"Maya, apa jadwal saya selanjutnya?" tanya Rain.
"Jam sebelas siang meeting dengan pemilik lahan Raharja dan notaris, di Star Break Coffee, mungkin anda makan siang disana kalau meeting-nya berlangsung lama."
"Tolong siapkan berkas-berkas yang akan dibawa," tukas Rain.
"Baik, semuanya sudah disiapkan, Pak Hendra sepuluh menit lagi sampai." Sambil menengok jam tangannya dengan strap yang terbuat dari kulit, memberikan kesan elegan dan stylish, terutama dipakai oleh Maya yang cenderung berkulit putih.
"Oke maya, kamu tunggu di mobil, saya mau ke toilet dulu."
"Baik, Pak."
[Di Star Break Coffee.]
"Baik kalau begitu, semua surat-suratnya sudah ditanda-tangani, dananya sedang di urus oleh asisten saya ya, Pak Raharja."
"Iya terima kasih, Pak Rain, lain waktu mampir ke rumah saya, Pak."
"Pasti, Pak, sampai bertemu lagi."
Pak Raharja bangun dari tempat duduknya dan berlalu pergi.
"Maya, jam makan siang sudah lewat, sebaiknya kamu makan dulu sebelum kembali ke kantor."
"Iya, Rain, kamu juga makan, 'kan?" tanya Maya. Rain dan Maya akan memanggil santai jika tidak sedang di kantor dan tidak ada urusan pekerjaan.
"Saya cuma mau makan snack," ujar bos itu, sembari memainkan gawainya.
"Toast or french fries?" tanya sekertaris yang di sebrangnya.
"Toast and macchiato, please."
"Ok, wait."
Setelah makan camilan mereka kembali ke kantor untuk cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan. Rain ingin segera pulang, entah kenapa hari itu ia sangat merindukan dan ingin bertemu keluarga kecilnya.
🌵🌵🌵
"Yee, Paapaa pulaang, mama mana, Pa?" tanya Cyra putri pertamanya dengan Hanna.
"Mama? Papa gak bareng Mama, Sayang."
"Bii ...? Bi Ina ...?"
"Iya, Pak, sudah pulang toh, Pak? Maaf saya baru selesai di dapur. Ibu mana, Pak?" tanya asisten rumah tangga yang sudah dipercayanya.
"Loh, kok nanya saya, Bi, saya kan baru pulang kerja," tanya Rain bingung.
Ia coba menerka-nerka kemana kiranya Hanna pergi, tanpa memberi kabar pesan ataupun telepon. Karena kemana pun ia pergi pasti selalu meninggalkan pesan. Ku kira ia baik-baik saja di rumah seperti biasanya.
"Tadi, ibu pamit mau ke ketemuan sama Bapak, seperti biasa mau antar makan siang untuk Pak Rain."
"Gak ada, Bi! Saya nggak ketemu Hanna hari ini, lagi juga saya udah kasih tau ke Hanna untuk nggak menyiapkan dan mengantar makan siang ke kantor, karena saya mau meeting diluar.
"Lah terus ibu kemana, Pak, sampe sekarang belum pulang?" tanya Bi Ina yang bergantian kebingungan.
Rain terlihat berpikir sambil membolak-balikkan bola matanya dan jemarinya berpaut di antara dahinya.
"Cyra sayang udah makan?" Rain mengalihkan perhatiannya sebentar.
"Udah, Pa, Cyra ngantuk, Cyra mau bobo sama mama." Cyra merajuk sambil memeluk kaki sebelah kanan Rain.
"Cyra, Cyra bobo dulu sama Bi Ina, ya? Papa mau cari Mama dulu ke rumah Oma."
"Iya, Pa." Cyra berjalan ke kamar dituntun Bi Ina sambil mengerucutkan bibirnya dan berjalan dengan malas.
Malam itu hujan turun sangat deras, diiringi dentuman petir yang menggelegar. Rain mondar-mandir di ruang kerjanya sambil sesekali memandangi jam di dinding. Ia tak melepas ponselnya barang sebentar saja. Sudah jam delapan malam Hanna belum juga pulang, hujan sudah reda, hanya tinggal rintik-rintik dan dentuman kecil.
Ting
[Pa, Mama ke rumah Ibu dulu, Papa gak usah nyusul, besok Mama pulang].
Tiba-tiba ada pesan masuk dari nomor Hanna. Ketenangan mulai merasuki Rain, ketika mendapatkan sebuah pesan dari seseorang yang ditunggunya sejak tadi.
[Oke, Sayang, besok pulang ya, Cyra kangen kamu, love Hanna].
Balas Rain di akhir kalimat pesannya. Akhirnya ia bisa tertidur lelap, pikirnya.
Rain berjalan pelan mengintip ke kamar berwarna pink di samping kamarnya, Cyra sudah tertidur. Bi Ina masih duduk di sampingnya, bersenandung lagu nina bobo, menunggu sampai Cyra benar-benar terlelap dalam mimpinya.
🌵🌵🌵
Esok paginya, setelah sarapan bersama Cyra, dan sebelum pergi ke kantor. Rain sempatkan membuka ponselnya mencari kontak Elly, mertuanya untuk menanyakan kabar Hanna.
"Halo, Bu, bisa Rain bicara dengan Hanna, Rain telepon ke hp-nya gak aktif, Bu."
"Hanna? Hanna gak ada disini Rain?" jawab Elly. Ia bingung pagi-pagi menantunya sudah menelepon untuk mencari Hanna yang tidak ada disana.
"Yang bener, Bu? Dari kemarin Hanna gak ada di rumah ... Hanna bilang kemarin ada di rumah ibu dan mau pulang hari ini."
"Benar, Rain, Hanna belum nelepon ibu lagi sejak dua hari yang lalu."
'Ya ampun ada apa ini?' batin Rain dengan perasaan cemas, gelisah, dan tak karuan.
"Ya udah, Rain cari Hanna dulu, Bu."
"Iya kabarin ibu secepetnya ya, ibu bantu tanyakan ke saudara-saudara dekat," sahut ibu mertua di ujung sambungan telepon.
"Ya, Bu," jawab Rain seraya memutus sambungan teleponnya.
"Pak, Maya sama Hendra udah nunggu di depan," sela Bi Ina.
"Ya, Bi," katanya dengan perasaan cemas, dan akar pikirannya bercabang kemana-mana.
"Bi tolong jaga Cyra baik-baik ya, hubungi saya secepatnya kalau ada kabar apapun tentang Hanna," pinta Rain dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
"Baik, Pak, hati-hati di jalan."
Rain melangkah masuk ke mobilnya sambil memegang ponsel yang sejak tadi belum dilepasnya. Ia coba menghubungi semua keluarga, saudara, dan teman-teman Hanna. Tapi masih belum menemukan hasil.
"Ada apa, Pak?" tanya Maya.
"Hanna hilang," sahutnya dengan irama datar dan ekspresi sedih.
"Astaga, sejak kapan, Pak?
"Kemarin siang kata Bi Ina."
"Udah hubungi keluarganya Bu Hanna, Pak?" tanya Hendra.
"Udah, tapi nggak ada satu pun yang tahu."
"Duuuh, Hana kamu kemana, please pulanglah, semoga kamu baik-baik aja dimana pun," Rintih Rain dengan suara parau dan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Semoga Ibu Hanna cepat pulang ya, Pak," ujar Hendra.
Rain tidak menjawab karena sibuk memegang ponselnya.
Sampai di kantor, Rain berjalan dengan sangat cepat untuk masuk ke ruangannya tanpa menoleh ke sekitar, dan tak menyapa karyawan lain seperti biasanya.
Ia menjatuhkan diri di kursi kebangsaannya, bersandar sembari menengadahkan kepalanya dengan mata terpejam. Berpikir kemana lagi Hanna akan pergi kiranya.
Belum ada lima menit Rain merebahkan dirinya di kursi. "Pak, coba liat di tv ada berita," sahut Maya sembari meraih remote tv dan menyalakan tombol power-nya. Ia memindahkan saluran tv ke berita terkini.
"Telah ditemukan seorang wanita di lokasi proyek Willy Group, wanita itu berusia sekitar 28 tahun, dan dipastikan jenazah adalah Hanna, menantu dari Willy Group, jenazah diperkirakan—"
Rain spontan berlari ke lokasi di berita tadi, yang kini menjadi lokasi proyek Hotel yang sedang digarapnya. Mobil sedan berwarna putih dengan lambang empat cincin saling bertautan itu dipacu dengan kecepatan 80-100 km/jam.
Rain membunyikan klakson bagi siapapun yang menghalangi jalannya. Lampu merah pun diterobosnya. Matanya mulai memerah dan membendung air mata. Dadanya terasa sesak, napasnya tersengal, ia menangis terisak sambil memacu kencang mobilnya.
Sesampainya di lokasi, ia bergegas keluar dari mobil, dan berlari menghampiri jenazah yang tadi diberitakan di tv untuk memastikan kebenarannya.
"Hannaa!" teriaknya, Rain menghampiri tubuh istrinya, sontak menyusupkan tangan kirinya di bawah punggung Hanna, ia menahan tubuh istrinya yang sudah dipastikan tak bernyawa itu, tangan kanannya mengelus wajah Hanna yang sudah membiru kedinginan dan dipenuhi darah, ia meratapi wajah wanita yang sangat ia cintai.
"Hanna ...."
"Hanna, Sayang ... bangun!" Suaranya merintih.
"Hannaaaa ... jangan tinggalin aku ... Hanna please!" rintihnya sambil memeluk tubuh Hanna yang dingin.
"Hannaaaa ...!" Ia menangis sesenggukkan sambil memeluk, kemudian menciumi wajah istrinya yang pucat pasi.
"Hanna pasti kedinginan, Hanna sejak kemarin disini, semalaman hujan, dan Hanna sendirian disini. Maafin aku Hanna, maafin ...."
"Siapa orang bodoh yang berani menyakiti Hanna, akan berurusan langsung denganku," geramnya.
🌷 Bersambung 🌷
"Hanna pasti kedinginan ... kamu sejak kemarin disini ya, Hun? Semalaman hujan deras dan kamu sendirian disini. Maafin aku Hanna, maafin ...," lirih Rain, ia menangis sesenggukan."Siapa orang bodoh yang berani menyakiti Hanna, akan berurusan langsung denganku," teriaknya.Isak tangisnya begitu menyeruak, membuat orang-orang yang berada disana merasa iba melihatnya.Rain melihat tangan dan kemeja putihnya penuh dengan darah dari luka kepala istrinya, Rain lekas mengeluarkan ponsel dari sakunya."Andy, bantu aku!""Hai Rain, apa yang bisa kubantu?" Andy adalah teman semasa kuliah yang hingga kini menjadi sahabat terdekatnya."Kamu tau apa yang kumaksud 'kan?""Aku mengerti Rain, nanti siang aku akan mengunjungimu ke kantor," pungkasnya."Baiklah, sekarang aku harus mengurus Hanna dulu."***[Satu minggu sebelumnya].
Maya melirik ke arah tangan Hendra yang menggenggam pergelangan tangan Hanna sambil berlarian.Hanna melepas tangan Hendra dan berlari menggendong Cyra yang sedang dituntun Maya. "Cyra, are you okay?" Mama khawatir banget, Nak.""I'm okay, Mama," jawabnya disertai anggukan.Rain datang, dan langsung memeluk Cyra dan Hanna."I'm sorry, Papa," lirih Cyra menyesal."It's okay, kita pulang ya sekarang."🌵🌵🌵[Di rumah, 2 hari sebelumnya.]"Hendra, kita langsung jalan ke lokasi proyek Grand William hotel hari ini," perintah Rain pada supirnya yang sedang duduk di teras."Baik, Pak," jawab Hendra."Sayang, ini bekalnya ketinggalan?" sahut Hanna dari dalam rumah sambil membawakan lunch box berwarna turquoise favoritnya."Thank you, Hun," sambil mengecup keningnya."Kamu pake baju santai,
Lokasi proyek pagi itu dipenuhi oleh orang-orang dan wartawan yang ingin meliput kejadian tragis yang menimpa menantu Willy Group. Sementara para karyawan Rain sibuk menghalau para juru warta itu."Om, saya akan bantu Om!" Sahut gadis aneh yang muncul dari belakangnya. Rain tidak menggubrisnya."Kakakku Jaksa, Om!" lanjut si gadis aneh.Rain melirik, "Kamu ikut aku," pinta Rain sambil mengangkat jenazah Hanna ke stratcher ambulance.Sea bergegas masuk ke ambulance bersama Rain. Ia melihat Rain menangis sejadi-jadinya. Sampai di Rumah Sakit, Sea melihat Rain sangat terpukul. Terlebih saat jenazah Hanna dibawa memasuki ruang autopsi."Kasian banget dia, udah kerja cuma kuli sekarang ditinggal istrinya. Ngenes banget, ckckck, gue jadi sedih," gumam si gadis aneh.Rain mengeluarkan ponsel dari sakunya, mencoba menelepon seseorang.Sea terperangah melih
"Ya, kakakku bekerja di Kejaksaan Pusat," sahut Sea."Antar kami kesana!" tegas Rain.Sea berlenggang ke mobil yang di parkir di depan rumah peristirahatan Rain sambil meracau, "Huh, dia yang minta tolong dia yang judes!"Mereka bertiga meluncur ke kantor Kejaksaan Pusat tempat kakak lelaki Sea bekerja. Hari sudah sore, matahari sudah turun ke barat. Jalanan sore itu sedikit padat, dikarenakan jamnya orang-orang yang baru pulang setelah seharian bekerja.Suara klakson kendaraan bermotor terdengar saling bersahutan di sana-sini, ditambah arus lalu lintas yang tidak teratur, membuat wajah Rain memerah, karena meredam kesal.Mobil sudah diparkir di halaman Kejaksaan. Rain keluar dengan tergesa-gesa."Kamu jalan duluan, tunjukkan jalannya!" tegas Rain yang wajahnya terlihat emosi bercampur kesedihan itu berbicara pada Sea.Sea mengetuk pintu ruang kerja Angkasa, seraya membukanya, dan duduk di sof
Rain menyetujui izin Maya untuk menemani Cyra, hal itu supaya Cyra tidak terlalu memikirkan sosok seseorang yang kini sudah tiada."Baiklah, hanya sampai siang hari, banyak yang harus dikerjakan di kantor," tandas Rain.Maya tersenyum, kemudian mengajak Cyra bermain lagi."Cyra ... mau tante bacain buku cerita?""Mau mau, yeeyy," ujar Cyra bahagia sambil menangkup Ruby."Oke tante bacain Putri Tidur dan Penyihir Jahat ya?"Cyra mengangguk dan mendengarkan dengan seksama. Ia berbaring di ranjang kecilnya yang berwarna pink. Maya membacakan buku dongeng dengan intonasi yang tepat, membuat Cyra merasa masuk ke negeri dongeng.Setelah selesai membacakan cerita, Maya menutup bukunya, dan melihat Cyra sudah tertidur lelap. Maya menutupi tubuhnya dengan selimut, mengusap pipi Cyra dan mencium pipinya.Maya melihat jam yang melingkar di tangan kirinya, sudah hampir waktu jam makan siang. Ia bergegas keluar dari kamar Cyra, suasana ruma
"Maafkan saya," sahutnya, tanpa disadari sambungan telepon yang ia hubungi sudah dijawab."Kalo jalan pake ma--" ucapannya terpotong. Kamu! tegasnya, ia terkejut dengan seseorang yang baru saja menabraknya.""Sedang apa kau disini?" tanya Rain pada gadis yang berdiri di hadapannya."Bukan urusanmu!""Yasudah ikut aku!" pinta Rain sambil menarik tangannya."Eehhh, aku mau dibawa kemana!" Protesnya sambil berusaha melepaskan genggaman Rain."Antar aku ke Angkasa!" pekik Rain tanpa menoleh pada si gadis."Jauh banget, aku gak bisa terbang hey!"Rain sontak menghentikan langkahnya, dan membalikkan tubuhnya yang proporsional, menatap gadis yang lengannya masih dalam genggamannya itu. Ia mengangkat 1 jari telunjuknya, mendekati gadis itu dan--. Menoyor kepala gadis itu dengan telunjuknya tadi."Bukan itu bodoh," semburnya.Gadis itu terbahak-bahak. "Lepas dulu tanganku, aku mau nengok temen disitu," ucapnya, sambil menu
Kakak-kakak yang baik hati dan cantik cakep, sebelum baca, jangan sempetin follow, subscribe dan like-nya ya.. ❤❤.."Tu-tunggu sebentar, aku- butuh tempat-bersandar," ucapnya dengan tersedu sedan.Sea yang tadi enggan menerima pelukan dari om-om itu, akhirnya menyerah dan membiarkan ia melepas semua pilu di pelukannya.Sepuluh menit sudah, Rain melepaskan pelukannya. "Maaf," ucapnya singkat.Sea yang tercengang atas sikap Rain itu masih berdiri kaku dengan sorot mata terheran-heran, ia merasakan duka mendalam yang dialami pria berumur hampir kepala tiga yang mendekapnya tadi.Rain melangkah keluar lokasi proyek. Sea mengekorinya di belakang sembari mengelap blouse-nya yang basah karena air mata Rain.Pria itu tiba-tiba menghentikan langkahnya. Diikuti si gadis yang juga menghentikan langkah di belakangnya. Rain menunjuk dahi si gadis dan mendorongnya pelan."Kamu jangan mikir macem-macem tentang saya tadi!" tukasnya.
Hallo kakak yang baik hati, sebelum baca, follow dan subscribe dulu yuk.. ❤❤.."Saya sudah mendapatkan hasil dari bercak darah yang kita temui di gudang bawah tanah, dan hasil DNA di dinding memang milik Almarhumah istri anda, akan tetapi ... bercak merah di lantai, itu hanya bekas red wine dengan campuran racun arsenik.""Jadi menurut definisi saya, korban dicekoki wine sebelum kematiannya." Angkasa mencoba menguraikan sesuatu dari barang bukti yang ia dapat."Tapi polisi tidak memberitahukan kalau ada bekas atau aroma wine di jenazah istri saya?" Rain coba mengingat-ingat."Untuk mengurai kasus ini, kita perlu menelusurinya lebih dalam, dan saya sudah mendapatkan jenis red wine yang digunakan oleh pelaku.""Red wine jenis apa?" Tanya Rain, mencoba mencatat di aplikasi note."Cabernet Sauvignon, anda bisa mencari siapa di sekitar anda yang biasa mengkonsumsi wine jenis ini, pasti tidak terlalu sulit, karena tidak banyak orang pe
Bersamaan dengan kehangatan mereka, Rain mendapat panggilan telepon. Ia meminta izin keluar kamar untuk menerima panggilan.“Sea, Papa mau bicara.”“Bicara apa, Pa?”“Papa dengar keluhan kamu ke suamimu tadi waktu di depan ruang operasi. Gak baik bicara begitu dengannya, Sea. Dia itu suami kamu.” Thomas menegurnya.“Keluhan apa, Pa?” tanya Angkasa penasaran.“Biar Sea yang jelaskan, Angkasa.”“Emmh ... itu ... habisnya dia mengganggu banget, Pa. Aku gak mau kehilangan Kakak karena Kakak udah berkorban nyawa untuk aku, makanya aku gak mau tinggalin Kakak sedikit pun.”“Kamu bilang begitu ke Rain, Vin?” tanya Angkasa.Sea menekuk wajahnya dan mengangguk pelan.“Ya, ampun, Vin. Kamu tahu? Dia udah buat rencana sebelum penculikan kamu, loh. Dia hubungi Kakak dan mengerahkan beberapa anak buahnya untuk melindungi kamu. Kamu lihat, kan, semua orang yang melawan Bintang di rumah itu?”Mata S
Sea menyaksikan Angkasa, sang kakak, tersungkur di lantai dengan tangan kiri memegang perut. Bau darah pun menguar ke seisi ruangan. Angkasa ... di sana terbaring tanpa daya lagi.“Kakaaaak!” Sea menjerit histeris.Sea bersama Rain menghampiri Angkasa. Ia lalu mendekap Angkasa yang sudah hilang kesadaran. “Kakaak, banguuun. Kak, jangan pergi! Vin gak punya siapa-siapa lagi, Kaaaak.”Rain mendekap mereka berdua. Ia tak tahan melihat pipi Sea yang banjir akan air mata. Karena itu, matanya juga ikut berkaca-kaca. Sekali-kali air matanya menetes, tetapi dengan cepat ia menghapusnya agar terlihat tetap tegar.Suara sirene mobil polisi terdengar sampai ke dalam. Banyak polisi dengan pakaian serba hitam dan lengkap membawa senjata, berlarian memasuki rumah itu. Mereka bersiaga di tiap-tiap sela pintu dengan senjata masing-masing untuk memantau keadaan. Rupanya, Bintang dan satu pelaku penculikan sudah tak sadarkan diri, sedangkan yang
“Kalau kamu gak bisa jadi milikku, orang lain juga harusnya gak bisa, Sea.” Ibu jarinya membelai lembut sepanjang bibir berperona merah milik Sea.” Aku udah banyak menghabiskan waktu untukmu, Sea. Tapi, kamu gak menghargainya sedikit pun—gak pernah sama sekali. Kenapa?”Melihat Sea yang belum sadarkan diri, lelaki itu berusaha mengambil kesempatan yang mungkin tak’kan bisa ia dapatkan lain kali.Ia memandangi gadis dengan lekukan bulu mata yang indah, bibir semerah buah ceri, hidung lancip, dan rahang yang tegas. Kemudian pandangannya menurun ke arah garis leher Sea yang tampak sangat menggoda baginya.Dua kancing baju Sea sudah terlepas dari lubangnya. Lelaki bermata hitam legam itu terang-terangan meliriknya sambil menelan liur dengan berat, terutama saat melihat bagian dada yang sedikit mencuat.Karena lengan Sea diikat di bilah besi, kemeja kotak-kotak yang dikenakannya pun ikut tertarik ke atas. Bukan hanya area dada, area seputaran perut
“Tapi—“Aku mohon kamu paham. Kamu tahu, kan, gimana mamanya Cyra pergi? Aku gak mau sampai kejadian serupa terjadi lagi. Aku gak bisa dua kali kehilangan orang yang sama-sama aku cintai, Sayang. Gak bisa.” Rain menerangkan dengan lemah lembut. Matanya tak lepas memandang wanita muda di hadapannya.***Keesokan harinya, Sea terlihat keluar dari kamar dengan sudah berdandan rapi.“Mau ke mana, Sayang? Kamu gak akan ke kampus, kan, hari ini?”“Enggak, hari ini libur. Aku mau pergi ke kostan Emil, ya?”“Sebaiknya, kamu di rumah aja, Sea. Kostan Emil, kan, dekat dengan kampus. Orang-orang di sana pasti kenal kamu.”“Aku udah siapin ini.” Sea memperlihatkan topi dan masker yang dikeluarkan dari tasnya. “Nanti aku langsung ke kostan-nya, kok. Gak mampir ke mana-mana. Aku lagi butuh teman ngobrol aja.”“Ya, udah. Aku antar kamu sampai kostan Emil. Kalau su—“Sayaaang ...? Aku baik-baik aja, oke? Aku
Sore hari, hawa dingin berembus kencang, menarik Sea dari alam mimpi dan membawanya ke dunia nyata. Desiran angin dengan riuhnya menyapu lembut dedaunan hijau, membuat setiap tangkai saling besinggungan.Angin mendorong keras jendela hingga membentur dinding. Suaranya mengguntur bagai petir sehingga membuat Sea tersadar.Matanya masih sayup-sayup terbuka, terkadang menutup, lalu terbuka lagi perlahan. Kemudian, ia mengernyit ketika semburat cahaya menyusup jendela. Tirai tipis yang menggantung, menari-nari indah karena alunan angin yang bersilir-silir.Begitu tersadar penuh, hal yang pertama dilihat adalah wajah rupawan serupa oppa-oppa Korea. Bibirnya langsung membentuk lengkung menarik senyum tipis ketika melihat pria itu di antara sinar senja yang menerobos jendela.Jemarinya meraba, mengelus sisi kanan wajah suaminya yang masih terlelap: mulai dari kening, alisnya yang tegas, dan pipi yang tirus sampai dagu. Satu menit, dua meni
“Ha—“Di mana kamu!” Suara di seberang telepon membuat Sea kaget. Ia memejamkan mata, mencoba melegakan hatinya. Berkali-kali dirinya menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara lagi.“Sea, di mana kamu?” tanyanya sekali lagi.“A-aku ... aku di taman ....” Belum selesai ia berbicara, sambungan telepon sudah terputus. 'Apa yang akan terjadi setelah ini? Apa aku akan diceraikan? Enggak, aku gak mau. Aku gak mau pergi setelah nyaman dengannya. Aku sudah menyayanginya. Aku sudah mencintai Rain dan Cyra.'Lima menit kemudian, seorang lelaki berlari ke arahnya dan tepat berhenti di hadapan Sea yang sedang menangis terisak sambil menutupi wajah. Kemudian, dua tangan berbalut kemeja katun menariknya ke dalam pelukan.Terkejut dengan orang yang memeluknya tiba-tiba, Sea langsung menjauhkan diri. Ia takut kalau tiba-tiba Bintang-lah yang ada di hadapannya.Ternyata setelah melihat seorang pria dengan rambut set
“Bintang ...? Kamu sedang apa?” Ia melihat Bintang tertunduk. “Bin. Ayo, bangun. Malu dilihat banyak orang.” Perlahan, langkahnya mendekati Bintang, memastikan apa yang sedang dilakukannya. Namun, Bintang masih diam di posisinya. Tak lama, terdengar suara isak tangis.“Sea, aku ....” Ia mendongak pelan.“Bintang, bangun dulu, ya.” Ia membujuk Bintang sambil memperhatikan pandangan semua orang.“Sea, aku itu sayang kamu. Terlalu sakit mendengar kenyataan kalau kamu udah jadi istri orang. Padahal, aku yang lebih lama kenal kamu daripada suamimu itu.” Bintang menepuk-nepuk dadanya. Matanya memerah dan menggenangkan cairan yang hampir terjatuh. “Aku cuma suka kamu, Se. Aku mau perjodohan kita berlanjut. Aku cuma sayang kamu.”Wanita dengan rambut panjang dikuncir setengah itu mengerutkan kening. Tak dapat dipungkiri jika ia merasa terharu dengan ungkapan yang dinyatakan Bintang. Ia memang mengenal Bintang jauh lebih lama daripada Rain. Itu karena
Dari dalam restoran, Rain memegang tangannya Sea. Namun, setelah sampai di luar restoran, pria berkaos polo shirt putih itu melepas genggamannya. Ia tetap berjalan di samping istrinya, tetapi eskpresinya tak seperti sebelumnya. Sikapnya menjadi dingin seperti waktu awal-awal mereka bertemu.Saat makan, Rain hanya fokus menghabiskan makanannya. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya sampai semua hidangan di meja habis dilahap yang lainnya.Menyadari hal itu, Sea merasa bingung. Ia khawatir melakukan kesalahan yang membuat suaminya marah sampai-sampai Rain mendiamkannya begitu.***Begitu sampai di rumah pun, Rain langsung keluar dari mobil dan masuk ke kamar, meninggalkan semua yang masih berada di mobil.Sea makin merasa canggung. Ia tak tahu apa alasannya. Setelah menuntun Cyra ke kamar, Sea segera m
Bintang-bintang bergelantungan dalam pekatnya langit bersama rembulan yang tersipu di balik awan. Suasana malam Minggu Kota Bandung begitu hingar bingar saat itu. Gelak tawa, suara pengamen, orang-orang berfoto, sampai tangis anak-anak saling bersahutan.Hampir seluruh rumah makan, kafe, pertokoan, dan pedestrian dipenuhi pengunjung. Angin berembus membelai rambut Sea yang baru saja turun dari mobil bersama suami, anak, dan asistennya. Mereka sampai di rumah makan tradisional yang menyajikan menu-menu khas adat Sunda.“Silakan.” Seorang pramusaji menyodorkan dua buah buku menu ketika keluarga Rain mengambil salah satu meja dengan empat kursi.“Terima kasih,” ujar Rain. “Kamu mau pesan apa?” Ia bertanya kepada Sea sambil menatap buku berisi banyak daftar menu.“Aku mau bebek goreng dan