakitan.“Berli ... Sayang ... apa yang terjadi?”Astrata menepis tangan Barra dari keningnya. “Tolong usir pria ini, Sus, saya tidak mengenalnya.”“Maaf, Pak, Ibu harus
Niat baik yang dilakukan dengan cara salah, tentu akan menimbulkan dampak buruk di kemudian hari. Ada konsekuensi di dalamnya. Mau tidak mau, Barra harus menanggung sendiri buah dari semua kesalahan.Keluarga yang ia perjuangkan pun tidak sedikit pun tergerak untuk mencari keberadaan Barra yang sudah menghilang beberapa hari. Ervi sang adik perempuan, tidak bisa berbuat banyak. Sekalipun ia telah berusaha menanyai beberapa teman sang kakak sulung, hasilnya nihil.Alby yang notabene tahu semua asal mula timbulnya masalah, tak mau pusing. Ia terlanjur marah dengan Barra Farzan, dan melupakan seluruh kebaikan sang kakak.Usai mengantar Annisa ke rumah sakit, Nayumi mengizinkan Barra pergi. Gadis itu mengusulkan agar Barra menjauh dari Kota Jakarta untuk menghindari kejahatan Hiro. Hari ini mereka berhasil lepas dari perangkap iblis berwujud manusia tersebut. Namun, di lain waktu belum tentu.“Kak ... sebaiknya Kakak pergi dari kota ini. Aku nggak yakin Papi akan menyerah begitu saja.”“A
Beberapa sekon setelah kepergian Hiro, seorang pengawal datang dan menyeret tubuh Barra dengan kasar. Antara sadar dan tidak, Barra jalan terseok-seok. Namun, ketika cahaya mulai menyilaukan mata, Barra berusaha berdiri seimbang.Sebelum membuka pintu, kepala Barra ditutup menggunakan kain. Seakan ia adalah terdakwa kematian. Jantung Barra mulai berdegup, pikirannya kacau mengingat kesalahan besar pada sang istri. Ia belum ingin meregang nyawa sia-sia. Harapannya besar untuk bisa meminta pengampunan Astrata secara tulus – perempuan yang amat Barra cintai.Barra dibawa naik – keluar dari ruang pengap yang berada di bawah tanah rumah megah nan mewah milik Annisa. Ya, ruang rahasia itu sebenarnya ada di dalam rumah megah.Usai Nayumi di kurung di salah satu kamar tamu lantai bawah, Barra diseret naik ke kamar Annisa. Ketika berada di luar pintu kamar, satu per satu pakaian Barra Farzan dilucuti hingga menyisakan celana bagian dalam saja. Barra dilempar oleh pengawal, bersamaan dengan kai
Dua Minggu berlalu Barra lewati di sebuah ruang pengap tanpa cahaya. Selama itu pula, ia tak pernah tahu dunia luar. Wajah tampannya tertutup jambang dan lebam hampir di seluruh sisi. Barra disandera oleh Hiro. Tubuh gagah Barra tidak lagi sekuat dulu. Kini untuk berdiri saja Barra kesulitan. Beberapa kali mencoba kabur dari tempat laknat itu, tetapi selalu gagal dan mendapat hukuman yang membikin ia semakin tak berdaya.Ia bahkan tidak pernah tahu di mana ia berdiri saat ini. Sebab, ketika Hiro membawa Barra ke dalam ruangan pengap itu, Barra dibuat tak sadarkan diri. Ia baru menyadari dirinya diambang kematian kala membuka mata. Entah lah, ia tak pernah tahu lagi siang dan malam. Rasanya setiap detik dan menit yang dilalui tetap sama, yaitu gelap dan mencekam. Setiap hari ia hanya mempersiapkan diri untuk kematian. Ia menyerah, tenaganya sudah tak memungkinkan untuk lari dari orang-orang berhati iblis itu.Ya Tuhan ... kalau memang aku masih diberi kesempatan hidup lebih lama, tolon
Barra menangis di atas gundukan tanah merah. Ervi pun melakukan hal sama, ia memeluk Barra dari samping sambil terisak pilu. Lain dengan Barra dan Ervi, Alby menahan semua gemuruh menyakitkan dalam hati. Ia segera pergi dari sana, tanpa mengajak kedua saudaranya ikut. Setiap ingat kejadian di rumah sakit, Alby seolah semakin benci dengan Barra Farzan.Apa pun alasannya, ia tahu pasti Barra Farzan membikin ulah lagi. Terbukti dari sang kakak ipar yang tidak hadir di pemakaman, pun tak berada di rumah mereka tinggal.Alby melangkah keluar dari pemakaman, air mata mulai berjatuhan membasahi pipinya. Ia tak sanggup terlalu lama menahan sesak seorang diri.“Maafin aku, Bu ... aku nggak bisa jaga Ibu dengan baik,” ucap Alby penuh penyesalan. Pria itu meninju pagar besi pemakaman yang tingginya setara dada.“Ini takdir Ibu, jangan menyesali apa yang sudah terjadi.” Tiba-tiba Barra merangkul bahu Alby dari belakang.Sontak, Alby yang memang sedang marah, meraih tangan Barra dan melempar tubuh