Ocha memilih tak menjawab perkataan Aksa, dia hanya fokus menatap layar ponsel untuk membalas ucapan-ucapan selamat pernikahan dari grup kantornya.
Dia tak protes dengan Aksa yang memeluknya dengan sangat erat, seakan enggan untuk melepaskan, sesekali mencium pipi Ocha. “Pasti hidup kamu beberapa bulan ini berat banget ya?” tanya Aksa pelan, nyaris tak terdengar. Mendengarnya, Ocha meletakkan ponsel dan berbalik ke arah Aksa. “Namanya hidup ya gak ada yang tanpa ujian, Mas,” jawabnya. “Maafin aku ya. Aku benar-benar ngerasa bersalah banget sama kamu dan Aqil. Aku gak berguna jadi laki-laki karena membiarkan kalian hidup menderita. Aku brengsek banget kan, Cha?” Kali ini, mata Aksa terlihat berkaca. Wajahnya juga memerah menahan tangis. “Semua udah berlalu, Mas. Aku juga udah maafin kamu. Setidaknya, sekarang kamu sudah memutuskan untuk berubah dan memperbaiki kesalahan kamOcha kemudian bangkit dari tidurnya dan turun dari ranjang, lantas menarik Aksa menuju ke dekat jendela. Maksudnya, agar Aqil tak bangun karena terganggu dengan pembicaraan mereka.“Kamu sadar ngomong apa barusan?” tanya Ocha menatap Aksa serius. Namun, pria itu tetap bergeming, menatap lurus ke depan.“Itu ....” Ocha menunjuk Aqil di ranjang. “Itu anak kamu. Anak kita. Kenapa kamu masih berpikiran aku gak mau punya anak dari kamu? Sedangkan itu sudah jelas-jelas ada hasilnya!” geram Ocha.Aksa menoleh mengikuti arah telunjuk Ocha sambil menelan ludahnya begitu melihat putra mereka tertidur di sana.Perlahan, Aksa menyadari dirinya hanya terlalu takut. Dia lupa kalau wanita di hadapannya bukanlah Dewi yang tidak mau memiliki anak darinya. Melainkan Ocha, yang dengan segala kerelaan hatinya mengandung hingga melahirkan putra mereka.Sejatinya, Aksa hanya tiba-tiba cemas mendengarkan perkataan Ocha ya
“Salahnya juga karena aku terlalu percaya dan selalu memanjakannya sehingga dia menyakitiku dengan sangat keji.” Aksa melanjutkan ceritanya. “Aku terlalu percaya, kalau dia sering pamit ke luar kota, ke luar negeri itu bekerja, nyatanya separuh bekerja, separuh selingkuh.”Aksa menyeringai miris, mengingat masalah rumah tangganya yang sangat menyakitkan itu. “Sebenarnya Mami sudah sering kali memperingati aku karena mungkin ngerasa ada yang gak beres. Aku saja yang gak peka dan terlalu memaklumi apa pun yang dilakukannya,” imbuh Aksa, sambil menghela napas berat.“Ternyata, walau aku udah berusaha keras untuknya, melakukan apa aja demi kebahagiaannya, berusaha membuatnya nyaman bersamaku, tetap saja gak berarti di matanya, karena bukan aku yang dia mau.”Detik kemudian, Aksa menoleh dan kali ini menatap Ocha yang tepat sekali juga menatapnya dengan tatapan iba. Jujur saja, Ocha tak menduga kalau pernikahan yang sebelumnya dipikir sangat
Di tempat lain, Lala memasuki kantor dengan raut wajahnya yang kusut. Pandangannya kosong dan langkahnya tampak begitu berat seolah-olah ikut terbebani dengan pikirannya yang sedang kalut. “La, lu bahkan belum mau denger penjelasan gue soal malam itu.” Sorot mata Nathan mengiba, tetapi Lala seakan tak peduli. Perkataan terakhir Nathan padanya sebelum mereka berpisah kemarin terus berputar di kepala, membuatnya bimbang dengan keputusan yang telah dia ambil untuk menjauh dari adik temannya itu. Entah keputusannya benar atau justru keliru? Yang jelas, saat ini ia tengah dirundung dilema. Lala tidak menyadari, ketika dia masuk lift tadi, Rina memperhatikannya dari kejauhan. Rina bisa melihat bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran adik sepupunya, karena ia tak biasa melihat Lala kalut di waktu pagi. Lala, anaknya bawel, ceria, dan selalu semangat. Tanpa menunggu lama, Rina memutuskan untuk berlari mendekati Lala agar tak tertinggal lift. Dia malas menunggu lagi. Ta
“Ya ampun, sedih banget jadi Kak Ocha. Harus jadi istri kedua, tapi malah dicerai saat hamil,” lirih Nadine sambil menopang dagu dengan satu tangannya. “Semoga di kesempatan kedua ini, Pak Aksa gak nyakitin Kak Ocha lagi ya, Ly?” Di sebelahnya, Lily mengangguk pelan dan mulai menyalakan komputer untuk kemudian bekerja. Namun, tak berselang lama, Nadine kembali memecahkan keheningan di antara mereka. “Omong-omong, tadi malam kamu pulang dari hotel jam berapa?” tanyanya. Lily termenung, mengetuk-ngetuk dagunya sekadar untuk mengingat. “Jam 10 malam lebih mungkin ada ya.” “Wah, malam banget. Benar-benar cewek pemberani, gak takut pulang sendirian malam-malam begitu di tengah gempuran begal dan tindak kriminal di mana-mana.” Lily tertawa pelan. “Sebenarnya ....” Dia tampak ragu sejenak, tapi pada akhirnya akhirnya ia melanjutkan kalimatnya. “Aku diantar Yaya,” katanya jujur. Nadine m
Setelah berhasil membuka blokirnya Nathan, perasaan Lala juga kini mulai sedikit tenang. Setidaknya, ia sudah tak lagi merasa bersalah dengan sikapnya yang bisa terbilang egois dan tak dewasa menyingkapi masalah. Dia kini sedang duduk manis untuk menyelesaikan pekerjaan yang sedikit menumpuk. Namun, tak lama, tiba-tiba ponselnya berdering diselingi getaran di meja. Ia meraihnya dan melihat nama Nathan muncul di layar. Untuk beberapa saat, dia hanya bergeming dengan segenap keraguan yang menyelimuti hati, tetapi pada akhirnya, ia menekan tombol hijau. “Halo?” suara Nathan terdengar sumringah di seberang. “Akhirnya lu buka blokir gue, La.” Lala menarik napas pelan, tapi tak terdengar oleh Nathan di balik telepon. Gadis itu terdiam sejenak. Walau, di dalam sana jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat dari biasanya. “Gue ngerasa, mengakhiri dengan blokir bukan budaya gue banget,” kata Lala. Terdengar ketus, tapi tak mengubah suasana hati Nathan yang telanjur senang.
Selang beberapa saat kemudian. Pria berkemeja putih dengan lengan digulung sesiku itu datang tergesa-gesa, wajahnya tampak pias sedari mendapatkan informasi kalau presdir mereka datang bersama istrinya ke restoran. Aksa dikenal sebagai sosok yang tegas dan perfeksionis. Setiap kali ada kunjungan mendadak seperti itu, pasti ada sesuatu yang mungkin salah pada restorannya. Walaupun, sebelumnya dia juga pernah mendapat informasi dari staf pelayanan kalau Aksa berkunjung, tetapi hanya mampir makan. “Selamat siang, Pak Aksa,’ sapa Adib--sang manajer sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Aksa. Aksa menyambut dengan senyum yang membingkai wajahnya. “Selamat siang. Apa kabar, Adib?” “Baik, Pak.” “Oh ya, Pak. Biar saya panggilan kan pelayan dulu untuk mencatat pesanan Bapak dan Bu Ocha,” ujar Adib. “Tidak perlu,” tolak Aksa ramah, “tadi, sudah ada yang melayani kami.” Setidaknya kali ini Adib bisa menghela napas lega. Dia merasa senang, stafnya bisa diandal
Lala menghempas kasar tangan Rizky yang mencekal pergelangannya. Dia berusaha tetap tenang, meski sebenarnya sangat marah. “Rizky, lu mau apa lagi, sih?!” geramnya.“Ayo kita ke dalam, La. Kita perlu bicara baik-baik.”“Kagak!” ketus Lala. “Kita sudah putus. Gak ada lagi yang perlu dibicarakan.”Rizky membuang napas berat, tapi tak menyerah. “Gue tau banyak salah ke lu, La. Gue udah terlalu banyak menyakiti lu selama 3 tahun kita pacaran. Tapi, gue benar-benar menyesali semuanya.”“Hidup gue hampa tanpa lu. Beri gue satu kesempatan lagi ya. Gue janji akan memperbaiki semuanya,” mohon Rizky, “dan gue janji gak akan ngulangin kesalahan gue.” Kalimat-kalimat permintaan maaf Rizky setidaknya membuat Lala merasa terenyuh. Sayangnya, karena kali ini hatinya enggan luluh. Dia menghargai niat Rizky meminta maaf padanya. Tapi, ia tak melihat ada sorot ketulusan pada mata elang milik pria itu. Lagian, ini bu
Pada keheningan pagi yang hanya diselingi suara aluminium beradu sengit itu, Ocha berdiri di depan kompor, mengenakan apron sambil mengaduk nasi goreng yang hampir matang untuk sarapan suaminya. Aroma nasi goreng membaur dengan kopi yang sebelumnya sudah diseduh sekali-kali menguar memenuhi udara, menambah suasana hangat di pagi yang tenang.Namun, keheningan itu terpecah ketika Ocha merasakan kehadiran seseorang di belakangnya.Tiba-tiba, sepasang lengan besar melingkar di pinggangnya dengan lembut. Wanita dengan gaya rambut cepol-nya itu terkejut sejenak, tetapi sebelum sempat bereaksi lebih jauh, dia merasakan ciuman lembut di lehernya yang membuatnya menggigil kecil.Aksa berbisik lembut. “Selamat pagi, Istriku ....”Ocha tersenyum tipis, meskipun wajahnya sedikit memerah karena perbuatan Aksa yang sangat tiba-tiba itu.Dia mencoba fokus pada sarapan yang sedang dimasak, tetapi kehadiran Aksa yang begitu dekat memb
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok