Claudia masih berusaha menutupi semua sikap mertuanya, alasannya masih sama tidak ingin ada keributan di rumah ini. "Sayang, kamu kenapa nangis?" tanya Rayhan lagi, karena tidak ada jawaban. Sambil menghapus air matanya, Claudia berusaha tersenyum. Ia mengatakan kalau wanita hamil memang suasana hatinya cepat berubah, agar suaminya tidak marah. Rayhan memeluk istrinya, berusaha menenangkan. Ia tidak tega melihat Claudia menangis, apalagi dalam keadaan mengandung buah hatinya. "Mas, aku ingin makan buah apel," pinta Claudia dengan manja. "Kamu tunggu disini, biar Mas ambil dulu," kata Rayhan. "Bukan yang di kulkas, Mas! Tapi, yang masih di pohon," jelas Claudia membuat Rayhan mengerutkan dahinya. "Sayang, di sini gak ada pohon apel. Bagaimana kalau kita beli yang baru," ujar Rayhan. Claudia mengerucutkan bibirnya, saat ini tiba-tiba dirinya sangat menginginkan buah apel yang langsung dipetik. Ia membayangkan kenikmatan buah apel, sambil menelan ludah. Rayhan yang selalu siaga
Tak lama setelah panggilan darurat Claudia, Rayhan terbangun dari tidurnya dengan mata yang masih terpejam. Ia refleks memejamkan tangan di perut Claudia dan mencoba meredakan kram yang membuat istrinya menderita.Rayhan memijat perlahan perut Claudia, mencoba memberikan sedikit kelegaan. Claudia meringis dalam rasa sakit yang semakin memperburuk kondisinya. Rayhan mencoba menenangkannya dengan suara lembut, "Tenanglah, sayang. Aku di sini bersamamu."Mata Claudia mulai terbuka sedikit demi sedikit, mencari kenyamanan dalam tatapan lembut suaminya. Dia tahu bahwa Rayhan selalu ada di sisinya saat dia membutuhkan bantuan. Mereka telah menghadapi banyak hal bersama-sama dalam hidup mereka, dan saat ini bukanlah pengecualian.Rayhan maenggenggam tangan Claudia, memberikan kehangatan dan kekuatan. Dia tahu bahwa hanya dengan kekuatan mereka bersama, mereka dapat mengatasi segala kendala yang mereka hadapi. Rayhan merasa tak tahu harus berbuat apa, tetapi dia akan melakukan segala yang dia
Eva merasa frustrasi dengan keputusan Aruna untuk ikut ke rumah sakit. Dia tidak sepenuhnya memahami alasan di balik keputusan itu. "Dia hanya ingin ikut karena Rayhan, bukan karena Claudia," gumam Eva dengan nada ketus.Papah Andi, yang baru saja keluar dari kamar, mendengar omongan Eva dan melihat wajah Aruna yang tampak sedikit terganggu. Dia bingung mengenai apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua."Duduklah, nak," kata Papah Andi, menunjuk ke sofa di ruang tamu. "Ceritakan padaku apa yang sedang terjadi."Aruna duduk kelelahan di sofa, sedikit berdehem sebelum mulai membagi ceritanya. Dia menjelaskan betapa pentingnya dukungan keluarga untuk Rayhan dalam perjuangannya melawan penyakit Claudia. Dia tidak ingin Rayhan merasa sendirian dan ingin memberikan dukungan serta kekuatan padanya."Mamah, kamu harus memahami betapa pentingnya itu semua," kata Papah Andi dengan suara lembut. "Rayhan adalah anak kita, dan dia membutuhkan kita saat ini."Eva memandang Papah Andi den
Setelah beberapa hari menjalani perawatan intensif, kondisi kesehatan Claudia akhirnya membaik. Dokter yang merawatnya memberikan kabar baik bahwa Claudia telah mendapatkan izin pulang dari rumah sakit. Berita ini sangat membahagiakan bagi Rayhan, suaminya, yang setia mendampingi Claudia sepanjang perjalanan ini.Claudia merasa lega setelah melewati berbagai pemeriksaan kandungan yang rutin. Meskipun beberapa kali hasilnya belum memuaskan, dia tetap tegar dan berusaha menjaga semangatnya. Tetapi hari ini adalah hari yang istimewa, karena hasil pemeriksaan kali ini menunjukkan kemajuan yang positif. Claudia akhirnya mendengar kabar yang dia tunggu-tunggu - dokter memberikan izin untuk pulang.Rayhan, yang telah setia menemani Claudia sepanjang perawatan, tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Sorot mata Rayhan penuh kebahagiaan dan lega, dan senyumnya menerangi wajahnya. Dia merasa sangat bersyukur bahwa istrinya akhirnya bisa pulang."Akhirnya kita bisa pulang," ucap Rayhan, sambi
Claudia merenung sejenak, memutuskan bahwa dia tidak ingin membiarkan ketegangan ini berlanjut tanpa tindakan. Dia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang perlu dia ketahui. Dalam hati yang penuh kebaikan, Claudia mulai mempertimbangkan untuk membicarkan hal ini dengan suaminya, Mas Rayhan."Mungkin ini waktu yang tepat untuk berbicara dengan Mas Rayhan," gumam Claudia dengan hati yang penuh harapan. Dia ingin membangun sebuah rumah yang penuh dengan kehangatan dan kedamaian, di mana rasa cinta dan saling pengertian akan melingkupi keluarganya.Rayhan pulang dengan semangat yang membara. Dia merasa lega bisa mengantarkan berkas Papah Andi, dengan tepat waktu. Namun, saat memasuki pintu rumah, wajah Claudia penuh keraguan membuatnya waspada.Rayhan segera menyadari bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran istrinya itu. Dia mencoba tersenyum lembut dan bertanya dengan penuh perhatian, "Ada apa, sayang? Apakah kamu baik-baik saja?"Claudia menghela napas panjang dan menatap Rayhan dengan ma
Hari ini adalah hari yang cukup sibuk bagi keluarga Rayhan. Setelah beberapa hari Claudia sakit, akhirnya ia sudah sembuh dan kembali beraktivitas seperti biasa. Rumah pun kembali dipenuhi dengan kehangatan dan keceriaan seperti sebelumnya.Namun, keceriaan itu tidak berlangsung lama ketika Mamah Eva, mertua Claudia, dengan nada keras memanggilnya, "Claudia, jangan lupa cuci baju di belakang! Gara-gara kamu sakit, cucian numpuk!"Claudia yang sedang berdandan di kamar, terkejut mendengar teguran Mamah Eva. Sambil menghela nafas dalam-dalam, Claudia menahan diri agar tidak merespons dengan nada yang sama keras."Baik, Mah. Saya akan segera mencuci bajunya," jawab Claudia dengan senyum manis. Pagi-pagi, di antara deretan amukan muntah pagi, terdengarlah alunan suara gemerincing perhiasan yang mengiringi langkah gemulai Claudia. Dengan wajah yang dipenuhi kelelahan dan perut yang semakin membesar, ia tetap mencoba menyelesaikan segudang pekerjaan rumah.Claudia bergegas menuju belakang r
Rayhan duduk di dekat istrinya, Claudia, dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia meraih tangannya dengan penuh kasih sayang, mencoba menyampaikan kepadanya bahwa ia benar-benar percaya sikap Mamah Eva akan berubah lambat laun."Claudia, sayangku," kata Rayhan dengan lembut. "Aku mengerti betapa sulitnya bagimu dalam situasi ini. Tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menyayangi kedua wanita yang ada dalam hidupku. Aku punya keyakinan yang kuat bahwa lambat laun sikap Mamah Eva akan berubah."Claudia menoleh ke arah Rayhan, matanya mencerminkan keraguan. "Tapi Rayhan, sudah begitu lama Mamah Eva bersikap dingin padaku. Aku merasa seperti aku tidak ada tempat di hatinya."Rayhan menggenggam tangan Claudia dengan erat, memberikan dukungan dan kepercayaan padanya. "Kamu tidak boleh merasa seperti itu, sayang. Mamah Eva mungkin telah lama terbiasa hidup denganmu sebagai satu-satunya wanita di hidupku, dan mungkin ia masih merasa cemburu. Tetapi aku yakin, jika kita terus bersabar dan memb
Setelah berbelanja seharian, Aruna akhirnya memilih dua gaun. Satu adalah gaun pastel yang indah dan feminin pilihan Claudia, dan satunya lagi adalah gaun gelap dan simpel tetapi anggun pilihan Mamah Eva. Ia senang bisa memuaskan kakak ipar dan Mamahnya, agar tidak menimbulkan keributan.Dalam cerita ini, Aruna mencoba bertindak bijak dengan memilih gaun dari keduanya dan akan menggunakan gaun-gaun tersebut secara bergantian. Ia berhasil menghindari konflik dan tetap memperkuat hubungan yang harmonis dengan kakak ipar dan Mamahnya. Kehadiran Aruna dalam mencoba gaun-gaun yang ia pilih membuatnya terlihat cantik dan anggun, memancarkan keindahan dan kepribadian uniknya."Aruna, kita istirahat sebentar ya," pinta Claudia merasa kakinya sudah lelah karena terlalu banyak berdiri. "Claudia! Kamu merepotkan saja," kata Mamah Eva dengan nada kerasnya. "Kebetulan aku juga haus, bagaimana kalau kita mampir ke cafe itu," ujar Aruna menunjukan ke arah Cafe yang tidak jauh dari tempat mereka be
Rayhan, Claudia, Aruna dan Sean pergi berlibur ke sebuah pantai yang sangat indah. Setelah sampai di pantai, mereka beristirahat lebih dulu di tempat penginapan. "Sean, bantu buka resleting gaun ku," pinta Aruna menyodorkan punggungnya di depan Sean. Jemari Aruna gemetar saat menyodorkan punggungnya di hadapan Sean. Gaun sutra yang dikenakannya kini terbuka, memperlihatkan kulit putih mulusnya. Ia menahan napas, menunggu Sean untuk membuka resleting itu perlahan. "Merepotkan saja, Runa," gerutu Sean, namun tangannya bergerak dengan hati-hati. Detak jantung Aruna berpacu saat merasakan jemari Sean menyusuri punggungnya. "Sekarang tutup mata mu! Aku ingin berganti baju," pinta Aruna lagi, berusaha mengontrol suaranya yang bergetar. Sean menyeringai. "Kenapa harus tutup mata? Kita sudah menikah, Runa. Jadi, halal kalau aku melihat kamu telanjang," katanya dengan nada menggoda. Aruna menggigit bibir bawahnya, menimbang-nimbang. Bagaimanapun, Sean adalah suaminya. Tapi rasa ma
Sean meminta Aruna bersikap baik, lemah lembut. Ia tidak ingin anak-anaknya nanti terlahir dari seorang ibu yang mempunyai sikap kasar, ia dengan sabar memberikan pengertian ke Aruna. "Sean, bukannya kita menikah bukan karena cinta. Jadi, kita masih bisa cerai," kata Aruna menatap Sean. "Kamu gila, Runa! Aku akan belajar mencintaimu seiring berjalannya waktu, bukan untuk permainan," terang Sean meyakinkan Aruna. Aruna tersenyum bahagia mendengar ucapan Sean, ia berharap Sean bisa mencintainya dengan tulus dan membuktikan ucapannya. "Sean, sebenarnya aku sudah mencintai mu dari dulu," ungkap Aruna memegang tangan Sean. "Dasar labil!" ketus Sean. Dulu Aruna pernah mengatakan kalau tidak mencintai Sean, sekarang justru dirinya yang mengungkapkan perasaanya lebih dulu. Keesokan harinya, Aruna baru pulang ke rumah diantarkan Sean. Kebetulan Claudia yang membukakan pintu untuk mereka, dengan ramah Claudia menyambut dan mempersilahkan masuk. Sean terpaku menatap Claudia,
"Dok, bagaimana kandungan istri saya?" tanya Rayhan berharap kabar baik yang ia terima. "Ada yang tidak beres, Pak," jawab Dokter tersenyum. "Iya, saya ngerti! Tolong jelaskan," pinta Rayhan dengan tegas. Dokter menyarankan agar Claudia banyak istirahat di rumah, tadi hanya mengalami kontraksi palsu yang memang sering dialami oleh wanita hamil. Beliau juga menyarankan agar Claudia mengurangi minuman atau makanan manis, karena berat bayi di dalam kandungan sudah melebihi berat normal. Rayhan mengerutkan dahinya ketika mendengar penjelasan Dokter, ada beberapa hal yang belum dimengerti. Ini adalah pengalaman pertama kali Rayhan menemani Claudia periksa ke Dokter. "Mas, ayo kita pulang," ajak Claudia. "Iya, Sayang. Ini juga sudah larut malam," kata Rayhan tersenyum tipis. Sampai di rumah mereka terkejut, mendengar kabar kalau Mamah Eva tidak bisa jalan. Claudia dan Rayhan segera menemui Mamah Eva, beliau terbaring lemah di tempat tidur. Tetapi masih saja beliau men
"Mas, kamu yakin akan membawaku ke rumah? Nanti kalau Mamah marah gimana?" tanya Claudia khawatir. "Sayang, kamu jangan takut gitu dong. Biar Mamah jadi urusan ku, yang penting sekarang kita bersama lagi," balas Rayhan mengecup punggung tangan istri tercintanya. Saat ini mereka berdua sedang berada di perjalanan menuju ke rumah Rayhan, setelah menghabiskan waktu berdua di pantai. Rayhan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, ia sangat hati-hati melajukan mobilnya agar istri dan calon buah hatinya merasa nyaman. Tak lama kemudian, mereka sampai di halaman rumah mewah milik keluarga Rayhan. Keduanya pun segera turun dari mobil, lalu masuk ke dalam rumah. Mamah Eva menyambut kedatangan Claudia, dengan tatapan penuh kebencian. Bola matanya tertuju pada sang menantu, yang perutnya mulai membesar. "Hamil anak siapa kamu?" tanya Mamah Eva ketus. "Tentu saja anak Rayhan dong, Mah," ujar Rayhan berusaha membela sang istri. "Kamu yakin, Ray? Claudia itu hamil setela
"Pak, Bu, kenapa kita kembali ke rumah ini lagi?" tanya Claudia ketika sampai di kampung. "Bapak lebih nyaman tinggal di sini! Walaupun rumah itu mewah, kita tidak punya mata pencaharian," balas Ayah Claudia sambil membuka pintu. Claudia menghela nafas beratnya, apapun yang sudah menjadi keputusan Ayahnya harus dituruti. Ia menyangka Ayahnya mengajak pindah karena Rayhan sudah menemukannya. "Claudia, perutmu sudah membesar. Mulai sekarang kamu harus banyak istirahat, jangan memikirkan hal yang tidak penting," ucap Ibu Claudia. "Baik, Bu," kata Claudia kemudian masuk ke dalam kamarnya. Di tengah kamar yang teduh, Claudia duduk merenung, tatapan matanya penuh dengan kerinduan dan kekhawatiran. Baginya, hamil adalah momen yang seharusnya penuh kebahagiaan, tetapi kehadiran sang suami yang terpisah membuatnya merasakan kekosongan yang mendalam. Setiap kali rasa lapar menghampiri, bukan senyum lembut sang suami yang menghampirinya, melainkan pertimbangan-pertimbangan yang
Rayhan ngutarakan keinginannya untuk membawa Claudia kembali ke rumah, ia juga mengatakan kalau sudah mengetahui kabar kehamilan istrinya itu. Ayah Claudia pun terkejut, beliau tetap tidak akan pernah mengizinkan Rayhan membawa Claudia pergi. Apalagi saat ini perut Claudia, sudah mulai membesar. "Tapi, Pak! Bayi yang ada di dalam kandungan Claudia anak saya, tolong berikan kesempatan. Saya berjanji akan menjaga Claudia dan anak saya dengan baik," ucap Rayhan meyakinkan. "Dulu kamu sudah pernah berjanji, Rayhan. Kenyataannya justru kita kehilangan calon cucu, semuanya karena kamu tidak becus menjaga istri dan calon anakmu! Keselamatan mereka lebih penting, dari pada harta benda yang kamu punya!" seru Ayah Claudia membuat Rayhan terdiam. Claudia dan Ibunya yang saat ini mengintip pembicaraan dari balik pintu, sebenarnya merasa kasihan dengan Rayhan. Namun, Claudia masih merasa takut jika kembali ke rumah Rayhan dan tinggal bersama mertuanya. Claudia membuka pintu dengan p
Claudia menghela napas panjang, membatalkan rencana kepergiannya untuk menyusul Rayhan. Perutnya tiba-tiba terasa sangat sakit, membuatnya harus beristirahat sejenak. Dengan langkah gontai, ia menuju kursi di sudut stasiun kereta yang terlihat sepi. Claudia meringis menahan nyeri yang menjalar, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Pikirannya berkecamuk, memikirkan nasib hubungannya dengan Rayhan yang seakan hancur berkeping-keping. Tak lama, seorang pria paruh baya menghampiri Claudia yang masih terduduk lemas. "Nona, apa Anda baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir. Claudia mendongak, memaksakan senyum tipis. "Saya hanya sedikit tidak enak badan, Pak. Tapi tidak apa-apa, saya akan segera baik-baik saja." Pria itu mengangguk paham. "Kalau begitu, istirahatlah dulu di sini. Jangan memaksakan diri, Nona." Ia menyodorkan sebotol air mineral pada Claudia. Claudia menerimanya dengan tangan gemetar. "Terima kasih banyak, Pak." Setelah pria itu pergi, Claudia kembali
Aruna benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Sean saat ini, yang tiba-tiba meminta membatalkan pernikahan mereka. "Sean, mana tanggung jawab mu sebagai seorang laki-laki? Kamu tidak bisa membatalkan pernikahan yang sudah direncanakan, mau ditaruh mana muka Mamah!" marah Mamah Risma menatap tajam putranya. "Tapi, Mah! Claudia ... "Cukup! Biarkan Claudia diurus suaminya sendiri!" tegas Mamah Eva yang saat ini duduk di sebelah Aruna. "Mah, Claudia wanita yang sangat menderita. Sean tidak mau terjadi apa-apa dengannya, dia pergi dari rumah Aruna pasti gara-gara Tante Eva tidak memperlakukannya dengan baik," jelas Sean. Aruna tidak terima dengan ucapan Sean, karena Claudia pergi dari rumah atas keputusan sendiri tidak ada yang mengusirnya. Mamah Risma memberikan saran kepada mereka berdua, agar tidak membahas Claudia lagi. Baginya Claudia berhak menentukan kebahagiaannya sendiri. Beliau meminta agar Aruna dan Sean fokus ke pernikahan mereka, karena masa depan mereka mas
Langkah Rayhan gontai, seolah beban dalam dirinya semakin memberat. Ia baru saja sampai di kediaman orang tua Claudia, istrinya tercinta, namun yang ia temukan hanyalah sebuah rumah kosong tanpa tanda-tanda kehidupan. Rayhan mengedarkan pandangan, berharap menemukan petunjuk yang dapat membantunya memahami situasi ini. Namun, para tetangga Claudia yang ia temui hanya bisa memberikan informasi terbatas. Mereka melihat sebuah mobil mewah datang menjemput Claudia, dan sejak saat itu, gadis itu pergi bersama orang tuanya tanpa memberikan penjelasan. Perasaannya berkecamuk, kebingungan dan kekhawatiran menguasai dirinya. Apa yang telah terjadi? Ke manakah Claudia dan keluarganya pergi? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya, seakan menghantui setiap langkahnya. Perlahan, ia menyadari bahwa dirinya sendirian, ditinggalkan tanpa penjelasan. Kehampaan yang tak terdefinisi mulai menyeruak dalam dirinya, menggerogoti setiap sisi hatinya. Ia merasa kehilangan pegangan, ta