Ocha menarik selimut tinggi-tinggi dan tidur membelakangi Aksa. Namun, Aksa tak habis akal. Dia terus berusaha membujuk istrinya itu, meski tak ada hasil. Pada akhirnya, dia hanya bisa menghela napas berat dan beralih mengambil laptop untuk menyelesaikan pekerjaan. Beberapa saat kemudian, Ocha yang sebenarnya belum tidur mengubah posisi menjadi telentang dengan gerakan pelan setelah suasana berubah hening. Tadinya, dia pikir Aksa sudah tidur, ternyata masih fokus menatap laptop di sebelahnya. ‘Ih, dasar suami gak peka! Istri lagi ngambek, bukannya dibujuk malah sibuk sama laptop. Apa laptop emang lebih menarik ya daripada wanita di kamarnya ini? Kesal lama-lama,’ gerutu Ocha dalam hati. Tanpa sepengetahuan Aksa, Ocha mengawasi dari sudut mata saat sang suami mulai menggerak-gerakkan tubuh, mencoba meredakan rasa pegal di pundak dan punggungnya. Meski masih ada rasa kesal dan marah di hatinya, Ocha juga tidak bisa mengabaikan kepedulian dan sayangnya pada Aksa. Juju
Ocha dan Lala duduk berhadapan di dekat jendela kantin perusahaan ketika jam istirahat tiba.Suasana di sekeliling mereka ramai dengan karyawan lain yang juga sedang menikmati makan siang dan waktu istirahatnya. Ocha kini memutar-mutar sendok di dalam mangkuk sup, tanpa minat untuk memakannya, sesekali menghela napas lelah.Lala yang sedari tadi memperhatikan Ocha sontak mengernyitkan kening seraya menduga-duga kalau Ocha belum selesai dengan masalahnya. “Gue ramal, lu belum baikan sama Aksa,” tebak Lala membuka pembicaraan di antara mereka.Ocha mengangkat wajah sebentar, menatap Lala dengan malas sambil mencebikkan bibir. “Ramalan sesat!”“Ha ha ha. Mana ada sesat? Itu terbukti dari muka lu yang dari tadi kusut. Tapi, omong-omong ....” Lala beralih menopang dagu dengan satu tangannya. “Tadi pagi gue liat lu diantar. Mobil baru lu ke mana emang? Disita Aksa kah?” canda Lala. “Lebih tepatnya, dia sembunyiin
Ocha yang kini sudah berdiri di lobby melihat sebentar jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah 6 sore. Dia mengedarkan pandangan sekeliling dengan maksud mencari tempat di mana suaminya memarkirkan mobil. Begitu ketemu, Ocha langsung berjalan menuju mobil tersebut. Dia sontak hendak membuka pintu mobil mewah milik Aksa itu, tapi tak bisa terbuka membuatnya mendengus sebal. “Terkunci, kah?” tanyanya pelan. Mencoba sekali lagi, tapi tetap tidak bisa. Tok ... tok ... tok! Dia mengetuk berulang kali kaca mobil dengan raut kesal. “Mas Aksa, pintunya terkunci!” Lama menunggu, tak ada sahutan dari dalam. Tak ada tanda-tanda seseorang membukakan pintu juga. Ocha pun mendekatkan wajah hingga menyentuh kaca mobil, mengintip masuk dan ternyata suaminya tak berada di mobil. “Gak ada? Ke mana Mas Aksa?” tanya Ocha melihat sekililing, mencari-cari
“Argh?!” teriak Ocha, melompat mundur dan buru-buru berbalik. BRAK! Dia tak sengaja menabrak Aksa dan tanpa sadar langsung melompat pada gendongan pria itu maksudnya untuk mencari tempat yang lebih aman. Aksa yang tak siap dengan terjangan sang istri, sempat mundur beberapa langkah, terkejut sejenak, meski tetap terdiam, sesekali terlihat menelan ludahnya. Selang beberapa saat berlalu, pria itu tersenyum lebar, terlebih begitu sepasang matanya sekilas melihat hewan yang membuat Ocha sampai segitu paniknya. Sementara itu, Ocha masih memeluk Aksa dengan tenang, seakan melupakan amarah dan rasa kesalnya pada sang suami yang hingga kini membara di dalam hatinya. Perlahan, Aksa balas memeluk istrinya dengan erat, mengambil kesempatan setelah dua hari ini tak bisa puas memeluk Ocha karena kesalahannya yang membuat sang istri marah padanya. Aksa sesekali mengusap punggung Ocha seolah menyampaikan kalau ia sudah aman sekarang. Walau, sebenarnya Aksa berusaha keras menahan di
Ocha akan melangkah pergi, tapi Aksa lebih sigap menarik lengan sang istri hingga Ocha mundur dan menabrak dadanya. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Aksa memeluk Ocha dari belakang, enggan melepaskan walau Ocha memberontak.Kali ini, ia tak akan membiarkan Ocha menghindarinya dari lagi.Aksa tidak bisa melihat sikap ketus Ocha padanya lebih lama lagi karena kesalahpahaman di antara mereka. “Aku ….” Aksa memecah keheningan. “Aku, minta maaf sama kamu, Cha.”“Demi Allah, aku gak memikirkan Dewi, Sayang,” ungkap Aksa lagi sambil menenggelamkan wajah pada rambut istrinya itu.Sesekali, Ocha dapat merasakan embusan napas Aksa menyapu kulit lehernya. Ocha menarik napas, pelan. Melirik Aksa yang kini menyandarkan dagu di bahunya. “Lalu, kenapa Mas menyebut nama Mbak Dewi?” Ocha bertanya dengan nada sedikit kesal.“Kadang kita kalau kepikiran terus sama suatu hal bisa sampai kebawa mimpi. Sama dengan kamu yang mungkin
Kini, Aksa beralih menyembunyikan wajahnya di pangkuan Ocha.Tak berselang lama, tubuhnya terguncang diselingi dengan isakan tangis yang terdengar memecah keheningan malam di kamar mereka. “Mas ...,” lirih Ocha merasa tak tega pada Aksa.Tangannya bergerak mengusap pelan rambut suaminya itu. “Cha, demi Allah, aku udah gak mencintai Dewi. Aku sama sekali gak pernah berharap untuk sama dia lagi. Lagipula, sekarang ... aku udah punya kamu,” kata Aksa di sela isak tangisnya. “Aku berani bersumpah kalau aku hanya mencintaimu. Aku sangat takut kehilangan kamu,” lanjutnya dengan suara bergetar.Dia menangkupkan kedua tangan di depan dada seraya berujar, “Tolong maafkan aku.”Ocha terdiam sejenak, tapi lama kelamaan dia semakin tak tega melihat Aksa kini berurai air mata. Dia menatap lekat sepasang bole mata suaminya itu seolah mencari kebohongan di sana, tetapi yang ia temukan hanya sirat penyesalan. Ocha
Tok ... tok ... tok! Lamunan Nathan langsung buyar begitu mendengar pintu kamarnya diketuk oleh seseorang. “Masuk!” teriaknya. Tak lama, pintu kamar berderit pelan. Sang papa masuk dan langsung berjalan pelan menghampiri putranya itu. Nathan memutar kursi menghadap ke arah papanya yang saat ini sedang duduk di tepi kasur. “Tumben ke sini, Pa? Ada apa?” tanya Nathan. Tak biasanya pria berkacamata itu datang ke kamar Nathan malam-malam, kecuali jika putra tunggalnya dengan Laras itu berbuat masalah dan sang papa datang untuk memarahinya. Akan tetapi, akhir-akhir ini Nathan merasa tak berbuat onar. Terakhir mengkonsumsi alkohol pun saat ia teramat kecewa pada keluarganya. Beberapa hari terakhir, dia hanya fokus untuk menyelesaikan skripsi. “Skripsi kamu sudah sampai mana?” tanya Paul. Menatap Nathan dengan raut perhatian. “Tinggal bab akhir, Pa. Mungkin besok juga selesai.” Paul menganggu-angguk pelan. Setidaknya, dia merasa senang mendengar jawaban Nathan, meski sebelu
Ocha terpaku dalam diam, sejenak berpikir sambil memicing penasaran mengamati bekas lipstik berbentuk bibir yang tampak mulai pudar itu. Namun, dia dibuat terlonjak saat tiba-tiba sebuah lengan melingkar di perutnya. Dia menoleh sebentar, merasakan napas hangat suaminya sesekali meniup di lehernya. “Mas, ih ... lepasin! Kulit kamu dingin banget,” protes Ocha berusaha melepaskan diri, tetapi Aksa tak mengindahkan. Terus saja memeluk istrinya itu. “Maka dari itu aku cari kehangatan, soalnya dingin.” Nada suaranya serak. “Lagian, kamu liatin apa sih, hm?” tanya Aksa sambil mengecup pipi Ocha beberapa kali. “Liatin baju kamu ada bekas lipstik. Bekas bibir siapa itu?” tanya Ocha dengan nada mengintimidasi. Aksa melepas pelukan, lantas merebut bajunya dari tangan Ocha dan menyimpannya kembali di lemari. “Bekas bibir kamu,” katanya singkat. “Bibir aku
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok