Pagi ini aku kembali tidur setelah solat subuh. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan kemana perginya Mas Fahri. Padahal ini hari kerja, bukan hari libur. Kalaupun Mas Fahri pergi ke kampung halamannya Nisa, biasanya dia pergi di hari libur karena dia termasuk lelaki yang bertanggung jawab dalam pekerjaannya. Tidak biasa libur di hari-hari kerja kecuali memang benar-benar penting.Selain memikirkan Mas Fahri, ceramah Ustad Sodiq tadi terus terngiang-ngiang di telingaku. Betapa selama ini aku selalu mengabaikan kewajiban sebagai seorang muslim karena tidak menutup aurat. "Nay, mau ke mana?" tanya Ibu saat aku memakai jilbab instan setelah sarapan."Enggak kemana-mana, Bu. Cuma mau nyapu di halaman?""Tumben pakai jilbab."Ya, biasanya boro-boro pakai jilbab, baju pun masih menggunakan baju pendek yang kadang cuma selutut. Tapi hari ini, aku ingin mulai menutup aurat jika keluar rumah dengan memakai jilbab meskipun masih pakai piyama lengan panjang, bukan gamis lebar. Pelan-pelan s
"Permisi, Ibu. Saya mau mengantarkan ini. Dari umi." Ustadz Hafiz terlihat memberikan sebuah bungkusan keresek pada Ibu. "Kata umi, ini bagus buat ibu hamil.""Oh ... buat Naya, ya? Sampaikan terima kasih untuk Umi Fatimah. Repot-repot segala."Ustadz Hafiz hanya tersenyum seraya mengangguk. "Kalau begitu, saya permisi, Ibu. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikum salam."Ustadz Hafiz berbalik kemudian berjalan menuju halaman rumah, tempat mobilnya terparkir. Sementara ibu kembali duduk di sampingku sambil menyerahkan bungkusan itu."Kok, Umi Fatimah tahu kamu sedang hamil, Nay?""Tadi Naya berangkat ke pasar sama Umi Fatimah, Bu. Sama Ustadz Hafiz juga. Di jalan ngobrol-ngobrol.""Oh. Coba buka. Apa isinya?"Aku pun membuka bungkusan itu."Kurma, Bu," ucapku sambil mengeluarkan dua dus kecil kurma dari keresek."Masya Allah. Umi Fatimah baik banget," tutur Ibu."Iya, Bu. Cantik lagi. Padahal usianya sepertinya sudah tidak muda lagi. Suaminya pasti juga tampan ya, Bu?""Ibu jarang bertemu Usta
Setelah sampai di rumah aku langsung masuk ke dalam kamar. Melaksanakan solat duhur kemudian langsung berbaring di atas ranjang. Lelah sekali rasanya. Kakiku juga terasa pegal.Meskipun sudah cukup lama aku berbaring, tapi mataku justru tak mau terpejam. Pikiranku melayang. Kacau. Segala hal berkecamuk memenuhi otakku. Ya, aku memang ingin berpisah dengan Mas Fahri. Tapi mengetahui dia kembali hilang tanpa kabar, tetap membuatku merasa sedikit khawatir. Ketika di mobil tadi, aku sudah membuka blokiran kontak Mas Fahri. Sudah kukirim pesan juga sekadar bertanya dia berada di mana sekarang. Tapi nomornya tidak aktif. Apa dia juga sampai ganti nomor telepon? HuffftttAku menghela napas kasar. Ingin sekali rasanya bercerita, menumpahkan segala kegelisahan, tapi pada siapa? Pada Ibu? Aku tahu ibu sangat menyayangiku. Dia akan mendukung semua keputusanku. Sementara aku ingin berbagi kepada orang yang netral. Bukan memihakku ataupun Mas Fahri.Ah, iya. Kenapa aku tidak bercerita kepada Umi
Aku rasanya jadi tak enak karena mengganggu Umi, padahal dia sedang sibuk. "Sepertinya ... Umi sedang sibuk, ya? Maaf Naya ganggu. Naya datang di waktu yang tidak tepat.""Enggak, kok, Nay. Umi cuma mau ke madrasah. Setiap sore kan di madrasah ada sekolah agama untuk anak-anak lingkungan sekitar sini. Umi sama Hafiz yang ngajarin anak-anak. Naya ikut yuk, liatin aja."Aku mengangguk. Lalu aku dan umi berjalan beriringan keluar rumah menuju madrasah yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah Umi. Suara anak-anak kecil berlarian sudah riuh terdengar. Pun terlihat ada yang cuma duduk di teras masjid."Umi sudah datang .... Umi sudah datang." Seorang anak laki-laki berteriak kepada teman-temannya yang masih berlarian, hingga mereka langsung diam seketika. Mereka menghampiri Umi, lalu mencium tangan umi satu per satu. Sungguh aku merasa bahagia melihat semua ini. Senyum anak-anak, keceriaan dan kegembiraan mereka. "Yuk, masuk." Umi mengajak semua anak-anak itu masuk ke sebuah ruanga
Aku tak mampu berkata. Bingung. Itu yang kurasakan sekarang. Jangankan berniat untuk kembali menjalin hubungan rumah tangga dalam waktu dekat. Rumah tanggaku yang sekarang saja belum tahu ke depannya seperti apa. "Kamu nggak perlu jawab apa-apa, Nay. Abang hanya menyampaikan apa yang sebenarnya Abang rasakan. Daripada Abang pendam terus, lebih baik Abang utarakan."Bang Raka sepertinya mengerti tentang kebimbangan yang kurasakan. "Tapi Abang mohon, jangan karena ini, kamu jadi berubah sikap pada Abang. Tetaplah jadi Naya yang seperti biasa. Cerita, cerewet, dan manja. Jangan minta Abang untuk berhenti memperhatikanmu dan menyayangimu."Ah, bagaimana bisa, Bang? Setelah pengakuan yang mengejutkannya ini, bagaimana bisa aku masih bersikap seperti yang dulu. Tentu saja akan tercipta kecanggungan di antara kita. Sayangnya, aku hanya bisa berkata dalam hati."Yuk, berangkat." Bang Irsyad tiba-tiba datang. Diikuti Ibu dari arah belakang. Bang Raka pun bangun dari duduknya. Melirikku seki
Setelah mendapat kabar dari Mia kalau Mas Fahri masih berada di Jakarta, aku meminta Bang Irsyad untuk kembali mencari keberadaan Mas Fahri. Berkali-kali Bang Irsyad kembali menyambangi rumah Mas Fahri, tapi lagi-lagi nihil. Rumahnya kosong. Pun abangku itu mendatangi kantor Mas Fahri. Jawaban karyawan sama. Mas Fahri sudah pindah.Lagi-lagi aku dibuat putus asa setelah ada sedikit harapan yang muncul. Sekarang aku sudah pasrah, ikhlas, hanya bisa berdoa diberikan jalan keluar yang terbaik oleh Sang Pengatur Kehidupan. Aku harus kembali fokus pada kehamilanku yang semakin membesar. Tak terasa kini usia kandunganku sudah lebih dari tujuh bulan. Itu artinya waktu melahirkan sudah semakin dekat.Beberapa hari yang lalu Bang Irsyad dan Bang Raka sudah pulang kembali ke sini. Aku kembali memeriksakan kandunganku ke dokter kandungan. Dari hasil USG, diperkirakan bayi yang dikandung adalah perempuan. Sungguh, bahagia tak terkira bisa melihatnya walau hanya dari layar USG.Bang Raka dan Bang
Setelah mendengar penjelasan Nisa, detik itu juga aku langsung minta izin kepada Ibu untuk ke Jakarta. Ibu berjanji akan segera menyusul sambil membawa perlengkapan lahiran. Takutnya waktu melahirkan maju dari perkiraan. Ibu akan meminta Bang Irsyad untuk menjemputnya, kebetulan bulan ini abangku itu memang belum sempat pulang kampung.Dan sekarang di sinilah aku. Di dalam kendaraan roda empat bersama Nisa dan supir yang mengantarnya. Dari tadi aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya air mata yang terus berjatuhan merutuki semua kebodohanku. Kenapa aku tidak pernah memberi kesempatan kepada Mas Fahri untuk menjelaskan semuanya. Setidaknya aku memberinya kesempatan untuk berbicara. Setiap kali lelaki yang paling kucintai itu datang menemuiku, aku selalu langsung mengusirnya. Emosi selalu saja menguasaiku.Mas Fahri ... maafkan aku, Mas. Kenapa dari dulu aku tidak mengetahui kalau suamiku itu mempunyai penyakit mematikan. Dari dulu dia memang sering mengeluhkan sakit kepala. Bahkan saat s
Bahagia sekali rasanya bisa merasakan kembali cinta yang sebelumnya pernah aku ragukan. Sekarang tidak lagi, aku tidak akan pernah meragukannya lagi. Dia lah cintaku, kekasihku, imam yang tepat untuk keluarga kecilku.Hatiku telah begitu lama tertambat pada hatinya. Pun dia, sama. Cinta kami abadi. Aku tidak akan pernah menyesali telah mencintainya. Aku tidak akan pernah menyesal telah memilihnya menjadi suamiku. Walaupun pada kenyataannya aku hanya istri keduanya. Tapi di hatinya, aku lah satu-satunya. Tak pernah tergantikan.Andai dulu aku bersabar sedikit saja, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Bapak tidak akan pergi. Mas Fahri juga tidak akan seperti ini. Penyesalan yang dalam kini benar-benar kurasakan. Padahal apa salahnya aku mencoba. Toh Mas Fahri tidak pernah menyakitiku dalam hal fisik ataupun kata-kata. Kecuali kebohongannya. Kini penyesalan pun tiada guna."Mas istirahat lagi, ya. Biar cepat sembuh. Kalau sudah sembuh, nanti kita pulang ke rumah. Rumah yang dari dulu k
Aku sempat begitu terkejut saat bangun melihat ada seorang lelaki di sampingku. Namun, aku buru-buru tersadar kalau sekarang aku sudah menjadi seorang istri kembali. Kutatap lelaki yang masih tidur pulas itu. Wajahnya begitu tampan dan teduh. Hanya saja, kecanggungan di antara kami belum benar-benar mencair. Semalam saja, tidur kami terhalang oleh bantal guling yang menjadi penyekat di antara kami.Aku beringsut turun dari ranjang, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Mengambil air wudhu. Ketika aku membuka pintu kamar mandi, ternyata suamiku sudah terbangun."Sudah wudhu?" tanyanya sambil tersenyum.Aku mengangguk sambil membalas senyumannya."Kita solat berjamaah subuh. Aku wudhu dulu." Ustad Hafiz pun masuk ke kamar mandi.Setelah melakukan solat subuh berjamaah, Ustad Hafiz mengajakku untuk membaca Al-Quran sejenak sambil menunggu pagi datang. Lantunan ayat-ayat suci yang dibacanya terdengar begitu merdu di telinga. Membuat hatiku merasa begitu tenang dan damai."Mau pulang sekar
Tak pernah kuduga sedikit pun apa yang Umi Fatimah ucapan barusan? Bercanda kah ia? Tapi beliau bukan tipe orang yang suka bercanda apalagi sedang membahas masalah serius seperti ini."Ma-maksud Umi, apa?" Dengan mimik yang masih keheranan aku bertanya."Umi berniat menjodohkan Naya sama anak Umi. Itu juga kalau Naya bersedia.""Maaf Umi. Naya merasa tidak pantas untuk menjadi pendamping Ustad Hafiz. Naya bukan wanita solehah. Naya juga cuma seorang janda yang sudah mempunyai anak. Tidak mungkin Ustad Hafiz mau sama Naya. Banyak wanita yang lebih baik di luar sana." Aku menunduk. Menyembunyikan genangan air mata yang mulai memenuhi kelopaknya."Sayang, apa yang salah dengan janda. Bukankah Nabi Muhammad saw juga dulu menikahi seorang janda? Gadis ataupun janda bukan tolak ukur seorang wanita baik atau tidak. Umi terlanjur sayang sama Naya juga Fea. Umi pasti seneng banget kalau Naya bisa menjadi menantu Umi.""Tapi Umi. Ustad Hafiz ...."Umi Fatimah tersenyum kepadaku, kemudian mengge
Kenyataan yang baru saja kudengar, bagai meruntuhkan duniaku yang perlahan akan kembali bangkit. Aku mulai merasakan setitik harapan untuk masa depan yang indah bersama pendamping yang akan benar-benar menyayangiku dan anakku. Namun kini, bak roller coaster yang terjun dari ketinggian hingga ke dasar bumi. Hancur. Air mata makin mengalir deras membasahi pipi. Jantungku pun masih berpacu begitu cepat. Tubuhku yang tak berdaya masih ditopang oleh Bang Irsyad. Kutatap mata elang Abangku yang terlihat mengobarkan amarah."Kamu harus kuat, Naya." Bang Irsyad berbisik lirih di telingaku. Aku pun mengangguk. "Kalau kamu sudah merasa lebih baik, kita ke dalam," lanjutnya lagi.Aku berkali-kali mencoba menghirup napas dalam-dalam. Menetralkan debaran dan sayatan yang mengiris hati. Memasukkan lebih banyak oksigen ke dalam dadaku yang terasa sesak. Lagi-lagi karena pengkhianatan.Untuk terakhir kalinya aku menghirup napas sangat panjang, sambil mengusap jejak air mata di pipi. Stop Naya. Kam
"Kok, buru-buru banget sih, Bang? Naya pikir, mau pendekatan dulu atau apa gitu." Aku masih mencoba untuk mengulur waktu sambil terus belajar memantapkan hatiku untuk mencintainya."Kita sudah cukup dekat sejak lama. Ngapain ditunda-tunda lagi."Rasanya ingin aku menjawabnya lagi. Tapi suara tangisan Syafea sudah mulai terdengar. Benar saja, ibu datang dengan membawa Syafea yang sedang menangis."Sepertinya, Fea ngantuk, Nay." Ibu menyerahkan Syafea padaku."Maaf, Bang. Naya mau nidurin Fea dulu." Bang Raka mengangguk sambil tersenyum. Aku pun bangkit dan mulai berjalan ke kamar untuk menyusui putriku.Kumandang azan duhur membangunkanku yang ikut tertidur di samping Syafea. Mungkin karena semalam aku susah tidur, makanya sekarang sampai ikut ketiduran. Kulirik Syafea yang masih tertidur lelap. Kemudian aku turun perlahan dari kasur.Aku sedikit terkejut saat keluar dari kamar, karena ternyata Bang Raka masih ada di sini. Aku pikir sudah pulang ke rumahnya. Taunya masih ada. Tidur ter
Dengan air mata yang mulai berjatuhan dan hati berdebar, mataku memindai sekeliling. Pun dengan Umi Fatimah. Aku berjalan cepat ke arah tempat mengaji anak-anak tadi, badanku berputar menengok ke kiri dan ke kanan. Nihil. Tidak ada."Gimana, Nay? Ada?" tanya Umi dengan wajah panik.Aku menggeleng."Kita cari ke arah belakang masjid."Aku pun mengikuti umi menuju belakang masjid. Bahkan sampai mengelilinginya. Tidak ada tanda-tanda Syafea ada di sana. Aku dan Umi pun memutuskan untuk kembali ke depan.Dengan tubuh yang masih bergetar dan kaki lemas, aku terduduk lesu di teras masjid. Menangis sesenggukan sambil menangkup wajahku dengan kedua tangan."Syafea ...." Aku menangis memanggil nama putriku."Sabar. Kita cari sama-sama. Insyaallah, Fea baik-baik saja." Umi mengusap punggungku pelan.Saat aku masih terisak, samar kudengar celotehan Syafea dari dalam masjid. Wajahku langsung mendongak seketika. Aku dan Umi saling bertatapan. Sepertinya Umi pun mendengarnya. Seingatku tadi, pintu
Setelah melaksanakan solat isya, seperti kebiasaan keluargaku dari kecil, kami berkumpul di tuang TV. Berbagi cerita, membahas segala hal. Rencananya, malam ini, aku ingin bertanya kepada ibu dan Bang Irsyad tentang pendapat mereka mengenai Bang Raka. Aku ingin mengatakan kalau Bang Raka ingin serius menjalani hubungan denganku.Syafea tengah tertidur di karpet ruang TV karena terlalu lelah bermain. Ini waktu yang tepat untukku berbicara karena tidak akan diganggu anakku. "Bu, Bang, Naya mau ngomongin sesuatu," ucapku pada Ibu dan Bang Raka dengan hati yang berdebar. Spontan Ibu dan Abangku itu langsung menatap ke arahku."Ada apa, Nay?" tanya Ibu. Sementara Bang Irsyad tidak bersuara. Hanya dari gestur tubuhnya, dia terlihat sudah siap untuk mendengarkan."Naya ... mau bertanya sesuatu pada Ibu dan Abang," kataku lagi seolah ragu."Iya, apa? Tanyakan saja," jawab Ibu."Naya ... Naya ... Maksud Naya, gimana pendapat Ibu sama Abang tentang Bang Raka? Sebenarnya, Bang Raka mengatakan s
Setelah mengetahui masa lalu kelam Bang Irsyad, aku tidak pernah lagi membahas tentang Nisa dihadapannya. Ya, aku mengerti perasaannya. Kecewa, terluka. Dikhianati oleh orang yang begitu kita cintai itu sangat menyakitkan.Entah apa sebenarnya yang terjadi dengan masa lalu Nisa. Hanya dia sendiri yang tau. Namun, tak ada manusia yang cela tanpa dosa. Begitupun bagi seorang Nisa. Mungkin dulu dia telah berbuat khilaf hingga hamil diluar nikah. Meski aku sendiri tak tau bagaimana kondisi bayi yang dulu pernah dikandung oleh Nisa. Apakah ia pernah terlahir ke dunia, atau justru tidak sama sekali.Aku begitu sering bertemu Nisa, bahkan dia selalu menginap di rumahku jika aku sedang berada di Jakarta. Namun, aku tak pernah berniat sekalipun untuk bertanya tentang masa lalunya. Bahkan aku tak berhak untuk tau. Biarlah itu menjadi masa lalu Nisa dan Bang Irsyad yang mereka kubur selama ini.Waktu begitu terasa cepat berjalan. Hari ini tepat satu tahun usia Syafea. Tidak ada perayaan. Aku han
Sekarang aku sudah pulang kembali ke kampung halamanku setelah seminggu berada di Jakarta. Meskipun ibu dan bapak mertua belum puas melepas rindu dengan cucunya, namun aku juga harus memikirkan perasaan ibuku sendiri yang lebih betah dan nyaman tinggal di kampung halamannya.Seperti biasa, sebelum pulang aku mampir dulu ke makam Mas Fahri untuk mendoakannya. Setelah di kampung, aku kembali dekat dengan Umi Fatimah. Sering berkunjung ke rumahnya sambil menggendong Syafea menikmati udara sore hari. Terkadang menemani umi mengajar anak-anak sekolah agama. Syafea suka anteng kalau di ajak ke madrasah melihat dan mendengar anak-anak mengaji. Semoga kelak ia akan menjadi anak yang solehah.Bang Raka juga kembali gencar mendekatiku, memperhatikanku. Setiap hari lelaki yang kukenal sejak lama itu video call atau sekedar mengirim pesan. Namun jika pesannya atau pembicaraannya sudah menjurus ke hal-hal yang belum kuinginkan, segera kualihkan pembicaraan ke topik lain. Dan sepertinya Bang Raka
Umi Fatimah dan Ustad Hafiz pun sempat tertegun sebentar melihat adanya Bang Raka. Namun, beliau langsung tersenyum sambil sedikit membungkukkan tubuhnya."Umi, ini sahabat Abang saya. Baru saja datang dari Jakarta.""Bang, ini Umi Fatimah sama anaknya, Ustad Hafiz. Pemilik Pesantren Al-Huda."Umi Fatimah, Ustad Hafiz dan Bang Raka sama-sama menganggukkan kepala sambil tersenyum."Silakan duduk, Umi, Ustad. Maaf, saya tinggal ke belakang sebentar."Umi Fatimah dan Ustad Hafiz pun duduk di sofa bersisian. Sementara aku berlalu ke dapur."Ada tamu, ya, Nay?" tanya Ibu yang sedang menyiapkan makan siang saat aku menuangkan air putih ke dalam dua gelas air."Iya, Bu. Ada Umi Fatimah sama Ustad Hafiz.""Tumben, ada apa, ya?" "Enggak tau, Bu. Naya kan udah lama nggak ikut pengajian. Ribet sama Syafea. Ya sudah, Naya ke depan dulu."Aku pun kembali ke ruang tamu sambil membawa baki berisi dua gelas air putih. "Silakan diminum, Umi." Aku menyimpan gelas itu di meja di hadapan Umi Fatimah da