“Iya. Pengalaman hari sungguh luar biasa. Dan kalau aku lupa ingatan, kamu akan jadi menjadi satu-satunya orang yang kuingat,” ucap Brama serius. Ia terus berjalan menggendong istrinya.Nawa tergelak. Dari belakang, ia mencubit pelan pipi suaminya. “Ah yang bener?”“Hm. Kamu kenapa selalu nyindir bahas lupa ingatan? Aku hanya sekali berbuat hal bodoh itu, tapi sepertinya kamu selalu membahasnya setiap saat.”“Biar Sir sadar, kalau segala sesuatu itu jangan suka dibuat prank. Saat itu, sumpah aku kesel dikerjai kayak gitu.”“Iya, maaf.”“Janji nggak ninggalin aku?”“Iya, Sayang.”“Saksinya Masjidil Haram lho, ya? Kalau sampai Sir ingkar, dosanya berkali lipat.”Nawa mencuri ciuman dari belakang punggung sang suami.Kalau sudah seperti ini, bagaimana mungkin Brama bisa berpaling dari wanita seistimewa ini? Bagi pria itu, Nawa adalah poros hidupnya. Sementara bagi Nawa, Brama adalah pusat kebahagiaannya.**Sepulang umrah, Brama mulai menata masa depan yakni mengenai pekerjaan. Ia sudah
Nawa mengembuskan napas berat, lantas berdecak saat melihat sesuatu di teras rumah sang bapak. Meski begitu, ia mengucapkan salam, disambut Heru yang duduk di teras. Ia cukup lega karena bapaknya baik-baik saja.“Waalaikumussalam. Loh, datangnya kok nggak bareng? Malah sendiri-sendiri,” ujar Heru ketika melihat putrinya datang. Di sampingnya, ada Brama yang duduk santai seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Keberadaan pria itulah yang membuat Nawa sedikit terkejut.Nawa menghampiri Heru, mencium tangan bapaknya takzim.“Tadi aku berangkat nggak dari rumah, Pak. Jadi nggak tahu kalau Nawa juga mau ke sini,” sahut Brama.“Lain kali kalau mau pergi, izin suami dulu tho, Wa. Meskipun suami pas nggak di rumah, tapi sekarang ada HP. Bisa WA.” Heru memberi wejangan yang membuat Nawa tersentil.Wanita itu mengangguk lemah.Di kursi, Brama mengulurkan tangan. Dengan wajah masam, Nawa menciumnya. Nawa sedikit heran kenapa suaminya bisa sampai di sini mendahuluinya.“Ini tadi aku beli jajan buat Ba
“No! Kita pulang! Katanya deal nggak mau memperpanjang lagi, kan?” pekik Nawa.“Kamu bisa sesuka hatimu, bukan? Aku juga bisa. Aku akan menuntut daddy, meminta seluruh saham Sunmond sesuai kesepakatan karena mereka ingkar telah mengusik kamu.”“Sir, kumohon jangan. Oke-oke aku janji, akan terbuka. Tentang apa pun itu. Tapi jangan sampai meminta itu dari mereka. Kumohon.”Brama hanya melirik sekilas.“Lagian, Sir sudah menyadap ponselku, kan? Jadi, apa yang bisa kusembunyikan? Nggak akan ada.”Brama tetap diam. Kendaraan juga sudah hampir masuk arah tol.Jurus terakhir Nawa. Menangis.“Sir, kalau tetap ke sana, mungkin aku akan menjadi target mereka. Nyawaku mungkin dalam ancaman mereka. Ayo kita balik."Jalan berbelok ke arah tol menuju Surabaya sudah di depan mata. Saat itulah, Nawa terpejam. Namun, ia merasakan mobil jalan lurus, tidak berbelok. Wanita itu akhirnya membuka mata dan mengembuskan napas lega.“Aku lapar lagi. Kita cari tempat makan dekat sini.” Brama berucap dingin.“A
“Aku juga nggak tahu, Sir. Ada yang bilang ipar adalah maut. Tapi kalau kita nggak nolong mereka, kita bisa dibilang kejam. Saudara lagi kesusahan, tapi diabaikan,” ujar Nawa.“Kamu, pakai acara menyuruh Bima tanggung jawab. Gini kan jadinya? Kita juga yang repot kalau Bima jadi ke sini sungguhan.” Brama mendengkus kesal.“Sir, sekarang aku mau tanya. Misalkan one night stand kita waktu itu aku hamil, apa Sir juga nggak percaya kalau anak yang kukandung itu anakmu?”Brama terdiam, lalu mengangguk. “Percaya. Karena aku tahu kamu wanita terjaga, dan sehari pasca kejadian orang-orangku terus mengawasimu. Terbukti tidak ada pria yang dekat-dekat denganmu selain Frengki sialan itu. Itu pun dia yang ngebet padahal kamu selalu menghindar.”“Nah itu. Pacar Bima mungkin juga wanita terjaga. Sudahlah, kita berbaik sangka saja. Dan kenapa aku meminta Bima tanggung jawab? Karena seorang wanita hamil tanpa suami itu sangat berat, Sir.”“Sepertinya kamu tahu banyak? Pernah mengalami?” Brama menatap
Nawa menatap wanita cantik di samping Bima. Sementara Brama memandang adiknya dengan buas, siap menerkam. Dua koper besar yang dibawa Bima menjadi bukti kalau adiknya benar-benar berniat menumpang hidup.“Bre, please biarin gue tinggal di sini. Gue sekarang gembel. Hanya lo satu-satunya harapan gue.” Bima kembali memohon.Bima masih di teras rumah sebab ART-nya tidak berani menyuruh masuk karena Bima orang baru bagi ART. Bima sudah mengaku sebagai adik Brama, hanya saja sang ART belum percaya. Jadilah menunggu Brama dulu.“Masuk, Bim.” Nawa yang justru mempersilakan.“Oh, ya, kenalkan. Ini Stevie, istri gue.”Entah ada dorongan apa, Nawa langsung memeluk wanita itu. “Stevie, selamat datang di sini. Kamu dan Bima nggak sendiri. Ada kami.”Stevie membalas pelukan Nawa sambil menangis. “Terima kasih, terima kasih banyak karena sudah mau menerima kami.”Brama mengembuskan napas panjang. Ia baru mempersilakan adiknya masuk. Nawa masih ke dapur untuk meminta tolong agar ART-nya menyiapkan m
Pagi sebelumnya .... Seperti biasa, Nawa menjadi ahli wardrobe untuk suaminya. Wanita itu setiap hari yang menyiapkan kemeja, celana, jas, dasi, bahkan underware untuk Brama. Ia baru selesai menata di atas ranjang ketika sang suami keluar dari kamar mandi. Brama sudah berencana membuat walk in closet agar lemari pakaian tidak jadi satu di kamar tidur. Hanya saja, wacana itu belum terealisasi sebab Brama masih sedikit sibuk. Bisa saja ia meminta Gilang atau Yadi mencarikan ahli. Namun, Brama ingin mendesain sendiri bersama Nawa dan belum ada waktu untuk itu. Brama keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk sebatas perut. Rasanya, Nawa selalu candu dengan perut enam kotak yang dimiliki suaminya. Brama memang selalu rutin berolahraga setiap selesai salat Subuh. Ada satu ruangan khusus di rumahnya yang berisi berbagai macam alat penunjang untuk membentuk tubuhnya. Sesekali Nawa mencoba yang ringan seperti treadmill. “Sir, jangan sampai kamu berpenampilan kayak gini selain di hadapanku
“Maaf, Kak. Tapi aku sudah minta izin sama Kak Nawa,” jawab Stevie seraya menunduk.Stevie mencari baju yang akan dipinjam dari Nawa, tetapi di meja setrika sudah tidak ada. Wanita itu malah mencarinya di kamar. Ia berpikir pemilik kamar belum pulang, jadi aman masuk. Ternyata Brama malah datang.“Sekarang Nawa di mana?” tanya Brama.Saat bersamaan, pintu kamar diketuk dari luar.“Tuan, ini saya Mak Ida. Saya ingin bicara sama Tuan!” Suara itu menyusul kemudian.Brama diambang kecemasan. Ia serba bingung apa yang harus dilakukan.Tidak jauh berbeda dengan Brama, Stevie pun juga ketakutan.“Kak, ini bagaimana? Ada Mak Ida di luar.”“Ini juga karena salahmu.” Brama mondar-mandir di dalam. Sementara ketukan dari luar terus terdengar.“Kak, a-aku keluar sekarang aja, ya?”Brama mendelik. “Cari mati kamu? Gini saja. Kamu di sini saja dulu, sembunyi. Jangan sampai Mak Ida tahu. Bisa salah paham nanti. Saya akan keluar. Nanti kalau Mak Ida sudah tidak ada, kamu boleh keluar. Ck! Kamu ini mem
“Aku paksa!” tekan Bima.Stevie tersenyum sumbang. “Aku lagi hamil, lho, Bim. Tapi makin ke sini aku merasa kamu makin kasar.”“Kasar kamu bilang? Vie, justru aku yang harusnya mempertanyakan sikapmu. Kamu juga berubah.”“Keadaan yang membuatku demikian. Kamu nggak pandai membahagiakan istri.” Stevie bangkit, keluar kamar.“Nggak kayak kakakmu yang sangat meratukan istrinya,” lanjut Stevie setelah sampai luar.Wanita itu menatap anak tangga, lalu kamar Brama. Ada perasaan aneh menyusup tiba-tiba setelah kejadian tadi. Ia menggeleng, memilih mengusir hal gila tersebut.**Tiba di rumah sakit, Brama langsung menuju ruang inap Heru karena sebelumnya Nawa sudah memberi tahu letaknya. Pria itu langsung masuk kamar kelas satu tersebut. Namun, Nawa tidak ada di ruangan. Hanya Heru yang berbaring dan tertidur. Meskipun tidak ada Nawa, ada suara gemercik air dari kamar mandi. Brama mendekati sang mertua sejenak, lalu berdiri di depan pintu kamar mandi setelah meletakkan makanan yang dibelinya
Kehidupan Brama dan Nawa banyak berubah setelah memiliki anak. Tentu saja membawa mereka pada vibes positif. Meskipun menjadi orang tua tidaklah mudah, mereka berusaha memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya. Kanza dan Kenzo menjadi pelipur lelah mereka.Setelah diberi mandat dari Boby untuk mengelola Sunmond Care, Pasutri tersebut pindah ke Gresik. Ida dan pengasuh Kembar dibawa ikut serta. Rumah di Nganjuk tidak dikosongkan, melainkan ada yang ditugaskan menempati. Rumah itu untuk investasi dan tujuan ketika pulang kampung. Kadang Zidan dan Alvina sengaja menginap di sana. Atau Heru jika ingin.Beberapa bulan setelah kelahiran Twin, Gilang menikah. Sebagai hadiah karena kesetiaan, ia dan Yadi dipercaya mengelola pabrik air mineral Brama yang sedang masa berjaya. Tentu saja masih tetap dalam pengawasan Brama. Sebagai pengawal pengganti, sudah ada pengganti yang sudah lolos uji dari Gilang dan Yadi. Tingkat kesetiaannya harus setara.Untuk bisnis aplikasi di luar negeri, Brama masi
“Lo jangan membuat huru-hara di tengah kebahagiaan gue, ya, Bim. Gue potong sosis lo kalo macem-macem!" ancam Brama.“Wey, wey, wey! Santai. Jangan anarkis!"“Lalu apa maksud lo bilang begitu?”“Maksud gue, gue dalam bahaya besar karena sepertinya Daddy akan membagi warisannya ke anak-anak lo juga. Jatah gue berkurang, njir!”Semua yang ada di sana menahan senyum. Sementara Brama mengangkat tangannya yang terkepal ke arah sang adik. “Ambil sono jatah Kembar. Gue nggak butuh. Dasar duda tamak!”“Sudah jadi bapak kudu sabar weh. Nggak malu sama anaknya kalau bapaknya emosian?” sindir Bima lagi, membuat Brama ingin menendang adiknya itu ke inti bumi.“Tiba-tiba Daddy dapat inspirasi dari ucapan Bima. Sebagai hadiah dan rasa syukur atas lahirnya si kembar, Daddy kasih saham Sunmond Care untuk mereka. Di sana kepemimpinan resminya masih kosong. Jadi, Brama yang harus mengelolanya karena si kembar belum memungkinkan. Akan Daddy urus segera pengalihannya. Kalau perlu saat ini juga. Mom, mana
Brama menghentikan laju bed di mana sang istri tengah berbaring sebelum benar-benar masuk ruang perawatan. Ia menatap bergantian pada keluarganya yang ada di dalam ruangan.“Siapa yang mengizinkan kalian masuk! Untuk apa kalian ke sini?” pekik Brama.Mereka diam.Sementara Nawa sudah histeris. Ia ketakutan jika anaknya sampai disakiti atau dibawa keluarga suaminya itu.“Sayang, tenang. Nggak akan kubiarkan mereka mengambil anak-anak.” Brama terus menggenggam telapak tangan istrinya dengan tangan kiri.“Sir, suruh mereka pergi. Kumohon.”“Iya, tapi kamu jangan panik."Brama ganti menatap perawat yang mengantar. “Saya mau istri saya pindah kamar.”Brama lalu menghubungi Gilang. “Kerahkan pasukan. Perketat keamanan ruang bayi. Pastikan tidak ada orang asing masuk. Terlebih jangan biarkan keluarga Tangerang mendekat.”Brama mengode dengan kepala pada perawat agar Nawa urung dimasukkan. Ia ingin sang istri dijauhkan dari ruangan tersebut. Namun, Bima sudah lebih dulu berhasil mencekal pingg
“Lo aja yang ke sana. Gue mau balik.” Brama hendak menutup kembali pintu kamar, tetapi ditahan oleh Bima.“Kenapa? Lo mau melarikan diri? Atau takut ketemu daddy? Gue curiga semalem lo bicara aneh sama dia sampai tiba-tiba sadar gini.”“Suudzon aja lo.”“Pokoknya lo harus ikut.” Bima menyeret lengan sang kakak.“Gue masih pakai sarung njir. Bentar gue ganti baju dulu.” Brama menepis tangan Bima kasar.“Ya udah, gue tunggu. Takutnya lo kabur. Yang gantle, Bre. Masa takut sama daddy.”“Gue nggak takut. Sembarangan mulut lo.”Brama masuk kamar, lalu mengganti pakaian dengan celana panjang dan kaus, lantas memakai jaket. Ia dan sang adik kemudian menuruni anak tangga.“Bima! Ke mana ini anak? Tadi ngajak cepat-cepat, sekarang malah ilang!” Terdengar gerutu Gahayu di lantai bawah. Wanita tersebut mondar-mandir tak jelas.“Iya, aku datang!” balas Bima dengan suara keras. Ia turun bersisian dengan Brama.“Dasar kamu it–“ Kalimat Gahayu tidak terucap sempurna tatkala melihat siapa yang ada di
“Bukan gitu. Cuma firasatku nggak enak. Takut mereka menahan dan melarang Sir menemuiku lagi. Aku takut mereka memisahkan kita.” Bibir Nawa mengerucut. Ia menatap suaminya sendu.Brama tersenyum. Ia menghentikan aktivitasnya, mendekati sang istri. “Apa ini artinya kamu sudah benar-benar bucin sama suamimu ini, hm? Sampai-sampai ditinggal sebentar saja tantrum gini.”Nawa mengangguk tanpa ragu. Ia sudah terbiasa ditinggal Brama dalam urusan bisnis. Namun sekarang, rasanya beda saat Brama akan meninggalkannya ke Tangerang. Pasti mertuanya itu tidak akan tinggal diam dan melakukan sesuatu agar Brama meninggalkannya.Brama menyelipkan telapak tangannya ke belakang telinga Nawa, menyibak rambut legam itu. “Sayang, aku bukan anak kecil yang bisa dengan mudah dilarang atau ditahan. Suamimu ini sudah dewasa, sudah bisa membuat anak, dan mau jadi bapak-bapak. Jadi, nggak akan semudah itu ditahan di sana. Pokoknya kamu tenang saja. Insyaallah aku akan kembali. Kalau mereka melarang, aku akan me
“Sorry, Bim. Kalau sekarang gue nggak bisa. Ada acara di rumah,” jawab Brama.“Nggak usah alesan! Sekali ini aja tolong lo datang. Daddy sudah beberapa hari ini nggak sadar. Lo nggak takut menyesal kalau sampai dia tiada dan lo belum sempet minta maaf, nggak sempet ketemu untuk yang terakhir kali? Bentar, gue alihkan dengan video call. Biar lo lihat sendiri betapa memprihatinkannya pria yang sudah menyumbangkan kecebongnya sampai lo bisa ada di dunia ini."Bima mengubah panggilan menjadi video call. Di sana memperlihatkan Boby tengah berbaring tak berdaya dengan beberapa alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya. Sementara Bima memakai APD yang dikhususkan untuk masuk ruang ICU.“Kenapa lo baru bilang sekarang di saat gue sibuk, hah! Gue nggak alesan, gue beneran sibuk. Ada acara penting di sini!"“Mau ada acara apa? Apa lebih penting daripada bokap lo, hah!”“Ini acara sakral Nawa! Gue nggak bisa meninggalkan di mana saat ini acara intinya.”“Lo bucin boleh, tapi jangan durhaka-d
Nawa mengangguk. “Ya. Terlebih orang tua Sir. Setelah aku lahiran, baru Sir boleh mengabari mereka. Aku nggak mau mereka berbuat sesuatu untuk mencelakakan calon anak kita.”“Bapakmu juga? Nggak mau mengabari mereka berita bahagia ini?”Nawa menggeleng. “Nggak usah dulu sebelum calon anak kita benar-benar berkembang dan sehat. Minimal empat bulanlah.”“Baiklah. Apa pun yang membuatmu nyaman, aku turuti. Tapi untuk pekerja di rumah ini harus tahu, biar mereka ikut jaga kamu.” Brama meraba perut sang istri, mengelusnya lembut. “Sayang, ceritakan padaku kapan pertama kali tahu kalau hamil.”“Baru beberapa hari yang lalu, sih.”“Gimana perasaanmu?”Nawa membalik tubuh, menghadap suaminya. Ia membelai rahang tegas yang bersih dari rambut tersebut. “Nangis.”“Nggak bahagia?”“Lebih dari itu. Rasanya seperti dahaga setelah kemarau sekian lama, lalu Allah menurunkan hujan. Yang ada rasa syukur yang luar biasa sampai nggak bisa diucapkan dengan kata-kata. Kalau Sir? Bahagia nggak?”Brama terke
“Sinikan ponselnya. Kamu nggak perlu banyak pikiran. Biar kuurus peneror itu. Sekarang, tolong hanya fokuskan pikiranmu untuk calon anak kita.” Brama menengadahkan tangan. Ia dan sang istri tiba di depan apotek klinik. Pria itu mengajak duduk istrinya dengan tangan masih merangkul.Nawa melengos. “Bilang aja mau meladeni dia, mau ketemu dia, trus habis itu jatuh cinta.”“Astaga, kamu bersikap menyebalkan seperti ini kuanggap maklum karena kamu sedang hamil. Kalau tidak, sudah kumakan kamu. Heran, kerjaannya suudzon terus sama suami.”“Lah iya, harus dicurigai terus. Salah siapa selalu bikin masalah.”“Kamu yang bikin masalah sebenarnya. Sudah kujelaskan itu orang gila. Atau mungkin Stevie yang sengaja membuat huru-hara lagi. Tapi tunggu, katanya tadi kamu ke sini untuk perawatan yang lain, tapi kenapa pas di dalam tadi beda?”Nawa hanya melirik, tidak menjawab.“Nyonya Annawa!” Suara dari meja administrasi membuat keduanya bangkit.“Kamu duduk di sini saja, biar aku yang ambil obat sa
“Paket? Pesan? Apaan?” Wanita itu menatap Brama dengan pandangan menyelidik. “Aku nggak ngirim apa-apa.”“Oh, bukan kamu, ya? Lalu siapa? Oh, orang iseng mungkin.” Brama merutuki mulutnya yang terlalu tidak sabar bertanya. Harusnya ia bisa berhati-hati menghadapi jebakan ini.Wanita itu lalu berkacak pinggang. “Aku jadi curiga. Pesan apa? Siniin ponselnya. Mau kulihat!”Ialah Nawa yang baru keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ruang periksa.“Ah, bukan apa-apa. Lupakan. Lalu kenapa kamu ada di sini, Sayang?”"Jangan mengalihkan bahasan! Paket dan pesan apaan?""Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kamu keluyuran sampai sini? Katanya sudah stop Promil?"“Aku udah terbiasa periksa sama Dokter Rani. Sir tahu itu. Hari ini aku ada jadwal perawatan Miss V. Harusnya aku yang tanya. Ngapain Sir keluyuran di sini?” Nawa menyeret sang suami pindah ke tempat lebih tepi agar tidak mengganggu jika ada yang ingin ke toilet.“Oh, itu tadi–““Siniin ponsel Sir. Pasti ada yang nggak beres.”“Ngg