“Mr. Boby,” jawab Yadi di seberang.Tangan Brama spontan mencekal pergelangan tangan Nawa. Seolah-olah refleks bentuk perlindungan pada wanita yang baru dinikahinya tersebut.“Sir, lepas. Saya ingin membuka pintu,” ujar Nawa.Akan tetapi, Brama tidak juga melepaskan cekalan.“Sudah kamu pastikan?” tanya Brama pada Yadi.“Sudah. Saya ancam pelaku yang menabrak, mengaku disuruh seseorang. Seseorang itu disuruh rekannya. Saya telusuri terus dan ujungnya mengerucut pada Mr. Boby.”“Kurang ajar. Kamu ada buktinya, kan?”"Ada, Sir.”“Bagus. Jaga baik-baik buktinya dan segera kirim ke email saya. Yadi, carikan rumah. Di kota ini. Lalu hubungi rekanmu yang lain untuk menjaga Pak Heru di rumah sakit. Usahakan tidak kentara dalam menjalankannya.”“Siap, Sir.”“Ya sudah, terima kasih. Kamu istirahatlah di hotel yang sama dengan Bima.”“Baik. Terima kasih, Sir.”Telepon dimatikan, Nawa masih dipaksa terus mendengarkan. Meski tidak paham, ia sedikit tahu Brama tengah meradang.“Kenapa pintunya bel
“Nawa! Mulai nakal sekarang, ya!” desis Brama. Pria itu terkejut atas aksi sang istri yang tidak disangka-sangka.Nawa tertawa. Ia mencoba berdiri, tetapi ditarik Brama sampai terjatuh di pangkuan.“Siapa yang ngajari? Kelihatannya alim, tapi ternyata kayak gini?” Brama menggelitiki istrinya sampai Nawa harus menahan tawa.“Ampun, Sir. Ampun.”Brama mengurung tubuh istrinya dengan tangan kiri. Sementara jari tangan kanan terus bergerak di pinggang istrinya. Posisi Nawa ada dalam pangkuannya membelakangi Brama.“Enough, Sir. Ampun.”“Katakan, apa kamu pernah mencium mantanmu juga saat pacaran dulu seperti yang baru kamu lakukan ke saya? Apa kamu seagresif ini dari dulu?”Tawa Nawa terhenti seketika. Wajahnya berubah sendu. Pun jari Brama tidak lagi mengusili sang istri. Nawa ingin melepaskan diri, tetapi tubuhnya dikurung erat dan tidak bisa lepas.“Sorry to say,” ujar Brama lembut.“Jadi menurut Sir, saya wanita sebebas itu hanya karena saya mencuri ciuman dari Sir?”“No, ucapan tadi
Nawa mengambil selimut untuk sang suami, lantas mencium kening pria halalnya dalam.“I’m so sorry.” Wanita itu mengelus lembut wajah Brama.Yadi yang akan masuk, mengurungkan niat. Ia mengambil video adegan tersebut diam-diam. “Ini kalau Sir Brama tahu, pasti langsung koprol atau kayang.”Pria itu keluar ruangan lagi ketika menyadari Nawa akan keluar. Setelah Nawa tidak ada, barulah ia masuk lagi.Yadi menunggui tuannya dalam waktu lama sambil bermain ponsel sampai Brama terbangun. Brama mendesis ketika merasakan kepalanya berdenyut.“Sir, butuh sesuatu?” tanya Yadi.“Air minum. Sama belikan obat sakit kepala seperti biasanya.”“Sir, saya ada obatnya tanpa harus beli.”“Apa?”Yadi mendekat, menunjukkan video saktinya. Brama langsung tersenyum.“Kamu benar, sakit kepala saya langsung hilang. Mana ponsel saya? Saya transfer kamu sebagai hadiah.”Yadi tersenyum lebar. Ia menang banyak.**Operasi Heru berjalan lancar. Pria itu kini berada di ruang recovery sebelum dikembalikan ke ruang r
Nawa membuka pesan dari Yadi ketika sedang memasak. Wanita itu membeku setelah membaca kata demi kata yang tertulis.“Kenapa sampai bisa pingsan?” Nawa membalas.“Dihajar Mr. Boby, Non.”Nawa spontan beristigfar. Ia langsung menelepon Yadi.“Mas Yad, kenapa bisa dihajar daddy-nya?” cecar Nawa langsung.“Saya juga kurang tahu, Non. Sepertinya hubungan mereka sedang tidak baik. Saya kasihan sama Sir. Makanya saya telepon Nona. Mungkin bisa ke sini merawat. Itu pun saya nggak maksa. Karena saya yakin yang dibutuhkan Sir saat ini hanya Nona.”Nawa diam. Di rumah, bapaknya masih perlu perawatan meskipun sudah tidak seperti saat baru operasi dulu.“Tapi bapak ....”“Ada apa, Wa?” Heru mendekat ketika mendengar sang anak membicarakannya.“Sir Brama di rumah sakit, Pak,” jawab Nawa.“Yang telepon sama kamu itu Brama?”Nawa menggeleng. “Mas Yadi.”“Sini ponselnya biar saya bicara sama Yadi.”Nawa pun menyerahkan ponselnya setelah mengaktifkan speaker.“Brama sakit apa, Di?”“Habis berantem sam
“Sir, aku minta–““Minta maaf? Basi! Pergi, Nawa! Aku nggak mau lihat kamu lagi.”“Oke! Aku akan pergi! Sir, aku hanya mengingatkan. Tapi kalau ternyata aku salah, aku juga sudah berusaha minta maaf. Dan Sir harusnya tadi cukup bilang baik-baik ke aku kejadian yang sebenernya. Tapi apa yang Sir lakukan? Membentakku. Baiklah, mungkin pengabdianku sama kamu nggak ada artinya. Bukannya mengungkit masa baktiku merawatmu, tapi harusnya dalam rumah tangga itu saling mengingatkan, saling memaafkan. Tapi Sir selalu ingin benar sendiri. Selalu ingin menang sendiri.” Nawa menatap Brama sengit.“Nawa, kamu–““Kondisiku pas ke sini juga nggak sedang baik-baik saja. Aku capek habis ngerawat bapak, lalu ngerawat Sir di sini. Sekali lagi aku bukan niat mengungkit, tapi ayolah, kalau sama-sama salah itu saling memaafkan, jangan malah membentak. Padahal tadi sebenernya hanya salah paham. Tapi nada bicara Sir sangat tinggi. Sakit hati aku.”Brama berusaha menggapai tangan istrinya. Namun, Nawa menepisn
“Bram, Daddy heran sama kamu. Kenapa kamu dari dulu suka sekali melawan orang tua? Kamu pikir Daddy tega bunuh kamu?” tanya Boby sambil melemparkan pisau ke sembarang arah. “Ya, mungkin saja. Buktinya kemarin sampai menghajarku.” “Daddy minta maaf. Kemarin kondisi sedang marah. Lalu sekarang apa maumu?” “Aku mau lepas tangan dari Sunmond. Aku nggak bisa lagi memegang perusahaan ini pasca satu-satunya orang yang membuatku betah nggak ada. Jadi, apa aku harus mengganti kerugian yang terjadi akhir-akhir ini?” Boby mengembuskan napas panjang. “Nggak perlu. Bram, Daddy tanya sama kamu. Kalau sekretaris lamamu dipanggil, apa kamu mau memperbaiki perusahaan yang sudah kamu kacaukan ini?” “Terlambat, Dad. Aku sudah hilang nafsu sama Sunmond. Sudahlah, lebih baik aku serahkan lagi perusahaan ini ke Daddy. Terserah siapa yang akan Daddy tunjuk sebagai Presdir nantinya. Aku lebih nyaman dengan bisnisku sendiri.” “Kalau Daddy menolak surat pengunduranmu?” “Aku akan bawa penyerangan Daddy wa
“Maksudnya gimana, Bim?” tanya Nawa kembali memastikan.“Maaf, Kakak Ipar. Aku nggak ada maksud apa-apa. Hanya saja, kalau Brama tetap tidak datang, aku bersedia menjadi pengantin pengganti. Aku yang akan menikahimu."Nawa tertawa sumbang. “Bercandamu sangat lucu.""Kak Nawa, aku serius.""Apa motifmu mau menikahiku?""Menjaga nama baikmu. Kak Nawa, kalau kamu gagal nikah, bukankah akan menjadi gunjingan?""Bim, jangan macam-macam, ya! Atau mungkin ini cara Sir Brama menguji kesetiaanku? Atau mungkin kamu sekongkol sama dia? Atau kamu yang sudah menyembunyikannya!""Astaga! Aku nggak sepicik itu! Aku juga nggak tahu dia di mana.""Aku nggak mau! Aku nggak akan nikah kalo bukan sama Sir Brama! Karena kami sudah suami istri meskipun masih secara resmi. Jadi, siapa pun tidak ada yang bisa menikahiku selama Sir Brama masih hidup dan dia tidak menceraikanku!” sergah Nawa.Nawa terduduk di bibir ranjang kamar mekap. Heru, Zidan, dan Alvina tak kalah syok mendengar berita tentang hilangnya B
“Ada hal buruk apa, Dan? Jangan membuat Bapak takut,” cecar Heru lagi.“Orang tua Brama datang ke sini sambil marah-marah, Pak.” Zidan terlihat cemas. “Mereka datang membawa banyak orang dan polisi. Situasi di ballroom sangat kacau.”Nawa yang ikut mendengar dari dalam kamar, membeku. Tangannya menggantung tidak bergerak di atas koper. Ia curiga mungkin hilangnya Brama ada sangkut pautnya dengan Boby atau Gahayu. Namun, ternyata dua orang itu malah datang mencari. Semua masih menjadi tanda tanya.“Loh, tapi kata Brama dia yatim piatu?”“Entahlah, Pak. Aku juga nggak paham. Bapak sama Nawa lekas pergi saja dari sini. Biar aku yang mengatasi kekacauan yang di sini. Biar aku yang hadapi mereka. Alvina sama Syakila juga sudah kusuruh pulang.”“Bapak makin bingung. Ini sebenarnya apa yang terjadi? Berarti selama ini Brama bohong?”Nawa mematung. Lagi-lagi air matanya terjun bebas tanpa bisa dicegah. Ia menghirup napas dalam, lalu mengembuskan pelan-pelan. Wanita itu mendekati kakak dan bap
Kehidupan Brama dan Nawa banyak berubah setelah memiliki anak. Tentu saja membawa mereka pada vibes positif. Meskipun menjadi orang tua tidaklah mudah, mereka berusaha memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya. Kanza dan Kenzo menjadi pelipur lelah mereka.Setelah diberi mandat dari Boby untuk mengelola Sunmond Care, Pasutri tersebut pindah ke Gresik. Ida dan pengasuh Kembar dibawa ikut serta. Rumah di Nganjuk tidak dikosongkan, melainkan ada yang ditugaskan menempati. Rumah itu untuk investasi dan tujuan ketika pulang kampung. Kadang Zidan dan Alvina sengaja menginap di sana. Atau Heru jika ingin.Beberapa bulan setelah kelahiran Twin, Gilang menikah. Sebagai hadiah karena kesetiaan, ia dan Yadi dipercaya mengelola pabrik air mineral Brama yang sedang masa berjaya. Tentu saja masih tetap dalam pengawasan Brama. Sebagai pengawal pengganti, sudah ada pengganti yang sudah lolos uji dari Gilang dan Yadi. Tingkat kesetiaannya harus setara.Untuk bisnis aplikasi di luar negeri, Brama masi
“Lo jangan membuat huru-hara di tengah kebahagiaan gue, ya, Bim. Gue potong sosis lo kalo macem-macem!" ancam Brama.“Wey, wey, wey! Santai. Jangan anarkis!"“Lalu apa maksud lo bilang begitu?”“Maksud gue, gue dalam bahaya besar karena sepertinya Daddy akan membagi warisannya ke anak-anak lo juga. Jatah gue berkurang, njir!”Semua yang ada di sana menahan senyum. Sementara Brama mengangkat tangannya yang terkepal ke arah sang adik. “Ambil sono jatah Kembar. Gue nggak butuh. Dasar duda tamak!”“Sudah jadi bapak kudu sabar weh. Nggak malu sama anaknya kalau bapaknya emosian?” sindir Bima lagi, membuat Brama ingin menendang adiknya itu ke inti bumi.“Tiba-tiba Daddy dapat inspirasi dari ucapan Bima. Sebagai hadiah dan rasa syukur atas lahirnya si kembar, Daddy kasih saham Sunmond Care untuk mereka. Di sana kepemimpinan resminya masih kosong. Jadi, Brama yang harus mengelolanya karena si kembar belum memungkinkan. Akan Daddy urus segera pengalihannya. Kalau perlu saat ini juga. Mom, mana
Brama menghentikan laju bed di mana sang istri tengah berbaring sebelum benar-benar masuk ruang perawatan. Ia menatap bergantian pada keluarganya yang ada di dalam ruangan.“Siapa yang mengizinkan kalian masuk! Untuk apa kalian ke sini?” pekik Brama.Mereka diam.Sementara Nawa sudah histeris. Ia ketakutan jika anaknya sampai disakiti atau dibawa keluarga suaminya itu.“Sayang, tenang. Nggak akan kubiarkan mereka mengambil anak-anak.” Brama terus menggenggam telapak tangan istrinya dengan tangan kiri.“Sir, suruh mereka pergi. Kumohon.”“Iya, tapi kamu jangan panik."Brama ganti menatap perawat yang mengantar. “Saya mau istri saya pindah kamar.”Brama lalu menghubungi Gilang. “Kerahkan pasukan. Perketat keamanan ruang bayi. Pastikan tidak ada orang asing masuk. Terlebih jangan biarkan keluarga Tangerang mendekat.”Brama mengode dengan kepala pada perawat agar Nawa urung dimasukkan. Ia ingin sang istri dijauhkan dari ruangan tersebut. Namun, Bima sudah lebih dulu berhasil mencekal pingg
“Lo aja yang ke sana. Gue mau balik.” Brama hendak menutup kembali pintu kamar, tetapi ditahan oleh Bima.“Kenapa? Lo mau melarikan diri? Atau takut ketemu daddy? Gue curiga semalem lo bicara aneh sama dia sampai tiba-tiba sadar gini.”“Suudzon aja lo.”“Pokoknya lo harus ikut.” Bima menyeret lengan sang kakak.“Gue masih pakai sarung njir. Bentar gue ganti baju dulu.” Brama menepis tangan Bima kasar.“Ya udah, gue tunggu. Takutnya lo kabur. Yang gantle, Bre. Masa takut sama daddy.”“Gue nggak takut. Sembarangan mulut lo.”Brama masuk kamar, lalu mengganti pakaian dengan celana panjang dan kaus, lantas memakai jaket. Ia dan sang adik kemudian menuruni anak tangga.“Bima! Ke mana ini anak? Tadi ngajak cepat-cepat, sekarang malah ilang!” Terdengar gerutu Gahayu di lantai bawah. Wanita tersebut mondar-mandir tak jelas.“Iya, aku datang!” balas Bima dengan suara keras. Ia turun bersisian dengan Brama.“Dasar kamu it–“ Kalimat Gahayu tidak terucap sempurna tatkala melihat siapa yang ada di
“Bukan gitu. Cuma firasatku nggak enak. Takut mereka menahan dan melarang Sir menemuiku lagi. Aku takut mereka memisahkan kita.” Bibir Nawa mengerucut. Ia menatap suaminya sendu.Brama tersenyum. Ia menghentikan aktivitasnya, mendekati sang istri. “Apa ini artinya kamu sudah benar-benar bucin sama suamimu ini, hm? Sampai-sampai ditinggal sebentar saja tantrum gini.”Nawa mengangguk tanpa ragu. Ia sudah terbiasa ditinggal Brama dalam urusan bisnis. Namun sekarang, rasanya beda saat Brama akan meninggalkannya ke Tangerang. Pasti mertuanya itu tidak akan tinggal diam dan melakukan sesuatu agar Brama meninggalkannya.Brama menyelipkan telapak tangannya ke belakang telinga Nawa, menyibak rambut legam itu. “Sayang, aku bukan anak kecil yang bisa dengan mudah dilarang atau ditahan. Suamimu ini sudah dewasa, sudah bisa membuat anak, dan mau jadi bapak-bapak. Jadi, nggak akan semudah itu ditahan di sana. Pokoknya kamu tenang saja. Insyaallah aku akan kembali. Kalau mereka melarang, aku akan me
“Sorry, Bim. Kalau sekarang gue nggak bisa. Ada acara di rumah,” jawab Brama.“Nggak usah alesan! Sekali ini aja tolong lo datang. Daddy sudah beberapa hari ini nggak sadar. Lo nggak takut menyesal kalau sampai dia tiada dan lo belum sempet minta maaf, nggak sempet ketemu untuk yang terakhir kali? Bentar, gue alihkan dengan video call. Biar lo lihat sendiri betapa memprihatinkannya pria yang sudah menyumbangkan kecebongnya sampai lo bisa ada di dunia ini."Bima mengubah panggilan menjadi video call. Di sana memperlihatkan Boby tengah berbaring tak berdaya dengan beberapa alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya. Sementara Bima memakai APD yang dikhususkan untuk masuk ruang ICU.“Kenapa lo baru bilang sekarang di saat gue sibuk, hah! Gue nggak alesan, gue beneran sibuk. Ada acara penting di sini!"“Mau ada acara apa? Apa lebih penting daripada bokap lo, hah!”“Ini acara sakral Nawa! Gue nggak bisa meninggalkan di mana saat ini acara intinya.”“Lo bucin boleh, tapi jangan durhaka-d
Nawa mengangguk. “Ya. Terlebih orang tua Sir. Setelah aku lahiran, baru Sir boleh mengabari mereka. Aku nggak mau mereka berbuat sesuatu untuk mencelakakan calon anak kita.”“Bapakmu juga? Nggak mau mengabari mereka berita bahagia ini?”Nawa menggeleng. “Nggak usah dulu sebelum calon anak kita benar-benar berkembang dan sehat. Minimal empat bulanlah.”“Baiklah. Apa pun yang membuatmu nyaman, aku turuti. Tapi untuk pekerja di rumah ini harus tahu, biar mereka ikut jaga kamu.” Brama meraba perut sang istri, mengelusnya lembut. “Sayang, ceritakan padaku kapan pertama kali tahu kalau hamil.”“Baru beberapa hari yang lalu, sih.”“Gimana perasaanmu?”Nawa membalik tubuh, menghadap suaminya. Ia membelai rahang tegas yang bersih dari rambut tersebut. “Nangis.”“Nggak bahagia?”“Lebih dari itu. Rasanya seperti dahaga setelah kemarau sekian lama, lalu Allah menurunkan hujan. Yang ada rasa syukur yang luar biasa sampai nggak bisa diucapkan dengan kata-kata. Kalau Sir? Bahagia nggak?”Brama terke
“Sinikan ponselnya. Kamu nggak perlu banyak pikiran. Biar kuurus peneror itu. Sekarang, tolong hanya fokuskan pikiranmu untuk calon anak kita.” Brama menengadahkan tangan. Ia dan sang istri tiba di depan apotek klinik. Pria itu mengajak duduk istrinya dengan tangan masih merangkul.Nawa melengos. “Bilang aja mau meladeni dia, mau ketemu dia, trus habis itu jatuh cinta.”“Astaga, kamu bersikap menyebalkan seperti ini kuanggap maklum karena kamu sedang hamil. Kalau tidak, sudah kumakan kamu. Heran, kerjaannya suudzon terus sama suami.”“Lah iya, harus dicurigai terus. Salah siapa selalu bikin masalah.”“Kamu yang bikin masalah sebenarnya. Sudah kujelaskan itu orang gila. Atau mungkin Stevie yang sengaja membuat huru-hara lagi. Tapi tunggu, katanya tadi kamu ke sini untuk perawatan yang lain, tapi kenapa pas di dalam tadi beda?”Nawa hanya melirik, tidak menjawab.“Nyonya Annawa!” Suara dari meja administrasi membuat keduanya bangkit.“Kamu duduk di sini saja, biar aku yang ambil obat sa
“Paket? Pesan? Apaan?” Wanita itu menatap Brama dengan pandangan menyelidik. “Aku nggak ngirim apa-apa.”“Oh, bukan kamu, ya? Lalu siapa? Oh, orang iseng mungkin.” Brama merutuki mulutnya yang terlalu tidak sabar bertanya. Harusnya ia bisa berhati-hati menghadapi jebakan ini.Wanita itu lalu berkacak pinggang. “Aku jadi curiga. Pesan apa? Siniin ponselnya. Mau kulihat!”Ialah Nawa yang baru keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ruang periksa.“Ah, bukan apa-apa. Lupakan. Lalu kenapa kamu ada di sini, Sayang?”"Jangan mengalihkan bahasan! Paket dan pesan apaan?""Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kamu keluyuran sampai sini? Katanya sudah stop Promil?"“Aku udah terbiasa periksa sama Dokter Rani. Sir tahu itu. Hari ini aku ada jadwal perawatan Miss V. Harusnya aku yang tanya. Ngapain Sir keluyuran di sini?” Nawa menyeret sang suami pindah ke tempat lebih tepi agar tidak mengganggu jika ada yang ingin ke toilet.“Oh, itu tadi–““Siniin ponsel Sir. Pasti ada yang nggak beres.”“Ngg