“Hey, slow, Nawa. Ada apa ini?” tanya Brama sambil terus menahan senyum. Lengan bajunya diserat Nawa, entah akan dibawa ke mana ia.“Nawa, apa kamu terlalu berna*su denganku sampai segininya? Apa yang kamu inginkan dariku? Jangan-jangan kamu mau menodaiku." Brama kembali menggoda.“Diam!”Tiba di tempat sepi, Nawa berhenti. Ia melepaskan cekalan di lengan baju Brama sambil berkacak pinggang.“Kenapa kamu bohong?” tanya Nawa mengintimidasi.“Bohong masalah apa?”“Pas di rumah sakit, katamu aku hamil. Kenapa kamu ngomong gitu? Padahal aku nggak hamil. Keterlaluan kamu, ya!”Bukannya merasa bersalah, Brama malah terpingkal-pingkal. “Tapi nyatanya saat itu kamu percaya, kan? Aku jadi curiga kalau kamu pernah ‘itu’ sampai segitu takutnya dan percaya saat aku bilang kamu hamil. Kalau nggak pernah, kamu pasti akan menyangkal atau ngamuk dan nggak percaya sama yang aku ucapkan. Hayo ngaku?”“Ini bukan hal lucu yang pantas kamu tertawakan, Brama!” Bahkan Nawa tidak lagi memberi embel-embel mas
Bagaimana mungkin Nawa bisa lupa dengan wajah pria yang pernah menodainya? Ya, katakanlah saat itu ia tidak dalam kondisi dipaksa, tetapi jatuhnya tetap ternoda, bukan? Apalagi warna mata pria itu. Mata yang seumur hidup akan melekat kuat dalam memori otaknya.Banyak wartawan terutama pemburu berita bisnis dan paparazi yang mengambil gambar, sesekali mendekat, ingin mewawancarai Brama. Namun, dua orang asisten setia melindungi tubuh sang bos.“Nawa, dia ini manusia apa bidadari laki-laki, sih? Sumpah gantengnya sundul langit nggak ada cela.” Sari berbicara lirih, tetapi gelagatnya begitu gemas memandang Brama.Nawa masih membeku. Menghirup udara saja rasanya kepayahan. Seolah-olah paru-parunya diikat kuat sebuah tali tak kasat mata. Pertemuan pertama di Bali, lalu bagaimana mungkin bertemu lagi di Gresik ini?“Ini kayak cerita novel nggak sih? Dulu aku suka mem-bully penulisnya, kenapa bisa membuat plot sengawur itu. Lah, sekarang aku kayak kena tulah, malah ngalami sendiri.” Nawa mem
Wanita bekas, dua kata yang diucapkan Brama terasa menancap paksa seperti pedang yang dihunus di pikiran Nawa. Bagi pria itu, Nawa hanya sebatas apa yang diucapkan.Kaca-kaca di mata Nawa siap pecah. Ia ingin mengelak atau membalas ucapan pedas pria di hadapan, tetapi sadar diri. Brama benar, ia hanya bekas dan itulah kenyataannya. Secara tidak langsung, Brama menilai dirinya wanita murahan.“Oh, ya, apakah benih saya tumbuh di rahimmu setelah kejadian itu?” Brama menatap perut Nawa.“Saya nggak nyangka, seperti ini pria yang sudah merusak hidup saya. Tidak sadarkah Anda kalau Anda itu begitu breng*ek?”Brama tertawa, lalu kembali ke kursinya. Ia membuka laptop dan mulai mempelajari lebih detail data perusahaan.“Padahal kalau kamu hamil, saya bersedia bertanggung jawab. Lumayan, punya anak tanpa harus menikah. Itu pun kalau kamu melakukannya hanya dengan saya. Tapi kalau kamu lakukan dengan pria lain juga maka–““Stop!” Kaca-kaca di mata Nawa pecah. Ia menangis.“Hey, harusnya kamu b
Tiba di kos-kosan, Nawa sengaja mematikan sambungan internet di ponselnya. Meskipun ia dan Brama belum bertukar nomor, Nawa yakin tidak sulit bagi pria itu mendapatkan nomornya. Ia harus berjaga-gara agar bos killer itu tidak menerornya. Setelah berpikir matang-matang, Nawa memutuskan untuk membuat surat pengunduran diri untuk diserahkan pada HRD besok. Ia benar-benar tidak bisa bekerja yang membuatnya lelah tenaga, pikiran, dan hati. Masalah video, jika menyebarkannya bukankah sama saja Brama bunu* diri? Wanita yang saat ini memakai kacamata tersebut mengacak rambut hitamnya frustrasi saat surat yang dibuat beberapa kali terdapat kesalahan hingga harus mengulang lagi dari awal. “Fokus, Nawa fokus,” gumamnya. Nawa kembali menulis ulang surat pengunduran diri tersebut di meja kecilnya. Namun, di tengah kegiatan ia justru menangis. “Andai Mas Agung masih ada." Nawa melepas kacamatanya, lalu menyingkirkan kertas dan pen. Ia mengambil foto Agung dalam pigura. Dielusnya foto itu. “Ma
Brama berjalan cepat menghampiri Nawa. Ia mencekal tali tas wanita itu, kemudian sedikit menyeret masuk kantor. Tentu saja dengan pemaksaan sebab Nawa tidak semudah itu menurut padanya.“Sir, Anda laki tapi mulut lemes banget, ya? Saya bukan calon suami Sir.”“Diam atau akan saya bungkam mulutmu pakai bibir saya,” desis Brama.“Bram!” teriak Elea. Namun, ia tidak bisa masuk karena sekuriti dan Yadi menghalangi.“Ini aku lagi siaran langsung! Aku yakin kamu lagi nge-prank aku! Brama!” pekik Elea lagi.Nawa menoleh, menatap Elea. Ia mencoba mengingat-ingat wajah wanita itu. Namun, ia benar-benar lupa.“Sir, lepas!” pekik Nawa saat keduanya ada di lift dan Brama belum juga melepaskan cekalan. “Lepas! Kalau tidak, kali ini bukan telor saja yang pecah, tapi beserta cacingnya yang akan saya cincang!”Brama masih bersikap tenang. “Oh, cacing?”Pria itu mencoba membuka ritsleting celananya.“Sir, stop!” Nawa menutup wajah.“Dari tadi kamu terus memancing saya. Di lift hanya kita berdua, Nawa.
“Atau pilihan ketiga. Ini pilihan yang paling menarik. Kamu boleh resign, tapi menikah dengan saya. Pilih salah satu di antara ketiga itu,” tambah Brama serius.“Sir, dari kemarin Anda bicara pernikahan. Sekarang menawarkan pernikahan. Apa yang membuat Anda begitu bersikukuh ingin menikahi saya? Keuntungan apa yang Anda dapat?” tanya Nawa.Brama terdiam. Tidak mungkin ia berkata demi memenuhi sebuah janji yang pernah diucapkan pada Yadi. Ia pria sejati. Sumpah dan memenuhi sumpah itu adalah harga mati baginya. Lalu jika beralasan karena cinta, Nawa jelas tidak percaya. Bisa-bisa ia ditertawakan wanita itu.Cinta. Sebuah alasan klise yang memang itulah kebenarannya. Rasa aneh itu menyusup secara tidak masuk akal. Berinteraksi dengan Nawa ketika masih menyamar sampai sekarang, mungkin perasaannya sebesar gundukan pasir. Tidak tinggi, tidak terlalu kokoh, tetapi butuh waktu melelahkan jika menghancurkannya.Brama sendiri tidak tahu kenapa bisa cinta secepat itu tumbuh. Mungkin hanya pela
Hari ini, Nawa berjalan menuju kantor dengan langkah sangat ringan. Belum pernah ia merasa seringan ini sebelumnya. Wanita anggun itu membawa berkas penting di tasnya. Ia tidak peduli tanggapan Brama nanti tentang berkas tersebut. Yang penting, ia ingin segera lepas dari kekuasaan sang Presdir.Dari kemarin, banyak pesan dan panggilan dari ‘Bos Kejam’ di ponsel Nawa. Namun, diabaikan.Tin!Bunyi klakson terdengar. Frengki membuka helm, lalu berhenti di samping Nawa.Meskipun kemarin Nawa kembali menolak, Frengki tidak gentar terus mengejar.“Maaf, Mas. Aku nggak bisa. Aku belum bisa membuat hubungan baru dengan pria lain atau meminta seseorang menungguku. Aku masih trauma. Aku masih ingin hidup bebas kayak gini tanpa beban apa pun. Aku harap Mas Frengki mengerti,” tolak Nawa kemarin.Frengki memang iya di luar, tetapi hatinya tidak gentar terus berjuang.“Mau dibonceng?” ajak Frengki.“Motornya sudah oke?”Frengki mengangguk.Nawa terdiam sebentar, lalu mengangguk. Sesekali tidak apa
Nawa menggeleng. “Saya sama sekali tidak percaya. Karena pria seperti Anda ini sangat pintar membual dan mempermainkan wanita.”Brama tersenyum miring. “Sama, saya pun juga tidak percaya kenapa kalimat tadi saya ucapkan. Sengaja, buat mengetes kamu. Dan ternyata kamu lulus tes. Kamu bukan wanita baperan.”Nawa lagi-lagi harus menahan amarah. Sepertinya sekarang ia harus menyetok banyak kesabaran sebab Brama punya banyak cara memancing tekanan darahnya naik.Brama kian mendekatkan wajah sampai Nawa harus menjauhkan diri.“Sir, menyingkir.” Nawa menunjuk dada kiri Brama, lalu menekannya agar tubuh Brama mundur.Brama tersenyum. Ia pun memundurkan badannya. “Jadi bagaimana? Kamu tetap keberatan menjadi sekretaris saya?”“Ya. Bukankah seharusnya Anda ini senang karena saya tidak meminta tanggung jawab apa pun setelah Anda merusak saya?”“Sayangnya saya tidak senang kalau harus pisah sama kamu. Kamu itu ibarat permainan, Nawa. Bermain-main sama kamu itu menyenangkan. Ada sensasi kesal, pua
Kehidupan Brama dan Nawa banyak berubah setelah memiliki anak. Tentu saja membawa mereka pada vibes positif. Meskipun menjadi orang tua tidaklah mudah, mereka berusaha memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya. Kanza dan Kenzo menjadi pelipur lelah mereka.Setelah diberi mandat dari Boby untuk mengelola Sunmond Care, Pasutri tersebut pindah ke Gresik. Ida dan pengasuh Kembar dibawa ikut serta. Rumah di Nganjuk tidak dikosongkan, melainkan ada yang ditugaskan menempati. Rumah itu untuk investasi dan tujuan ketika pulang kampung. Kadang Zidan dan Alvina sengaja menginap di sana. Atau Heru jika ingin.Beberapa bulan setelah kelahiran Twin, Gilang menikah. Sebagai hadiah karena kesetiaan, ia dan Yadi dipercaya mengelola pabrik air mineral Brama yang sedang masa berjaya. Tentu saja masih tetap dalam pengawasan Brama. Sebagai pengawal pengganti, sudah ada pengganti yang sudah lolos uji dari Gilang dan Yadi. Tingkat kesetiaannya harus setara.Untuk bisnis aplikasi di luar negeri, Brama masi
“Lo jangan membuat huru-hara di tengah kebahagiaan gue, ya, Bim. Gue potong sosis lo kalo macem-macem!" ancam Brama.“Wey, wey, wey! Santai. Jangan anarkis!"“Lalu apa maksud lo bilang begitu?”“Maksud gue, gue dalam bahaya besar karena sepertinya Daddy akan membagi warisannya ke anak-anak lo juga. Jatah gue berkurang, njir!”Semua yang ada di sana menahan senyum. Sementara Brama mengangkat tangannya yang terkepal ke arah sang adik. “Ambil sono jatah Kembar. Gue nggak butuh. Dasar duda tamak!”“Sudah jadi bapak kudu sabar weh. Nggak malu sama anaknya kalau bapaknya emosian?” sindir Bima lagi, membuat Brama ingin menendang adiknya itu ke inti bumi.“Tiba-tiba Daddy dapat inspirasi dari ucapan Bima. Sebagai hadiah dan rasa syukur atas lahirnya si kembar, Daddy kasih saham Sunmond Care untuk mereka. Di sana kepemimpinan resminya masih kosong. Jadi, Brama yang harus mengelolanya karena si kembar belum memungkinkan. Akan Daddy urus segera pengalihannya. Kalau perlu saat ini juga. Mom, mana
Brama menghentikan laju bed di mana sang istri tengah berbaring sebelum benar-benar masuk ruang perawatan. Ia menatap bergantian pada keluarganya yang ada di dalam ruangan.“Siapa yang mengizinkan kalian masuk! Untuk apa kalian ke sini?” pekik Brama.Mereka diam.Sementara Nawa sudah histeris. Ia ketakutan jika anaknya sampai disakiti atau dibawa keluarga suaminya itu.“Sayang, tenang. Nggak akan kubiarkan mereka mengambil anak-anak.” Brama terus menggenggam telapak tangan istrinya dengan tangan kiri.“Sir, suruh mereka pergi. Kumohon.”“Iya, tapi kamu jangan panik."Brama ganti menatap perawat yang mengantar. “Saya mau istri saya pindah kamar.”Brama lalu menghubungi Gilang. “Kerahkan pasukan. Perketat keamanan ruang bayi. Pastikan tidak ada orang asing masuk. Terlebih jangan biarkan keluarga Tangerang mendekat.”Brama mengode dengan kepala pada perawat agar Nawa urung dimasukkan. Ia ingin sang istri dijauhkan dari ruangan tersebut. Namun, Bima sudah lebih dulu berhasil mencekal pingg
“Lo aja yang ke sana. Gue mau balik.” Brama hendak menutup kembali pintu kamar, tetapi ditahan oleh Bima.“Kenapa? Lo mau melarikan diri? Atau takut ketemu daddy? Gue curiga semalem lo bicara aneh sama dia sampai tiba-tiba sadar gini.”“Suudzon aja lo.”“Pokoknya lo harus ikut.” Bima menyeret lengan sang kakak.“Gue masih pakai sarung njir. Bentar gue ganti baju dulu.” Brama menepis tangan Bima kasar.“Ya udah, gue tunggu. Takutnya lo kabur. Yang gantle, Bre. Masa takut sama daddy.”“Gue nggak takut. Sembarangan mulut lo.”Brama masuk kamar, lalu mengganti pakaian dengan celana panjang dan kaus, lantas memakai jaket. Ia dan sang adik kemudian menuruni anak tangga.“Bima! Ke mana ini anak? Tadi ngajak cepat-cepat, sekarang malah ilang!” Terdengar gerutu Gahayu di lantai bawah. Wanita tersebut mondar-mandir tak jelas.“Iya, aku datang!” balas Bima dengan suara keras. Ia turun bersisian dengan Brama.“Dasar kamu it–“ Kalimat Gahayu tidak terucap sempurna tatkala melihat siapa yang ada di
“Bukan gitu. Cuma firasatku nggak enak. Takut mereka menahan dan melarang Sir menemuiku lagi. Aku takut mereka memisahkan kita.” Bibir Nawa mengerucut. Ia menatap suaminya sendu.Brama tersenyum. Ia menghentikan aktivitasnya, mendekati sang istri. “Apa ini artinya kamu sudah benar-benar bucin sama suamimu ini, hm? Sampai-sampai ditinggal sebentar saja tantrum gini.”Nawa mengangguk tanpa ragu. Ia sudah terbiasa ditinggal Brama dalam urusan bisnis. Namun sekarang, rasanya beda saat Brama akan meninggalkannya ke Tangerang. Pasti mertuanya itu tidak akan tinggal diam dan melakukan sesuatu agar Brama meninggalkannya.Brama menyelipkan telapak tangannya ke belakang telinga Nawa, menyibak rambut legam itu. “Sayang, aku bukan anak kecil yang bisa dengan mudah dilarang atau ditahan. Suamimu ini sudah dewasa, sudah bisa membuat anak, dan mau jadi bapak-bapak. Jadi, nggak akan semudah itu ditahan di sana. Pokoknya kamu tenang saja. Insyaallah aku akan kembali. Kalau mereka melarang, aku akan me
“Sorry, Bim. Kalau sekarang gue nggak bisa. Ada acara di rumah,” jawab Brama.“Nggak usah alesan! Sekali ini aja tolong lo datang. Daddy sudah beberapa hari ini nggak sadar. Lo nggak takut menyesal kalau sampai dia tiada dan lo belum sempet minta maaf, nggak sempet ketemu untuk yang terakhir kali? Bentar, gue alihkan dengan video call. Biar lo lihat sendiri betapa memprihatinkannya pria yang sudah menyumbangkan kecebongnya sampai lo bisa ada di dunia ini."Bima mengubah panggilan menjadi video call. Di sana memperlihatkan Boby tengah berbaring tak berdaya dengan beberapa alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya. Sementara Bima memakai APD yang dikhususkan untuk masuk ruang ICU.“Kenapa lo baru bilang sekarang di saat gue sibuk, hah! Gue nggak alesan, gue beneran sibuk. Ada acara penting di sini!"“Mau ada acara apa? Apa lebih penting daripada bokap lo, hah!”“Ini acara sakral Nawa! Gue nggak bisa meninggalkan di mana saat ini acara intinya.”“Lo bucin boleh, tapi jangan durhaka-d
Nawa mengangguk. “Ya. Terlebih orang tua Sir. Setelah aku lahiran, baru Sir boleh mengabari mereka. Aku nggak mau mereka berbuat sesuatu untuk mencelakakan calon anak kita.”“Bapakmu juga? Nggak mau mengabari mereka berita bahagia ini?”Nawa menggeleng. “Nggak usah dulu sebelum calon anak kita benar-benar berkembang dan sehat. Minimal empat bulanlah.”“Baiklah. Apa pun yang membuatmu nyaman, aku turuti. Tapi untuk pekerja di rumah ini harus tahu, biar mereka ikut jaga kamu.” Brama meraba perut sang istri, mengelusnya lembut. “Sayang, ceritakan padaku kapan pertama kali tahu kalau hamil.”“Baru beberapa hari yang lalu, sih.”“Gimana perasaanmu?”Nawa membalik tubuh, menghadap suaminya. Ia membelai rahang tegas yang bersih dari rambut tersebut. “Nangis.”“Nggak bahagia?”“Lebih dari itu. Rasanya seperti dahaga setelah kemarau sekian lama, lalu Allah menurunkan hujan. Yang ada rasa syukur yang luar biasa sampai nggak bisa diucapkan dengan kata-kata. Kalau Sir? Bahagia nggak?”Brama terke
“Sinikan ponselnya. Kamu nggak perlu banyak pikiran. Biar kuurus peneror itu. Sekarang, tolong hanya fokuskan pikiranmu untuk calon anak kita.” Brama menengadahkan tangan. Ia dan sang istri tiba di depan apotek klinik. Pria itu mengajak duduk istrinya dengan tangan masih merangkul.Nawa melengos. “Bilang aja mau meladeni dia, mau ketemu dia, trus habis itu jatuh cinta.”“Astaga, kamu bersikap menyebalkan seperti ini kuanggap maklum karena kamu sedang hamil. Kalau tidak, sudah kumakan kamu. Heran, kerjaannya suudzon terus sama suami.”“Lah iya, harus dicurigai terus. Salah siapa selalu bikin masalah.”“Kamu yang bikin masalah sebenarnya. Sudah kujelaskan itu orang gila. Atau mungkin Stevie yang sengaja membuat huru-hara lagi. Tapi tunggu, katanya tadi kamu ke sini untuk perawatan yang lain, tapi kenapa pas di dalam tadi beda?”Nawa hanya melirik, tidak menjawab.“Nyonya Annawa!” Suara dari meja administrasi membuat keduanya bangkit.“Kamu duduk di sini saja, biar aku yang ambil obat sa
“Paket? Pesan? Apaan?” Wanita itu menatap Brama dengan pandangan menyelidik. “Aku nggak ngirim apa-apa.”“Oh, bukan kamu, ya? Lalu siapa? Oh, orang iseng mungkin.” Brama merutuki mulutnya yang terlalu tidak sabar bertanya. Harusnya ia bisa berhati-hati menghadapi jebakan ini.Wanita itu lalu berkacak pinggang. “Aku jadi curiga. Pesan apa? Siniin ponselnya. Mau kulihat!”Ialah Nawa yang baru keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ruang periksa.“Ah, bukan apa-apa. Lupakan. Lalu kenapa kamu ada di sini, Sayang?”"Jangan mengalihkan bahasan! Paket dan pesan apaan?""Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kamu keluyuran sampai sini? Katanya sudah stop Promil?"“Aku udah terbiasa periksa sama Dokter Rani. Sir tahu itu. Hari ini aku ada jadwal perawatan Miss V. Harusnya aku yang tanya. Ngapain Sir keluyuran di sini?” Nawa menyeret sang suami pindah ke tempat lebih tepi agar tidak mengganggu jika ada yang ingin ke toilet.“Oh, itu tadi–““Siniin ponsel Sir. Pasti ada yang nggak beres.”“Ngg