Lala menghempas kasar tangan Rizky yang mencekal pergelangannya. Dia berusaha tetap tenang, meski sebenarnya sangat marah. “Rizky, lu mau apa lagi, sih?!” geramnya.“Ayo kita ke dalam, La. Kita perlu bicara baik-baik.”“Kagak!” ketus Lala. “Kita sudah putus. Gak ada lagi yang perlu dibicarakan.”Rizky membuang napas berat, tapi tak menyerah. “Gue tau banyak salah ke lu, La. Gue udah terlalu banyak menyakiti lu selama 3 tahun kita pacaran. Tapi, gue benar-benar menyesali semuanya.”“Hidup gue hampa tanpa lu. Beri gue satu kesempatan lagi ya. Gue janji akan memperbaiki semuanya,” mohon Rizky, “dan gue janji gak akan ngulangin kesalahan gue.” Kalimat-kalimat permintaan maaf Rizky setidaknya membuat Lala merasa terenyuh. Sayangnya, karena kali ini hatinya enggan luluh. Dia menghargai niat Rizky meminta maaf padanya. Tapi, ia tak melihat ada sorot ketulusan pada mata elang milik pria itu. Lagian, ini bu
Pada keheningan pagi yang hanya diselingi suara aluminium beradu sengit itu, Ocha berdiri di depan kompor, mengenakan apron sambil mengaduk nasi goreng yang hampir matang untuk sarapan suaminya. Aroma nasi goreng membaur dengan kopi yang sebelumnya sudah diseduh sekali-kali menguar memenuhi udara, menambah suasana hangat di pagi yang tenang.Namun, keheningan itu terpecah ketika Ocha merasakan kehadiran seseorang di belakangnya.Tiba-tiba, sepasang lengan besar melingkar di pinggangnya dengan lembut. Wanita dengan gaya rambut cepol-nya itu terkejut sejenak, tetapi sebelum sempat bereaksi lebih jauh, dia merasakan ciuman lembut di lehernya yang membuatnya menggigil kecil.Aksa berbisik lembut. “Selamat pagi, Istriku ....”Ocha tersenyum tipis, meskipun wajahnya sedikit memerah karena perbuatan Aksa yang sangat tiba-tiba itu.Dia mencoba fokus pada sarapan yang sedang dimasak, tetapi kehadiran Aksa yang begitu dekat memb
Ocha yang masih sibuk bertanya-tanya dengan dirinya sendiri menatap Aksa seolah meminta penjelasan.“Mas, kamu ....” Ocha tercekat.“Waktu aku dulu sakit, terus ketika kita makan berdua di restoran sebelum wawancara pengasuhnya Aqil, aku makan ceker di depan kamu, seharusnya itu sudah cukup untuk menjelaskan kalau aku gak apa-apa memakannya, karena memang sebenarnya aku suka,” jelas Aksa. Kini, dia maju selangkah ke hadapan Ocha, lalu meletakkan kedua lengannya di bahu istrinya itu.Dua pasang bola mata itu beradu sengit seakan mata yang menyampaikan isi hati.Dalam beberapa saat, Ocha belum tak bereaksi apa pun. Tetap menatap Aksa seolah mencari sesuatu dari dalam mata suaminya itu. Di sisi lian, dia pun masih sedikit bingung dan berusaha mencerna kenyataan yang baru saja didengarnya. “Tapi, waktu itu, Mbak Dewi bilang ....” Nada suara Ocha sangat pelan.Namun, belum sempat dia menuntaskan ucapannya, Aksa su
Ocha menoleh, menatap suaminya dengan raut bingung sembari mengingat-ingat kesalahan apa yang pernah Aksa perbuat padanya sampai harus minta maaf segala? “Minta maaf?” Tatapan Ocha penuh selidik. “Karena apa?” Aksa menarik napas dalam-dalam. Dari raut wajahnya, dia terlihat merasa sangat bersalah pada sang istri. “Ya, itu ... aku belum sempat membawamu berlibur ke luar negeri, Sayang. Kayak orang-orang yang menghabiskan masa pengantin baru mereka dengan berlibur ke Swiss, Paris, Korea, Jepang, atau kota-kota indah yang lainnya.” “Hm. Aku terlalu banyak kerjaan di kantor, jadi belum bisa ninggalin terlalu lama. Nanti kalau udah agak senggang, kita liburan ya.” Ocha menghela napas lega sambil tersenyum lembut. Tadinya dia pikir apa Aksa meminta maaf segala? Ternyata perkara liburan. Padahal Ocha tak tidak mengapa akan hal itu. Pelan, tangan Ocha terulur meraih tangan Aksa dan menggenggamnya erat. “Mas Aksa ... sebenarnya kamu sangat gak perlu minta maaf soal itu. Aku ngerti
Sekitar pukul setengah 6 sore, Aksa sudah menunggu di depan kantor Ocha, sesekali melirik jam di pergelangan tangannya. Tadi, Ocha bilang akan pulang sejam lagi karena banyak kerjaan setelah cuti libur. Namun, Aksa tak ingin membuat istrinya itu terlalu lama menunggu sehingga inisiatif untuk menjemputnya lebih awal. Hanya saja, ia justru sedikit kesal pada jarum jam yang rasanya berputar lama sekali seperti pergerakannya kura-kura.Hingga tak lama kemudian, dia melihat Ocha keluar dari pintu utama kantornya, senyum lega pun tercetak jelas di wajahnya. Dengan cepat, ia membuka pintu mobil dan keluar menjemput sang istri yang semakin mendekat ke arahnya.Tiba di hadapan suaminya, Ocha meraih tangan Aksa untuk diciumnya dengan takzim. Begitupun Aksa yang membalas dengan mencium kening dan memeluk Ocha sebentar, seakan melampiaskan rindu.“Katanya masih banyak kerjaan dan se-jaman lagi pulang,” kata Aksa. Ocha
Dring! Ocha yang baru saja duduk di tepi ranjang setelah menidurkan Aqil ke tempat tidurnya sontak menoleh dengan kening mengerut, bertanya-tanya. Karena penasaran siapa yang menghubunginya di malam hari begini, dia pun gegas mengambil ponsel yang masih berada di tas yang dipakenya tadi berangkat kerja. [Oi, hari Minggu pada sibuk, gak?]Ocha mengernyit sebentar, tapi tanpa banyak berpikir, dia pun mengetikkan balasan untuk pesan Lala yang dikirimkan di grup Trio Senggol Bacok itu.[Gak! Ada apa?] Ocha.[Gue juga libur, kok.] Yaya.[Ketemu, yuk! Di tempat biasa. Udah jarang banget kita nongkrong semenjak Ocha kerja.] Lala.[Gue pikir lu mau ngundang kita ke acara engagement lu. Tau-tau ngajak nongkrong.] Yaya.[Boro-boro engagement, jodohnya aja antara masih kejebak macet atau terjebak rasa nyaman di pelukan orang lain.] Lala.[Hahaha. Yoilah, gue bisa aja. Gak tau sama Nyonya baru kita.] Ya
Hari Minggu siang, Ocha berjalan santai memasuki kafe outdoor--yang memang menjadi tempat nongkrong favorit mereka sejak dulu.Namun, kini langkahnya terhenti sebentar, mengambil kesempatan mengedarkan pandangan, hingga sepasang mata bulatnya itu menangkap sosok Lala dan Yaya yang ternyata sudah datang lebih dulu.Tak ingin membuat teman-temannya menunggu lebih lama lagi, Ocha pun gegas menghampiri mereka. “Duh, pengantin baru aura-aura wajahnya memang agak beda. Kamu kenapa gak bawa Aqil, Cha?” tanya Yaya. “Aku kan pengen ketemu ponakan.”“Hahaha. Geli gue kalau lu ngomong pake aku kamu, Ya. Biasa aja kali. Anggap aja gue teman lu kayak Lala.”“Itu demi berbakti kepada Kakak. Nanti kalau manggil lu gue kesannya gak sopan. Masih untuk kalau gak disulap jadi kodok.”“Heh, lu bukan Pangeran Kodok!” cecar Lala. “Betewe, lu ke sini sendiri, Cha? Aksa gak dibawa? Kan lumayan kalau dia mau jadi anggota geng kita.”Ocha tertaw
Ocha membuka pintu rumah dengan pelan, membiarkan Aksa yang menggendong putra mereka masuk lebih dulu, kemudian Ocha menyusul dan menutup pintu.Wajah Ocha kini terlihat ditekuk bak orang banyak beban dan pikiran.Benar saja, karena dia terus kepikiran Fafa yang dilihatnya sedang berkencan dengan seorang pria yang konon adalah pria beristri. Walau Fafa bukan saudara kandungnya, tapi bagaimanapun juga Ocha sudah menganggap wanita itu sebagai saudaranya. Mereka puluhan tahun tinggal bersama, meski Fafa sering melakukan hal buruk pada Ocha Fafa di masa lalu, tapi ia tak bisa membiarkan hati kecilnya untuk tidak peduli pada kakak tirinya itu.Bukan apa-apa, sejatinya Ocha hanya khawatir nanti Fafa akan terkena masalah kalau berani mendekati suami orang.Tiba di kamar, Ocha meletakkan tas kecilnya dan bergegas mengambil pakaian khusus malam untuk putranya.“Mas, Aqilnya taro di kasur sini, soalnya dia waktunya ganti baju.”
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok