"Sayang, jawab ini obat apa!" bentak Rayhan. Menunjukkan botol obat yang bertuliskan penunda kehamilan, kepada istrinya.
Claudia tertunduk lesu, ia bingung harus menjawab apa. Kalau ia berkata jujur akan membuat pertengkaran, antara ibu dan anak. Rayhan baru ini membentaknya, mungkin baginya sudah sangat keterlaluan."Sampai segitunya kamu tidak mau mempunyai keturunan dariku! Claudia, aku sangat mencintaimu! Kenapa kamu tega, melakukan semua ini!" marah Rayhan. Melemparkan botol obat itu hingga tercecer di lantai.Claudia bersimpuh di kaki suaminya, sambil memohon maaf. Rayhan dengan kasar menghempaskan tangan istrinya itu. Claudia hanya bisa menangis, ia menyesal sudah mengikuti perintah mertuanya.Rayhan lalu pergi entah kemana, dan meninggalkan Claudia di dalam villa sendiri."Mas, seandainya kamu tau! Mamah Eva tidak merestui pernikahan kita, beliau juga tidak menginginkan cucu dariku ... " lirih Claudia.Di sebuah club malam pulau Bali, Rayhan menghabiskan waktu di tempat itu. Ia meneguk segelas win untuk melampiaskan emosinya, rasa kecewa yang begitu dalam ia rasakan. Tak menyangka istri yang begitu sangat dicintainya, tega melukai hatinya."Tuan, sebaiknya anda kembali ke penginapan. Kita harus tutup," ujar seorang yang merupakan manager club itu.Rayhan sebelumnya tidak pernah seperti ini, minum win tidak pernah sampai mabuk. Ia meminta manager itu untuk menemaninya, setelah puas ia kembali ke villa. Ia mendapati istrinya sedang duduk di samping ranjang, sambil memeluk kakinya."Belum tidur?" tanya Rayhan dengan singkat."Mas, kamu kemana saja? kenapa meninggalkan aku sendiri," ujar Claudia menghapus air matanya."Sudah hampir pagi, ayo kita tidur," ajak Rayhan. Ia naik ke atas ranjang lebih dulu.Sikap Rayhan yang tiba-tiba berubah dingin, membuat Claudia semakin bersalah. Ia menyesal dengan apa yang sudah diperbuat, di sisi lain Claudia tidak ingin membuat retak hubungan anak dan ibunya. Ia kemudian beranjak ke tempat tidur, dan merebahkan tubuhnya di sebelah Rayhan.Pagi hari Rayhan langsung mengajak Claudia kembali ke kotanya, ia sudah tidak peduli dengan acara bulan madunya. Semua sudah hancur berantakan, gara-gara obat penunda kehamilan itu."Mas, aku masih ingin menikmati pulau ini," ujar Claudia menatap Rayhan, berharap sikap suaminya sudah kembali lagi."Kalau kamu ingin di sini silahkan, aku harus pulang dulu! Kerjaan ku banyak," tegas Rayhan.Claudia tau suaminya masih marah, ia tidak tau harus berbuat apa. Meminta maaf pun Rayhan terlihat sangat acuh. Ini juga pengalaman pertama buat Claudia, melihat kemarahan suaminya. Baru juga beberapa hari menikah, rumah tangganya harus diterpa masalah.Rayhan tidak peduli dengan Claudia yang saat ini berjalan dengan menarik kopernya, biasanya ia membantunya dan begitu memanjakan wanitanya."Kalian sudah pulang! syukurlah pekerjaan rumah juga banyak," ujar Eva begitu tampak bahagia."Mah, Rayhan langsung ke kantor ya? Ada pekerjaan mendadak," pamit Rayhan.Claudia langsung menarik kopernya menuju ke kamar, sikap suaminya sudah sangat keterlaluan. Ia pun meneteskan air mata, rasanya begitu sakit.Setelah Rayhan pergi, Eva memanggil Claudia. Ia menyuruh menantunya untuk segera membersihkan rumah, padahal Claudia merasa begitu lelah. Ia sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk beristirahat.Claudia kemudian menuju ke dapur, kondisinya sangat berantakan. Cucian piring menumpuk di wastafel, belum lagi meja makan yang begitu kotor. Bungkus mie instan juga berserakan di lantai, baru dua hari Narsih cuti dapur sudah seperti kapal pecah."Claudia bersihkan semuanya! Aku mau arisan ke tetangga!" pinta Eva dengan teriak.Claudia mulai mencuci piring kotor yang menumpuk itu, lalu membersihkan meja makan. Saat itu Rayhan pulang tanpa sepengetahuannya, ia hendak mengambil berkas yang tertinggal.Mendengar suara gelas pecah dari dapur, Rayhan menuju ke dapur. Ia melihat istrinya sedang memungut pecahan gelas itu, ia juga menyaksikan apa yang dilakukan oleh istrinya dari balik pintu."Maafkan aku, Claudia," ucapnya dengan pelan, kemudian kembali ke kantor.Malam hari saat hendak makan malam, Eva memanggil Rayhan dan Aruna untuk mengajaknya makan. Claudia seperti bukan anggota keluarga, karena ia tidak dipanggil."Claudia mana, Rayhan?" tanya Papah Andi, sambil melihat ke arah belakang Rayhan mencari keberadaan menantunya."Di kamar, Pah," jawab Rayhan singkat."Rayhan, tidak pantas seorang suami bersikap seperti itu. Kalian ada masalah, cepat selesaikan," terang Papah Andi."Claudia juga kenapa tidak keluar kamar! bikin masalah saja," gerutu Eva.Rayhan kemudian masuk ke dalam kamarnya, untuk memanggil Claudia. Ternyata istrinya saat ini sedang tertidur di sofa, ada rasa tidak tega melihat istrinya dalam keadaan kelelahan. Apalagi ia baru menyadari luka di tangan Claudia, nampak berbalut perban berwarna putih dan ada bekas darah. Ia mendekati Claudia, lalu menyingkirkan sulur rambut yang menutupi wajah cantik istrinya.Hatinya tidak bisa dibohongi, masih ada rasa kecewa yang teramat dalam. Sehingga membuatnya bersikap dingin, entah sampai kapan ia bisa kembali seperti dulu."Claudia sudah tidur, Pah. Ayo kita makan dulu," ajak Rayhan tidak enak semua menunggu dari tadi."Aruna sudah lapar sekali, Pah! Jangan bilang suruh nunggu lagi," sahut Aruna sambil mengambil nasi.Tengah malam Claudia baru terbangun, karena rasa nyeri di tangannya. Perutnya terasa lapar, ia kemudian terbangun. Rayhan tidak terlihat di dalam kamarnya, ia berniat mencari keberadaannya. Namun, ia tidak mau kalau sampai orang tua Rayhan mengetahui masalahnya. Ia mengurungkan niatnya, dan memilih menahan rasa lapar.Pagi hari Claudia belum juga bangun, sedangkan Rayhan sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Ia hendak membangunkan istrinya tidak tega, apalagi melihat mata istrinya terlihat lebam seperti habis menangis.Tidak ada yang menyiapkan sarapan, Rayhan hanya membuat dua cangkir kopi untuknya dan Papah Andi."Istrimu mana, Rayhan?" tanya Papah Andi, dari tadi malam tidak melihat batang hidung Claudia."Masih tidur, Pah. Mungkin Claudia kelelahan, habis perjalanan jauh," jawab Rayhan."Mana sarapan ku? kok tidak ada makanan!" teriak Aruna sambil berkacak pinggang.Rayhan menasehati adiknya agar lebih mandiri, apalagi ia seorang perempuan. Baginya perempuan yang baik, adalah yang bisa memasak. Ayah Andi juga ikut menasehati putrinya, agar belajar mandiri seperti Claudia."Kakak ipar jam segini belum bangun, Pah. Mandiri dari mana coba," ketus Aruna.Papah Andi kemudian berpamitan untuk berangkat lebih awal, sebelum istrinya bangun dari tidur. Karena kalau Eva datang, pasti akan bertambah masalah baru.Tinggal Aruna dan Rayhan yang berada di ruang makan, gadis itu meminta kakaknya untuk mengoleskan selai rasa coklat ke roti tawar. Ia tidak mau melakukan sendiri karena, takut tangannya kotor."Ini udah, Dik. Kamu makan dulu, kakak harus segera ke kantor," ucap Rayhan."Kakak, ini yang satu belum ada selainnya!" teriak Aruna tapi tidak didengarkan oleh Rayhan.Rayhan sebenarnya sangat kepikiran dengan istrinya, ia tidak bisa melawan rasa kecewanya itu. Pulang dari kantor nanti, ia berencana untuk membicarakan lagi dengan istrinya."Claudia!" teriak Eva. Melihat tidak ada makanan sama sekali.Tidak ada sahutan dari menantunya itu, kemudian Eva datang ke kamar Claudia. Ia mendapati Claudia masih tertidur, Eva lalu mendekat dan hendak mengoyak tubuh menantunya. Namun, saat ia menyentuh tubuh Claudia terasa panas.Eva menjadi bingung sendiri harus berbuat apa, kemudian memanggil Aruna. Gadis itu juga tidak peduli, ia langsung pergi ke kampus.Eva berjalan mondar-mandir, dan sedang memikirkan cara untuk menolong Claudia tanpa menyentuhnya."Kalau aku biarkan saja, tapi kalau mati gimana," ujar Eva ketakutan.Eva langsung menelpon Rayhan untuk memberitahukan kondisi istrinya saat ini, karena ia tidak mau menyentuh Claudia sedikit pun. Kalau sampai itu terjadi, berati ia terpaksa. "Bagaimana Mah, keadaan Claudia? Kenapa tidak Mamah bawa ke dokter dulu," ujar Rayhan yang baru datang. "Lihat saja sendiri! Mamah tidak tau," kata Eva dengan acuh dan tidak peduli dengan menantunya. Rayhan langsung membawa Claudia ke rumah sakit, dokter juga sudah memeriksa keadaan Claudia saat ini. Menurut dokter, Claudia hanya kecapean dan dehidrasi. Tak lama kemudian Claudia sudah sadarkan diri, dia meminta untuk pulang ke rumah orang tuanya. Namun, Rayhan tidak mengizinkan karena sudah menjadi tanggung jawabnya. Rayhan tidak sadar mengajak istrinya tinggal bersama Mamahnya, membuat Claudia penuh dengan tekanan. Setahunya Eva selalu berbuat baik, dan menyayangi menantunya seperti menyayangi anak-anaknya. "Mas, aku tidak mau menjadi beban untuk keluargamu. Izinkan aku tinggal di rumah Ibu, aku mohon, Mas,
Claudia mengurungkan pembicaranya dengan suaminya, karena terdengar suara ketukan pintu yang membuatnya untuk beranjak dan membuka pintu kamar. "Claudia, itu orang tua kamu datang. Temui sana, jangan di kamar terus. Sudah sembuh juga, masih saja malas-malasan," sinis Eva menatap sengit menantunya. "Iya, Mah. Claudia ke sana sekarang," ujar Claudia. Setelah Eva pergi, Claudia memberitahukan kepada Rayhan kalau orangtuanya datang dan mengajak menemuinya. "Ayah ... Ibu ... !" teriak Claudia langsung memeluk Ayah dan Ibunya secara bergantian. "Ayah dan Ibu, kenapa tidak bilang kalau mau datang? Rayhan kan, bisa jemput," ujar Rayhan sembari menjabat tangan kedua mertuanya. "Kita tidak mau bikin repot, Nak," sahut Ibu Claudia. Beliau mengeluarkan plastik berisi pisang goreng, dari dalam tasnya dan memberikan kepada Claudia. Pisang hasil tanamannya dari kebun belakang rumah, kemudian beliau goreng lalu dibawa ke tempat Claudia. "Claudia, sini temani Papah ngopi," pinta Papah Andi. "
Rayhan menatap tajam Aruna, membuat gadis itu beranjak mendekati Claudia yang sedang memasak. Tidak sengaja Aruna menyentuh wajan panas, hingga membuat tangannya memerah. Claudia cepat-cepat mengambilkan obat untuk Aruna. "Makanya jadi orang itu belajar, jangan malas," cibir Rayhan. "Kakak, tega sekali bicara gitu," ucap Aruna mengerucutkan bibirnya. Claudia mengoleskan salep, agar tangan Aruna tidak bengkak. Dengan pelan-pelan dan telaten ia melakukan. "Auw ... sakit!" teriak Aruna ketika Claudia sedikit menekan lukanya. Eva yang mendengar teriakan sang putri langsung menuju ke dapur, berhubung ada Rayhan ia tidak berani memarahi Claudia. Beliau meminta salep itu, dan menggantikan Claudia mengobati putrinya. "Aruna, ini mienya sudah matang," kata Claudia meletakkan mangkuk berisi mie instan di depan Aruna duduk. "Aduh ... ! Kakak ipar gimana sih, tangan Aruna sakit gak bisa makan," ujar Aruna. "Mana aku suapi," sahut Rayhan sambil membawa sendok sayur. "Kakak!" teriak Aruna.
Pulang kerja Tania langsung pergi ke rumah Rayhan, wanita itu hendak bertemu Eva. Kebetulan saat ini Eva juga belum pulang, karena sedang pergi belanja dengan Papah Andi. "Tante Eva ada gak?" tanya Tania, ketika Claudia membukakan pintu untuknya. "Belum pulang, Mbak," jawab Claudia dengan lembut. "Oh ... " sahut Tania sembari melihat ke sekeliling. Claudia mengajak Tania masuk ke dalam rumah, ia mencoba bersikap biasa saja tidak menaruh curiga yang berlebihan pada wanita itu. Ia juga membuatkan teh hangat untuk Tania. Suara ketukan pintu, membuat Claudia segera beranjak dari duduknya. "Mas, sudah pulang? Tumben cepet, biasanya pulang malam," ujar Claudia. "Tidak ada lembur, Sayang," bohong Rayhan padahal ia menghawatirkan Claudia. Rayhan mencium kening istrinya di depan Tania, dan membuat gadis itu kesal. Dengan sengaja ia menumpahkan minuman yang diberikan oleh Claudia, sehingga membuat cangkir itu pecah dan berserakan di lantai. "Aduh ... maaf aku tidak sengaja," ucap Tania
Rayhan menjelaskan ke Mamah Eva, kalau menantunya itu bukan tipe wanita pengadu. Walaupun banyak orang yang menyakitinya, Claudia akan tetap menahan dan tidak akan pernah mengungkit atau menceritakan perlakuan orang tersebut. "Buat Papah, Claudia itu menantu yang cukup baik. Mau membantu Mamah mengerjakan pekerjaan rumah, zaman sekarang mana ada menantu seperti itu," sahut Papah Andi. "Tapi, dia ... "Miskin maksud, Mamah," ujar Rayhan tersenyum. Eva merasa dipojokan oleh Suami dan Anaknya, ia tidak bisa terima semua itu. Dalam hatinya Claudia yang nanti akan menjadi sasaran, atas kemarahannya. Papah Andi berpesan agar keluarganya akur, tidak bertengkar. Kalau ada masalah beliau meminta untuk dibicarakan, agar masalah itu teratasi. Pesawat yang hendak beliau tumpangi akhirnya datang, membuatnya harus segera berpamitan lagi. ***"Kakak ipar, boleh tanya sesuatu tidak?" tanya Aruna masuk ke dalam kamar Rayhan. "Boleh, Runa. Kalau kakak bisa jawab kenapa tidak," balas Claudia terse
Rayhan mengatakan kalau tadi ia pergi ke dokter, untuk menanyakan keadaan Claudia yang ternyata terpengaruh obat perangsang. "Mas, aku tidak mengonsumsi obat apapun!" tegas Claudia teringat dengan jus buah yang hanya diaduk-aduk oleh Aruna, dan diberikan padanya. Claudia hendak bangkit dari duduknya, tapi ia mengurungkan niatnya karena ada Rayhan. Ia ingin bertanya pada Aruna, tanpa sepengetahuan Rayhan, agar adik iparnya tidak terkena marah. "Mas percaya, Sayang," ujar Rayhan mengecup kening istrinya. Rayhan bersyukur kejadian itu berada di rumah, jadi Claudia melampiaskan kepadanya. Kalau terjadi di luar rumah, entah semarah apa dia. Claudia kemudian berpamitan ke dapur, ia hendak menyiapkan makan malam. Sekarang Aruna, yang terlihat seperti menghindari Claudia. Saat makan bersama, gadis itu melirik ke arah Claudia. "Aruna, aku ingin bicara," kata Claudia. "Iya, boleh," balas Aruna sambil melihat sekeliling seperti takut ada orang. Ia kemudian menyeret tangan Claudia, masuk ke
Eva mengirimkan video Claudia, yang sedang digoda oleh Sean. Hal itu membuat Rayhan tidak bisa berkonsentrasi dengan tenang, ia kemudian memanggil Diki untuk menggantikan meeting. Rayhan segera pulang ke rumah, ia mengendarai mobilnya dengan kencang. Sampai di rumah, ia mendapati istrinya sedang menyiapkan makan siang. "Mas, kenapa tidak bilang kalau pulang cepat," ucap Claudia tersenyum bahagia. Melihat kebahagiaan terukir di wajah sang istri, membuat Rayhan mengurungkan kemarahannya. "Ada berkas ketinggalan," kata Rayhan tersenyum ke arah Claudia. Claudia segera mempercepat pekerjaannya, saking senangnya bisa makan siang bersama suaminya. Sedangkan Rayhan menuju ke ruang kerjanya, ia mengambil berkas yang sudah tidak dipakai agar istrinya tidak curiga. Diam-diam Rayhan menemui Mamah Eva di teras belakang, kebetulan beliau sedang santai sambil berkirim pesan dengan Papah Andi. "Mah, maksudnya apa ini?" tanya Rayhan menunjukkan video yang dikirim oleh Mamah Eva tadi. "Lihat saj
Mamah Eva mengizinkan Claudia mengantikan pembantu di rumah Risma, dengan syarat jam kerja jam 08.00 pagi sampai jam 03.00 sebelum Rayhan pulang kantor. Risma menyetujui syarat dari Eva, karena dia tidak serius hanya iseng saja. Beliau sengaja meminjam Claudia setelah melihat raut wajah Claudia seperti tertekan. Selesai makan, Risma mengantarkan Eva pulang. Kebetulan taksi yang dinaiki Claudia juga baru sampai, Eva tersenyum karena Claudia sudah datang. Claudia membawa belanjaan Eva dibantu oleh supir taksi itu, ia tidak bisa membawa belanjaan yang berat dalam jumlah banyak. "Claudia, cepat bawa masuk!" bentak Eva. Dari kejauhan Risma masih memperhatikan Claudia, dan merasa kasihan. Ingin rasanya ia turun dari mobil dan membantunya mengangkat barang-barang itu masuk ke dalam rumah. "Pak, ayo kita jalan," pinta Risma kepada sang sopir. "Baik, Nyonya," sahut sopir Risma. ***Eva sama sekali tidak membantu Claudia, menata barang-barang itu. Claudia memasukkan bahan makanan ke kul
Rayhan, Claudia, Aruna dan Sean pergi berlibur ke sebuah pantai yang sangat indah. Setelah sampai di pantai, mereka beristirahat lebih dulu di tempat penginapan. "Sean, bantu buka resleting gaun ku," pinta Aruna menyodorkan punggungnya di depan Sean. Jemari Aruna gemetar saat menyodorkan punggungnya di hadapan Sean. Gaun sutra yang dikenakannya kini terbuka, memperlihatkan kulit putih mulusnya. Ia menahan napas, menunggu Sean untuk membuka resleting itu perlahan. "Merepotkan saja, Runa," gerutu Sean, namun tangannya bergerak dengan hati-hati. Detak jantung Aruna berpacu saat merasakan jemari Sean menyusuri punggungnya. "Sekarang tutup mata mu! Aku ingin berganti baju," pinta Aruna lagi, berusaha mengontrol suaranya yang bergetar. Sean menyeringai. "Kenapa harus tutup mata? Kita sudah menikah, Runa. Jadi, halal kalau aku melihat kamu telanjang," katanya dengan nada menggoda. Aruna menggigit bibir bawahnya, menimbang-nimbang. Bagaimanapun, Sean adalah suaminya. Tapi rasa ma
Sean meminta Aruna bersikap baik, lemah lembut. Ia tidak ingin anak-anaknya nanti terlahir dari seorang ibu yang mempunyai sikap kasar, ia dengan sabar memberikan pengertian ke Aruna. "Sean, bukannya kita menikah bukan karena cinta. Jadi, kita masih bisa cerai," kata Aruna menatap Sean. "Kamu gila, Runa! Aku akan belajar mencintaimu seiring berjalannya waktu, bukan untuk permainan," terang Sean meyakinkan Aruna. Aruna tersenyum bahagia mendengar ucapan Sean, ia berharap Sean bisa mencintainya dengan tulus dan membuktikan ucapannya. "Sean, sebenarnya aku sudah mencintai mu dari dulu," ungkap Aruna memegang tangan Sean. "Dasar labil!" ketus Sean. Dulu Aruna pernah mengatakan kalau tidak mencintai Sean, sekarang justru dirinya yang mengungkapkan perasaanya lebih dulu. Keesokan harinya, Aruna baru pulang ke rumah diantarkan Sean. Kebetulan Claudia yang membukakan pintu untuk mereka, dengan ramah Claudia menyambut dan mempersilahkan masuk. Sean terpaku menatap Claudia,
"Dok, bagaimana kandungan istri saya?" tanya Rayhan berharap kabar baik yang ia terima. "Ada yang tidak beres, Pak," jawab Dokter tersenyum. "Iya, saya ngerti! Tolong jelaskan," pinta Rayhan dengan tegas. Dokter menyarankan agar Claudia banyak istirahat di rumah, tadi hanya mengalami kontraksi palsu yang memang sering dialami oleh wanita hamil. Beliau juga menyarankan agar Claudia mengurangi minuman atau makanan manis, karena berat bayi di dalam kandungan sudah melebihi berat normal. Rayhan mengerutkan dahinya ketika mendengar penjelasan Dokter, ada beberapa hal yang belum dimengerti. Ini adalah pengalaman pertama kali Rayhan menemani Claudia periksa ke Dokter. "Mas, ayo kita pulang," ajak Claudia. "Iya, Sayang. Ini juga sudah larut malam," kata Rayhan tersenyum tipis. Sampai di rumah mereka terkejut, mendengar kabar kalau Mamah Eva tidak bisa jalan. Claudia dan Rayhan segera menemui Mamah Eva, beliau terbaring lemah di tempat tidur. Tetapi masih saja beliau men
"Mas, kamu yakin akan membawaku ke rumah? Nanti kalau Mamah marah gimana?" tanya Claudia khawatir. "Sayang, kamu jangan takut gitu dong. Biar Mamah jadi urusan ku, yang penting sekarang kita bersama lagi," balas Rayhan mengecup punggung tangan istri tercintanya. Saat ini mereka berdua sedang berada di perjalanan menuju ke rumah Rayhan, setelah menghabiskan waktu berdua di pantai. Rayhan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, ia sangat hati-hati melajukan mobilnya agar istri dan calon buah hatinya merasa nyaman. Tak lama kemudian, mereka sampai di halaman rumah mewah milik keluarga Rayhan. Keduanya pun segera turun dari mobil, lalu masuk ke dalam rumah. Mamah Eva menyambut kedatangan Claudia, dengan tatapan penuh kebencian. Bola matanya tertuju pada sang menantu, yang perutnya mulai membesar. "Hamil anak siapa kamu?" tanya Mamah Eva ketus. "Tentu saja anak Rayhan dong, Mah," ujar Rayhan berusaha membela sang istri. "Kamu yakin, Ray? Claudia itu hamil setela
"Pak, Bu, kenapa kita kembali ke rumah ini lagi?" tanya Claudia ketika sampai di kampung. "Bapak lebih nyaman tinggal di sini! Walaupun rumah itu mewah, kita tidak punya mata pencaharian," balas Ayah Claudia sambil membuka pintu. Claudia menghela nafas beratnya, apapun yang sudah menjadi keputusan Ayahnya harus dituruti. Ia menyangka Ayahnya mengajak pindah karena Rayhan sudah menemukannya. "Claudia, perutmu sudah membesar. Mulai sekarang kamu harus banyak istirahat, jangan memikirkan hal yang tidak penting," ucap Ibu Claudia. "Baik, Bu," kata Claudia kemudian masuk ke dalam kamarnya. Di tengah kamar yang teduh, Claudia duduk merenung, tatapan matanya penuh dengan kerinduan dan kekhawatiran. Baginya, hamil adalah momen yang seharusnya penuh kebahagiaan, tetapi kehadiran sang suami yang terpisah membuatnya merasakan kekosongan yang mendalam. Setiap kali rasa lapar menghampiri, bukan senyum lembut sang suami yang menghampirinya, melainkan pertimbangan-pertimbangan yang
Rayhan ngutarakan keinginannya untuk membawa Claudia kembali ke rumah, ia juga mengatakan kalau sudah mengetahui kabar kehamilan istrinya itu. Ayah Claudia pun terkejut, beliau tetap tidak akan pernah mengizinkan Rayhan membawa Claudia pergi. Apalagi saat ini perut Claudia, sudah mulai membesar. "Tapi, Pak! Bayi yang ada di dalam kandungan Claudia anak saya, tolong berikan kesempatan. Saya berjanji akan menjaga Claudia dan anak saya dengan baik," ucap Rayhan meyakinkan. "Dulu kamu sudah pernah berjanji, Rayhan. Kenyataannya justru kita kehilangan calon cucu, semuanya karena kamu tidak becus menjaga istri dan calon anakmu! Keselamatan mereka lebih penting, dari pada harta benda yang kamu punya!" seru Ayah Claudia membuat Rayhan terdiam. Claudia dan Ibunya yang saat ini mengintip pembicaraan dari balik pintu, sebenarnya merasa kasihan dengan Rayhan. Namun, Claudia masih merasa takut jika kembali ke rumah Rayhan dan tinggal bersama mertuanya. Claudia membuka pintu dengan p
Claudia menghela napas panjang, membatalkan rencana kepergiannya untuk menyusul Rayhan. Perutnya tiba-tiba terasa sangat sakit, membuatnya harus beristirahat sejenak. Dengan langkah gontai, ia menuju kursi di sudut stasiun kereta yang terlihat sepi. Claudia meringis menahan nyeri yang menjalar, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Pikirannya berkecamuk, memikirkan nasib hubungannya dengan Rayhan yang seakan hancur berkeping-keping. Tak lama, seorang pria paruh baya menghampiri Claudia yang masih terduduk lemas. "Nona, apa Anda baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir. Claudia mendongak, memaksakan senyum tipis. "Saya hanya sedikit tidak enak badan, Pak. Tapi tidak apa-apa, saya akan segera baik-baik saja." Pria itu mengangguk paham. "Kalau begitu, istirahatlah dulu di sini. Jangan memaksakan diri, Nona." Ia menyodorkan sebotol air mineral pada Claudia. Claudia menerimanya dengan tangan gemetar. "Terima kasih banyak, Pak." Setelah pria itu pergi, Claudia kembali
Aruna benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Sean saat ini, yang tiba-tiba meminta membatalkan pernikahan mereka. "Sean, mana tanggung jawab mu sebagai seorang laki-laki? Kamu tidak bisa membatalkan pernikahan yang sudah direncanakan, mau ditaruh mana muka Mamah!" marah Mamah Risma menatap tajam putranya. "Tapi, Mah! Claudia ... "Cukup! Biarkan Claudia diurus suaminya sendiri!" tegas Mamah Eva yang saat ini duduk di sebelah Aruna. "Mah, Claudia wanita yang sangat menderita. Sean tidak mau terjadi apa-apa dengannya, dia pergi dari rumah Aruna pasti gara-gara Tante Eva tidak memperlakukannya dengan baik," jelas Sean. Aruna tidak terima dengan ucapan Sean, karena Claudia pergi dari rumah atas keputusan sendiri tidak ada yang mengusirnya. Mamah Risma memberikan saran kepada mereka berdua, agar tidak membahas Claudia lagi. Baginya Claudia berhak menentukan kebahagiaannya sendiri. Beliau meminta agar Aruna dan Sean fokus ke pernikahan mereka, karena masa depan mereka mas
Langkah Rayhan gontai, seolah beban dalam dirinya semakin memberat. Ia baru saja sampai di kediaman orang tua Claudia, istrinya tercinta, namun yang ia temukan hanyalah sebuah rumah kosong tanpa tanda-tanda kehidupan. Rayhan mengedarkan pandangan, berharap menemukan petunjuk yang dapat membantunya memahami situasi ini. Namun, para tetangga Claudia yang ia temui hanya bisa memberikan informasi terbatas. Mereka melihat sebuah mobil mewah datang menjemput Claudia, dan sejak saat itu, gadis itu pergi bersama orang tuanya tanpa memberikan penjelasan. Perasaannya berkecamuk, kebingungan dan kekhawatiran menguasai dirinya. Apa yang telah terjadi? Ke manakah Claudia dan keluarganya pergi? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya, seakan menghantui setiap langkahnya. Perlahan, ia menyadari bahwa dirinya sendirian, ditinggalkan tanpa penjelasan. Kehampaan yang tak terdefinisi mulai menyeruak dalam dirinya, menggerogoti setiap sisi hatinya. Ia merasa kehilangan pegangan, ta