“Gu—e ... gue ....” Nathan terbata. Tak tahu harus berkata apa lagi untuk membela dirinya di hadapan Lala?
Bola matanya yang tampak sayu menatap Lala lekat.Hati kecilnya berharap gadis berkuncir satu itu memahami posisinya sekarang.Dia sangat takut, Lala akan membencinya karena kejadian yang membuatnya menghilang tiada kabar.Baru saja, ia sedikit demi sedikit bisa menaklukkan hati batu Lala, manalah mungkin harus kandas sebelum dimiliki seutuhnya?“La, gue sungguh-sungguh minta maaf ke lu,” ujar Nathan lagi penuh dengan raut ketulusan.Melihat Nathan yang sedari tadi merasa bersalah membuat Lala juga tak tega.Lagian, dia sekarang sudah tahu alasan Nathan menghilang.Tentu saja, hal tersebut bukan hal yang perlu untuk jadi perdebatan.Nathan tidak melakukannya secara sengaja melainkan terkena sebuah musibah.Lala melihat pada Ocha sekilas seolah meminta solusi harus bagaimana ia menanggaTanpa berpikir panjang, Aksa memutuskan untuk mengakhiri jadwalnya di kantor cabang lebih cepat dari yang seharusnya dengan maksud akan kembali ke Jakarta. Untungnya, karena pekerjaannya memang sudah selesai dan sudah tidak ada hal terlalu penting yang akan diurusnya di sana. Sekalipun ada, baginya membujuk Ocha dan meluruskan kesalahpahaman adalah yang paling penting sekarang. Dia tidak mau kehilangan Ocha yang kedua kalinya hanya gara-gara ingus. ‘Ah, kenapa aku harus membahas ingus padanya coba?’ Aksa menyesali diri. Dia segera menghubungi sekretarisnya untuk memesan tiket pulang yang paling cepat. Beberapa jam kemudian. Ocha dan yang lainnya baru keluar dari ruang rapat saat sudah memasuki jam istirahat. Bersama Dita, Ocha langsung ke masjid untuk salat lebih dulu. Kemudian, melipir ke kantin kantor untuk makan siang. Setelah itu, barulah mereka kembali ke ruangan dan bekerja. Dan sekitar pukul 3 sore, Lala tiba-tiba datang ke ruangan Ocha. Awalnya Ocha masa bodoh da
Di rumah sakit.Yaya beranjak dari kursinya setelah jam kerjanya sebagai dokter baru yang bekerja di UGD telah selesai. Hari ini cukup melelahkan baginya, dan ia hanya ingin pulang dan beristirahat. Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit hendak menuju parkiran.Namun, saat melintas di dekat taman, pandangannya tak sengaja melihat Lily yang duduk sendirian di bangku taman.Hanya saja, Yaya berpikir mungkin Lily sedang menunggu keluarganya yang dirawat di rumah sakit itu.Yaya masa bodoh dan mulai melanjutkan langkah tanpa menghiraukan Lily. Akan tetapi, beberapa saat kemudian, ia mendengar suara langkah mendekat dari belakangnya.“Dokter Yaya, tunggu!”Yaya berbalik dan melihat Lily berlari kecil menghampirinya.“Ada apa? Ada yang bisa dibantu?” tanya Yaya sedikit terkejut dengan kedatangan Lily.Lily tersenyum. Di balik punggung, tangannya saling meremas karena canggung berada
Ocha sontak menelan ludahnya kuat-kuat begitu melihat bingkai foto yang sepertinya punya makna khusus sudah berserakan di lantai. “Nak ... kamu, sudah da—datang ....” Paul mendadak gugup. Ocha tak menjawab, justru berjalan pelan karena penasaran foto siapa yang dilihat papanya sehingga membuatnya terlihat gelisah sekarang? Kalau dalam foto itu tak ada apa-apa, mengapa beliau terkejut bahkan sampai menjatuhkan benda tersebut? Bahkan, gugupnya Aksa akan bertemu calon mertua, lebih gugup lagi Paul melihat Ocha semakin mendekat. Ocha berdiri di antara pecahan kaca itu. Dia menunduk melihat kertas foto bergambar keluarga yang tampak bahagia. Di sana, terlihat seorang suami yang sangat berwibawa. Merangkul istrinya yang tengah menggendong bayi perempuan. Sepertinya, putri mereka. Ocha membungkuk, Paul pun membungkuk hendak mengambil dan menyembunyikan foto tersebut. Sayangnya, karena Ocha lebih dulu mengambil dan melihatnya dengan saksama. Mulai dari sang bayi yang me
“Kamu tenang dulu ya, Sayang.” Aksa mengulas senyum tipisnya, menangkup wajah Ocha sembari menghapus pelan air mata Ocha dengan jempolnya. “Kamu jelek kalau menangis,” kata Aksa menyentil hidung Ocha dan tersenyum berusaha menghiburnya. Ocha mengerang sebal, mengalihkan pandangan ke arah lain dan sedikit mendorong tubuh Aksa agar menjauh darinya. Walau pada kenyataannya, Aksa masih berdiri di hadapannya sambil mesem-mesem. Detik berikutnya, pria tampan itu meraih tangan Ocha dan memandanginya iba. “Kita pulang ya. Aku akan mengobati lukamu di rumah.” “Ini gak apa-apa, Mas,” lirih Ocha, ikut memandangi telapak tangannya yang terluka. “Nanti infeksi, Sayang.” “Gak ada yang perlu dikhawatirkan, Mas. Antar aku ke rumah Yaya dulu aja.” Aksa mengernyit. “Dengan keadaan terluka seperti ini? Kita ke klinik dulu membersihkan lukamu, sekalian untuk memastikan itu bahaya apa gak? Setelah itu, kita baru ke rumah Yaya. Deal?” Aksa memberikan pilihan yang tetap ditolak mentah-mentah
Paling tidak, mendengar perkataan Ocha membuat hati Karin bagai tersayat sembilu. Air mata itu perlahan runtuh begitu sesak menghimpit di dadanya. Karin menggelengkan kepala dengan sangat pelan, maksudnya menampik segala praduga yang dilayangkan Ocha padanya. “Ti—dak ... tidak, Nak! Mama tidak meninggalkanmu, Sayang. Mama ....” Karin berusaha menjelaskan. Namun, napasnya seketika tercekat, tak bisa berkata-kata. Ocha tersenyum miris. Melepas pelukan Karin darinya, menatap kecewa pada wanita yang konon telah melahirkannya itu. “Aku kecewa pada kalian!” tegas Ocha, berbalik dan berlari ke mobil. Tak hirau sang ibu yang berusaha menahan langkahnya. Melihat kejadian itu, Yaya pun tak tinggal diam. Ia mencoba mengejar Ocha dan berusaha menarik lengan kakaknya. “Cha, Mama punya alasan kenapa waktu itu pergi ninggalin lu!” kata Yaya penuh penekanan. “Tolong, berikan Mama kesempatan untuk menjelaskan semuanya.” Hanya saja, Ocha tak peduli. Dia mendorong Yaya agar men
Ocha menunduk memegang kepalanya di sofa ruang tamu. Dia benar-benar bingung dengan takdir yang seolah-olah senang sekali mempermainkan dirinya. Setelah sembuh dari luka ketika pernikahannya dengan Aksa harus bubar saat ia tengah mengandung yang membuatnya berjuang sendiri, kini badai dari sudut lain kembali menghantamnya. Ocha harus menerima kenyataan bahwa ibu kandungnya adalah sosok ibu yang selama ini hanya dianggap sebagai ibu dari temannya sendiri. Pantas saja, wanita itu selalu peduli padanya. Air yang menggenang di pelupuk Ocha perlahan tumpah membasahi pipinya. Betapa ia tak sadar bahwa pertemuan Paul dan Karin kala itu terlihat begitu canggung, memang sangat tampak seperti ada apa-apa. Terlebih, Karin yang buru-buru pergi. Ocha juga menyesal, karena tak pernah menyadari bahwa perasaannya selalu tenang berada di dekat Karin. Pelukan yan
Karin mengambil napas dalam-dalam dengan pandangan lurus ke depan. Setelah beberapa saat mencoba mengontrol emosi ketika mengingat masa lalunya yang suram bersama mantan suaminya, ia perlahan mulai bercerita, “Ketika umur kamu masih 1 tahun lebih ....” FLASHBACK ON Karin sedang duduk di ruang tamu, merapikan beberapa benda yang berada di atas meja ketika saat itu Paul bangkit dari sofa dan menuju kamar mandi, meninggalkan ponselnya di meja. Tak lama, benda canggih pada masanya itu pun berbunyi, menampilkan sebuah pesan seluler yang masuk dari seseorang yang diberi nama kontak “Sayang 2”. Karin mengernyit kebingungan. Siapa yang dimaksud Sayang 2? Sudah jelas itu bukan nomor ponselnya. Lagian, ia tak memiliki nomor cadangan. Karin tiba-tiba merasa cemas, pikiran-pikiran buruk mulai menerjang. Karena penasaran, tan
Tangan Karin tiba-tiba mengepal mendengar perkataan Paul. Seketika sakit hatinya berubah menjadi amarah yang kini sudah berada di ubun-ubun, sedikit lagi meledak agaknya.“Apa maksudmu? Ocha itu masih kecil, dia masih butuh aku, Mas. Jadi, dia harus ikut bersamaku!” Nada suara Karin meninggi. Bukannya mengalah, Paul justru menyeringai sinis, dia berjalan mendekati Karin. “Maka tetaplah di sini kalau kamu ingin bersama Ocha. Hanya itu pilihannya.”“Tidak, Mas! Kau gila ya? Kau sudah mengkhianati pernikahan kita. Apa kamu pikir, aku bisa tinggal bersama pengkhianat sepertimu?!”“Yang ada aku hanya akan menabung air mata setiap hari. Aku gak akan sudi melihatmu bersama Laras.”Tiba-tiba Paul berlutut di hadapan Karin. Dia menggenggam tangan istrinya dengan mata yang mulai berair. Dia terisak, menatap Karin dengan perasaan bersalah. “Maafkan aku, Karin! Aku janji akan memperbaiki semuanya. Aku akan meninggalkan Laras, aga
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok