Ocha membuka pintu rumah dengan pelan, membiarkan Aksa yang menggendong putra mereka masuk lebih dulu, kemudian Ocha menyusul dan menutup pintu.
Wajah Ocha kini terlihat ditekuk bak orang banyak beban dan pikiran.Benar saja, karena dia terus kepikiran Fafa yang dilihatnya sedang berkencan dengan seorang pria yang konon adalah pria beristri.Walau Fafa bukan saudara kandungnya, tapi bagaimanapun juga Ocha sudah menganggap wanita itu sebagai saudaranya.Mereka puluhan tahun tinggal bersama, meski Fafa sering melakukan hal buruk pada Ocha Fafa di masa lalu, tapi ia tak bisa membiarkan hati kecilnya untuk tidak peduli pada kakak tirinya itu.Bukan apa-apa, sejatinya Ocha hanya khawatir nanti Fafa akan terkena masalah kalau berani mendekati suami orang.Tiba di kamar, Ocha meletakkan tas kecilnya dan bergegas mengambil pakaian khusus malam untuk putranya.“Mas, Aqilnya taro di kasur sini, soalnya dia waktunya ganti baju.”<Mendengar cerita istrinya itu, Aksa bisa memahami kecemasan Ocha.Dia meletakkan tangannya di punggung sang istri dan mengusap-usap lembut sekadar untuk menenangkan.“Udah tanya Mbak Fafa, belum?” tanya Aksa yang dijawab Ocha dengan gelengan pelan.“Mending kamu telepon Mbak Fafa dan tanyakan tentang pria itu. Ya, barangkali ... dia gak tau kalau pria itu punya istri.” Aksa memberikan solusi. “Sekarang, banyak pria beristri yang mengaku single pada wanita lain untuk mencari kesenangan. Bahkan, gak jarang mereka akan menyewa LC untuk bersenang-senang.”“Ih, kok gitu?” tanya Ocha.“Iya. Begitulah kenyataannya, Sayang.”“Jadi, kamu mau gitu nanti? Semisal gak puas sama aku, mau sewa cewek buat bersenang-senang?”Aksa melotot lebar. Sepertinya ia telah salah bicara sehingga kini Ocha mendelik judes ke arahnya. Dia tersenyum. “Gak berani, Sayang.”“Gak berani sama aku?” tanya Ocha.Sebuah gelengan
Di sana, Fafa terlihat terpojok, wajahnya pucat. “Aku ... aku gak tau kalau Mas Aris punya istri, Mbak ....” Suaranya bergetar. Di sudut lain, Ocha dibuat bingung dengan pernyataan Fafa. Bukankah tadi malam kakak tirinya itu mengaku mengetahui status kekasihnya? Lantas, mengapa sekarang justru bilang tidak tahu? Apakah itu bagian dari trik permainan mereka?“Gak tau kamu bilang?!” bentak wanita itu. Dia sontak menatap tajam suaminya. “Mas, jelasin! Apa maksud dia?”“Lidya, aku ... aku bisa jelaskan, Sayang. Ini gak seperti yang kamu lihat.” Pria bernama Aris itu membela diri. Dia berusaha meraih tangan istrinya untuk menenangkan.Ocha yang merasa tak tega melihat Fafa dipojokkan pun tanpa berpikir panjang segera mendekati mereka, berusaha menghentikan pertengkaran yang semakin memanas.“Mbak ... maafkan aku memotong. Sepertinya di sini ada kesalahpahaman. Jadi, alangkah lebih baik kalau kita membicarakan sem
Lala dengan wajah panik bergegas turun dari mobilnya begitu sampai di restoran setelah menerima telepon dari Rina yang menginformasikan kalau seseorang sedang memaki-maki Ocha dan kakaknya di restoran. Sebagai teman, Lala tidak bisa tinggal diam temannya dimaki. Dia merasa perlu pasang badan untuk membela Ocha. Lagian, sedikit banyaknya dia menduga kalau masalah itu ada kaitannya dengan Fafa--kakak tirinya Ocha Lala hendak langsung berjalan masuk ke restoran, tapi saat itu juga Ocha muncul dari dalam restoran dengan langkah cepatnya. “Ocha!” Lala memanggil dengan suara cemas, mempercepat langkah mendekati Ocha. “Lu baik-baik aja? Apa yang terjadi di dalam?” Ocha tersenyum lemah. Sebenarnya ia tidak baik-baik saja setelah seseorang menuduhnya sebagai pelakor, tapi ia berusaha terlihat baik-baik saja. “Gue gak apa-apa. Kenapa lu di sini, La?” Namun, sebelum Lala menjawab perkataan Ocha, Dita j
Aksa menelan ludahnya. Merasa dilema antara harus memberi kesempatan Dewi berbicara dengannya atau tidak. Dia melirik arlojinya, sudah menunjukkan pukul setengah 9 malam.Rasa hatinya ingin menolak karena khawatir akan membuat Ocha menunggu lama.Namun, melihat wajah Dewi yang serius, dia pun memutuskan untuk berbicara dengan Dewi lebih dulu. Barangkali memang ada hal yang sangat penting yang ingin disampaikan wanita itu.“Ya sudah, kita duduk di sana.” Aksa mempersilakan Dewi untuk menuju kursi yang ditunjuk.“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Aksa begitu keduanya sudah duduk. Dewi menelan ludah, gelagatnya terlihat ragu untuk menyampaikan isi hatinya. Dia menarik napas pelan sebelum akhirnya mengungkapkan perasaan. “Sebenarnya, aku ... aku sedikit menyesal, Mas Aksa,” katanya nyaris tak terdengar. Dia menunduk dengan tangan dengan jari-jari tangan yang saling meremas. Aksa yang tak mengerti k
Ocha duduk di ruang keluarga, sepasang matanya tak pernah lepas menatap jam dinding dengan cemas. Sudah larut malam, dan Aksa belum pulang. Dia semakin tidak tenang, terbayang-bayang akan kemungkinan buruk yang mungkin terjadi di luar sana.Apalagi ponsel suaminya tidak aktif.‘Pasti lupa bawa charger lagi,’ pikir Ocha.“Astaga, Mas. Kamu di mana, sih?” gerutu Ocha. Dia kini bangkit dan kembali mendekat ke arah jendela. Mengintip di balik tirai, berharap mobil Aksa masuk ke halaman rumah mereka. Namun, nihil. Dia pun memutuskan untuk menelepon Yaya untuk meminta bantuan mencari Aksa. Hanya saja, baru saja hendak menelepon, tetapi tangisan Aqil sudah terdengar dari kamar. Niatnya menelepon jadi urung karena akan mengurus Aqil lebih dulu. Dia kembali ke kamar dan menenangkan bayi kecil yang menangis histeris itu.Ocha mulai menggendong Aqil sebentar, lalu menidurkannya k
Aksa terbangun di tempat tidur dengan kepala yang masih terasa pening dan berat luar biasa. Dia menggeleng pelan seraya memijat kening, lantas melihat sekeliling, tapi Ocha sudah tak di sampingnya, bahkan Aqil pun sudah tidak berada di tempat tidurnya. “Ke mana mereka?” tanyanya melirih sambil mengatur napas. Dengan susah payah, dia berusaha mengingat apa yang terjadi tadi malam? Hanya saja, saat ia mencoba memutar memori, yang diingat hanya ketika ia mencoba mencium Ocha dengan kasar. “Astaga, apa yang kulakukan padanya?” tanya Aksa dengan raut panik. Dia juga menyadari kalau mengucapkan sesuatu, hanya saja ia tak begitu mengingat apa perkataannya. Tapi, jujur ... saat ini, tiba-tiba ia merasa sangat takut ada perkataan yang melukai istrinya. Buru-buru Aksa turun dari ranjang dengan maksud untuk menemui Ocha dan meminta maaf. “Sayang, kamu di mana?!” Aksa berteriak. Namun, tetap tak ada sahutan. Kamar begitu sunyi seperti tak ada kehidupan di sana. Dia ber
Ocha menarik napas dalam-dalam dan tanpa berpikir panjang langsung berjalan untuk menemui suami dan anaknya. “Mas ...,” sapa Ocha sontak membuat Aksa berdiri menyambutnya. Walau dalam keadaan marah, Ocha tetap meraih tangan Aksa dan menciumnya dengan takzim. Aksa hendak membalas sesuai kebiasaan sebelumnya yakni memeluk dan mencium kening Ocha, tetapi istrinya itu seolah sengaja menghindar membuat dada Aksa seketika tertohok. Melihat sikap dingin Ocha padanya, Aksa jadi semakin merasa sangat bersalah. Ocha mengambil alih Aqil dari gendongan papanya dan menghujamkan ciuman untuk melampiaskan rindu pada bayi comelnya itu. “Mas, kenapa kamu bisa di sini?” Nada suara Ocha terdengar ketus. Meski begitu, Aksa merasa senang karena setidaknya Ocha masih mau mengajaknya bicara. “Mana mobilmu?” Aksa cengengesan. “Naik taksi tadi ke sini. Sengaja biar pulangnya barengan pak
Ocha menatap Aksa bengis lantas berbalik menuju kamar dengan langkah tegas. Dari raut wajahnya terlihat jelas betapa kesalnya ia pada sang suami. Terbukti, kala pintu kamar ditutup dengan kasar hingga menimbulkan suara yang sedikit lebih keras dari biasanya. Menandakan bahwa betapa seorang Ocha sedang berusaha mengendalikan emosi yang tengah meluap-luap. Di ruang tamu, Aksa hanya bisa memandang punggung sang istri yang kini sudah menghilang di balik pintu. Rasa bersalah pun kian menyelimuti hatinya melihat sikap dingin Ocha padanya. Dia lalu menghempaskan tubuh ke sofa, duduk dengan tatapan kosong, sesekali mengusap wajah, gusar. Di hadapannya, Nathan yang duduk--sedang memangku Aqil memperhatikan gelagat Aksa yang bak orang kebingungan. Pria muda itu pun memandang kakak iparnya dengan sorot mata penuh tanya, sementara satu
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok