Aksa melengkungkan bibir, beralih mengambil putranya dari gendongan Yaya karena sedari tadi mereka datang, bayi kecil itu sudah menatapnya. “Emang kenapa kalau saya pulang bareng Ocha? Dan ....” Aksa memicing ke arah Lily. “Kamu ngapain di sini, Ly? Bolos ya?”Tak terima tuduhan sang bos, Lily menjawab dengan cepat. “Tidak, Pak! Saya pulang saat sudah jam pulang. Saya ke sini udah izin sama Kak Ocha kok, Pak. Lagian kangen sama Dedek Aqil.”“Anak saya gak kangen sama kamu kali!” cibir Aksa, sesekali mencium Aqil dengan gemas. “Mana ada, Pak? Tadi dia nempel ke saya. Kayak meluk kekasih hatinya. Tanyain aja Kak Wina kalau tidak percaya.”“Heh! Anakku masih kecil, Ly! Jangan diajarin gak benar!” cecar Ocha, “Apa-apaan bawa-bawa kekasih hati segala?”“Jangan dikatain, Sayang. Kasihan jomblo ngenes emang suka gitu!” sahut Aksa dengan nada mengejek.“Tuh, sana sama Yaya. Dia juga jomblo.” Ocha menunjuk Yaya dengan gerakan w
“Hah?”Ocha melongo sejenak.Mencoba mencerna pengakuan Lala yang tidak ada angin tak ada hujan, datang ke rumahnya pagi-pagi sekali dan tiba-tiba bilang lagi kesal pada Nathan yang tak lain dan tak bukan adalah adiknya.‘Memang apa yang dilakukan adiknya pada Lala?’ Ocha bertanya-tanya dalam hatinya.Dia berbalik, menatap Lala dengan ekspresi bengong sebelum akhirnya memutuskan duduk pada kursi tepat sebelah Lala.“Kenapa dengan adek gue? Diapain lu sama dia sampe kesal begitu?” Ocha memicing penasaran.Lala mendadak gelisah begitu menyadari fakta kalau Ocha sebenarnya belum mengetahui tentang kedekatan antara dirinya dan Nathan yang terjalin beberapa hari belakangan ini. “Bukan apa-apa,” jawab Lala cepat, bermaksud mengalihkan pembicaraan. “Aksa udah berangkat ke Malang?”“Barusan itu berangkat,” kata Ocha, “emang lu gak ketemu di jalan?”“Oh, yang mobil warna hitam? Gue pikir mobilnya Aksa warna put
Lala kini kehilangan kata-kata. Dia tak membela dirinya, tetapi juga tidak membantah perkataan Ocha.Diakuinya pada Ocha bahwa agaknya ia disesatkan oleh omongan sendiri dan juga termakan janji manis. Awalnya memang tak menginginkan Nathan karena menilik pria itu lebih muda darinya, sedangkan dia menginginkan pria yang lebih dewasa, dalam hal ini lebih tua darinya. Karena konon kata orang, yang dewasa dari kita itu lebih bisa meredam emosi kelak berumah tangga. Jadi, tak akan ada istilah perang dingin sebab salah satunya lebih matang dalam hal mengontrol emosi atau dalam hal apa pun itu. Begitu yang diyakini Lala. Hanya saja, kehadiran Nathan dalam hidupnya, mengubah seluruh sudut pandangnya dengan sangat mudah. Di sisi lain, sifat Nathan juga sangat berbanding terbalik dari pria idamannya. Lala inginnya pria yang sudah mapan, bukan seperti Nathan yang bahkan kuliah saja belum lulus-lulus.
Ocha terdiam sejenak, merasakan sakit di hatinya yang menjalar dalam tubuhnya mendengar kalimat-kalimat dari sang ibu tiri yang lebih pada tuduhan untuknya. Segitu tak berharganya dia di mata wanita yang sangat dihormatinya selama kurang lebih 25 tahun ini?Tak peduli sakit dan luka yang diberikan, Ocha tetap berupaya agar setiap saatnya kala itu menjadi anak yang berbakti pada ibu.Pelan, Ocha meremas ponsel sambil menghapus air matanya. Sambungan telepon, sudah diputuskan sepihak oleh Laras sedari tadi. “Cha, lu kenapa?” Lala menyentuh bahu Ocha.Menatapnya dengan raut panik karena tiba-tiba saja Ocha menangis, padahal sebelum menelpon ia terlihat baik-baik saja.Ocha tersenyum balas menatap Lala bak tak terjadi apa-apa. Walaupun, kini hatinya sedang terluka. “Biasa,” kata Ocha santai. “Biasa gimana? Lu tadi bicara sama Tante Laras kan?” Lala menyipitkan mata, penasaran.Ocha berdehem se
Selang beberapa saat, pintu terdengar diketuk dari luar. “Nathan kamu bilang, Win?” Ocha sedikit ragu. Karena sedari tadi Nathan tak bisa dihubungi. Tetapi, Wina tiba-tiba bilang kalau Nathan datang ke rumahnya. Lantas, dari mana saja dia menghilang? Wina mengangguk, seraya berkata, “Iya, Bu.” “Ya sudah, buka pintunya!” titah Ocha kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah pintu diikuti oleh Lala. Detik kemudian, Wina pun membuka pintu secara perlahan. Tampak Natan, berdiri dengan raut acak-acakan. Dia terlihat lelah, letih, dan lesu. Tak seperti biasanya ketika datang ke rumah Ocha, dia selalu ceria, tersenyum lebar, dan langsung menyelonong masuk bermain dengan keponakannya atau sekadar berbaring di sofa. Terkadang juga langsung ke dapur mencari sesuatu yang bisa dimakan. Tapi, sekarang? Dia tetap berdiri gamang di depan pintu. Dan sedikit tersentak melihat keberadaan Lala. Mungkin tak menyangka Lala ada di rumah kakaknya. Sebuah perban melilit di
“Gu—e ... gue ....” Nathan terbata. Tak tahu harus berkata apa lagi untuk membela dirinya di hadapan Lala?Bola matanya yang tampak sayu menatap Lala lekat.Hati kecilnya berharap gadis berkuncir satu itu memahami posisinya sekarang.Dia sangat takut, Lala akan membencinya karena kejadian yang membuatnya menghilang tiada kabar.Baru saja, ia sedikit demi sedikit bisa menaklukkan hati batu Lala, manalah mungkin harus kandas sebelum dimiliki seutuhnya?“La, gue sungguh-sungguh minta maaf ke lu,” ujar Nathan lagi penuh dengan raut ketulusan. Melihat Nathan yang sedari tadi merasa bersalah membuat Lala juga tak tega. Lagian, dia sekarang sudah tahu alasan Nathan menghilang. Tentu saja, hal tersebut bukan hal yang perlu untuk jadi perdebatan. Nathan tidak melakukannya secara sengaja melainkan terkena sebuah musibah.Lala melihat pada Ocha sekilas seolah meminta solusi harus bagaimana ia menangga
Tanpa berpikir panjang, Aksa memutuskan untuk mengakhiri jadwalnya di kantor cabang lebih cepat dari yang seharusnya dengan maksud akan kembali ke Jakarta. Untungnya, karena pekerjaannya memang sudah selesai dan sudah tidak ada hal terlalu penting yang akan diurusnya di sana. Sekalipun ada, baginya membujuk Ocha dan meluruskan kesalahpahaman adalah yang paling penting sekarang. Dia tidak mau kehilangan Ocha yang kedua kalinya hanya gara-gara ingus. ‘Ah, kenapa aku harus membahas ingus padanya coba?’ Aksa menyesali diri. Dia segera menghubungi sekretarisnya untuk memesan tiket pulang yang paling cepat. Beberapa jam kemudian. Ocha dan yang lainnya baru keluar dari ruang rapat saat sudah memasuki jam istirahat. Bersama Dita, Ocha langsung ke masjid untuk salat lebih dulu. Kemudian, melipir ke kantin kantor untuk makan siang. Setelah itu, barulah mereka kembali ke ruangan dan bekerja. Dan sekitar pukul 3 sore, Lala tiba-tiba datang ke ruangan Ocha. Awalnya Ocha masa bodoh da
Di rumah sakit.Yaya beranjak dari kursinya setelah jam kerjanya sebagai dokter baru yang bekerja di UGD telah selesai. Hari ini cukup melelahkan baginya, dan ia hanya ingin pulang dan beristirahat. Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit hendak menuju parkiran.Namun, saat melintas di dekat taman, pandangannya tak sengaja melihat Lily yang duduk sendirian di bangku taman.Hanya saja, Yaya berpikir mungkin Lily sedang menunggu keluarganya yang dirawat di rumah sakit itu.Yaya masa bodoh dan mulai melanjutkan langkah tanpa menghiraukan Lily. Akan tetapi, beberapa saat kemudian, ia mendengar suara langkah mendekat dari belakangnya.“Dokter Yaya, tunggu!”Yaya berbalik dan melihat Lily berlari kecil menghampirinya.“Ada apa? Ada yang bisa dibantu?” tanya Yaya sedikit terkejut dengan kedatangan Lily.Lily tersenyum. Di balik punggung, tangannya saling meremas karena canggung berada
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok