“Bisa iya, bisa enggak. Bolehlah dicoba dulu.”Nawa menghadiahi cubitan setelah mendengar jawaban sang suami yang tidak membuatnya puas.“Nawa! KDRT lagi!” “Sir pikir nikah itu kayak beli baju yang bisa dicoba, trus dilepas gitu aja? Kalau suka dibeli, dipakai, lalu kalau sudah bosan dibuang, gitu? Makin ke sini makin ngaco, ya!”Brama mengembuskan napas panjang, lalu menggenggam telapak tangan istrinya, lantas mengikat pandangan dengan belahan jiwanya ini.“Dengar. Awalnya aku ingin bertanggung jawab karena telah merusakmu. Tapi lama-lama sebuah rasa sialan bernama cinta justru hadir. Aku bukan anak ABG yang dalam masa menjajaki wanita. Nawa, saat itu aku sudah dewasa dan awalnya memang ingin serius dengan Elea. Tapi keseriusan itu berubah dendam saat memergokinya selingkuh, berbagi peluh dengan pria lain. Dan saat bersamaan, Tuhan kayak dengan sengaja mengirim kamu sebagai korban kemarahan saya pada makhluk bernama wanita. Makanya, sebagai jantan sejati aku harus memperbaiki apa ya
“Kalau aku belum siap?” Nawa memicing. “Aku paksa.” Brama mendekatkan wajah, lalu mengambil jarum di bawah dagu sang istri. Dua bibir mereka saling bertemu, melebur menjadi satu. Tangan Brama melepas paksa penutup kepala Nawa, melepas pula penjepit rambut. Surai hitam nan panjang yang menjadi candu Brama tergerai indah. “Sir.” Nawa melepaskan diri dengan napas terengah-engah. Sementara mata Brama sudah berkabut sayu siap menerkam istrinya. Kancing baju atasan Nawa mulai dibuka oleh sang suami. Brama juga melepas tas Nawa dan diletakkan begitu saja di lantai. “Sir! Ini di ruang tamu. Dasar nggak tahu tempat!” Nawa memukul pundak Brama. Wanita itu tergelak. Beruntung semua jendela masih tertutup rapat hingga tidak ada rasa takut kepergok orang atau takut jika ada yang mengintip. “Sudah nggak sabar, Sayang. Aku sudah lama tersiksa.” Atasan Nawa dilepas, lalu dilempar ke sembarang arah oleh Brama. Tubuh setengah polos itu lalu digandeng menuju kamar. Nawa menahan tawa. “Dasar! Ada
“Sir!” Nawa kembali memanggil.“Diam, Nawa!”Nawa kian terbahak-bahak. “Ya maaf. Ini di luar prediksi BMKG.”“Kubilang diam!”Sepertinya, sakit kepala part dua akan menyerang Brama lagi. Pria itu memilih terpejam dengan posisi telentang. Sungguh, banyak sekali halangan ibadah pengantinnya.“Bisa-bisa aku gila! Punya istri katanya bisa menghilangkan stres, nyatanya malah membuatku pusing. Lagi on, dipaksa off lagi. Jauh-jauh pergi bulan madu, tamu bulanan sialan itu malah datang! Haaah!” Brama menarik rambutnya kuat. Matanya masih tertutup.Tiba-tiba, sebuah sentuhan sangat lembut dirasakan Brama mengabsen setiap inci tubuh, membuatnya meremang. Lalu, ada beban berat yang dirasakan di atas tubuhnya.“Sayang,” panggil suara itu lirih di telinga Brama.“Ini pasti setan yang sedang menggangguku. Nawa! Keluarlah dari kamar mandi! Suamimu digoda setan!”Senjata Brama ditarik kasar sampai pria itu mengaduh kesakitan.“Aw! Setan!”“Sir! Keterlaluan istri sendiri dibilang setan!”Spontan, Bram
“Mommy,” jawab Brama. Ia juga memperlihatkan layar ponselnya pada sang istri yang masih berkedip.“Angkatlah.”Brama menggeleng. “Pasti mau mengacaukan kesenangan kita.”“Sir. Kumohon.” Nawa menyentuh lengan Brama, mengelusnya pelan. Yang Nawa pikirkan, ia tidak mau menjadi penyebab seorang anak mengabaikan ibunya. Brama mengembuskan napas panjang.“Baiklah. Tapi nggak di sini. Nanti kalau mommy bilang macam-macam, kamu dengar dan sakit hati. Aku nggak mau itu terjadi karena akan mengacaukan mood kamu. Bisa-bisa aku yang rugi. Untuk saat ini, aku butuh kamu yang ceria, seksi, dan ... nakal kayak tadi.” Mata Brama mengerling nakal.Nawa tergelak. “Ya udah. Sana angkat dulu.”Brama menjauh. Nawa menatap punggung pria itu sambil tersenyum.Dulu, Brama sangat menyebalkan. Namun, sekarang prianya itu sangat manis, lembut, dan tiap kali berdekatan jantungnya berdebaran. Semua mungkin karena the power of love. Nawa pun jatuh dalam pesona pria tampan tersebut. Apalagi setelah menyerahkan mah
Tangan Nawa terlepas dari lengan suaminya. Wanita itu tersenyum kecut. Ini baru datang saja sudah disuguhi ejekan pembuka yang sangat lezat. Belum nanti kalau mereka sudah membaur. Mungkin ada menu utama dan penutup yang lebih dahsyat.Gahayu dan gengnya posisinya duduk membelakangi hingga tidak sadar anak dan menantunya datang.“Sayang ....” Brama menatap istrinya sendu. Ia mencekal telapak tangan sang istri, menyatukan kembali dengan telapak tangannya.Sementara Gahayu masih menggibah Nawa dengan mulut pedasnya.“Sir, a-aku pergi saja dari sini. Daripada diusir paksa. Sir saja lanjutkan sendiri tanpa aku.” Suara Nawa bergetar. Sebenci itu Gahayu pada dirinya sampai menjelek-jelekkan di hadapan orang banyak.“Ya, setelah ini kita pergi. Tapi sebentar, aku mau ngasih hadiah dulu ke Mommy.”“Aku tunggu di sana.” Nawa menunjuk tempat agak jauh seraya berusaha melepaskan genggaman tangan sang suami.“Kamu nggak akan ke mana-mana. Tetap di sini.” Tangan itu tidak dibiarkan terurai.“Tapi–
“Su-suaminya kakakmu? Kak Brenda? Datangi dia, Sir!” pekik Nawa tertahan. Ia sedikit ngeri melihat adegan panas di depan sana.“Biar jadi urusan mereka berdua. Tugasku hanya mencari bukti buat dikirim ke Brenda,” sahut Brama sambil terus merekam.“Nggak pengen mukul dia gitu? Keterlaluan kelakuan mereka.”“Hanya mengotori tanganku saja. Sebenarnya pengen, tapi malaslah. Biar Brenda sendiri yang menangani suaminya.”Pria dan wanita yang tengah beradegan tidak seharusnya itu tidak sadar jika ada yang mengabadikan hal menjijikkan mereka. Tempatnya memang tidak di tempat terbuka, melainkan di sebuah pojok yang tidak terlihat orang. Brama masih mengarahkan mata ponsel.“Dasar nggak tahu tempat. Menjijikkan. Apa nggak punya uang buat chek-in?” ujar Brama seraya menahan amarah.“Lah iya ya. Emang dia kere?”Brama hanya menatap sekilas pada sang istri.“Sayang.”“Apa?”“Mereka memancing libi*oku.”Nawa memukul pelan pundak suaminya sambil menahan tawa.“Otaknya Ya Allah. Mesumnya nggak ada ob
Bukannya berhenti, Brama justru bertindak lebih jauh. Pria itu menggigit pelan tengkuk sang istri yang tertutup pasmina.“Ebuseet! Malah pamer! Di sini ada Bocil wey!” pekik Bima sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Namun, sela-selanya merenggang hingga masih bisa melihat adegan m*sum kakaknya.Nawa terus melepaskan diri, lalu memukul pelan pundak Brama setelah berhasil. “Sir! Nggak sopan!”“Biar dia nggak punya pikiran buat nikung kamu lagi. Dia itu pura-pura cupu padahal sudah suhu, Sayang. Entah sudah berapa gadis yang hilang kegadisannya di tangan pria tengil ini.” Brama merangkul sang adik dengan tangan kanan. Sementara tangan kiri menggandeng Nawa, membawa dua orang penting dalam hidupnya itu untuk masuk rumah.“Fitnah itu, kakak ipar! Jangan percaya!”Nawa hanya terbahak-bahak.Jika Brama berhadapan dengan orang lain terkesan cuek, dingin, dan kaku. Berbeda dengan Bima yang sangat hangat dan pandai bicara. Jadi, hanya dengan cara bicara saja bisa dilihat siapa yang buaya
“Kak Bren, ngotak dikit deh! Lo udah babak belur kayak gini, tapi nggak mau lapor polisi? Apa nunggu lo mati dulu baru arwah lo lapor polisi? Bo*od dipelihara. Kenapa? Abi ngancam lo?” Brama benar-benar berang. Ia tidak lagi menggunakan aku kamu, tetapi lo gue.Nawa menyentuh lengan sang suami sambil menggeleng. “Sir, jangan galak-galak.”“Biar Brenda sadar! Entah apa yang dipikirkannya sampai mengurungkan niatnya.”Di kursi belakang, Brenda tersedu-sedu. "Aku masih cinta sama dia, nggak mau pisah, nggak mau dia mendekam di penjara.”Brama turun dari mobil, lalu mengitarinya dan membuka pintu di samping Nawa. “Sayang, ayo kita turun. Percuma kita khawatir tapi yang dikhawatirkan bod*h kuadrat.”Brama menarik pelan lengan sang istri. Nawa pun ikut turun.“Bre, jangan ngambek gitu! Kayak cewek lagi PMS aja lo!” Bima ikut menyusul turun.“Bim, gue baru gini aja sudah capek ngadepi dia. Urus dia. Gue sama Nawa mau balik ke hotel, habis itu pulang.”“Tapi–““Titip Brenda. Jaga dia.”Brama
Kehidupan Brama dan Nawa banyak berubah setelah memiliki anak. Tentu saja membawa mereka pada vibes positif. Meskipun menjadi orang tua tidaklah mudah, mereka berusaha memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya. Kanza dan Kenzo menjadi pelipur lelah mereka.Setelah diberi mandat dari Boby untuk mengelola Sunmond Care, Pasutri tersebut pindah ke Gresik. Ida dan pengasuh Kembar dibawa ikut serta. Rumah di Nganjuk tidak dikosongkan, melainkan ada yang ditugaskan menempati. Rumah itu untuk investasi dan tujuan ketika pulang kampung. Kadang Zidan dan Alvina sengaja menginap di sana. Atau Heru jika ingin.Beberapa bulan setelah kelahiran Twin, Gilang menikah. Sebagai hadiah karena kesetiaan, ia dan Yadi dipercaya mengelola pabrik air mineral Brama yang sedang masa berjaya. Tentu saja masih tetap dalam pengawasan Brama. Sebagai pengawal pengganti, sudah ada pengganti yang sudah lolos uji dari Gilang dan Yadi. Tingkat kesetiaannya harus setara.Untuk bisnis aplikasi di luar negeri, Brama masi
“Lo jangan membuat huru-hara di tengah kebahagiaan gue, ya, Bim. Gue potong sosis lo kalo macem-macem!" ancam Brama.“Wey, wey, wey! Santai. Jangan anarkis!"“Lalu apa maksud lo bilang begitu?”“Maksud gue, gue dalam bahaya besar karena sepertinya Daddy akan membagi warisannya ke anak-anak lo juga. Jatah gue berkurang, njir!”Semua yang ada di sana menahan senyum. Sementara Brama mengangkat tangannya yang terkepal ke arah sang adik. “Ambil sono jatah Kembar. Gue nggak butuh. Dasar duda tamak!”“Sudah jadi bapak kudu sabar weh. Nggak malu sama anaknya kalau bapaknya emosian?” sindir Bima lagi, membuat Brama ingin menendang adiknya itu ke inti bumi.“Tiba-tiba Daddy dapat inspirasi dari ucapan Bima. Sebagai hadiah dan rasa syukur atas lahirnya si kembar, Daddy kasih saham Sunmond Care untuk mereka. Di sana kepemimpinan resminya masih kosong. Jadi, Brama yang harus mengelolanya karena si kembar belum memungkinkan. Akan Daddy urus segera pengalihannya. Kalau perlu saat ini juga. Mom, mana
Brama menghentikan laju bed di mana sang istri tengah berbaring sebelum benar-benar masuk ruang perawatan. Ia menatap bergantian pada keluarganya yang ada di dalam ruangan.“Siapa yang mengizinkan kalian masuk! Untuk apa kalian ke sini?” pekik Brama.Mereka diam.Sementara Nawa sudah histeris. Ia ketakutan jika anaknya sampai disakiti atau dibawa keluarga suaminya itu.“Sayang, tenang. Nggak akan kubiarkan mereka mengambil anak-anak.” Brama terus menggenggam telapak tangan istrinya dengan tangan kiri.“Sir, suruh mereka pergi. Kumohon.”“Iya, tapi kamu jangan panik."Brama ganti menatap perawat yang mengantar. “Saya mau istri saya pindah kamar.”Brama lalu menghubungi Gilang. “Kerahkan pasukan. Perketat keamanan ruang bayi. Pastikan tidak ada orang asing masuk. Terlebih jangan biarkan keluarga Tangerang mendekat.”Brama mengode dengan kepala pada perawat agar Nawa urung dimasukkan. Ia ingin sang istri dijauhkan dari ruangan tersebut. Namun, Bima sudah lebih dulu berhasil mencekal pingg
“Lo aja yang ke sana. Gue mau balik.” Brama hendak menutup kembali pintu kamar, tetapi ditahan oleh Bima.“Kenapa? Lo mau melarikan diri? Atau takut ketemu daddy? Gue curiga semalem lo bicara aneh sama dia sampai tiba-tiba sadar gini.”“Suudzon aja lo.”“Pokoknya lo harus ikut.” Bima menyeret lengan sang kakak.“Gue masih pakai sarung njir. Bentar gue ganti baju dulu.” Brama menepis tangan Bima kasar.“Ya udah, gue tunggu. Takutnya lo kabur. Yang gantle, Bre. Masa takut sama daddy.”“Gue nggak takut. Sembarangan mulut lo.”Brama masuk kamar, lalu mengganti pakaian dengan celana panjang dan kaus, lantas memakai jaket. Ia dan sang adik kemudian menuruni anak tangga.“Bima! Ke mana ini anak? Tadi ngajak cepat-cepat, sekarang malah ilang!” Terdengar gerutu Gahayu di lantai bawah. Wanita tersebut mondar-mandir tak jelas.“Iya, aku datang!” balas Bima dengan suara keras. Ia turun bersisian dengan Brama.“Dasar kamu it–“ Kalimat Gahayu tidak terucap sempurna tatkala melihat siapa yang ada di
“Bukan gitu. Cuma firasatku nggak enak. Takut mereka menahan dan melarang Sir menemuiku lagi. Aku takut mereka memisahkan kita.” Bibir Nawa mengerucut. Ia menatap suaminya sendu.Brama tersenyum. Ia menghentikan aktivitasnya, mendekati sang istri. “Apa ini artinya kamu sudah benar-benar bucin sama suamimu ini, hm? Sampai-sampai ditinggal sebentar saja tantrum gini.”Nawa mengangguk tanpa ragu. Ia sudah terbiasa ditinggal Brama dalam urusan bisnis. Namun sekarang, rasanya beda saat Brama akan meninggalkannya ke Tangerang. Pasti mertuanya itu tidak akan tinggal diam dan melakukan sesuatu agar Brama meninggalkannya.Brama menyelipkan telapak tangannya ke belakang telinga Nawa, menyibak rambut legam itu. “Sayang, aku bukan anak kecil yang bisa dengan mudah dilarang atau ditahan. Suamimu ini sudah dewasa, sudah bisa membuat anak, dan mau jadi bapak-bapak. Jadi, nggak akan semudah itu ditahan di sana. Pokoknya kamu tenang saja. Insyaallah aku akan kembali. Kalau mereka melarang, aku akan me
“Sorry, Bim. Kalau sekarang gue nggak bisa. Ada acara di rumah,” jawab Brama.“Nggak usah alesan! Sekali ini aja tolong lo datang. Daddy sudah beberapa hari ini nggak sadar. Lo nggak takut menyesal kalau sampai dia tiada dan lo belum sempet minta maaf, nggak sempet ketemu untuk yang terakhir kali? Bentar, gue alihkan dengan video call. Biar lo lihat sendiri betapa memprihatinkannya pria yang sudah menyumbangkan kecebongnya sampai lo bisa ada di dunia ini."Bima mengubah panggilan menjadi video call. Di sana memperlihatkan Boby tengah berbaring tak berdaya dengan beberapa alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya. Sementara Bima memakai APD yang dikhususkan untuk masuk ruang ICU.“Kenapa lo baru bilang sekarang di saat gue sibuk, hah! Gue nggak alesan, gue beneran sibuk. Ada acara penting di sini!"“Mau ada acara apa? Apa lebih penting daripada bokap lo, hah!”“Ini acara sakral Nawa! Gue nggak bisa meninggalkan di mana saat ini acara intinya.”“Lo bucin boleh, tapi jangan durhaka-d
Nawa mengangguk. “Ya. Terlebih orang tua Sir. Setelah aku lahiran, baru Sir boleh mengabari mereka. Aku nggak mau mereka berbuat sesuatu untuk mencelakakan calon anak kita.”“Bapakmu juga? Nggak mau mengabari mereka berita bahagia ini?”Nawa menggeleng. “Nggak usah dulu sebelum calon anak kita benar-benar berkembang dan sehat. Minimal empat bulanlah.”“Baiklah. Apa pun yang membuatmu nyaman, aku turuti. Tapi untuk pekerja di rumah ini harus tahu, biar mereka ikut jaga kamu.” Brama meraba perut sang istri, mengelusnya lembut. “Sayang, ceritakan padaku kapan pertama kali tahu kalau hamil.”“Baru beberapa hari yang lalu, sih.”“Gimana perasaanmu?”Nawa membalik tubuh, menghadap suaminya. Ia membelai rahang tegas yang bersih dari rambut tersebut. “Nangis.”“Nggak bahagia?”“Lebih dari itu. Rasanya seperti dahaga setelah kemarau sekian lama, lalu Allah menurunkan hujan. Yang ada rasa syukur yang luar biasa sampai nggak bisa diucapkan dengan kata-kata. Kalau Sir? Bahagia nggak?”Brama terke
“Sinikan ponselnya. Kamu nggak perlu banyak pikiran. Biar kuurus peneror itu. Sekarang, tolong hanya fokuskan pikiranmu untuk calon anak kita.” Brama menengadahkan tangan. Ia dan sang istri tiba di depan apotek klinik. Pria itu mengajak duduk istrinya dengan tangan masih merangkul.Nawa melengos. “Bilang aja mau meladeni dia, mau ketemu dia, trus habis itu jatuh cinta.”“Astaga, kamu bersikap menyebalkan seperti ini kuanggap maklum karena kamu sedang hamil. Kalau tidak, sudah kumakan kamu. Heran, kerjaannya suudzon terus sama suami.”“Lah iya, harus dicurigai terus. Salah siapa selalu bikin masalah.”“Kamu yang bikin masalah sebenarnya. Sudah kujelaskan itu orang gila. Atau mungkin Stevie yang sengaja membuat huru-hara lagi. Tapi tunggu, katanya tadi kamu ke sini untuk perawatan yang lain, tapi kenapa pas di dalam tadi beda?”Nawa hanya melirik, tidak menjawab.“Nyonya Annawa!” Suara dari meja administrasi membuat keduanya bangkit.“Kamu duduk di sini saja, biar aku yang ambil obat sa
“Paket? Pesan? Apaan?” Wanita itu menatap Brama dengan pandangan menyelidik. “Aku nggak ngirim apa-apa.”“Oh, bukan kamu, ya? Lalu siapa? Oh, orang iseng mungkin.” Brama merutuki mulutnya yang terlalu tidak sabar bertanya. Harusnya ia bisa berhati-hati menghadapi jebakan ini.Wanita itu lalu berkacak pinggang. “Aku jadi curiga. Pesan apa? Siniin ponselnya. Mau kulihat!”Ialah Nawa yang baru keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ruang periksa.“Ah, bukan apa-apa. Lupakan. Lalu kenapa kamu ada di sini, Sayang?”"Jangan mengalihkan bahasan! Paket dan pesan apaan?""Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kamu keluyuran sampai sini? Katanya sudah stop Promil?"“Aku udah terbiasa periksa sama Dokter Rani. Sir tahu itu. Hari ini aku ada jadwal perawatan Miss V. Harusnya aku yang tanya. Ngapain Sir keluyuran di sini?” Nawa menyeret sang suami pindah ke tempat lebih tepi agar tidak mengganggu jika ada yang ingin ke toilet.“Oh, itu tadi–““Siniin ponsel Sir. Pasti ada yang nggak beres.”“Ngg