Beberapa hari membiarkan barangnya masih ada di kos-kosan, hari ini Nawa berniat mengambilnya. Ia akan pergi ke Gresik tanpa memberi tahu Brama. Sekalian ia akan menyelidiki kelakuan sang tunangan saat di belakangnya.Terlebih setelah Nawa mendengar nama Elea disebut, pikirannya tambah kacau. Saat meminta penjelasan dari Brama, pria itu berkata kalau Nawa salah dengar.Bukan perasaan cemburu yang dimiliki Nawa, tetapi rasa takut berlebih. Ia takut hanya dijadikan permainan pria sultan itu. Secara ia sadar, tidak masuk akal rasanya pria tampan dan sekaya itu bisa menyukainya jika tidak ada maksud tersembunyi.Nawa masih berusaha sabar. Namun, jika terbukti dipermainkan, ia berjanji akan membatalkan pernikahan tanpa peduli risiko yang diterima.“Pak, aku berangkat dulu. Tapi ingat, jangan kasih tahu Sir Brama,” pamit Nawa.“Kenapa memangnya?”“Takut khilaf.” Nawa tertawa. “Dulu kami masih rekan kerja, tapi kalau sudah tunangan gini, takut dia merasa berkuasa penuh dengan diriku karena k
Nawa mengelus cincin tunangannya dengan jari jempol. Ia tidak menyangka Brama akan setega ini dengannya. Wanita itu ingin berteriak atau melemparkan rantang ke wajah tunangannya, tetapi mati-matian menahan diri. Ia tidak boleh terlihat barbar.“Mas Yadi, sepertinya kedatangan saya tidak tepat. Tuan Mas Yadi sendang sibuk. Saya permisi saja. Titip ini buat Sir Brama. Kalau dia tidak mau, buat Mas Yadi saja.” Nawa menyerahkan rantangnya pada Yadi.“Tap-tapi.”“Jangan bilang kalau saya datang.”“Non, tapi–“Nawa hanya tersenyum, lalu mengangguk. Ia bergegas berjalan menjauhi rumah sang tunangan.“Nona Nawa!” teriak Yadi.Mendengar nama Nawa disebut, Brama menoleh ke arah pintu."Yadi, ada apa?"“Sir, Nona Nawa barusan ke sini, lalu pergi.”“Apa! Sekarang di mana?” Brama menyentak tubuh Elea kasar sampai wanita itu hampir terjatuh."Mungkin masih di luar."Brama berlari keluar rumah dan masih mendapati Nawa berjalan cepat di pekarangan rumahnya.“Nawa!” Teriakan Brama diabaikan oleh Nawa.
“Sir lepas! Tolong!” Nawa memekik sambil terus berontak memukuli Brama.“Nggak akan. Kamu sudah membuat saya marah, Nawa. Bukankah sudah saya katakan, kalau kamu ingin lepas dari saya, melayani saya di ranjang adalah hukumannya.”“Kamu itu brengsek, Sir! Kamu masih berhubungan dengan Elea sampai dia hamil!”“Apa telingamu tuli, hah! Sudah saya jelaskan semuanya tadi! Elea juga mengakui kalau itu bukan anaksaya! Pasti semua ini hanya akal-akalanmu biar bisa terbebas dari saya.”Brama mengangkat Nawa. Meskipun sudah berusaha keras untuk berontak, nyatanya Nawa tetap kalah. Wanita itu terkapar di atas ranjang sambil menyilangkan tangan di depan dada. Brama mengungkung di atasnya dengan bertelanja*ng dada. Embusan pria itu tidak beraturan. Pandangan liar Brama, bertumbukan dengan mata sendu Nawa.Mata Nawa sembab, air terus keluar dari sana. “Sir, saya mohon jangan apa-apakan saya. Ini namanya pemerkosa*n!”Brama malah mendekatkan wajah. Nawa spontan terpejam.“Saya tanya sekali lagi, apa
Esok harinya, Nawa belum kembali ke Nganjuk. Namun, ia mengaku ke Brama kalau sudah pulang. Semua dilakukan demi meminimalkan serangan berbahaya mendadak dari pria tersebut. Sore hari setelah jam kantor, Nawa membuat janji temu dengan Sari di sebuah kafe. Nawa sengaja tiba lebih dulu dan memilih menunggu. Setelah beberapa saat menanti, sahabatnya itu datang seraya memekik. “Wawaaa!” Sari berlari dan langsung menubruk Nawa yang sedang duduk manis. “Kangeen!” Dua hawa itu melepas rindu dengan heboh setelah cipika-cipiki dan berpelukan dramatis. “Apa kabar?” tanya Nawa. “Kabar buruk. Kamu sih, tiba-tiba ilang dari kantor setelah titip barang ke Sir Brama. Nomor nggak aktif, hari ini hubungi aku ternyata ganti nomor. Gara-gara kamu, sampai-sampai Presdir ngamuk sama aku.” Nawa terbahak-bahak. “Ya maaf. Panjang ceritanya. Duduk dulu, pesen minum dan makan. Baru aku cerita.” Sari mengangguk, lalu memesan minuman. “Sudah, sekarang kamu bisa cerita dan aku siap mendengarkan,” ujar Sari
“Nggak! Lo di sini saja. Baru datang pasti lo capek,” ujar Brama sambil berjalan.“Pokoknya gue ikut. Besok akhir pekan, Bre. Setidaknya masih ada waktu buat istirahat di hotel sana.” Bima mengekor di belakang sang kakak sambil menyeret koper.“Yadi atau Gilang! Salah satu dari kalian antar saya ke Nganjuk sekarang!” pekik Brama.“Perlu naik pesawat nggak untuk sampai ke sana?” Bima menyela.“Ya. Pesawat kertas.”Bima terpingkal-pingkal. Di antara tiga saudaranya, ia yang paling ramai. Pria yang menjadi orang terbesar kedua di Sunmond Food ini paling suka mengerjai dua kakaknya yang cenderung kaku dan serius.**Setelah beberapa jam perjalanan, Brama dan Bima tiba di Nganjuk dan langsung menuju rumah sakit di mana Heru dirawat menurut informasi mata-mata Brama.“Yadi, usut tuntas siapa yang sudah membuat Pak Heru seperti ini. Koordinasi sama Polsek dan Polres. Jangan sampai pelakunya lolos,” tekan Brama saat keduanya sampai. “Saya ke Nawa dulu. Dan lo, Bim. Booking-lah hotel dulu biar
“No, Sir, No.” Nawa terus menggeleng.“Wiw, wow, wow. Amazing banget brether gue!” Bima memekik. “Agak laen, hukumannya langsung dikawin.”Brama mengoperasikan ponsel, lalu meletakkan pada telinganya. “Tolong ke rumah sakit sekarang juga. Bawa satu pemuka agama di desa dan satu saksi. Saya ingin menikahi Nawa. Nanti saya share loc rumah sakitnya.”“Sir!” Nawa menggeleng, air matanya berlinang. “Bukan pernikahan yang prosesnya dicicil seperti ini yang saya mau! Saya ingin menikah sekali dan untuk seumur hidup!”Brama menatap Nawa tajam. “Saya nggak peduli. Dan saya mengajakmu menikah, bukan mengajak berz*na. Jadi, di mana letak salahnya?”“Tapi saya nggak mau nikah sekarang!”“Bre, kalau kakak ipar menolak, jangan dipaksa.” Bima berusaha bernegosiasi.“Diam lo, Bim. Ini hidup gue. Gue nggak mau Nawa dan keluarganya disentuh lagi orang jahat di luar sana. Dan beginilah cara gue melindunginya. Gue yakin kecelakaan ini ada campur tangan orang tua kita.”Nawa terkulai. Ini belum menjadi is
“Mr. Boby,” jawab Yadi di seberang.Tangan Brama spontan mencekal pergelangan tangan Nawa. Seolah-olah refleks bentuk perlindungan pada wanita yang baru dinikahinya tersebut.“Sir, lepas. Saya ingin membuka pintu,” ujar Nawa.Akan tetapi, Brama tidak juga melepaskan cekalan.“Sudah kamu pastikan?” tanya Brama pada Yadi.“Sudah. Saya ancam pelaku yang menabrak, mengaku disuruh seseorang. Seseorang itu disuruh rekannya. Saya telusuri terus dan ujungnya mengerucut pada Mr. Boby.”“Kurang ajar. Kamu ada buktinya, kan?”"Ada, Sir.”“Bagus. Jaga baik-baik buktinya dan segera kirim ke email saya. Yadi, carikan rumah. Di kota ini. Lalu hubungi rekanmu yang lain untuk menjaga Pak Heru di rumah sakit. Usahakan tidak kentara dalam menjalankannya.”“Siap, Sir.”“Ya sudah, terima kasih. Kamu istirahatlah di hotel yang sama dengan Bima.”“Baik. Terima kasih, Sir.”Telepon dimatikan, Nawa masih dipaksa terus mendengarkan. Meski tidak paham, ia sedikit tahu Brama tengah meradang.“Kenapa pintunya bel
“Nawa! Mulai nakal sekarang, ya!” desis Brama. Pria itu terkejut atas aksi sang istri yang tidak disangka-sangka.Nawa tertawa. Ia mencoba berdiri, tetapi ditarik Brama sampai terjatuh di pangkuan.“Siapa yang ngajari? Kelihatannya alim, tapi ternyata kayak gini?” Brama menggelitiki istrinya sampai Nawa harus menahan tawa.“Ampun, Sir. Ampun.”Brama mengurung tubuh istrinya dengan tangan kiri. Sementara jari tangan kanan terus bergerak di pinggang istrinya. Posisi Nawa ada dalam pangkuannya membelakangi Brama.“Enough, Sir. Ampun.”“Katakan, apa kamu pernah mencium mantanmu juga saat pacaran dulu seperti yang baru kamu lakukan ke saya? Apa kamu seagresif ini dari dulu?”Tawa Nawa terhenti seketika. Wajahnya berubah sendu. Pun jari Brama tidak lagi mengusili sang istri. Nawa ingin melepaskan diri, tetapi tubuhnya dikurung erat dan tidak bisa lepas.“Sorry to say,” ujar Brama lembut.“Jadi menurut Sir, saya wanita sebebas itu hanya karena saya mencuri ciuman dari Sir?”“No, ucapan tadi
Kehidupan Brama dan Nawa banyak berubah setelah memiliki anak. Tentu saja membawa mereka pada vibes positif. Meskipun menjadi orang tua tidaklah mudah, mereka berusaha memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya. Kanza dan Kenzo menjadi pelipur lelah mereka.Setelah diberi mandat dari Boby untuk mengelola Sunmond Care, Pasutri tersebut pindah ke Gresik. Ida dan pengasuh Kembar dibawa ikut serta. Rumah di Nganjuk tidak dikosongkan, melainkan ada yang ditugaskan menempati. Rumah itu untuk investasi dan tujuan ketika pulang kampung. Kadang Zidan dan Alvina sengaja menginap di sana. Atau Heru jika ingin.Beberapa bulan setelah kelahiran Twin, Gilang menikah. Sebagai hadiah karena kesetiaan, ia dan Yadi dipercaya mengelola pabrik air mineral Brama yang sedang masa berjaya. Tentu saja masih tetap dalam pengawasan Brama. Sebagai pengawal pengganti, sudah ada pengganti yang sudah lolos uji dari Gilang dan Yadi. Tingkat kesetiaannya harus setara.Untuk bisnis aplikasi di luar negeri, Brama masi
“Lo jangan membuat huru-hara di tengah kebahagiaan gue, ya, Bim. Gue potong sosis lo kalo macem-macem!" ancam Brama.“Wey, wey, wey! Santai. Jangan anarkis!"“Lalu apa maksud lo bilang begitu?”“Maksud gue, gue dalam bahaya besar karena sepertinya Daddy akan membagi warisannya ke anak-anak lo juga. Jatah gue berkurang, njir!”Semua yang ada di sana menahan senyum. Sementara Brama mengangkat tangannya yang terkepal ke arah sang adik. “Ambil sono jatah Kembar. Gue nggak butuh. Dasar duda tamak!”“Sudah jadi bapak kudu sabar weh. Nggak malu sama anaknya kalau bapaknya emosian?” sindir Bima lagi, membuat Brama ingin menendang adiknya itu ke inti bumi.“Tiba-tiba Daddy dapat inspirasi dari ucapan Bima. Sebagai hadiah dan rasa syukur atas lahirnya si kembar, Daddy kasih saham Sunmond Care untuk mereka. Di sana kepemimpinan resminya masih kosong. Jadi, Brama yang harus mengelolanya karena si kembar belum memungkinkan. Akan Daddy urus segera pengalihannya. Kalau perlu saat ini juga. Mom, mana
Brama menghentikan laju bed di mana sang istri tengah berbaring sebelum benar-benar masuk ruang perawatan. Ia menatap bergantian pada keluarganya yang ada di dalam ruangan.“Siapa yang mengizinkan kalian masuk! Untuk apa kalian ke sini?” pekik Brama.Mereka diam.Sementara Nawa sudah histeris. Ia ketakutan jika anaknya sampai disakiti atau dibawa keluarga suaminya itu.“Sayang, tenang. Nggak akan kubiarkan mereka mengambil anak-anak.” Brama terus menggenggam telapak tangan istrinya dengan tangan kiri.“Sir, suruh mereka pergi. Kumohon.”“Iya, tapi kamu jangan panik."Brama ganti menatap perawat yang mengantar. “Saya mau istri saya pindah kamar.”Brama lalu menghubungi Gilang. “Kerahkan pasukan. Perketat keamanan ruang bayi. Pastikan tidak ada orang asing masuk. Terlebih jangan biarkan keluarga Tangerang mendekat.”Brama mengode dengan kepala pada perawat agar Nawa urung dimasukkan. Ia ingin sang istri dijauhkan dari ruangan tersebut. Namun, Bima sudah lebih dulu berhasil mencekal pingg
“Lo aja yang ke sana. Gue mau balik.” Brama hendak menutup kembali pintu kamar, tetapi ditahan oleh Bima.“Kenapa? Lo mau melarikan diri? Atau takut ketemu daddy? Gue curiga semalem lo bicara aneh sama dia sampai tiba-tiba sadar gini.”“Suudzon aja lo.”“Pokoknya lo harus ikut.” Bima menyeret lengan sang kakak.“Gue masih pakai sarung njir. Bentar gue ganti baju dulu.” Brama menepis tangan Bima kasar.“Ya udah, gue tunggu. Takutnya lo kabur. Yang gantle, Bre. Masa takut sama daddy.”“Gue nggak takut. Sembarangan mulut lo.”Brama masuk kamar, lalu mengganti pakaian dengan celana panjang dan kaus, lantas memakai jaket. Ia dan sang adik kemudian menuruni anak tangga.“Bima! Ke mana ini anak? Tadi ngajak cepat-cepat, sekarang malah ilang!” Terdengar gerutu Gahayu di lantai bawah. Wanita tersebut mondar-mandir tak jelas.“Iya, aku datang!” balas Bima dengan suara keras. Ia turun bersisian dengan Brama.“Dasar kamu it–“ Kalimat Gahayu tidak terucap sempurna tatkala melihat siapa yang ada di
“Bukan gitu. Cuma firasatku nggak enak. Takut mereka menahan dan melarang Sir menemuiku lagi. Aku takut mereka memisahkan kita.” Bibir Nawa mengerucut. Ia menatap suaminya sendu.Brama tersenyum. Ia menghentikan aktivitasnya, mendekati sang istri. “Apa ini artinya kamu sudah benar-benar bucin sama suamimu ini, hm? Sampai-sampai ditinggal sebentar saja tantrum gini.”Nawa mengangguk tanpa ragu. Ia sudah terbiasa ditinggal Brama dalam urusan bisnis. Namun sekarang, rasanya beda saat Brama akan meninggalkannya ke Tangerang. Pasti mertuanya itu tidak akan tinggal diam dan melakukan sesuatu agar Brama meninggalkannya.Brama menyelipkan telapak tangannya ke belakang telinga Nawa, menyibak rambut legam itu. “Sayang, aku bukan anak kecil yang bisa dengan mudah dilarang atau ditahan. Suamimu ini sudah dewasa, sudah bisa membuat anak, dan mau jadi bapak-bapak. Jadi, nggak akan semudah itu ditahan di sana. Pokoknya kamu tenang saja. Insyaallah aku akan kembali. Kalau mereka melarang, aku akan me
“Sorry, Bim. Kalau sekarang gue nggak bisa. Ada acara di rumah,” jawab Brama.“Nggak usah alesan! Sekali ini aja tolong lo datang. Daddy sudah beberapa hari ini nggak sadar. Lo nggak takut menyesal kalau sampai dia tiada dan lo belum sempet minta maaf, nggak sempet ketemu untuk yang terakhir kali? Bentar, gue alihkan dengan video call. Biar lo lihat sendiri betapa memprihatinkannya pria yang sudah menyumbangkan kecebongnya sampai lo bisa ada di dunia ini."Bima mengubah panggilan menjadi video call. Di sana memperlihatkan Boby tengah berbaring tak berdaya dengan beberapa alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya. Sementara Bima memakai APD yang dikhususkan untuk masuk ruang ICU.“Kenapa lo baru bilang sekarang di saat gue sibuk, hah! Gue nggak alesan, gue beneran sibuk. Ada acara penting di sini!"“Mau ada acara apa? Apa lebih penting daripada bokap lo, hah!”“Ini acara sakral Nawa! Gue nggak bisa meninggalkan di mana saat ini acara intinya.”“Lo bucin boleh, tapi jangan durhaka-d
Nawa mengangguk. “Ya. Terlebih orang tua Sir. Setelah aku lahiran, baru Sir boleh mengabari mereka. Aku nggak mau mereka berbuat sesuatu untuk mencelakakan calon anak kita.”“Bapakmu juga? Nggak mau mengabari mereka berita bahagia ini?”Nawa menggeleng. “Nggak usah dulu sebelum calon anak kita benar-benar berkembang dan sehat. Minimal empat bulanlah.”“Baiklah. Apa pun yang membuatmu nyaman, aku turuti. Tapi untuk pekerja di rumah ini harus tahu, biar mereka ikut jaga kamu.” Brama meraba perut sang istri, mengelusnya lembut. “Sayang, ceritakan padaku kapan pertama kali tahu kalau hamil.”“Baru beberapa hari yang lalu, sih.”“Gimana perasaanmu?”Nawa membalik tubuh, menghadap suaminya. Ia membelai rahang tegas yang bersih dari rambut tersebut. “Nangis.”“Nggak bahagia?”“Lebih dari itu. Rasanya seperti dahaga setelah kemarau sekian lama, lalu Allah menurunkan hujan. Yang ada rasa syukur yang luar biasa sampai nggak bisa diucapkan dengan kata-kata. Kalau Sir? Bahagia nggak?”Brama terke
“Sinikan ponselnya. Kamu nggak perlu banyak pikiran. Biar kuurus peneror itu. Sekarang, tolong hanya fokuskan pikiranmu untuk calon anak kita.” Brama menengadahkan tangan. Ia dan sang istri tiba di depan apotek klinik. Pria itu mengajak duduk istrinya dengan tangan masih merangkul.Nawa melengos. “Bilang aja mau meladeni dia, mau ketemu dia, trus habis itu jatuh cinta.”“Astaga, kamu bersikap menyebalkan seperti ini kuanggap maklum karena kamu sedang hamil. Kalau tidak, sudah kumakan kamu. Heran, kerjaannya suudzon terus sama suami.”“Lah iya, harus dicurigai terus. Salah siapa selalu bikin masalah.”“Kamu yang bikin masalah sebenarnya. Sudah kujelaskan itu orang gila. Atau mungkin Stevie yang sengaja membuat huru-hara lagi. Tapi tunggu, katanya tadi kamu ke sini untuk perawatan yang lain, tapi kenapa pas di dalam tadi beda?”Nawa hanya melirik, tidak menjawab.“Nyonya Annawa!” Suara dari meja administrasi membuat keduanya bangkit.“Kamu duduk di sini saja, biar aku yang ambil obat sa
“Paket? Pesan? Apaan?” Wanita itu menatap Brama dengan pandangan menyelidik. “Aku nggak ngirim apa-apa.”“Oh, bukan kamu, ya? Lalu siapa? Oh, orang iseng mungkin.” Brama merutuki mulutnya yang terlalu tidak sabar bertanya. Harusnya ia bisa berhati-hati menghadapi jebakan ini.Wanita itu lalu berkacak pinggang. “Aku jadi curiga. Pesan apa? Siniin ponselnya. Mau kulihat!”Ialah Nawa yang baru keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ruang periksa.“Ah, bukan apa-apa. Lupakan. Lalu kenapa kamu ada di sini, Sayang?”"Jangan mengalihkan bahasan! Paket dan pesan apaan?""Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kamu keluyuran sampai sini? Katanya sudah stop Promil?"“Aku udah terbiasa periksa sama Dokter Rani. Sir tahu itu. Hari ini aku ada jadwal perawatan Miss V. Harusnya aku yang tanya. Ngapain Sir keluyuran di sini?” Nawa menyeret sang suami pindah ke tempat lebih tepi agar tidak mengganggu jika ada yang ingin ke toilet.“Oh, itu tadi–““Siniin ponsel Sir. Pasti ada yang nggak beres.”“Ngg