Pagi-pagi sekali Alby sudah membangunkan Barra. Hari itu jadwal mereka belanja kebutuhan warung makan.
"Catatannya mana, Al?" Barra bertanya pada Alby. Catatan yang dimaksud adalah daftar bahan makanan yang hendak mereka beli di pasar pagi.
"Sudah di dalam tas, Da," sahut Alby. Selain kuliah, Alby menjalankan bisnis rumah makan Minang bersama Ervi si adik bungsu.
"Uda, aku titip kue talam ya. Semalam Ibu bilang ingin makan kue itu." Ervi bicara pada Barra. Bu Neini akan bangun saat kedua anaknya sudah kembali dari pasar tradisional. Bukan karena Bu Neini pemalas, tetapi kondisi sakit membuat Bu Neini sering kesulitan tidur saat malam tiba dan baru terlelap dini hari. Ervi menyiapkan bumbu masakan khas Padang.
"Iya Dek, nanti Uda belikan. Jangan lupa buatkan Ibu bubur." Barra ingatkan sang adik. Ervi sering lupa menyiapkan bubur untuk sang Ibu. Padahal Bu Neini tak bisa terlambat sarapan, makan pun harus yang lembut-lembut.
Jam di tangan Barra menunjukkan angka lima. Setelah dua jam mengelilingi pasar pagi Kompleks Garuda, Barra dan Alby menyewa angkot untuk mengantar dan membawa semua barang belanjaan pulang ke rumah. Mereka tak malu melakukan aktivitas tersebut, biar pun terkadang ada saja yang mengatai mereka dengan sebutan pria rasa emak-emak. Namun, kedua pria itu menikmati kebiasaan baiknya.
"Hari ini kuliah jam berapa?" tanya Barra saat mereka sudah berada di dalam angkot.
"Jam tiga sore. Hari ini cuma satu mata kuliah. Kayaknya Ervi lebih padat jadwalnya hari ini," jawab Alby.
"Ya sudah, sepintar-pintarnya kalian saja mengatur jadwal. Kalau memang pas bareng jamnya, jangan dipaksakan. Panggil aja Teh Elis, kalau cuma menunggu kan bisa. Toh ada Ibu juga." Barra memberi saran pada Alby. Ia hanya bisa membantu warung makan ketika akhir pekan. Malam hari Barra juga seringkali tak bisa, ia mengejar lembur di kantor. Terlebih setelah Barra kembali menikahi Annisa. Barra juga harus ke rumah Annisa saat diperintah.
Mereka terlibat obrolan santai sampai angkot tersebut berhenti di depan rumah sederhana bercat hijau daun.
* *
Masih pukul setengah tujuh, Barra sudah berada di halaman parkir gedung pencakar langit bernama Bus Property Corp (BPC). Barra menjadi salah satu karyawan yang memiliki loyalitas tinggi. Sampai satpam perusahaan sangat hafal dengan wajah Barra. Tak salah Pak Abbas menerimanya sebagai calon menantu. Kinerja Barra tak perlu diragukan lagi.
Meski begitu, banyak pegawai lain yang iri dengan Barra. Terutama mereka yang punya jabatan tinggi di perusahaan. Tak sedikit rekan kerja menggunjing di belakangnya, baik pria maupun wanita.
"Itu, itu dia yang bernama Barra. Menurutku dia biasa saja. Lebih tampan juga Pak Chan," bisik seorang gadis pada rekan kerjanya.
"Iya, kenapa juga Bu Astra memilih cowok kayak dia. Dia kan cuma karyawan biasa, ada yang bilang dia orang nggak punya," balas karyawan lain. Seolah mereka adalah Dewi Fortuna, penentu jodoh seseorang.
Bisikan-bisikan menjatuhkan terdengar sampai telinga Barra. Sepertinya mereka sengaja menggunjing dengan volume suara sedikit tinggi. Barra tak merespon sikap buruk rekan kerjanya. Ia hanya diam, bersikap cuek sambil menunggu pintu lift terbuka.
"Kak Barra." Astra memanggil, gadis itu berlari kecil. Astra menghampiri Barra, ia baru saja tiba di kantor.
"Nanti pulang lebih awal aja ya. Hari ini aku full rapat di luar." Astra melanjutkan ucapannya.
"Hhmm. Hati-hati bawa mobilnya, jangan lupa makan siang ya," jawab Barra, tak lupa ia ingatkan Astra yang mempunyai kebiasaan buruk dalam urusan makan.
Keempat karyawan yang sempat mengatai Barra Farzan, merasa iri melihat aksi cukup romantis antara atasan dan bawahan. Lantas ikut mendengar diam-diam. Mereka terkenal ratu gosip di divisinya. Apalagi itu topik terhangat di penjuru kantor.
"Lihat, mereka sama sekali nggak serasi. Penampilan Bu Astra mencerminkan orang kaya, sedangkan calon suaminya. Astaga ... kumal banget, kan," ucap salah satu karyawan perempuan.
Meskipun mereka menggunakan suara pelan, tetapi telinga normal Astrata masih mampu mendengar. Gadis itu marah kalau ada karyawan menjelekkan dan merendahkan Barra. Bagi Astra, Barra tetap terbaik. Barra menunduk, melihat pakaian kusut yang lupa disetrika. Ia menghela napas, memaklumi gunjingan teman lain divisinya tersebut.
Astra melayangkan tatapan tajam ke arah empat karyawan perempuan yang masih berdiri di ambang pintu masuk.
"Hey, kalian! Apa kalian tidak butuh pekerjaan lagi? Kalian sudah bosan kerja di sini?" Astra marah, ia lempar pertanyaan horor.
"Ma ... maaf, Bu. Kami permisi dulu." Seketika keempat gadis diam dan pergi dari sana.
"Sudah, jangan marah-marah. Sayang tenaganya habis sebelum memimpin rapat." Barra meraih tangan Astra dan mengusap punggung tangannya untuk menenangkan.
"Jangan diam saja kalau ada yang ngomong nggak sopan." Astra masih dengan kemarahannya. Bibirnya melengkung ke bawah, cemberut. Membikin wajah itu malah terlihat menggemaskan bagi Barra.
"Kalau kamu seperti ini, aku tidak akan fokus bekerja nanti," ucap Barra sembari mengusap puncak kepala Astra. "Sana berangkat, atau kamu akan dipecat oleh Kak Zen," lanjutnya.
Mereka mengakhiri percakapan, keduanya berlalu ke arah berlawanan. Barra memasuki lift yang membawanya ke lantai empat belas, di mana kubikelnya berada. Sedangkan Astra menjalankan tugas sebagai sekertaris CEO, yang selalu mengikuti ke mana pun bosnya mengadakan rapat.
Barra tampak fokus mengerjakan tugas. Ia harus menyelesaikan semua sebelum meninggalkan kantor. Menjadi calon menantu pemilik perusahaan tak menjadikan Barra semena-mena. Ia tetap mengingat tanggungjawab. Berjam-jam Barra habiskan di depan komputer, ia sampai melewatkan jam makan siang.
"Bar, kau tak makan siang?" Butet bertanya. Jam sudah berada di angka setengah tiga, tetapi Barra tak juga beranjak dari kursinya. Kubikel Butet berada tepat di samping Barra. Sementara Barra di tempatkan di pojok ruangan divisi pemasaran tersebut.
"Tidak. Setengah jam lagi aku pulang." Barra menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer.
"Bah, awal sekali kau pulang."
"Hm. Aku ada janji dengan Astra."
"Okelah calon pengantin." Setelah mengatakan itu, Butet menghilang di balik kubikel miliknya.
Perhatian Barra teralih pada dering telepon. Ia mengangkat panggilan tersebut, dan menutup setelah mengatakan 'iya' pada lawan bicara di seberang telepon.
Beberapa menit kemudian, Barra sudah berada di dalam mobil kesayangan Astra. Mereka berencana untuk menghabiskan sore di mall. Tujuan utama Barra dan Astra adalah toko perhiasan. Mengingat waktu semakin dekat dengan hari pernikahan yang telah ditetapkan. Barra harus segera membelikan Astra sebuah mahar.
Barra melajukan kendaraan roda empat tersebut. Kecepatan sedang menjadi pilihan untuk menikmati momen berdua dengan calon istrinya.
"Kamu mau mahar apa dariku?" Barra memulai percakapan. Tangannya lincah bergerak memutar kemudi setir.
"Apa saja, itu nggak terlalu penting menurutku," jawab Astra seraya menyibakkan rambut ke belakang telinga.
Ddrrtt ddrtt ... getar ponsel milik Barra menyita perhatian. Astra melirikkan sudut matanya. Ia dapat menangkap nama yang tertera di layar. Dengan gerakan lambat, Barra menjawab panggilan tersebut. Barra tak mengeluarkan satu kata pun, hingga ponsel pintar tersebut kembali ia letakkan di atas pangkuan.
Barra mengurangi kecepatan, ia menghentikan laju mobil di pinggir jalan. Astra menatap heran, ia tak mengerti maksud Barra.
"Maaf, barusan ibu yang telpon, aku harus cepat pulang. Rencananya kita tunda sampai lusa? Bagaimana?" tanya Barra meminta pendapat. Barra memulai kebohongan, dan ia menjadikan sang Ibu sebagai kambing hitam.
Astra mengangguk, ia sangat mengerti kondisi Bu Neini. Ia juga pernah mengunjungi calon Ibu mertuanya tersebut. Bukan suatu hal yang aneh saat tiba-tiba Barra memutuskan untuk segera pulang. Selama menjalin hubungan dengan gadis bermata lentik tersebut, Barra seringkali melakukannya. Dan tak jarang Astra turut mengikuti Barra merawat sang Ibu.
"Aku antar." Astra menawarkan diri. Barra meninggalkan vespanya di parkiran kantor. Akan membuang-buang waktu ketika ia harus kembali ke sana untuk mengambil kendaraan tersebut.
"Tidak, maksudku jangan. Bukan, maksudku tidak perlu karena Ibu sepertinya hanya ingin bertemu denganku. Bukan aku tidak mau diantar." Barra semakin terlihat gugup.
Astra tertawa kecil, ia tak merasa curiga dengan sikap aneh yang Barra tunjukkan. Ia justru merasa Barra sungguh lucu dengan sikap kekanakan. Baru sekali ini Astra melihat tingkah konyol seorang Barra. Astra yakin, jika Barra sudah sangat nyaman dengannya. Ia tak lagi canggung menunjukkan sifat-sifat yang memalukan.
Astra kemudian memesankan taksi online untuk Barra. lengkap dengan alamat tujuan yaitu jalan Sukmawati. Jalan yang merupakan alamat rumah hunian Barra.
Sekali lagi Barra mengutarakan permintaan maaf. Lalu ia menghilang di dalam mobil merah tersebut.
'Maafkan aku yang berani membohongimu, Astra.' Barra membatin setelah mobil melesat menjauhi gadis kesayangannya.
* *
Pukul empat sore Barra tiba di kediaman Annisa, kedatangannya langsung mendapat sambutan hangat dari sang istri. Barra menyunggingkan senyum datar. Tiba-tiba ada perasaan tak nyaman memasuki relung hati Barra. Annisa terlihat begitu menyedihkan. Pelipis sebelah kanannya tertutup kain perban, sedangkan di bagian leher tertinggal darah segar yang masih mengalir. Itu segores luka. Sepertinya Bi Sumi belum sempat mengobatinya."Mas. Aku merindukanmu." Annisa menghambur ke dalam dekapan Barra. Annisa menangis tersedu. Barra merasa kebingungan dengan sikap aneh yang seringkali Annisa perlihatkan."Iya.. sudah, jangan menangis. Aku sudah di sini." Barra terdengar tulus mengucapkannya. Ia memang jujur mengatakan itu. Namun ia tak bisa mengungkapkan bahwa ia merindukan Annisa. Kenyataannya Barra tak menaruh sedikitpun rasa rindu pada perempuan yang kini berada di pelukannya. Menurutnya perasaan yang menelusup ke hati kecilnya merupakan rasa simpati belaka."Jangan tingga
Hari berikutnya, Barra sengaja bangun sebelum jam menunjuk pukul empat pagi. Barra mengendap-endap seperti seorang maling. Ia sangat hati-hati untuk mencapai pintu keluar, tak ingin gerakannya menimbulkan suara dan akhirnya membangunkan manusia yang tengah merajut mimpi di pulau kapuk. Sebenarnya Annisa lah seorang yang sangat Barra takutkan. Ia khawatir Annisa akan menyanderanya lagi, sehingga rencana pernikahan yang di gadang-gadang akan hancur total. Barra tak menginginkan hal seburuk itu terjadi, ia sangat menjaga hati calon permaisurinya. Sepeninggal Barra dari rumah mewah tersebut, Annisa tampak biasa saja. Ia tak mencari keberadaan suami ketiganya. Entah bagaimana bisa seseorang berubah dalam waktu sesingkat itu. Kemarin ia seolah-olah menjadi perempuan penggila Barra Farzan, sedangkan hari selanjutnya, Annisa seperti kehilangan memori kemarin. Bi Sumi satu-satunya orang yang mencari ketiadaan Barra Farzan. Namun, ia memilih bungkam, dan menerka-nerka ada kemungkinan Barra
Annisa Yuzawa sedang berkeliling mall bersama Denis. Ia telah menghabiskan waktu setengah hari penuh di tempat perbelanjaan tersebut. Dari mulai berbelanja pakaian, perhiasan, hingga singgah ke tempat permainan yang disediakan mall. Denis dengan telaten membawakan kantong belanjaan milik Annisa. Ia sangat bertanggung jawab akan tugasnya menjaga sang anak bos. Denis sebenarnya lebih merasa iba pada sosok Annisa Yuzawa. Meski Annisa terlahir dari keluarga bergelimang harta, tetapi ia tak bisa menikmatinya lahir batin. Kebahagiaan yang Annisa rasakan kala itu menulari relung batin Denis. Meskipun Denis sudah lelah, ia tak mengeluhkannya sama sekali. Jarang ia bisa melihat tawa renyah Annisa Yuzawa. Banyak pasang mata yang menatap aneh ke arah mereka berdua. Ya, karena tempat itu merupakan taman bermain yang dikhususkan untuk anak-anak. Annisa memainkan beberapa permainan sampai yang terakhir adalah street basketball. "Kak, aku kayak lihat Beby dan Mami, Papi juga," seru Annisa, ia tib
Di kediaman Berli Astrata Bustomi sedang digelar acara adat Betawi Malam Pacar. Nusantara memang memiliki banyak kebudayaan, termasuk dalam hal pernikahan. Salah satunya adalah adat Betawi. Malam pacar merupakan ritual pemakaian pacar oleh sang piare dan keluarga serta teman dekat. Ritual ini adalah salah satu rentetan acara adat sebelum acara puncak pernikahan dimulai. Malam pacar adalah istilah Betawi yang digunakan untuk menyebut acara pewarnaan kuku mempelai perempuan. Seperti Midodareni untuk istilah adat Jawa. Perlengkapan yang diperlukan untuk malam pacar yakni daun pacar yang telah ditumbuk halus. Meski di era modern sekarang ini sudah banyak produk yang lebih praktis seperti kutek instan, namun Astra memilih mengikuti adat yang sesungguhnya. Dan masih banyak beberapa bahan lain seperti bakulan lengkap dengan isian di dalamnya, kue basah khas betawi serta tak ketinggalan bantal beralas daun pisang yang diukir guna alas tangan sang mempelai perempuan.
Di dalam kamar hotel, Astra menangis tergugu. Ia tak percaya, kebahagiannya menjadi petaka. Barra sangat sabar menunggu Astra sampai tak mengucapkan apapun sampai Astra berhenti dari isakannya."Kak, apa semua yang dikatakan perempuan tadi itu benar??" Tanya Astra dengan suara parau."Bersa,, bukankah aku sudah menunjukkan surat cerai itu padamu dan Papa? Percayalah, aku tidak pernah berniat mempermainkanmu, sungguh aku mencintaimu." Barra merengkuh tubuh mungil Astra ke dalam pelukannya. Bersa merupakan panggilan sayang Barra untuk Astra, yang berarti Berli sayang.Astra mengangguk, ia menyeka sisa bulir beningnya. Hatinya sudah lebih tenang. Pikirannya kembali berputar normal."Sekarang, coba hubungi Kak Zen. Bagaimana kondisi Papa saat ini." Lanjut Barra, Astra kembali mengangguk patuh.Astra mulai sibuk dengan ponselnya, sedang Barra mengganti pakaiannya."Papa sudah di rumah, Kak." Seru Astra ketika ia menyudahi teleponnya."Cepa
Hari demi hari Astra jalani sebagai seorang istri Barra Farzan. Genap satu minggu ia benar-benar di rumah tanpa melakukan aktivitas yang lain di luar. Untuk pekerjaan rumah seperti yang dilakukan seorang ibu rumah tangga, Astra belajar dari suaminya. Maklum, anak sultan tak pernah menyentuh pekerjaan kasar. Barra fokus mengembangkan rumah makan Minang, sedang dua adiknya sibuk merampungkan tugas kuliahnya. Astra kini tengah mencoba untuk membersihkan cumi. Ia ingin sekali memakan seafood. Namun, ia berpikir ulang untuk mendatangi restoran. Sejak Astra keluar dari rumah Pak Abbas dan memilih Barra sebagai prioritasnya, detik itu juga Alfa Zen memutuskan hubungan kerja dengan Astra juga Barra. Ya, kini Astra dipaksa untuk mandiri. Pagi tadi ia sudah meminta Barra membelikan sekilo cumi berukuran jumbo. Matanya seketika bersinar kala melihat cumi tersebut. Astra membuka kulkas, mengambil cumi yang masih dalam wadah plastik. Belum dibersihkan, pasalnya Ba
Semenjak mendapat sanjungan manis dari suami dan mertua, Astra semakin gencar belajar memasak. Seperti pagi-pagi di hari berikutnya, Astra merecoki Ervi membuat masakan di dapur.Alhasil rendang daging yang biasa mempunyai cita rasa khas, kini berubah menjadi rendang tak sedap. Terpaksa Barra mencari-cari alasan untuk membawa Astra menjauhi dapur.Kini Astra dan Barra sudah berada di rumah makan. Astra tengah mengelap meja dan kursi yang tersedia untuk pelanggan.Astra bahagia menjalani hidup sederhana dengan suami. Sesekali ia mencoba menghubungi nomor rumah dan nomor Zen, ia merindukan keluarganya."Permisi, Uni.. apakah warungnya sudah buka?" Seorang pelanggan berdiri di luar warung.Baru di buka sudah berdatangan penikmat masakan Padang. Ini pengalam baru untuk seorang anak sultan seperti Astra. Ia begitu antusias menjadi pramusaji."Oh, sudah. Kak. Silahkan masuk?" Jawab Astra dengan ramah."Saya pesan nasi telur dadar dua dan na
Barra mengurai pelukan, ia mengusap wajah Astra yang basah karena air mata. Perempuan tersebut tak menunjukkan ekspresi apapun. "Ma'afkan aku, sayang.. aku tidak becus menjaga mu." Ucap Barra yang kemudian membenamkan kembali kepala Astra di dada bidangnya. Astra tak menjawab ataupun merespon dengan gerakan tubuh. Barra belum pernah menemui Astra dalam keadaan kacau seperti saat itu. Barra mengenali Astra sebagai wanita tegas dan ceria. Astra memang pernah menangis, namun perempuan tersebut tak pernah diam membisu. Barra memutuskan untuk menutup warungnya, ia akan membawa gadisnya jalan-jalan. Mencari jajanan kesukaan Astra, itu adalah ide bagus untuk menaikkan mood gadisnya. "Ayo naik." Seru Barra, kala mereka telah berada di pinggir jalan depan warung. Barra baru saja selesai menghidupkan vespa tuanya. Ya, Barra butuh tenaga ekstra untuk menyalakan mesin motor antik tersebut. Astra masih saja melipat wajahnya, dua tangannya bersedekap di dad
“Apa! Papi ditangkap polisi karena menyuruh seseorang menembak Kak Barra?” Nayumi terduduk lemah. Bukan kaget mendengar kabar sang ayah ditangkap, melainkan ia terkejut dengan tindakan sang ayah yang melampaui batas.Nayumi menyeka air mata, meskipun tak begitu dekat dengan Barra Farzan, tetapi mendengar selentingan cerita seorang Barra dari beberapa sumber, membikin ia prihatin. Bagus Nayumi, Barra adalah pria terbaik untuk Annisa sang Kakak. Kalau saja Barra bukan suami dari Astrata, mungkin Nayumi juga akan menyatukan keduanya.“Mbak Nay kenapa nangis?” tanya Bi Sumi.“Kak Barra ditembak Papi, Bi. Aku harus melihat keadaan Kak Barra, titip Kak Nisa sebentar ya, Bu.”“Tapi, Mbak ... Non Annisa kan sedang kritis.”“Sebentar saja, Bi. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku, ya.”Nayumi melangkah cepat meninggalkan Bi Sumi sendiri, Laksmi sang ibu sudah pulang lebih dulu karena tidak memungkinkan menunggui Annisa bersama bocah balita.Nayumi berjalan menuju ruang UGD, sebab ia tidak ta
Brugh!Tubuh ringannya tumbang ... tepat di depan gerbang rumah sakit. Suasana pecah, kocar-kacir manusia ketakutan mendengar ledakan menggema. Petugas keamanan berpencar, beberapa pergi mengejar, dan ada sebagian yang menolong korban.Langit jingga menjadi kelabu bersama cerita pilu itu. Barra Farzan, inginnya menemui sang istri terhalang petaka.“Cepat kejar pelakunya, dia pake motor besar warna hitam ke arah sana,” seru seorang saksi.“Tolong ini, tolong ... cepat bawa brankar ke sini.” Suara-suara kekhawatiran terdengar jelas. Beruntunglah ia, banyak orang peduli dengan kemalangannya.Tubuhnya berlumur darah. Kaos coklatnya berubah kehitaman. Brankar didorong cepat oleh perawat. Satu tangan masih setia menggenggam map coklat.Sesekali pria itu terbatuk demi mencukupi oksigen dalam otak. Suaranya tertahan rasa sakit. Tangan kirinya mencoba menjawil perawat.“Buk ... to .... tolong ... panggil, uhuk ... uhuk.” Napasnya terpotong-potong, menyulitkan Barra Farzan untuk buka suara.“S
Di hari yang sama, usai kepulangan Barra Farzan, Nayumi mencoba masuk ruangan Astrata. Ia ingin menjelaskan banyak hal mengenai Barra Farzan. Namun, begitu mengetuk pintu, Nayumi mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari Alfa Zen.“Permisi ... .” Nayumi melongok pintu yang terbuka. Meski tidak begitu mengenal Nayumi, tetapi Astrata tahu bahwa gadis yang tengah berdiri di ambang pintu ruangan adalah gadis yang pernah mengejar sang Kakak Alfa Zen. Astrata ikut tersenyum, juga dengan Mbok Yami.“Masuk, Kak ... eh ... hem ... .”“Panggil Nayumi saja.” Kaki Nayumi melangkah ke ruang rawat Astrata Bustomi.Sreet!“Auh,” pekik Nayumi terkejut.Tangan Nayumi ditarik dari belakang, bahkan tubuhnya terlempar hampir jatuh membentur kursi tunggu kalau saja kakinya tidak kuat menahan.Astrata terduduk, ia menurunkan kaki ingin keluar dan membantu Nayumi.“Kak ... jangan kasar-kasar sama perempuan.”“Eh, mau ke mana, Neng? Mas Zen, ini ... tolong Neng Berli mau turun.” Mbok Yami menahan tubuh Astr
Barra Farzan melangkah gontai meninggalkan ruang UGD. Seluruh sisa tenaga yang ia miliki seakan lenyap oleh penolakan. Kini, ia berencana pulang, menengok dua adik yang lama ditinggal. Tak ada lagi keluarga yang dipunya selain Alby dan Ervi.Barra meninggalkan rumah sakit tanpa berpamitan pada Nayumi dan Laksmi. Ia menaiki kendaraan umum untuk membawa ke alamat tinggalnya.Tak habis pikir kalau Pak Abbas sang mertua ternyata sudah meninggal dunia. Sungguh sesak menatap aura letih Astrata. Ia sangat Bu ingin mendekap dan saling bertukar kabar dengan perempuan yang dicintai tersebut. Namun, apa mau dikata, dokter sudah mengatakan bahwa Astrata tidak boleh terlampau stres agar kandungannya tetap sehat.Dari gerbang masuk perumahan daerah tinggalnya, Barra berjalan. Ia agak ragu untuk pulang, pasalnya ia sendiri yakin kalau kehidupan Alby dan Ervi baik-baik saja tanpa ada dirinya.“Maafkan Papa, Nak ... Papa tidak bisa menemani kamu dan ibumu. Namun, doa Papa tetap bersama kalian dan
Brankar didorong kencang. Pasien yang terbaring di atasnya meringis kesakitan sambil terus melafalkan doa-doa agar ia tetap sadar. Wanita tua yang mendampingi sampai terseok-seok akibat langkahnya lambat.“Jangan telepon Kak Zen dulu ya, Mbok, aku nggak apa-apa.”“Tapi, Neng ... .”“Sudah, nggak apa-apa. Mbok Yami jangan khawatir.” Astrata berusaha menarik kedua ujung bibir.Ia merasa selama kembali ke rumah hanya menjadi beban sang Kakak. Oleh karena itu, saat ia tiba-tiba jatuh sakit, ia masih berusaha kuat. Astrata sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada tubuhnya. Kenapa dan apa sebabnya ia sampai pendarahan, sama sekali ia tidak paham.Ruangan ICU menyatu dengan ruang gawat darurat. Ketika brankar hampir masuk ke ruang penanganan, seorang pria berlari – menahan brankar dan menatap pasien yang tengah kesakitan.“Berli ... Sayang ... apa yang terjadi?”Astrata menepis tangan Barra dari keningnya. “Tolong usir pria ini, Sus, saya tidak mengenalnya.”“Maaf, Pak, Ibu harus
Niat baik yang dilakukan dengan cara salah, tentu akan menimbulkan dampak buruk di kemudian hari. Ada konsekuensi di dalamnya. Mau tidak mau, Barra harus menanggung sendiri buah dari semua kesalahan.Keluarga yang ia perjuangkan pun tidak sedikit pun tergerak untuk mencari keberadaan Barra yang sudah menghilang beberapa hari. Ervi sang adik perempuan, tidak bisa berbuat banyak. Sekalipun ia telah berusaha menanyai beberapa teman sang kakak sulung, hasilnya nihil.Alby yang notabene tahu semua asal mula timbulnya masalah, tak mau pusing. Ia terlanjur marah dengan Barra Farzan, dan melupakan seluruh kebaikan sang kakak.Usai mengantar Annisa ke rumah sakit, Nayumi mengizinkan Barra pergi. Gadis itu mengusulkan agar Barra menjauh dari Kota Jakarta untuk menghindari kejahatan Hiro. Hari ini mereka berhasil lepas dari perangkap iblis berwujud manusia tersebut. Namun, di lain waktu belum tentu.“Kak ... sebaiknya Kakak pergi dari kota ini. Aku nggak yakin Papi akan menyerah begitu saja.”“A
Beberapa sekon setelah kepergian Hiro, seorang pengawal datang dan menyeret tubuh Barra dengan kasar. Antara sadar dan tidak, Barra jalan terseok-seok. Namun, ketika cahaya mulai menyilaukan mata, Barra berusaha berdiri seimbang.Sebelum membuka pintu, kepala Barra ditutup menggunakan kain. Seakan ia adalah terdakwa kematian. Jantung Barra mulai berdegup, pikirannya kacau mengingat kesalahan besar pada sang istri. Ia belum ingin meregang nyawa sia-sia. Harapannya besar untuk bisa meminta pengampunan Astrata secara tulus – perempuan yang amat Barra cintai.Barra dibawa naik – keluar dari ruang pengap yang berada di bawah tanah rumah megah nan mewah milik Annisa. Ya, ruang rahasia itu sebenarnya ada di dalam rumah megah.Usai Nayumi di kurung di salah satu kamar tamu lantai bawah, Barra diseret naik ke kamar Annisa. Ketika berada di luar pintu kamar, satu per satu pakaian Barra Farzan dilucuti hingga menyisakan celana bagian dalam saja. Barra dilempar oleh pengawal, bersamaan dengan kai
Dua Minggu berlalu Barra lewati di sebuah ruang pengap tanpa cahaya. Selama itu pula, ia tak pernah tahu dunia luar. Wajah tampannya tertutup jambang dan lebam hampir di seluruh sisi. Barra disandera oleh Hiro. Tubuh gagah Barra tidak lagi sekuat dulu. Kini untuk berdiri saja Barra kesulitan. Beberapa kali mencoba kabur dari tempat laknat itu, tetapi selalu gagal dan mendapat hukuman yang membikin ia semakin tak berdaya.Ia bahkan tidak pernah tahu di mana ia berdiri saat ini. Sebab, ketika Hiro membawa Barra ke dalam ruangan pengap itu, Barra dibuat tak sadarkan diri. Ia baru menyadari dirinya diambang kematian kala membuka mata. Entah lah, ia tak pernah tahu lagi siang dan malam. Rasanya setiap detik dan menit yang dilalui tetap sama, yaitu gelap dan mencekam. Setiap hari ia hanya mempersiapkan diri untuk kematian. Ia menyerah, tenaganya sudah tak memungkinkan untuk lari dari orang-orang berhati iblis itu.Ya Tuhan ... kalau memang aku masih diberi kesempatan hidup lebih lama, tolon
Barra menangis di atas gundukan tanah merah. Ervi pun melakukan hal sama, ia memeluk Barra dari samping sambil terisak pilu. Lain dengan Barra dan Ervi, Alby menahan semua gemuruh menyakitkan dalam hati. Ia segera pergi dari sana, tanpa mengajak kedua saudaranya ikut. Setiap ingat kejadian di rumah sakit, Alby seolah semakin benci dengan Barra Farzan.Apa pun alasannya, ia tahu pasti Barra Farzan membikin ulah lagi. Terbukti dari sang kakak ipar yang tidak hadir di pemakaman, pun tak berada di rumah mereka tinggal.Alby melangkah keluar dari pemakaman, air mata mulai berjatuhan membasahi pipinya. Ia tak sanggup terlalu lama menahan sesak seorang diri.“Maafin aku, Bu ... aku nggak bisa jaga Ibu dengan baik,” ucap Alby penuh penyesalan. Pria itu meninju pagar besi pemakaman yang tingginya setara dada.“Ini takdir Ibu, jangan menyesali apa yang sudah terjadi.” Tiba-tiba Barra merangkul bahu Alby dari belakang.Sontak, Alby yang memang sedang marah, meraih tangan Barra dan melempar tubuh