“Dari mana saja kamu baru pulang malam-malam begini?” Dewi bertanya sambil menatap Aksa dengan tajam.
Hanya saja, ia buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain seraya menaikkan satu kaki di atas kaki lainnya dengan tangan menyilang di depan dada.Raut kesal juga bete tak dapat disembunyikan setelah pulang dari butik dan tak sengaja melihat Aksa memberikan tumpangan pada Ocha hingga ke apartemen tadi.Bukankah mereka sudah bercerai?Mengapa Aksa masih harus peduli pada wanita bayaran itu?Dewi menyebutnya wanita bayaran karena dulu ia sempat datang ke rumah mertuanya dan tak sengaja mendengar obrolan sang mertua dan ibunya Ocha di halaman samping.Berambisi dapat cucu, sehingga rela merogoh puluhan juta untuk membayar mereka agar Ocha mau menjadi istri Aksa.Dan bodohnya, karena Ocha mau.“Dari kerja, Sayang, emang dari mana lagi?” Aksa balik bertanya. Mencoba mengulas senyum untuk menyakinkan Dewi.“Apa?!” pekik Paul sontak berdiri cemas, “Cerai?!”“Iya, Pa.”Brak!Paul berjalan ke dekat jendela setelah menggebrak meja. Kini, satu tangannya bertumpu pada bibir jendela sambil mengatur napas yang tak beraturan. “Apa yang terjadi, Nathan? Kenapa bisa seperti ini?” tanya Paul lemah. “Istri pertamanya Mas Aksa tiba-tiba hamil, Pa. Dan dia meminta Mas Aksa untuk menceraikan Mbak Ocha,” jawab Nathan jujur. Tiba-tiba air mata Paul mengalir. Tubuhnya terlihat terguncang, terluka dengan kabar buruk yang datang dari putrinya itu. “Papa kecewa, Nathan ....” Dia terisak, sambil menghapus air mata. “Mengapa Aksa tega membuang putriku seperti sampah?”“Setidaknya, kalau dia sudah tak memerlukan putriku lagi, kenapa tak mengembalikan dengan cara baik-baik?” Paul bertanya-tanya sambil menggeleng berulang. Hening beberapa saat. Ayah dan anak itu sama-sama merasa terluka.Paul beralihl menatap Nathan d
Melihat perutnya yang tengah mengandung buah pernikahannya dengan Aksa, tiba-tiba saja, Ocha kembali merasa sedih mengingat keadaannya sekarang yang bisa dibilang sangat memperihatinkan. Pernikahan yang sangat singkat, lebih cepat usai daripada perjanjiannya dengan sang suami. Semula, dia sangat ikhlas menjalani kehidupan meski harus rela menjadi istri kedua. Dia tidak pernah menyangka kalau harus diceraikan dalam keadaan hamil, dan menyedihkannya lagi, karena ia dicerai melalui pesan singkat. Ia merasa takdir seolah-olah sedang mempermainkannya. Meski demikian, Ocha tak menyalahkan siapa pun, tetapi ia sungguh kasihan pada dirinya sendiri. Dia berpikir, bagaimana caranya agar bisa berdamai dengan kenyataan dan memaafkan Aksa yang berkontribusi menciptakan luka di hatinya? Salahnya sendiri, karena terlalu larut dan mendalami peran sebagai istri Aksa hingga nyaman dengan sikap baik dan perhatian pria itu padanya selama ini. Kini, Ocha mulai bangkit dan berjalan ke meja makan
Dengan segenap rasa yang tak menentu, Aksa mengambil benda misterius tersebut dan mencoba mengamatinya secara saksama.“Pil KB?” tanyanya menatap lurus ke depan, sejenak berpikir, sebelum akhirnya kembali mengamati benda di tangannya itu.‘Mengapa ada Pil KB di laci kerja Dewi?' Aksa bertanya-tanya dalam hati dengan perasaan yang mulai gundah gulana.Kian penasaran, Aksa menarik laci itu lebih lebar, barangkali masih ada sesuatu yang ganjal di sini.Lagi dan lagi, ia menemukan sebuah obat yang asing dalam pandangannya. Jujur saja, dia belum pernah melihat obat seperti itu sebelumnya. ‘Sepertinya, ini obat khusus,’ pikirnya.Iseng, Aksa membuka fitur google lens pada ponselnya dan mulai mengarahkan kamera untuk mencari tahu kegunaan obat tersebut. “Digunakan sebagai alat kontrasepsi darurat. Efektif dalam mencegah kehamilan jika segera digunakan dalam kurun waktu 72 jam setelah hubungan seks tanpa pengaman.”
“Cha ...,” panggil Yaya sambil menggeser posisi kursinya ke dekat Ocha. Mereka kini berada di rooftop kafe yang berhadapan langsung dengan pantai, karena sebelumnya Ocha tiba-tiba ingin jalan-jalan ke pantai. Kedua temannya yang selalu seperti rexona—setia setiap saat itu mengira Ocha sedang ngidam ingin melihat pantai. Jadi tanpa tanpa banyak ba-bi-bu, mereka menuruti keinginan Ocha mumpung memang sedang hari libur. “Hm.” “Gue udah nemu kontrakan buat lu. Lokasinya cukup strategis, dan gue rasa cukup nyaman juga.” Yaya menginformasikan seraya menggeser layar ponselnya untuk memperlihatkan beberapa foto kontrakan yang dimaksud pada Ocha. Sebelumnya, Ocha memang sempat meminta untuk dicarikan kontrakan pada Yaya dan Lala karena tak enak pada Lala jika harus terus-terusan numpang di apartemennya. Padahal, Lala sendiri tak keberatan, tapi bukan Ocha namanya kalau enakan pada orang. “Di mana lokasinya, Ya?” tanya Lala penasaran, “Aman gak?” “Aman. Tempatnya gak jauh
Huft! Ocha terdengar menghela napasnya. Matanya menyipit dengan tangan yang menjulur, sontak mendorong kening Yaya dengan telunjuknya. “Ngaco!” timpal Ocha mendelik judes. “Lah, kok ngaco, sih?” “Emang ngaco?” decit Ocha, “Gini ya, gue gak mau ikut campur urusan rumah tangga mereka. Yang ada kalau gue ikut campur, malah makin dituduh pelakor,” katanya. “Betul, lagian kalau beneran selingkuh, nanti ketahuan juga. Bangkai, sekalipun disembunyikan, baunya bakal tercium juga, kok,” tutur Lala yang menjadi penutup obrolan mereka sebelum akhirnya pulang setelah melihat keindahan matahari terbenam. Hari demi hari berganti, Ocha merasa semakin tak sabar saja menantikan kehadiran buah hatinya. Kini, ia duduk di tepi ranjang sambil mengusap-usap perut bulatnya. Di sekelilingnya sudah banyak perlengkapan bayi yang sengaja ia siapkan bersama Lala dan Yaya. Sekarang, dia ingin melanjutkan menatanya. Biar nanti, langsung digunakan saja. Entah bagaimana dengan Aksa di sana?
Setelah menunggu sekitar satu jam lebih, dokter yang menangani operasi Ocha pun keluar dari ruang operasi. Lala yang sedari tadi memang bersandar pada dinding dengan tangan bersedekap di dadanya sontak berbalik dan menghampiri sang dokter. “Dok, bagaimana keadaan teman saya?” tanya Lala penasaran. Wanita berhijab itu tersenyum tipis, “Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar dan pasien melahirkan bayi laki-laki. Ibu dan anak selamat.” Semuanya menarik napas lega mendengar penuturan dokter. “Hanya saja ....” Dokter menjeda ucapannya, sehingga raut-raut bahagia itu mendadak cemas, saling berpandangan satu sama lain. “Kenapa, Dok?” tanya Yaya tak sabaran. Dokter wanita itu tersenyum ke arah Yaya. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Dokter Arya. Hanya saja, karena pasien melahirkan di usia kandungan yang terlalu dini, yakni 33 minggu, sehingga bayinya memerlukan perawatan khusus
“Dia juga mengeluarkan kamu dari perusahaan tanpa mendiskusikannya dengan Mami. Dan bodohnya, karena saat Mami tanya alasannya, dia tidak bisa menjawab ....”“... sebenarnya Mami sangat marah padanya. Selama ini, dia selalu menjadikan Dewi sebagai alasan. Dewi lagi dan Dewi terus. Hidupnya sudah seperti dikuasi oleh Dewi.” Bianca menghela napas berat, menatap Ocha penuh rasa bersalah. Sementara Ocha, wajahnya tetap datar. Ludahnya pun ditelan berulang kali.Dadanya tiba-tiba sesak bila membahas persoalan mantan suami yang menurutnya terlalu banyak omong kosongnya itu.“Tidak apa-apa, Mami,” ujar Ocha berusaha baik-baik saja. Nyatanya, ia terluka karena dihempaskan begitu saja bagai barang tak layak pakai. Namun, Ocha tak berdaya dengan posisinya. “Kamu gak usah terlalu khawatir untuk biaya Aqil. Meski kamu dan Aksa sudah bercerai, tetapi Mami akan tetap bantu kamu biayain Aqil sampai besar. Apa pun yang terjadi, Aqil
Setelah dirawat beberapa hari pasca operasi, kini akhirnya Ocha sudah diizinkan pulang oleh dokter karena kondisi kesehatannya sudah mulai pulih dan tak ada ada komplikasi yang terjadi setelah operasi.Setia didampingi Lala, Ocha berjalan perlahan di koridor rumah sakit dengan langkah pelan, tangannya sesekali memegang perut yang kini terasa kosong setelah melahirkan. Keduanya masuk ke unit perawatan intensif neonatal (NICU). Bunyi mesin monitor yang ritmis terdengar dan inkubator berderet, menjaga kehidupan kecil yang masih rapuh di dalamnya.“Bu Ocha ... bayinya di sini, Bu,” kata perawat itu ramah, mengarahkan Ocha pada salah satu inkubator di mana bayinya berada. “Bayinya masih butuh banyak perawatan, Bu. Tapi dia kuat, seperti ibunya,” ujar sang perawat. Ocha tersenyum tipis, sambil menatap ke dalam inkubator, melihat bayinya yang kecil. Tubuh mungil itu terlilit kabel dan monitor, dengan tabung kecil yang mengalirkan ok
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok