Bukannya menganggap ucapan Bima serius, Nawa malah tergelak.“Bim, kamu habis mabuk?”Bima berdecak, menatap kakak iparnya intens. “Aku lagi serius dan nggak lagi mabuk.”"Ngelantur gitu ngomongnya. Setiap wanita terlahir dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, jadi stop melihat rumput tetangga. Mereka sebenarnya sama saja."Bima tersenyum.“Jangan suka membandingkan, Bim. Apalagi membandingkan istri dengan wanita lain. Nggak baik, nggak boleh. Stevie yang mungkin katamu sampe capek ngadepinya itu mungkin karena hormon kehamilan. Jadi, kamu harus sabar,” tutur Nawa. Tangannya gesit membuka bungkus mi instan, lalu memotong sayuran.“Aku kayak salah milih istri.”“Hus! Jangan kayak gitu. Yang namanya pernikahan itu nggak bisa langsung cocok. Kamu sama dia masih butuh banyak waktu adaptasi. Baru juga sebulan nikah. Yang sabar ngadepi Stevie. Mungkin dia butuh diperhatikan sama kamu. Kamu perhatian nggak sama dia?”Bima menatap kakak iparnya lembut. “Mungkin. Karena aku sibuk kerja
Nawa dan Brama saling pandang, lalu segera turun dari sofa, sedikit berlari menuju pintu dan membukanya.“Bima mana? Kenapa Mak Ida malah ke sini?” cecar Brama.“Mas Bima nggak ada, baru keluar. Gilang saya cari juga ngga ada. Mbak Stevie coba saya bangunkan, tapi nggak bangun-bangun. Makanya saya ke sini. Maaf, Tuan.”“Sir, turunlah dulu. Aku mau ambil kerudung.” Nawa menengahi.Brama mengangguk, kemudian berlari menuruni anak tangga menuju dapur. Di lantai, ada Stevie yang tergeletak.Pria itu mengambil air, lalu memercikkan pada Stevie. Wanita itu akhirnya bergerak dan mendesis.“Apa yang terjadi sampai kamu pingsan begini?” tanya Brama.Ida ikut mendekat. Ia membawa segelas air putih, lalu membantu Stevie sedikit duduk dan meminumkannya.“Aku sering tiba-tiba pusing, Kak. Lalu nggak sadarkan diri. Maklum, HB-ku rendah.”Nawa datang menyusul beberapa saat kemudian. “Vie, ada yang sakit? Perutmu gimana?”“Perut agak nggak enak rasanya.”“Bima mana?”“Tadi aku pengen rujak buah, dia
Bima menggeleng kecil sambil tertawa. “Buang pikiran sinting lo itu, Breng*ek! Ingat, Brama dan Nawa itu malaikat penyelamat lo. Jangan jadi penjahat yang merusak kebahagiaan mereka.”Pria itu lantas terpejam, memijat keningnya pelan.Kadang, saat suntuk menghadapi ulah Stevie, Bima sering memperhatikan Nawa secara diam-diam, mengagumi dalam-dalam. Bagaimana saat Nawa bicara, tertawa, atau ulah random kakak iparnya pada Brama. Kakak dan kakak iparnya menjalani pernikahan yang harmonis. Nawa tipe ceria dan tidak banyak menuntut, sedangkan Brama selalu memenuhi kebahagiaan sang istri. Berbanding terbalik dengan pernikahannya dengan Stevie.Jika menoleh ke belakang, dulu Nawa dan Brama nyaris gagal menikah. Bima yang mencalonkan diri sebagai pengantin pengganti. Sayangnya Nawa menolak.Saat itu, dilakukan Bima atas dasar cinta, bukan karena terpaksa atau demi menutupi malu. Ia tahu Nawa wanita spesies langka dan berniat mendapatkannya. Sayangnya gagal. Brama berhasil kembali dan melanjut
Nawa menggeleng, menghalau pikiran barbar yang menguasai. Ia tidak bisa berteriak seperti itu ketika menghadapi pemandangan di depan sana. Ia harus menghadapi ‘something’ antara Brama dan Stevie dengan anggun dan elegan.Nawa menahan air matanya agar tidak tumpah. Ia mengembuskan napas panjang berkali-kali. Meskipun marah besar, ia tidak boleh meledak-ledak. Ia wanita terhormat dan harus menghadapi masalah dengan hati-hati dan terhormat pula. Jika langsung marah, pasti Stevie akan membuat drama dengan dalih kehamilannya.Basi.Nawa berdeham, lalu mengucapkan salam. Brama menoleh, sedangkan Stevie langsung berhenti memijat.“Sir.” Nawa mendekat, tersenyum, lalu mencium tangan suaminya takzim. Ia terus menekan amarahnya.Brama menatap Nawa tanpa berkedip.“Kalian kenapa bisa berduaan di sini?” tanya Nawa tenang. Ia terus menampilkan senyum.“Oh, ini tadi Kak Brama ngeluh pegal, trus minta tolong aku buat pijat dia,” jawab Stevie."Oh, minta tolong dipijat kamu? Ya, ya, ya."Brama menundu
“Saya ikut, Tuan.” Ida mendekat, lalu tergopoh-gopoh membuka pintu rumah.“Aku juga, Kak.” Stevie menyambar.“Cukup Mak Ida! Stevie, kau jangan ikut!” pekik Brama.Di luar, Gilang segera menyiapkan mobil. Nawa yang masih ada dalam gendongan Brama, lalu dimasukkan setelah mobil siap dan dibukakan Ida.Ida duduk di depan bersama Gilang. Sementara kepala Nawa dipangku Brama di kursi tengah.Mobil lantas melaju menuju rumah sakit.“Nyonya kenapa bisa pingsan, Tuan?” tanya Ida.“Entahlah. Tubuhnya menggigil. Bibirnya sudah agak biru. Mungkin dia sudah lama kedinginan.” Suara Brama bergetar. Ia sangat menyesal tidak langsung ke kamar dan tahu kondisi istrinya lebih awal.“Semoga Nyonya nggak kenapa-napa. Akhir-akhir ini Nyonya memang mengeluh capek, Tuan. Saya maklum karena habis liburan dan nunggu bapaknya di rumah sakit. Belum lagi ngurus pekerjaan. Sampai lupa dengan kondisi badannya sendiri.”Penjelasan Ida menjadi pukulan telak untuk Brama. Ia sibuk mendiamkan sang istri tanpa tahu kea
Brama mengepalkan tangan kuat-kuat. Ia maju mendekat ke kamar yang terdengar bising tersebut. Tangannya mengambang, ingin menggedor. Namun, suara selanjutnya membuatnya urung.“Ya, aku memang cinta sama kakakmu! Dia juga jauh lebih segalanya daripada kamu! Kalau kamu berpikir untuk tukar pasangan, ayo dengan senang hati! Aku malah bahagia!” Suara Stevie melengking.Bima tertawa. "Tapi kalau sampai Brama mau, dia bodoh mau menjadikanmu pengganti Nawa yang sempurna!""Aku muak sama kamu, sama pernikahan ini!"“Aku jauh lebih muak sama kamu! Kamu mau tinggal di sini terus silakan, Vie! Aku akan menempati rumah baru itu sendiri. Semalam aku nyenyak tidur di sana tanpa melihatmu yang buatku enek!”“Kalau bukan gara-gara anak sialan ini, aku nggak mau kamu nikahi, Bim! Aku nyesel nikah sama kamu!”“Sama! Aku menikahimu juga karena anak sialan itu! Mungkin ini hukuman karena dosa zina yang kulakukan sama kamu. Hidupku hancur! Hidupku berantakan! Katamu mumpung nggak ada orang di rumah, ayo k
“Ya, lebih baik kemasi barang lo dan segera pergi dari sini sebelum emosi gue kembali naik dan gue cincang kalian berdua! Bawa istrimu juga!” Brama lalu berderap meninggalkan Bima. Namun, ia berhenti di pintu dapur.“Tempati rumah baru itu. Kalau sampai lo kabur, gue cari sampai ke lubang semut sekalipun karena lo masih punya banyak utang ke gue.”Brama lantas benar-benar meninggalkan adiknya.“Gilang, jaga rumah kalau mereka sudah pergi!” titahnya pada Gilang yang berjalan mengekor.“Siap, Sir.”Brama mengambil tas berisi barang dan keperluan Nawa, lalu segera meninggalkan rumah dengan mengendarai mobil.Pria itu merasa kepalanya terasa mau pecah. Semalam tidak bisa tidur dengan benar, sekarang ditambahi masalah Bima. Ia pun akhirnya menepikan kendaraannya setelah agak jauh dari rumah.“Si*l!” umpat Brama sambil memukul setir.Brama sebenarnya tidak berniat membunuh Bima sungguhan. Semua hanya gertak sambal karena sakit hati dengan pemikiran adiknya yang ingin tukar pasangan. Ia juga
“Pisah?” tanya Brama memastikan.“Ya. Kita hidup di jalan masing-masing.” Nawa memutar posisi tidur.“Cerai maksudmu?” Brama kembali bertanya. Ia tertawa sumbang.“Ya.”Keduanya kini saling membelakangi. Nawa tidur membelakangi Brama. Sementara Brama ikut membelakangi. Pria itu memijat kening sambil menyembunyikan riak amarah.“Kenapa kamu minta pisah?”“Karena kamu sudah berubah! Aku capek tiap hari terus minta maaf, tapi kamu terus diam mengabaikanku. Mungkin itu juga kode halus darimu untukku kalau kamu sudah tidak menginginkanku lagi.” Suara Nawa terdengar bergetar, khas sedang memendam tangis.Jika biasanya Nawa jarang memanggil Brama dengan sebutan kamu, kini ia menggunakannya untuk menegaskan ia sedang marah besar.“Apa penyelesaian bertengkar harus dengan cara pisah?” Brama kembali tertawa. “Cetek sekali pemikiranmu. Kamu pikir kalau ada masalah sedikit jalan keluarnya cerai? Ck! Wanita macam apa yang kunikahi ini.”“Lalu apa? Aku sudah berusaha mengajak bicara, tapi kamu sela
Kehidupan Brama dan Nawa banyak berubah setelah memiliki anak. Tentu saja membawa mereka pada vibes positif. Meskipun menjadi orang tua tidaklah mudah, mereka berusaha memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya. Kanza dan Kenzo menjadi pelipur lelah mereka.Setelah diberi mandat dari Boby untuk mengelola Sunmond Care, Pasutri tersebut pindah ke Gresik. Ida dan pengasuh Kembar dibawa ikut serta. Rumah di Nganjuk tidak dikosongkan, melainkan ada yang ditugaskan menempati. Rumah itu untuk investasi dan tujuan ketika pulang kampung. Kadang Zidan dan Alvina sengaja menginap di sana. Atau Heru jika ingin.Beberapa bulan setelah kelahiran Twin, Gilang menikah. Sebagai hadiah karena kesetiaan, ia dan Yadi dipercaya mengelola pabrik air mineral Brama yang sedang masa berjaya. Tentu saja masih tetap dalam pengawasan Brama. Sebagai pengawal pengganti, sudah ada pengganti yang sudah lolos uji dari Gilang dan Yadi. Tingkat kesetiaannya harus setara.Untuk bisnis aplikasi di luar negeri, Brama masi
“Lo jangan membuat huru-hara di tengah kebahagiaan gue, ya, Bim. Gue potong sosis lo kalo macem-macem!" ancam Brama.“Wey, wey, wey! Santai. Jangan anarkis!"“Lalu apa maksud lo bilang begitu?”“Maksud gue, gue dalam bahaya besar karena sepertinya Daddy akan membagi warisannya ke anak-anak lo juga. Jatah gue berkurang, njir!”Semua yang ada di sana menahan senyum. Sementara Brama mengangkat tangannya yang terkepal ke arah sang adik. “Ambil sono jatah Kembar. Gue nggak butuh. Dasar duda tamak!”“Sudah jadi bapak kudu sabar weh. Nggak malu sama anaknya kalau bapaknya emosian?” sindir Bima lagi, membuat Brama ingin menendang adiknya itu ke inti bumi.“Tiba-tiba Daddy dapat inspirasi dari ucapan Bima. Sebagai hadiah dan rasa syukur atas lahirnya si kembar, Daddy kasih saham Sunmond Care untuk mereka. Di sana kepemimpinan resminya masih kosong. Jadi, Brama yang harus mengelolanya karena si kembar belum memungkinkan. Akan Daddy urus segera pengalihannya. Kalau perlu saat ini juga. Mom, mana
Brama menghentikan laju bed di mana sang istri tengah berbaring sebelum benar-benar masuk ruang perawatan. Ia menatap bergantian pada keluarganya yang ada di dalam ruangan.“Siapa yang mengizinkan kalian masuk! Untuk apa kalian ke sini?” pekik Brama.Mereka diam.Sementara Nawa sudah histeris. Ia ketakutan jika anaknya sampai disakiti atau dibawa keluarga suaminya itu.“Sayang, tenang. Nggak akan kubiarkan mereka mengambil anak-anak.” Brama terus menggenggam telapak tangan istrinya dengan tangan kiri.“Sir, suruh mereka pergi. Kumohon.”“Iya, tapi kamu jangan panik."Brama ganti menatap perawat yang mengantar. “Saya mau istri saya pindah kamar.”Brama lalu menghubungi Gilang. “Kerahkan pasukan. Perketat keamanan ruang bayi. Pastikan tidak ada orang asing masuk. Terlebih jangan biarkan keluarga Tangerang mendekat.”Brama mengode dengan kepala pada perawat agar Nawa urung dimasukkan. Ia ingin sang istri dijauhkan dari ruangan tersebut. Namun, Bima sudah lebih dulu berhasil mencekal pingg
“Lo aja yang ke sana. Gue mau balik.” Brama hendak menutup kembali pintu kamar, tetapi ditahan oleh Bima.“Kenapa? Lo mau melarikan diri? Atau takut ketemu daddy? Gue curiga semalem lo bicara aneh sama dia sampai tiba-tiba sadar gini.”“Suudzon aja lo.”“Pokoknya lo harus ikut.” Bima menyeret lengan sang kakak.“Gue masih pakai sarung njir. Bentar gue ganti baju dulu.” Brama menepis tangan Bima kasar.“Ya udah, gue tunggu. Takutnya lo kabur. Yang gantle, Bre. Masa takut sama daddy.”“Gue nggak takut. Sembarangan mulut lo.”Brama masuk kamar, lalu mengganti pakaian dengan celana panjang dan kaus, lantas memakai jaket. Ia dan sang adik kemudian menuruni anak tangga.“Bima! Ke mana ini anak? Tadi ngajak cepat-cepat, sekarang malah ilang!” Terdengar gerutu Gahayu di lantai bawah. Wanita tersebut mondar-mandir tak jelas.“Iya, aku datang!” balas Bima dengan suara keras. Ia turun bersisian dengan Brama.“Dasar kamu it–“ Kalimat Gahayu tidak terucap sempurna tatkala melihat siapa yang ada di
“Bukan gitu. Cuma firasatku nggak enak. Takut mereka menahan dan melarang Sir menemuiku lagi. Aku takut mereka memisahkan kita.” Bibir Nawa mengerucut. Ia menatap suaminya sendu.Brama tersenyum. Ia menghentikan aktivitasnya, mendekati sang istri. “Apa ini artinya kamu sudah benar-benar bucin sama suamimu ini, hm? Sampai-sampai ditinggal sebentar saja tantrum gini.”Nawa mengangguk tanpa ragu. Ia sudah terbiasa ditinggal Brama dalam urusan bisnis. Namun sekarang, rasanya beda saat Brama akan meninggalkannya ke Tangerang. Pasti mertuanya itu tidak akan tinggal diam dan melakukan sesuatu agar Brama meninggalkannya.Brama menyelipkan telapak tangannya ke belakang telinga Nawa, menyibak rambut legam itu. “Sayang, aku bukan anak kecil yang bisa dengan mudah dilarang atau ditahan. Suamimu ini sudah dewasa, sudah bisa membuat anak, dan mau jadi bapak-bapak. Jadi, nggak akan semudah itu ditahan di sana. Pokoknya kamu tenang saja. Insyaallah aku akan kembali. Kalau mereka melarang, aku akan me
“Sorry, Bim. Kalau sekarang gue nggak bisa. Ada acara di rumah,” jawab Brama.“Nggak usah alesan! Sekali ini aja tolong lo datang. Daddy sudah beberapa hari ini nggak sadar. Lo nggak takut menyesal kalau sampai dia tiada dan lo belum sempet minta maaf, nggak sempet ketemu untuk yang terakhir kali? Bentar, gue alihkan dengan video call. Biar lo lihat sendiri betapa memprihatinkannya pria yang sudah menyumbangkan kecebongnya sampai lo bisa ada di dunia ini."Bima mengubah panggilan menjadi video call. Di sana memperlihatkan Boby tengah berbaring tak berdaya dengan beberapa alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya. Sementara Bima memakai APD yang dikhususkan untuk masuk ruang ICU.“Kenapa lo baru bilang sekarang di saat gue sibuk, hah! Gue nggak alesan, gue beneran sibuk. Ada acara penting di sini!"“Mau ada acara apa? Apa lebih penting daripada bokap lo, hah!”“Ini acara sakral Nawa! Gue nggak bisa meninggalkan di mana saat ini acara intinya.”“Lo bucin boleh, tapi jangan durhaka-d
Nawa mengangguk. “Ya. Terlebih orang tua Sir. Setelah aku lahiran, baru Sir boleh mengabari mereka. Aku nggak mau mereka berbuat sesuatu untuk mencelakakan calon anak kita.”“Bapakmu juga? Nggak mau mengabari mereka berita bahagia ini?”Nawa menggeleng. “Nggak usah dulu sebelum calon anak kita benar-benar berkembang dan sehat. Minimal empat bulanlah.”“Baiklah. Apa pun yang membuatmu nyaman, aku turuti. Tapi untuk pekerja di rumah ini harus tahu, biar mereka ikut jaga kamu.” Brama meraba perut sang istri, mengelusnya lembut. “Sayang, ceritakan padaku kapan pertama kali tahu kalau hamil.”“Baru beberapa hari yang lalu, sih.”“Gimana perasaanmu?”Nawa membalik tubuh, menghadap suaminya. Ia membelai rahang tegas yang bersih dari rambut tersebut. “Nangis.”“Nggak bahagia?”“Lebih dari itu. Rasanya seperti dahaga setelah kemarau sekian lama, lalu Allah menurunkan hujan. Yang ada rasa syukur yang luar biasa sampai nggak bisa diucapkan dengan kata-kata. Kalau Sir? Bahagia nggak?”Brama terke
“Sinikan ponselnya. Kamu nggak perlu banyak pikiran. Biar kuurus peneror itu. Sekarang, tolong hanya fokuskan pikiranmu untuk calon anak kita.” Brama menengadahkan tangan. Ia dan sang istri tiba di depan apotek klinik. Pria itu mengajak duduk istrinya dengan tangan masih merangkul.Nawa melengos. “Bilang aja mau meladeni dia, mau ketemu dia, trus habis itu jatuh cinta.”“Astaga, kamu bersikap menyebalkan seperti ini kuanggap maklum karena kamu sedang hamil. Kalau tidak, sudah kumakan kamu. Heran, kerjaannya suudzon terus sama suami.”“Lah iya, harus dicurigai terus. Salah siapa selalu bikin masalah.”“Kamu yang bikin masalah sebenarnya. Sudah kujelaskan itu orang gila. Atau mungkin Stevie yang sengaja membuat huru-hara lagi. Tapi tunggu, katanya tadi kamu ke sini untuk perawatan yang lain, tapi kenapa pas di dalam tadi beda?”Nawa hanya melirik, tidak menjawab.“Nyonya Annawa!” Suara dari meja administrasi membuat keduanya bangkit.“Kamu duduk di sini saja, biar aku yang ambil obat sa
“Paket? Pesan? Apaan?” Wanita itu menatap Brama dengan pandangan menyelidik. “Aku nggak ngirim apa-apa.”“Oh, bukan kamu, ya? Lalu siapa? Oh, orang iseng mungkin.” Brama merutuki mulutnya yang terlalu tidak sabar bertanya. Harusnya ia bisa berhati-hati menghadapi jebakan ini.Wanita itu lalu berkacak pinggang. “Aku jadi curiga. Pesan apa? Siniin ponselnya. Mau kulihat!”Ialah Nawa yang baru keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ruang periksa.“Ah, bukan apa-apa. Lupakan. Lalu kenapa kamu ada di sini, Sayang?”"Jangan mengalihkan bahasan! Paket dan pesan apaan?""Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kamu keluyuran sampai sini? Katanya sudah stop Promil?"“Aku udah terbiasa periksa sama Dokter Rani. Sir tahu itu. Hari ini aku ada jadwal perawatan Miss V. Harusnya aku yang tanya. Ngapain Sir keluyuran di sini?” Nawa menyeret sang suami pindah ke tempat lebih tepi agar tidak mengganggu jika ada yang ingin ke toilet.“Oh, itu tadi–““Siniin ponsel Sir. Pasti ada yang nggak beres.”“Ngg