Share

104. Gue Pidanakan

Penulis: Zuya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Brama mengucapkan salam ketika masuk, mengabaikan apa yang didengarnya tadi.

“Pak, sudah lama di sini?” tanya Brama sambil mencium tangan mertuanya takzim.

“Baru datang. Kamu juga kenapa nggak ngabari kalau Nawa sakit?”

“Putri Bapak yang minta dan mengancam agar saya tidak mengabari Bapak. Saya bisa apa?” Brama tergelak. Ia lalu mendekati Zidan. Keduanya lantas saling jabat tangan.

“Kukira adikku sakit karena kamu hajar,” kata Zidan. "Awas saja berani KDRT. Kita gelut."

Brama kembali tertawa sambil menghampiri Nawa. Ia mengulurkan tangan. Meskipun masih marah, Nawa menerima dan mencium tangan itu. Brama lantas menyentuh pelan hidung istrinya. “Wanita manis kayak gini kok dihajar apalagi KDRT, Mas. Rugi dong.”

Zidan tertawa, menepuk pundak adik iparnya.

Brama duduk di bed pasien bersama Nawa. Sesekali ia merangkul istrinya yang tengah merajuk tersebut. Nawa diam dan menerima diperlakukan demikian. Jika berontak, ia takut akan ketahuan Heru dan Zidan. Sesuai prinsip pernikahan, keduanya
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Nanik Ifayanti
Doble up dunk kak
goodnovel comment avatar
Iing Rukinah
bab ini aku nyesek bacanya
goodnovel comment avatar
permata eka
kirain bima bakal balik ke ortunya ternyata enggak bener² pengen buktiin klo dia jg bisa hidup meski tanpa uang keluarganya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   105. Berhadapan

    “Gue sedang kerja, Be*o! Lo nggak lihat? Urusan utang bisa nggak dibahas nanti!” bentak Bima kesal.“Gue maunya sekarang.” Brama lalu menatap rekan kerja sang adik. “Hei, kalian semua! Dengar! Pria ini breng*ek, punya utang banyak nggak ada niat bayar! Jadi, pecat saja dia!”“Bram, apa-apaan sih, lo!”“Sekarang biarkan saya membuat perhitungan sama pria breng*ek ini.”“Brama!”Brama hanya mengedikkan bahu. Pria itu lantas menyeret Bima menuju mobil. Dengan paksaan, akhirnya Bima duduk di kursi samping kemudi. Pria itu pasrah sebab Brama terus mengancam. Lantas, kendaraan roda empat tersebut melaju.“Lo mau menghancurkan hidup gue? Iya, gue tahu utang gue banyak, tapi nggak bisakah lo kasih gue kelonggaran, hah! Lo malah memutus rezeki gue!” Bima marah, tetapi suaranya bergetar. Perasaannya antara malu, marah, dan benci bercampur jadi satu saat melihat kakaknya.Brama masih memasang wajah datar tanpa ekspresi sambil mengemudi.“Dasar kakak gila! Harusnya gue pergi jauh dari kota ini!”

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   106. Duda

    Nawa terpejam, menitikkan air mata di samping pusara Agung. Setelah dari makam sang ibu, seperti biasa ia menyempatkan diri singgah di makam abdi negara ini. “Aku tuh egois, Mas. Saat bahagia sama Sir Brama, aku nggak mikirin kamu. Tapi kalau lagi sedih gini, kamu orang pertama yang kuingat. Aku jahat banget ya.” Nawa tertawa sumbang.Dari belakang, Brama menatap cemburu. Meskipun Agung sudah tiada, Brama justru melihat dari sudut berbeda. Keduanya berhadapan, Agung sedang menatap dan menikmati kecantikan istrinya. Atau bahkan mengelus wajah cantik Nawa. Brama menggeleng, mengusir pikiran gila itu. Ia pun mendekat.“Aku kangen sama kamu.” Ucapan Nawa terlontar ketika Brama tepat berada di belakangnya.Pria itu ingin mengelus kepala Nawa, tetapi urung. Kata kangen yang diucapkan istrinya itu untuk siapa? Ah, jelas bukan untuknya.Nawa terisak-isak. Ia sampai tidak menyadari ada suami yang berdiri di belakangnya.“Saat sekarat kemarin, aku lihat kamu sama ibu. Aku berpikir, mungkin aku

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   107. Puasa

    “Oh, punya anak duda? Lalu kamu juga masih ngarep dijadikan mantu sama dia?” tanya Brama seraya mengangguk-angguk. Ia bersedekap dan menatap tajam istrinya.“Sir tahu sendiri, kan, sikapnya beliau sama aku kayak apa? Baiknya nggak ketulungan pokoknya. Aku yakin beliau masih mengharapkanku jadi bagian keluarganya.” Nawa sengaja memanas-manasi. Bisa dibilang, ajang balas dendam secara halus.Telinga Brama mulai terbakar.“Jadi, ceritanya istri dari kakaknya Mas Agung itu meninggal nggak lama setelah kita nikah. Dia kerja di perusahaan batu bara di Kaliman–““Informasimu sangat nggak penting,” potong Brama. Ia menyerobot kasar makanan di kantong plastik dari tangan istrinya. Tanpa banyak kata, ia langsung masuk ke rumah.“Sir, mau kamu bawa ke mana!” pekik Nawa seraya mengejar.“Mau kubuang. Aku bisa membelikan yang lebih mahal, lebih enak, dan lebih sehat dari bubur sampah ini.”“Sir, jangan!”“Apa ini ribut-ribut?” tanya Heru yang keluar dari kamar.“Bubur dari Tante Nurul mau dibuang

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   108. Cara Berbeda

    Pandangan Nawa memang menatap jalanan ramai yang tampak di luar jendela, tetapi sejatinya pandangannya kosong. Pandangan hampa itu seiring pikiran yang bergemuruh layaknya jalanan padat yang tengah dilihatnya. Silih berganti masalah berseliweran dalam benak.Meskipun sudah berdamai dengan Brama, ada masalah yang masih membuatnya sesak. Terutama masalah kehamilan.Tiap bulan, Nawa selalu kontrol untuk program hamil. Semua dinyatakan sehat dan subur. Obat dan vitamin juga sudah rutin dikonsumsi. Sampai beberapa kali ganti dokter pun, semua dinyatakan baik-baik saja. Namun, tamu bulanannya juga masih rutin menghampiri.Setiap datang bulan, Nawa selalu murung. Kadang seperti mengalami gejala depresi. Mengamuk sendiri, menangis sendiri, menyakiti diri sendiri. Itu dilalui selama hampir setahun ini tanpa sepengetahuan Brama. Jika di hadapan sang suami, ia akan bersikap seolah-olah semua baik-baik saja. Padahal sebenarnya ia tersiksa, merasa tidak percaya diri, dan menyalahkan diri sendiri k

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   109. Pion Keberuntungan

    Beberapa minggu berlalu. Hari-hari dilalui dengan kebahagiaan dan berusaha melupakan pahitnya pertengkaran di masa lalu. Baik Nawa maupun Brama lebih berhati-hati dalam menjalani hari, berharap terhindar dari masa kelabu.Sampai pada akhirnya, Nawa mengungkapkan apa yang menjadi keinginannya.“Sir, ayo kita pijat perut biar sehat dan aku segera hamil.”“Apa!”Nawa mengulangi dengan takut.“Nggak usah neko-neko! Apalagi sampai pijat perut. No! Aku melarang kamu melakukan itu!”“Tapi, Sir–““Sudah berapa kali aku ngomong, anak itu bukan prioritas penting! Jadi jangan menyusahkan diri sendiri atau nyari penyakit! Kamu pikir nggak bahaya? Kalau sakit, siapa yang susah? Aku, kamu juga!”Nawa menunduk, cemberut.Brama mengembuskan napas panjang. “Nawa, sudah ratusan kali aku bilang, jangan terlalu stres mikir punya anak! Tapi kamu ... susah sekali diingatkan!”“Aku hanya berusaha, Sir. Tapi kamu malah marah.”“Jelas marah karena usahanya di luar nalar dan bahaya kayak gini! Jangan apa-apaka

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   110. Ular

    “Setelah sekian lama, kenapa kamu bertanya lagi tentang mereka?” tanya Brama.“Penasaran aja. Hubungan Sir sama mereka baik, kan?”“Baik. Tapi hanya baik sama Bima dan nggak pernah bahas betina. You know betina? Kamu sama Stevie. Karena kalau sudah bahas kalian, ujungnya kami bertengkar.”“Berarti Sir tahu tempat tinggal mereka?”Brama mengangguk. "Tahu. Ruko itu pun aku yang kasih."“Ayo kita ke sana.”“Ngapain?”“Pengen lihat mereka, tapi lihat dari jauh aja, nggak usah turun.”“Buat apa?”“Pengen aja. Cuma pengen lihat kalau mereka sehat.”"Jangan bilang kalau kamu kangen pengen ketemu Bima?"Nawa memukul pelan lengan suaminya. "Pikirannya buruk terus sama aku! Heran! Ya udah, nggak jadi."Brama terpingkal-pingkal. Meski begitu, ia melajukan mobil ke ruko berlantai dua milik Bima."Ngapain ke sini? Ayo pulang," sungut Nawa.“Katanya pengen lihat mereka. Itu tempat tinggal mereka." Brama menunjuk salah satu ruko. "Dia membuka jasa fotokopi sama jasa print kayak Mas Zidan. Sudah puny

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   111. Parah?

    Brama berhenti sejenak, lalu kakinya kembali mengayun.“Gilang! Keluarkan mobilnya lagi!” teriak Brama.Stevie mendesis seraya menahan rasa tidak nyaman di pinggangnya. Meskipun begitu, ia mengulum senyum. Ia sudah berhasil membuat huru-hara dengan dramanya tanpa harus menunggu saat acara doa nanti.Nawa menatap sambil bersungut-sungut. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat, tidak habis pikir dengan sikap sang suami yang dinilai tidak masuk akal. Di mana Brama yang biasanya selalu membelanya? Kenapa sekarang kembali termakan dengan hasutan Stevie?“Satu.” Nawa mulai menghitung. Jika sampai hitungan sepuluh dan Brama tetap memilih percaya dengan sandiwara Stevie, ia akan mengambil tindakan tegas. Entah apa nanti. Pergi dari rumah misalnya.Gilang melaksanakan titah sang majikan. Ia kembali menaiki dan memundurkan mobil.“Dua.”Brama mendekati mobil setelah Gilang membuka pintunya. Ia memasukkan Stevie ke dalamnya.“Tiga.” Nawa masih terus mengawasi sang suami dengan tatapan maut. Ia tidak

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   112. Apa-Apaan Ini?

    Meski mata masih berat karena efek baru bangun tidur, Nawa menelepon suaminya. Mata memang masih berat, tetapi ia tidak sabar ingin mendengar kabar adik iparnya. Panggilannya langsung dijawab.“Morning, Baby,” sapa suara di seberang. “Baru bangun? Apa tidurmu nyenyak?”“Hm. Sekarang Sir di rumah sakit mana? Mereka gimana? Kandungan Stevie gimana?”“Pertanyaannya langsung diborong. Mentang-mentang kaya, apa-apa suka diborong.”“Sir, bukan waktunya bercanda!”“Justru aku butuh candaan, Sayang. Lelah badan lelah pikiran sejak semalam. Untung kamu telepon. Gimana? Masih meriang?”“Meriangku nggak penting. Gimana mereka?”“Ya, kayak yang sudah kukirim ke kamu. Sudah kamu lihat, kan?"“Kandungan Stevie?”Brama terdiam. Hanya terdengar embusan napas berat dari seberang.“Sir.”“Nggak selamat. Bayinya sudah nggak ada detak jantungnya. Stevie belum sadar, pendarahan. Ini tenaga medisnya masih terus berusaha agar setidaknya kondisinya stabil biar bisa dioperasi untuk mengeluarkan bayinya.”Nawa

Bab terbaru

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   124. Bunga

    Kehidupan Brama dan Nawa banyak berubah setelah memiliki anak. Tentu saja membawa mereka pada vibes positif. Meskipun menjadi orang tua tidaklah mudah, mereka berusaha memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya. Kanza dan Kenzo menjadi pelipur lelah mereka.Setelah diberi mandat dari Boby untuk mengelola Sunmond Care, Pasutri tersebut pindah ke Gresik. Ida dan pengasuh Kembar dibawa ikut serta. Rumah di Nganjuk tidak dikosongkan, melainkan ada yang ditugaskan menempati. Rumah itu untuk investasi dan tujuan ketika pulang kampung. Kadang Zidan dan Alvina sengaja menginap di sana. Atau Heru jika ingin.Beberapa bulan setelah kelahiran Twin, Gilang menikah. Sebagai hadiah karena kesetiaan, ia dan Yadi dipercaya mengelola pabrik air mineral Brama yang sedang masa berjaya. Tentu saja masih tetap dalam pengawasan Brama. Sebagai pengawal pengganti, sudah ada pengganti yang sudah lolos uji dari Gilang dan Yadi. Tingkat kesetiaannya harus setara.Untuk bisnis aplikasi di luar negeri, Brama masi

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   123. Twin Jilid Dua

    “Lo jangan membuat huru-hara di tengah kebahagiaan gue, ya, Bim. Gue potong sosis lo kalo macem-macem!" ancam Brama.“Wey, wey, wey! Santai. Jangan anarkis!"“Lalu apa maksud lo bilang begitu?”“Maksud gue, gue dalam bahaya besar karena sepertinya Daddy akan membagi warisannya ke anak-anak lo juga. Jatah gue berkurang, njir!”Semua yang ada di sana menahan senyum. Sementara Brama mengangkat tangannya yang terkepal ke arah sang adik. “Ambil sono jatah Kembar. Gue nggak butuh. Dasar duda tamak!”“Sudah jadi bapak kudu sabar weh. Nggak malu sama anaknya kalau bapaknya emosian?” sindir Bima lagi, membuat Brama ingin menendang adiknya itu ke inti bumi.“Tiba-tiba Daddy dapat inspirasi dari ucapan Bima. Sebagai hadiah dan rasa syukur atas lahirnya si kembar, Daddy kasih saham Sunmond Care untuk mereka. Di sana kepemimpinan resminya masih kosong. Jadi, Brama yang harus mengelolanya karena si kembar belum memungkinkan. Akan Daddy urus segera pengalihannya. Kalau perlu saat ini juga. Mom, mana

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   122. Masalah Besar

    Brama menghentikan laju bed di mana sang istri tengah berbaring sebelum benar-benar masuk ruang perawatan. Ia menatap bergantian pada keluarganya yang ada di dalam ruangan.“Siapa yang mengizinkan kalian masuk! Untuk apa kalian ke sini?” pekik Brama.Mereka diam.Sementara Nawa sudah histeris. Ia ketakutan jika anaknya sampai disakiti atau dibawa keluarga suaminya itu.“Sayang, tenang. Nggak akan kubiarkan mereka mengambil anak-anak.” Brama terus menggenggam telapak tangan istrinya dengan tangan kiri.“Sir, suruh mereka pergi. Kumohon.”“Iya, tapi kamu jangan panik."Brama ganti menatap perawat yang mengantar. “Saya mau istri saya pindah kamar.”Brama lalu menghubungi Gilang. “Kerahkan pasukan. Perketat keamanan ruang bayi. Pastikan tidak ada orang asing masuk. Terlebih jangan biarkan keluarga Tangerang mendekat.”Brama mengode dengan kepala pada perawat agar Nawa urung dimasukkan. Ia ingin sang istri dijauhkan dari ruangan tersebut. Namun, Bima sudah lebih dulu berhasil mencekal pingg

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   121. Jangan Ambil Anakku!

    “Lo aja yang ke sana. Gue mau balik.” Brama hendak menutup kembali pintu kamar, tetapi ditahan oleh Bima.“Kenapa? Lo mau melarikan diri? Atau takut ketemu daddy? Gue curiga semalem lo bicara aneh sama dia sampai tiba-tiba sadar gini.”“Suudzon aja lo.”“Pokoknya lo harus ikut.” Bima menyeret lengan sang kakak.“Gue masih pakai sarung njir. Bentar gue ganti baju dulu.” Brama menepis tangan Bima kasar.“Ya udah, gue tunggu. Takutnya lo kabur. Yang gantle, Bre. Masa takut sama daddy.”“Gue nggak takut. Sembarangan mulut lo.”Brama masuk kamar, lalu mengganti pakaian dengan celana panjang dan kaus, lantas memakai jaket. Ia dan sang adik kemudian menuruni anak tangga.“Bima! Ke mana ini anak? Tadi ngajak cepat-cepat, sekarang malah ilang!” Terdengar gerutu Gahayu di lantai bawah. Wanita tersebut mondar-mandir tak jelas.“Iya, aku datang!” balas Bima dengan suara keras. Ia turun bersisian dengan Brama.“Dasar kamu it–“ Kalimat Gahayu tidak terucap sempurna tatkala melihat siapa yang ada di

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   120. Sadar

    “Bukan gitu. Cuma firasatku nggak enak. Takut mereka menahan dan melarang Sir menemuiku lagi. Aku takut mereka memisahkan kita.” Bibir Nawa mengerucut. Ia menatap suaminya sendu.Brama tersenyum. Ia menghentikan aktivitasnya, mendekati sang istri. “Apa ini artinya kamu sudah benar-benar bucin sama suamimu ini, hm? Sampai-sampai ditinggal sebentar saja tantrum gini.”Nawa mengangguk tanpa ragu. Ia sudah terbiasa ditinggal Brama dalam urusan bisnis. Namun sekarang, rasanya beda saat Brama akan meninggalkannya ke Tangerang. Pasti mertuanya itu tidak akan tinggal diam dan melakukan sesuatu agar Brama meninggalkannya.Brama menyelipkan telapak tangannya ke belakang telinga Nawa, menyibak rambut legam itu. “Sayang, aku bukan anak kecil yang bisa dengan mudah dilarang atau ditahan. Suamimu ini sudah dewasa, sudah bisa membuat anak, dan mau jadi bapak-bapak. Jadi, nggak akan semudah itu ditahan di sana. Pokoknya kamu tenang saja. Insyaallah aku akan kembali. Kalau mereka melarang, aku akan me

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   119. Larangan?

    “Sorry, Bim. Kalau sekarang gue nggak bisa. Ada acara di rumah,” jawab Brama.“Nggak usah alesan! Sekali ini aja tolong lo datang. Daddy sudah beberapa hari ini nggak sadar. Lo nggak takut menyesal kalau sampai dia tiada dan lo belum sempet minta maaf, nggak sempet ketemu untuk yang terakhir kali? Bentar, gue alihkan dengan video call. Biar lo lihat sendiri betapa memprihatinkannya pria yang sudah menyumbangkan kecebongnya sampai lo bisa ada di dunia ini."Bima mengubah panggilan menjadi video call. Di sana memperlihatkan Boby tengah berbaring tak berdaya dengan beberapa alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya. Sementara Bima memakai APD yang dikhususkan untuk masuk ruang ICU.“Kenapa lo baru bilang sekarang di saat gue sibuk, hah! Gue nggak alesan, gue beneran sibuk. Ada acara penting di sini!"“Mau ada acara apa? Apa lebih penting daripada bokap lo, hah!”“Ini acara sakral Nawa! Gue nggak bisa meninggalkan di mana saat ini acara intinya.”“Lo bucin boleh, tapi jangan durhaka-d

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   118. Datang Sekarang

    Nawa mengangguk. “Ya. Terlebih orang tua Sir. Setelah aku lahiran, baru Sir boleh mengabari mereka. Aku nggak mau mereka berbuat sesuatu untuk mencelakakan calon anak kita.”“Bapakmu juga? Nggak mau mengabari mereka berita bahagia ini?”Nawa menggeleng. “Nggak usah dulu sebelum calon anak kita benar-benar berkembang dan sehat. Minimal empat bulanlah.”“Baiklah. Apa pun yang membuatmu nyaman, aku turuti. Tapi untuk pekerja di rumah ini harus tahu, biar mereka ikut jaga kamu.” Brama meraba perut sang istri, mengelusnya lembut. “Sayang, ceritakan padaku kapan pertama kali tahu kalau hamil.”“Baru beberapa hari yang lalu, sih.”“Gimana perasaanmu?”Nawa membalik tubuh, menghadap suaminya. Ia membelai rahang tegas yang bersih dari rambut tersebut. “Nangis.”“Nggak bahagia?”“Lebih dari itu. Rasanya seperti dahaga setelah kemarau sekian lama, lalu Allah menurunkan hujan. Yang ada rasa syukur yang luar biasa sampai nggak bisa diucapkan dengan kata-kata. Kalau Sir? Bahagia nggak?”Brama terke

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   117. Rahasiakan

    “Sinikan ponselnya. Kamu nggak perlu banyak pikiran. Biar kuurus peneror itu. Sekarang, tolong hanya fokuskan pikiranmu untuk calon anak kita.” Brama menengadahkan tangan. Ia dan sang istri tiba di depan apotek klinik. Pria itu mengajak duduk istrinya dengan tangan masih merangkul.Nawa melengos. “Bilang aja mau meladeni dia, mau ketemu dia, trus habis itu jatuh cinta.”“Astaga, kamu bersikap menyebalkan seperti ini kuanggap maklum karena kamu sedang hamil. Kalau tidak, sudah kumakan kamu. Heran, kerjaannya suudzon terus sama suami.”“Lah iya, harus dicurigai terus. Salah siapa selalu bikin masalah.”“Kamu yang bikin masalah sebenarnya. Sudah kujelaskan itu orang gila. Atau mungkin Stevie yang sengaja membuat huru-hara lagi. Tapi tunggu, katanya tadi kamu ke sini untuk perawatan yang lain, tapi kenapa pas di dalam tadi beda?”Nawa hanya melirik, tidak menjawab.“Nyonya Annawa!” Suara dari meja administrasi membuat keduanya bangkit.“Kamu duduk di sini saja, biar aku yang ambil obat sa

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   116. Siapa Dia?

    “Paket? Pesan? Apaan?” Wanita itu menatap Brama dengan pandangan menyelidik. “Aku nggak ngirim apa-apa.”“Oh, bukan kamu, ya? Lalu siapa? Oh, orang iseng mungkin.” Brama merutuki mulutnya yang terlalu tidak sabar bertanya. Harusnya ia bisa berhati-hati menghadapi jebakan ini.Wanita itu lalu berkacak pinggang. “Aku jadi curiga. Pesan apa? Siniin ponselnya. Mau kulihat!”Ialah Nawa yang baru keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ruang periksa.“Ah, bukan apa-apa. Lupakan. Lalu kenapa kamu ada di sini, Sayang?”"Jangan mengalihkan bahasan! Paket dan pesan apaan?""Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kamu keluyuran sampai sini? Katanya sudah stop Promil?"“Aku udah terbiasa periksa sama Dokter Rani. Sir tahu itu. Hari ini aku ada jadwal perawatan Miss V. Harusnya aku yang tanya. Ngapain Sir keluyuran di sini?” Nawa menyeret sang suami pindah ke tempat lebih tepi agar tidak mengganggu jika ada yang ingin ke toilet.“Oh, itu tadi–““Siniin ponsel Sir. Pasti ada yang nggak beres.”“Ngg

DMCA.com Protection Status