Home / Romansa / Dilema Suami Bayaran / 4. Tertangkap basah?

Share

4. Tertangkap basah?

Author: diara_di
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Hari berikutnya, Barra sengaja bangun sebelum jam menunjuk pukul empat pagi. Barra mengendap-endap seperti seorang maling. Ia sangat hati-hati untuk mencapai pintu keluar, tak ingin gerakannya menimbulkan suara dan akhirnya membangunkan manusia yang tengah merajut mimpi di pulau kapuk.

Sebenarnya Annisa lah seorang yang sangat Barra takutkan. Ia khawatir Annisa akan menyanderanya lagi, sehingga rencana pernikahan yang di gadang-gadang akan hancur total.

Barra tak menginginkan hal seburuk itu terjadi, ia sangat menjaga hati calon permaisurinya. Sepeninggal Barra dari rumah mewah tersebut, Annisa tampak biasa saja. Ia tak mencari keberadaan suami ketiganya. Entah bagaimana bisa seseorang berubah dalam waktu sesingkat itu. Kemarin ia seolah-olah menjadi perempuan penggila Barra Farzan, sedangkan hari selanjutnya, Annisa seperti kehilangan memori  kemarin. 

Bi Sumi satu-satunya orang yang mencari ketiadaan Barra Farzan. Namun, ia memilih bungkam, dan menerka-nerka ada kemungkinan Barra telah kabur dari rumah itu. Menurut perempuan paruh baya tersebut hal utamanya adalah ketenangan Annisa. Kini Annisa menanyakan suami pertamanya. Bersyukur karena Kenzi sudah kembali ke kediaman majikan sekaligus istrinya itu.

Annisa meminta Kenzi untuk diantarkan ke mall, tetapi ia menginginkan Denis yang menemani belanja. Denis adalah suami kedua Annisa, ia merupakan salah satu dari pegawai cleaning servis di kantor Hiro.

Ya, Hiro memilihkan suami untuk Annisa dengan latar belakang keluarga miskin. Hiro sangat memahami kondisi kesulitan bagi orang-orang menengah ke bawah. Selain lebih mudah untuk ditekan dan diancam, kalangan menengah ke bawah akan sangat bergantung pada dirinya yang notabene seorang pengusaha sukses.

Meskipun para suami Annisa berasal dari latar belakang orang susah, mereka memiliki paras yang hampir mendekati kata sempurna. Dari ketiga pria yang menjabat sebagai suami Annisa, tetap Barra Farzan lah yang memegang predikat suami tampan.

* *

Barra melangkahkan kaki lebar-lebar, walaupun ia sampai di rumahnya sudah pukul lima pagi, tapi ia kembali ketiduran karena rasa kantuk yang teramat. Alhasil ia terbangun kesiangan, Ibu dan dua adiknya enggan membangunkan karena merasa kasihan pada tulang punggung keluarga tersebut.

Semua mengira kepergian Barra adalah bagian dari usahanya mencari pundi-pundi rupiah untuk membeli mahar dan hantaran saat pernikahan nanti.

Dugaan tersebut tak sepenuhnya salah, nyatanya Barra memang telah dibayar untuk menjadi budak seks Annisa. Namun, pekerjaan yang ada di dalam pikiran mereka jelas salah besar.

"Tumben telat, Mas Barra?” tukas satpam kantor yang hafal dengan jadwal kedatangan Barra di BPC.

"Iya, Pak. Saya bangun kesiangan. Saya masuk dulu ya, Pak." Barra berlalu cepat meninggalkan satpam yang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kala itu, Barra merasa ada hal aneh di ruangan divisinya. Ia ingat betul matanya tak salah menangkap jarum jam yang telah menunjuk pukul setengah sepuluh. Akan tetapi, seluruh pegawai divisi pemasaran tak terlihat sebatang pun. Barra berinisiatif menghubungi rekan se-timnya.

Barra semakin bergerak gelisah ketika Butet tak mengangkat telepon. Barra berlari menuju lift, ia akan naik ke lantai atas. Keresahan menumpulkan akal Barra, ia tak mengingat bahwa Astrata calon istrinya merupakan pewaris kedua BPC. Barra justru kebingungan ke sana-kemari mencari rekan kerjanya.

Prok ... prokk ... prokk ...

Suara tepukan tangan menggema dari aula yang telah ia lewati. Barra tak menoleh ke kanan-kiri setelah menginjakkan kaki di lantai lima belas, ia ngibrit berjalan cepat demi menemukan jawaban atas kekosongan kubikel-kubikel kantor BPC.

"Wah-wah-wah ... hebat sekali pegawai satu ini. Baru menjabat sebagai karyawan sudah berangkat seenaknya sendiri. Apalagi kalau dia menjabat sebagai pimpinan?" Sindiran pedas menyambut kedatangan Barra Farzan. Astra yang kala itu berada di samping Alfa Zen Bustomi hanya menunduk malu pada karyawan lain. Zen tersenyum sinis, seringainya terlihat mengerikan.

Alfa Zen Bustomi merupakan CEO perusahaan yang bergerak di bidang properti tersebut. Ia Kakak tunggal dari Astra Bustomi. Ia terkenal dengan sebutan Macan Asia. Kedisiplinannya tak bisa diganggu gugat.

"Selamat pagi, Pak. Mohon maaf saya terlambat datang hari ini." Sebelumnya Barra Farzan mencondongkan sedikit tubuh untuk memberi hormat, lalu ia mengungkapkan permintaan maaf. Barra sangat memahami kepemimpinan bosnya. Tak ada kata maaf tanpa hukuman.

"Kamu sama sekali nggak masuk kriteria calon pemimpin!" Kembali Zen melontarkan kalimat pedas, Barra semakin menciut. Astra berusaha menyikut sang Kakak yang memiliki mulut pedas seperti emak-emak 62.

"Kak, tolong jangan permalukan Barra," bisik Astra dengan sangat pelan.

Barra melangkah sedikit demi sedikit dengan kepala tetap tertunduk malu.

"Apa aku sudah mengizinkanmu masuk?" Zen mengatakannya datar, tak lagi menggunakan intonasi tinggi. Namun, bukan Zen kalau tak menyusahkan.

Barra seketika menghentikan langkah, pria itu mematung. Dengan kaki kanan berada di depan kaki kiri. Ia benar-benar membeku di tempatnya. Banyak karyawan ikut tegang menyaksikan tontonan gratis itu. Banyak juga yang menahan untuk tak mengeluarkan suara tawa. Mereka ingin menertawakan reaksi Barra ketika terkejut. Kalau saja boleh menghidupkan ponsel masing-masing, mungkin mereka tak akan menyia-nyiakan momen menegangkan sekaligus lucu secara bersamaan.

"Bersihkan seluruh ruangan di lantai dua puluh. Sapu, pel, lap kaca dan debu seluruh furnitur, jangan lupa bersihkan seluruh toilet di sana dan ... satu lagi, setelah selesai, kamu bisa membuatkan kopi untuk semua penghuni lantai itu," ucap Zen santai.

Barra menyumpahi bosnya dalam hati. Astaga, cleaning servis pun memegang masing-masing pekerjaan. Lalu, apa sebutan yang cocok untuk seorang Barra Farzan yang kini diganjar dengan hukuman tak lazim. Zen menyembunyikan gelak tawanya, ia tahu Astra sedang memelototi kegilaannya.

Barra mengangguk patuh, meski ingin sekali ia menolak dan mengumpat di depan CEO gila tersebut.

"Kenapa masih berdiri di situ? Cepat kerjakan! Yang lain, kembali bekerja!" perintah Zen lagi. Ia tak membiarkan calon adik iparnya semena-mena. Hanya dirinya yang berhak terlambat dan berlaku sesuka hati. Mungkin Zen sudah tak waras.

Barra meninggalkan Aula kantor, ia menuju ruangan cleaning servis untuk mengganti pakaian dan mengambil alat tempur.

Barra mulai bergerak lincah dengan senjata sapu ijuk. Ia memang biasa mengerjakan semua itu. Namun, yang tak biasa adalah besarnya lantai petinggi perusahaan tidaklah mudah untuknya menyelesaikan sendiri.

Seluruh jajaran petinggi menghambur keluar dari dalam lift khusus pejabat kantor, termasuk Astra di dalamnya. Astra menyusul Barra yang tengah kepayahan mengelap jendela kaca. Astra ingin membantu calon suaminya.

"Berli! Masuk ruangan." perintah keras Zen tak bisa disanggah. Zen melarang keras Astra membantu Barra dengan dalih agar karyawan lain tak mengikuti jejak Barra.

"Tapi, Kak." Astra berusaha memprotes kebijakan yang jauh dari kata bijak tersebut. Astra yakin Zen hanya mencari kesempatan untuk mengerjai Barra.

Semua karyawan yang berada di bawah kendali Zen, memasuki ruang kerja masing-masing. Lalu Barra ... ia kembali berkutat dengan lap dan air.

Barra menghabiskan hampir lima jam dengan gagang sapu dan kain pel. Ia sangat kelelahan hari itu, usai membuatkan kopi untuk bos besar, Barra menjatuhkan tubuh ke lantai.

Tulang-tulang Barra terasa seperti mau patah. Ia acuh pada lirikan aneh orang-orang yang melewatinya. Barra terlalu lemah untuk mengamati wajah para petinggi. Ia menyandarkan punggung di dinding dan meluruskan kaki yang ngilu. Barra melupakan satu hal, ia bersandar di samping pintu kandang Macan jantan.

Ceklek ... pintu terbuka perlahan. Menampilkan sosok cantik gadisnya. Astra ter jingkat kaget kala  ujung matanya menemukan tubuh Barra teronggok di lantai yang menurutnya kotor. Miris, tapi ia bersyukur bukan Zen yang menemui keadaan mengenaskan itu. Jika Zen, habislah Barra. Namun, Barra tak mengetahui hal itu, ia sudah tertidur di sana.

Astra memandangi setiap inci wajah Barra, seketika ia teringat kalau tempat itu tak aman untuk Barra. Astra membangunkan pria tersebut, kemudian dengan langkah sempoyongan, Barra  berjalan di belakang Astra. Keduanya melanjutkan rencana yang sempat tertunda kemarin.

* *

Di sinilah mereka berakhir. Salah satu mall terbesar di ibukota. Sebelum menuntaskan hasrat berbelanja, Astra lebih dahulukan menuju salah satu restoran di mall tersebut. Ia tahu Barra menghabiskan banyak energi untuk melakukan semua aktivitas hukumannya. Sekalipun Barra tak melewatkan makan siangnya, Astra yakin kalau pria itu tengah menahan lapar dan dahaga.

Barra memakan dengan rakus, tampak seperti orang kelaparan. Astra hanya menemani, ia sudah kenyang melihat cara Barra menyantap makanan. Lima belas menit berlalu, Barra mengusap perutnya.

Usai dari restoran, Astra dan Barra berkeliling mencari toko perhiasan langganan gadis itu. Kaki Barra tiba-tiba tersendat, Barra menarik lengan Astra dengan gerakan cepat. Bersembunyi di balik maneken. Astra mengerutkan kening, alisnya saling bertautan akibat sikap aneh yang Barra tunjukkan.

"Kak? Ada apa?" tanya Astra kaget.

Barra celingak-celinguk, ia merasa keberadaannya terancam. Barra melihat dengan jelas kalau Annisa memergoki dirinya. Ia mengapit lengan Astra, berjalan dengan waspada tanpa memedulikan pertanyaan Astra.

"Astaga," ucap Barra terkejut. Barra sangat takut kalau ia tertangkap basah oleh Annisa.

* *

diara_di

Hay, salam kenal dari author. Terimakasih sudah berpartisipasi dalam cerita author. Jangan lupa tinggalkan jejak ya gaes. Peluk jauh dari author.

| Like

Related chapters

  • Dilema Suami Bayaran    5. Kecurigaan Annisa

    Annisa Yuzawa sedang berkeliling mall bersama Denis. Ia telah menghabiskan waktu setengah hari penuh di tempat perbelanjaan tersebut. Dari mulai berbelanja pakaian, perhiasan, hingga singgah ke tempat permainan yang disediakan mall. Denis dengan telaten membawakan kantong belanjaan milik Annisa. Ia sangat bertanggung jawab akan tugasnya menjaga sang anak bos. Denis sebenarnya lebih merasa iba pada sosok Annisa Yuzawa. Meski Annisa terlahir dari keluarga bergelimang harta, tetapi ia tak bisa menikmatinya lahir batin. Kebahagiaan yang Annisa rasakan kala itu menulari relung batin Denis. Meskipun Denis sudah lelah, ia tak mengeluhkannya sama sekali. Jarang ia bisa melihat tawa renyah Annisa Yuzawa. Banyak pasang mata yang menatap aneh ke arah mereka berdua. Ya, karena tempat itu merupakan taman bermain yang dikhususkan untuk anak-anak. Annisa memainkan beberapa permainan sampai yang terakhir adalah street basketball. "Kak, aku kayak lihat Beby dan Mami, Papi juga," seru Annisa, ia tib

  • Dilema Suami Bayaran    6. Tragedi pelaminan

    Di kediaman Berli Astrata Bustomi sedang digelar acara adat Betawi Malam Pacar. Nusantara memang memiliki banyak kebudayaan, termasuk dalam hal pernikahan. Salah satunya adalah adat Betawi. Malam pacar merupakan ritual pemakaian pacar oleh sang piare dan keluarga serta teman dekat. Ritual ini adalah salah satu rentetan acara adat sebelum acara puncak pernikahan dimulai. Malam pacar adalah istilah Betawi yang digunakan untuk menyebut acara pewarnaan kuku mempelai perempuan. Seperti Midodareni untuk istilah adat Jawa. Perlengkapan yang diperlukan untuk malam pacar yakni daun pacar yang telah ditumbuk halus. Meski di era modern sekarang ini sudah banyak produk yang lebih praktis seperti kutek instan, namun Astra memilih mengikuti adat yang sesungguhnya. Dan masih banyak beberapa bahan lain seperti bakulan lengkap dengan isian di dalamnya, kue basah khas betawi serta tak ketinggalan bantal beralas daun pisang yang diukir guna alas tangan sang mempelai perempuan.

  • Dilema Suami Bayaran    7. Papa atau Barra?

    Di dalam kamar hotel, Astra menangis tergugu. Ia tak percaya, kebahagiannya menjadi petaka. Barra sangat sabar menunggu Astra sampai tak mengucapkan apapun sampai Astra berhenti dari isakannya."Kak, apa semua yang dikatakan perempuan tadi itu benar??" Tanya Astra dengan suara parau."Bersa,, bukankah aku sudah menunjukkan surat cerai itu padamu dan Papa? Percayalah, aku tidak pernah berniat mempermainkanmu, sungguh aku mencintaimu." Barra merengkuh tubuh mungil Astra ke dalam pelukannya. Bersa merupakan panggilan sayang Barra untuk Astra, yang berarti Berli sayang.Astra mengangguk, ia menyeka sisa bulir beningnya. Hatinya sudah lebih tenang. Pikirannya kembali berputar normal."Sekarang, coba hubungi Kak Zen. Bagaimana kondisi Papa saat ini." Lanjut Barra, Astra kembali mengangguk patuh.Astra mulai sibuk dengan ponselnya, sedang Barra mengganti pakaiannya."Papa sudah di rumah, Kak." Seru Astra ketika ia menyudahi teleponnya."Cepa

  • Dilema Suami Bayaran    8. Kebohongan termanis

    Hari demi hari Astra jalani sebagai seorang istri Barra Farzan. Genap satu minggu ia benar-benar di rumah tanpa melakukan aktivitas yang lain di luar. Untuk pekerjaan rumah seperti yang dilakukan seorang ibu rumah tangga, Astra belajar dari suaminya. Maklum, anak sultan tak pernah menyentuh pekerjaan kasar. Barra fokus mengembangkan rumah makan Minang, sedang dua adiknya sibuk merampungkan tugas kuliahnya. Astra kini tengah mencoba untuk membersihkan cumi. Ia ingin sekali memakan seafood. Namun, ia berpikir ulang untuk mendatangi restoran. Sejak Astra keluar dari rumah Pak Abbas dan memilih Barra sebagai prioritasnya, detik itu juga Alfa Zen memutuskan hubungan kerja dengan Astra juga Barra. Ya, kini Astra dipaksa untuk mandiri. Pagi tadi ia sudah meminta Barra membelikan sekilo cumi berukuran jumbo. Matanya seketika bersinar kala melihat cumi tersebut. Astra membuka kulkas, mengambil cumi yang masih dalam wadah plastik. Belum dibersihkan, pasalnya Ba

  • Dilema Suami Bayaran    9. Pelanggan pemberi luka

    Semenjak mendapat sanjungan manis dari suami dan mertua, Astra semakin gencar belajar memasak. Seperti pagi-pagi di hari berikutnya, Astra merecoki Ervi membuat masakan di dapur.Alhasil rendang daging yang biasa mempunyai cita rasa khas, kini berubah menjadi rendang tak sedap. Terpaksa Barra mencari-cari alasan untuk membawa Astra menjauhi dapur.Kini Astra dan Barra sudah berada di rumah makan. Astra tengah mengelap meja dan kursi yang tersedia untuk pelanggan.Astra bahagia menjalani hidup sederhana dengan suami. Sesekali ia mencoba menghubungi nomor rumah dan nomor Zen, ia merindukan keluarganya."Permisi, Uni.. apakah warungnya sudah buka?" Seorang pelanggan berdiri di luar warung.Baru di buka sudah berdatangan penikmat masakan Padang. Ini pengalam baru untuk seorang anak sultan seperti Astra. Ia begitu antusias menjadi pramusaji."Oh, sudah. Kak. Silahkan masuk?" Jawab Astra dengan ramah."Saya pesan nasi telur dadar dua dan na

  • Dilema Suami Bayaran    10. Gagal Malam Pertama

    Barra mengurai pelukan, ia mengusap wajah Astra yang basah karena air mata. Perempuan tersebut tak menunjukkan ekspresi apapun. "Ma'afkan aku, sayang.. aku tidak becus menjaga mu." Ucap Barra yang kemudian membenamkan kembali kepala Astra di dada bidangnya. Astra tak menjawab ataupun merespon dengan gerakan tubuh. Barra belum pernah menemui Astra dalam keadaan kacau seperti saat itu. Barra mengenali Astra sebagai wanita tegas dan ceria. Astra memang pernah menangis, namun perempuan tersebut tak pernah diam membisu. Barra memutuskan untuk menutup warungnya, ia akan membawa gadisnya jalan-jalan. Mencari jajanan kesukaan Astra, itu adalah ide bagus untuk menaikkan mood gadisnya. "Ayo naik." Seru Barra, kala mereka telah berada di pinggir jalan depan warung. Barra baru saja selesai menghidupkan vespa tuanya. Ya, Barra butuh tenaga ekstra untuk menyalakan mesin motor antik tersebut. Astra masih saja melipat wajahnya, dua tangannya bersedekap di dad

  • Dilema Suami Bayaran    11. Detektif

    Sepeninggal Barra, tanpa bisa dicegah air mata Astra mengaliri pipi putihnya. Sepercayanya Astra tetap saja hati kecil Astra menyimpan keraguan yang seringkali membuat gadis itu terbengong-bengong. Pagi menyapa, masih setia bertahan dengan awan putih yang menyelimuti langit biru. Sampai pagi tiba, matahari seperti enggan menyibakkan awan yang menutup. Astra menggeliat, meregangkan otot-otot yang terasa kaku. Astra menyibak horden yang menutupi cahaya masuk ke dalam. Astra menghela napas berat saat menyadari vespa Barra tak bertengger di halaman rumah. Kretekkk.. Suara pintu kamar yang Astra buka, Ervi juga Alby seketika menoleh ke arah Astra. "Eh, kalian sudah di dapur?" Astra masih mengucek matanya. Ia juga belum membersihkan muka, belum menyikat gigi gingsulnya. Ervi mengangguk, sedang Alby celingukan seperti mencari sesuatu. "Kakak sendiri?" Alby berbalik melayangkan sebuah pertanyaan tanpa menjawab Astra. "Iya, Kak Barra ke

  • Dilema Suami Bayaran    12. Suami bayaran

    Astra mendahului langkah lebar Alby dengan berlari tergopoh-gopoh di koridor rumah sakit. Ia melesat tanpa mengetahui tujuannya kemana. Ketika berada di perempatan koridor, Astra berhenti. Perempuan luwes itu kebingungan untuk memilih jalur sebelah mana. Alhasil, ia tetap menunggu sang adik ipar yang tengah berlari untuk mensejajarkan langkah dengannya."Papa dimana, By?" Tanya Astra dengan penuh kecemasan.Alby bungkam, ia terlalu lelah untuk bersuara. Napasnya yang naik turun membuat pria berpredikat setia itu memilih diam dan menarik lengan sang Kakak ipar."Pak-- Ab- bas, ada di-- ICU, Kak." Ucap Alby tersengal-sengal. Napasnya belum kembali stabil, ia masih sambil mengatur deru napas ketika mengarahkan Astra dengan menunjuk ke ICU tempat perawatan Pak Abbas.Alby tak berani ikut mendekat, ia cukup tahu diri. Meski Barra tak pernah bercerita perihal kekacauan yang terjadi di resepsi pernikahan. Namun Alby bukanlah sang Ibu, bukan juga Ervi. Alby pria

Latest chapter

  • Dilema Suami Bayaran    37. Pergi (Selesai)

    “Apa! Papi ditangkap polisi karena menyuruh seseorang menembak Kak Barra?” Nayumi terduduk lemah. Bukan kaget mendengar kabar sang ayah ditangkap, melainkan ia terkejut dengan tindakan sang ayah yang melampaui batas.Nayumi menyeka air mata, meskipun tak begitu dekat dengan Barra Farzan, tetapi mendengar selentingan cerita seorang Barra dari beberapa sumber, membikin ia prihatin. Bagus Nayumi, Barra adalah pria terbaik untuk Annisa sang Kakak. Kalau saja Barra bukan suami dari Astrata, mungkin Nayumi juga akan menyatukan keduanya.“Mbak Nay kenapa nangis?” tanya Bi Sumi.“Kak Barra ditembak Papi, Bi. Aku harus melihat keadaan Kak Barra, titip Kak Nisa sebentar ya, Bu.”“Tapi, Mbak ... Non Annisa kan sedang kritis.”“Sebentar saja, Bi. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku, ya.”Nayumi melangkah cepat meninggalkan Bi Sumi sendiri, Laksmi sang ibu sudah pulang lebih dulu karena tidak memungkinkan menunggui Annisa bersama bocah balita.Nayumi berjalan menuju ruang UGD, sebab ia tidak ta

  • Dilema Suami Bayaran    36. Berlumur Darah

    Brugh!Tubuh ringannya tumbang ... tepat di depan gerbang rumah sakit. Suasana pecah, kocar-kacir manusia ketakutan mendengar ledakan menggema. Petugas keamanan berpencar, beberapa pergi mengejar, dan ada sebagian yang menolong korban.Langit jingga menjadi kelabu bersama cerita pilu itu. Barra Farzan, inginnya menemui sang istri terhalang petaka.“Cepat kejar pelakunya, dia pake motor besar warna hitam ke arah sana,” seru seorang saksi.“Tolong ini, tolong ... cepat bawa brankar ke sini.” Suara-suara kekhawatiran terdengar jelas. Beruntunglah ia, banyak orang peduli dengan kemalangannya.Tubuhnya berlumur darah. Kaos coklatnya berubah kehitaman. Brankar didorong cepat oleh perawat. Satu tangan masih setia menggenggam map coklat.Sesekali pria itu terbatuk demi mencukupi oksigen dalam otak. Suaranya tertahan rasa sakit. Tangan kirinya mencoba menjawil perawat.“Buk ... to .... tolong ... panggil, uhuk ... uhuk.” Napasnya terpotong-potong, menyulitkan Barra Farzan untuk buka suara.“S

  • Dilema Suami Bayaran    35. Satu tembakan

    Di hari yang sama, usai kepulangan Barra Farzan, Nayumi mencoba masuk ruangan Astrata. Ia ingin menjelaskan banyak hal mengenai Barra Farzan. Namun, begitu mengetuk pintu, Nayumi mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari Alfa Zen.“Permisi ... .” Nayumi melongok pintu yang terbuka. Meski tidak begitu mengenal Nayumi, tetapi Astrata tahu bahwa gadis yang tengah berdiri di ambang pintu ruangan adalah gadis yang pernah mengejar sang Kakak Alfa Zen. Astrata ikut tersenyum, juga dengan Mbok Yami.“Masuk, Kak ... eh ... hem ... .”“Panggil Nayumi saja.” Kaki Nayumi melangkah ke ruang rawat Astrata Bustomi.Sreet!“Auh,” pekik Nayumi terkejut.Tangan Nayumi ditarik dari belakang, bahkan tubuhnya terlempar hampir jatuh membentur kursi tunggu kalau saja kakinya tidak kuat menahan.Astrata terduduk, ia menurunkan kaki ingin keluar dan membantu Nayumi.“Kak ... jangan kasar-kasar sama perempuan.”“Eh, mau ke mana, Neng? Mas Zen, ini ... tolong Neng Berli mau turun.” Mbok Yami menahan tubuh Astr

  • Dilema Suami Bayaran    34. Penolakan

    Barra Farzan melangkah gontai meninggalkan ruang UGD. Seluruh sisa tenaga yang ia miliki seakan lenyap oleh penolakan. Kini, ia berencana pulang, menengok dua adik yang lama ditinggal. Tak ada lagi keluarga yang dipunya selain Alby dan Ervi.Barra meninggalkan rumah sakit tanpa berpamitan pada Nayumi dan Laksmi. Ia menaiki kendaraan umum untuk membawa ke alamat tinggalnya.Tak habis pikir kalau Pak Abbas sang mertua ternyata sudah meninggal dunia. Sungguh sesak menatap aura letih Astrata. Ia sangat Bu ingin mendekap dan saling bertukar kabar dengan perempuan yang dicintai tersebut. Namun, apa mau dikata, dokter sudah mengatakan bahwa Astrata tidak boleh terlampau stres agar kandungannya tetap sehat.Dari gerbang masuk perumahan daerah tinggalnya, Barra berjalan. Ia agak ragu untuk pulang, pasalnya ia sendiri yakin kalau kehidupan Alby dan Ervi baik-baik saja tanpa ada dirinya.“Maafkan Papa, Nak ... Papa tidak bisa menemani kamu dan ibumu. Namun, doa Papa tetap bersama kalian dan

  • Dilema Suami Bayaran    33. Kritis

    Brankar didorong kencang. Pasien yang terbaring di atasnya meringis kesakitan sambil terus melafalkan doa-doa agar ia tetap sadar. Wanita tua yang mendampingi sampai terseok-seok akibat langkahnya lambat.“Jangan telepon Kak Zen dulu ya, Mbok, aku nggak apa-apa.”“Tapi, Neng ... .”“Sudah, nggak apa-apa. Mbok Yami jangan khawatir.” Astrata berusaha menarik kedua ujung bibir.Ia merasa selama kembali ke rumah hanya menjadi beban sang Kakak. Oleh karena itu, saat ia tiba-tiba jatuh sakit, ia masih berusaha kuat. Astrata sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada tubuhnya. Kenapa dan apa sebabnya ia sampai pendarahan, sama sekali ia tidak paham.Ruangan ICU menyatu dengan ruang gawat darurat. Ketika brankar hampir masuk ke ruang penanganan, seorang pria berlari – menahan brankar dan menatap pasien yang tengah kesakitan.“Berli ... Sayang ... apa yang terjadi?”Astrata menepis tangan Barra dari keningnya. “Tolong usir pria ini, Sus, saya tidak mengenalnya.”“Maaf, Pak, Ibu harus

  • Dilema Suami Bayaran    32. Video Panas

    Niat baik yang dilakukan dengan cara salah, tentu akan menimbulkan dampak buruk di kemudian hari. Ada konsekuensi di dalamnya. Mau tidak mau, Barra harus menanggung sendiri buah dari semua kesalahan.Keluarga yang ia perjuangkan pun tidak sedikit pun tergerak untuk mencari keberadaan Barra yang sudah menghilang beberapa hari. Ervi sang adik perempuan, tidak bisa berbuat banyak. Sekalipun ia telah berusaha menanyai beberapa teman sang kakak sulung, hasilnya nihil.Alby yang notabene tahu semua asal mula timbulnya masalah, tak mau pusing. Ia terlanjur marah dengan Barra Farzan, dan melupakan seluruh kebaikan sang kakak.Usai mengantar Annisa ke rumah sakit, Nayumi mengizinkan Barra pergi. Gadis itu mengusulkan agar Barra menjauh dari Kota Jakarta untuk menghindari kejahatan Hiro. Hari ini mereka berhasil lepas dari perangkap iblis berwujud manusia tersebut. Namun, di lain waktu belum tentu.“Kak ... sebaiknya Kakak pergi dari kota ini. Aku nggak yakin Papi akan menyerah begitu saja.”“A

  • Dilema Suami Bayaran    31. Berdegup tak wajar

    Beberapa sekon setelah kepergian Hiro, seorang pengawal datang dan menyeret tubuh Barra dengan kasar. Antara sadar dan tidak, Barra jalan terseok-seok. Namun, ketika cahaya mulai menyilaukan mata, Barra berusaha berdiri seimbang.Sebelum membuka pintu, kepala Barra ditutup menggunakan kain. Seakan ia adalah terdakwa kematian. Jantung Barra mulai berdegup, pikirannya kacau mengingat kesalahan besar pada sang istri. Ia belum ingin meregang nyawa sia-sia. Harapannya besar untuk bisa meminta pengampunan Astrata secara tulus – perempuan yang amat Barra cintai.Barra dibawa naik – keluar dari ruang pengap yang berada di bawah tanah rumah megah nan mewah milik Annisa. Ya, ruang rahasia itu sebenarnya ada di dalam rumah megah.Usai Nayumi di kurung di salah satu kamar tamu lantai bawah, Barra diseret naik ke kamar Annisa. Ketika berada di luar pintu kamar, satu per satu pakaian Barra Farzan dilucuti hingga menyisakan celana bagian dalam saja. Barra dilempar oleh pengawal, bersamaan dengan kai

  • Dilema Suami Bayaran    30. Kehampaan

    Dua Minggu berlalu Barra lewati di sebuah ruang pengap tanpa cahaya. Selama itu pula, ia tak pernah tahu dunia luar. Wajah tampannya tertutup jambang dan lebam hampir di seluruh sisi. Barra disandera oleh Hiro. Tubuh gagah Barra tidak lagi sekuat dulu. Kini untuk berdiri saja Barra kesulitan. Beberapa kali mencoba kabur dari tempat laknat itu, tetapi selalu gagal dan mendapat hukuman yang membikin ia semakin tak berdaya.Ia bahkan tidak pernah tahu di mana ia berdiri saat ini. Sebab, ketika Hiro membawa Barra ke dalam ruangan pengap itu, Barra dibuat tak sadarkan diri. Ia baru menyadari dirinya diambang kematian kala membuka mata. Entah lah, ia tak pernah tahu lagi siang dan malam. Rasanya setiap detik dan menit yang dilalui tetap sama, yaitu gelap dan mencekam. Setiap hari ia hanya mempersiapkan diri untuk kematian. Ia menyerah, tenaganya sudah tak memungkinkan untuk lari dari orang-orang berhati iblis itu.Ya Tuhan ... kalau memang aku masih diberi kesempatan hidup lebih lama, tolon

  • Dilema Suami Bayaran    29. Bonus

    Barra menangis di atas gundukan tanah merah. Ervi pun melakukan hal sama, ia memeluk Barra dari samping sambil terisak pilu. Lain dengan Barra dan Ervi, Alby menahan semua gemuruh menyakitkan dalam hati. Ia segera pergi dari sana, tanpa mengajak kedua saudaranya ikut. Setiap ingat kejadian di rumah sakit, Alby seolah semakin benci dengan Barra Farzan.Apa pun alasannya, ia tahu pasti Barra Farzan membikin ulah lagi. Terbukti dari sang kakak ipar yang tidak hadir di pemakaman, pun tak berada di rumah mereka tinggal.Alby melangkah keluar dari pemakaman, air mata mulai berjatuhan membasahi pipinya. Ia tak sanggup terlalu lama menahan sesak seorang diri.“Maafin aku, Bu ... aku nggak bisa jaga Ibu dengan baik,” ucap Alby penuh penyesalan. Pria itu meninju pagar besi pemakaman yang tingginya setara dada.“Ini takdir Ibu, jangan menyesali apa yang sudah terjadi.” Tiba-tiba Barra merangkul bahu Alby dari belakang.Sontak, Alby yang memang sedang marah, meraih tangan Barra dan melempar tubuh

DMCA.com Protection Status