Mobil mewah milik Aksa baru berhenti di depan rumah Ocha ketika hari sudah sore.
Pria itu berlalu cepat keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Ocha, seperti biasa yang sering dilakukan untuk menarik hati Ocha.“Terima kasih untuk hari ini ya, Tuan Putri. Aku sangat senang menghabiskan waktu bersamamu,” ujar Aksa merasa bersemangat.“Hm.”“Sampai di dalam, mandi air hangat biar tubuh kamu terasa plong, lalu istirahat.” Aksa menunjukkan kepeduliannya.Ocha tersenyum tipis, merapatkan jaket milik Aksa yang sengaja dipakaikan oleh pria itu pada tubuh Ocha yang sedikit basah karena tadi saat hujan mereda mereka sempat bermain di pantai.“Iya, bawel. Kamu langsung pulang, gak? Gak ketemu Aqil dulu?” tanya Ocha memicing.Aksa bergumam pelan, melihat pada tubuhnya yang juga sedikit basah.“Nanti aja, deh. Soalnya ini basah. Nanti yang ada kalau gendong Aqil, dia malah kedinginan.”“Ya sudah. Hati-haOcha berdiri menatap cemas pada putranya yang terlihat lemas. Sementara itu, dokter mulai memeriksa Aqil dengan teliti. Dia mengukur suhu tubuh bayi mungil itu dan mendengarkan detak jantungnya dengan stetoskop.“Suhu tubuhnya cukup tinggi, 39 derajat Celsius. Sudah berapa lama dia demam?” tanya Dokter Puspita dengan lembut. Terdengar helaan napas dari Ocha. “Sejak tadi sore, Dok. Tapi dari kemarin memang sedikit rewel sampai puncaknya tadi siang dia sering menangis.”Dokter wanita itu mengangguk paham. “Aqil mengalami demam yang cukup tinggi. Sepertinya dia terkena infeksi ringan, mungkin virus yang umum pada anak-anak. Tapi ....” Dokter Puspita menjeda ucapannya dan menatap Ocha, merasa sedikit tak enak hati. “Saya juga melihat ada faktor emosional yang mungkin mempengaruhi kondisi Aqil.”Ocha terkejut mendengarnya. “Faktor emosional? Apa maksud Dokter?”Wanita berjas putih itu pun mulai menjelaskan dengan hati-hati
“Ti—dak, Mas! Tadi aku sudah membawanya ke rumah sakit, ditemani Yaya dan Tante Karin.” Mendengarnya, Aksa menghela napas lega. Setidaknya, putranya sudah mendapatkan penanganan yang tepat. “Jadi, bagaimana keadaannya sekarang? Apa kata Dokter?” Ocha menunduk. Satu tangannya meremas-remas ujung bajunya di bawah sana, sesekali menghela napas dengan lembut. Selang beberapa detik, ia mengangkat kepala, menatap putranya penuh kasih sayang, lalu berkata, “Dokter bilang Aqil kena infeksi ringan, tapi juga mungkin merasa stres karena merindukanmu.” “Dokter hanya menyarankan agar aku terus memantau suhu tubuhnya dan memberikan ASI secara berkala. Kalau demamnya tidak turun dalam dua hari atau ada gejala lain, kita harus membawanya kembali ke rumah sakit.” “Ya Tuhan!” lirih Aksa. Nada suaranya terdengar sangat berat. “Ini salahku, Mas. Kenapa harus bikin aturan agar kamu gak bertemu Aq
Dalam diam, Ocha masih tak lepas memandangi wajah tampan Aksa dari samping, lalu beralih menatap putranya yang terlihat tenang dalam dekapan erat sang Ayah. Barangkali karena merasakan kehadiran dan kehangatan ayahnya, jadi Aqil pun merasa kerinduannya terobati dan mulai tertidur di pelukan Aksa. ‘Serindu itu kamu dengan Papa, Nak?’ tanyanya dalam hatinya. Matanya perlahan memburam melihat pemandangan di hadapannya itu. Dia merasa tak tega pada Aqil yang sepertinya memang sangat membutuhkan ayahnya yang selalu berada di sisinya. “Lupakan masa lalu, Nak. Dan mulai bangun masa depan. Masa yang sudah berlalu tak seharusnya merusak rencana masa depanmu.” Masih terngiang jelas perkataan Karin kala itu--ketika Ocha curhat padanya tentang Aksa yang terang-terangan memintanya kembali. Pun menyangkut perasaan Ocha pada Aksa yang juga membuatnya bimbang. “Yang terpenting adalah niat
“Aku ingat waktu kita di Makassar, kamu pernah bilang kalau kamu orangnya mandiri sejak kecil, jadi butuhnya pria yang tidak akan membiarkanmu sendiri.” Aksa menarik napas pelan, berusaha menyakinkan Ocha melalui tatapannya. “Aku janji, akan mewujudkan itu, Cha. Aku gak akan membiarkanmu sendiri lagi jika nanti kau bersamaku." Tak ada jawaban, Ocha masih betah terdiam, tali tatapannya tetap lurus pada Aksa seolah mencari sesuatu dari sorot mata pria itu. Dia mencoba berkompromi dengan hatinya. Melebur rasa kecewa dan sakit yang telah Aksa perbuat padanya di masa lalu. Setidaknya, kali ini pengakuan Aksa membuat hatinya bergetar. Ia bisa merasakan kehangatan dan ketulusan melalui sorot mata pria yang penuh pengharapan itu. “Bagaimana aku bisa mempercayaimu?” tanya Ocha kemudian. “Aku harus apa biar kamu percaya?” Aksa balik bertanya. “Kamu masih ragu padaku?” Ocha menganggukkan kepalanya. “Katakan, apa yang kamu ragukan dariku? Aku jadi bingung harus berbuat apa agar ka
Keesokan harinya. Ocha berjalan masuk ke kantor Infinite Allure dengan wajah ceria, sesekali tersenyum dan menyapa pada setiap orang yang berpapasan dengannya. Entahlah! Ocha merasa bahagia saja karena sekarang perasaannya jadi fresh, lebih plong. Rasanya enak banget. Badan serasa jauh lebih enteng, jadi keterusan deh sampai sekarang. Tapi, ini tentang Ocha, bukan iklan le mineral. Tiba di meja kerjanya, Ocha lantas menghempaskan bokong di kursi seraya menarik napas lega. Memutar-mutar kursi berporosnya dengan wajah sumringah. Rekan-rekan sesama karyawan di sana sampai bingung dan saling bertanya satu sama lain melihat sikap aneh Ocha. Tak terkecuali Dita. Wanita itu mengernyit keheranan melihat tingkah Ocha. Dia menggeser kursi, mendekatkan badan dan bertanya dengan nada berbisik, “Ada apa denganmu wahai Ibunya Aqil? Kamu terlihat sangat bahagia hari ini?” “Gak, ah,” timpal Ocha, “perasaanmu aja kali.” “Gak mungkin, Cha. Dari hulu ke hilir, dari musim rambutan k
Dengan begitu, Aksa berharap akan mendapatkan pelukan hangat dari wanita yang dicintainya.Hanya saja, dia bukannya mendapatkan pelukan, tetapi justru ditarik kasar oleh Ocha dan dibawa ke samping mobil dengan maksud agar tak ada yang menyadari keberadaan Aksa. Ditatapnya pria itu dengan tajam. “Kamu ngapain ke sini? Aku kan tadi sudah bilang gak usah jemput. Kalau ada yang liat kamu di sini, gimana coba?”Bukannya panik, Aksa tersenyum cengengesan tanpa rasa bersalah. “Dih, kepedean! Siapa bilang aku ke sini jemput kamu?”Mata Ocha melotot tak percaya, meski begitu raut wajahnya tiba-tiba cemberut mendengar pengakuan Aksa.“Jadi, kamu ke sini bukan jemput aku?”“Hm.” Aksa melipat tangan di depan dada. Dia susah payah menahan senyum tatkala melihat ekspresi Ocha yang langsung bete. Wanita itu mundur selangkah. Mengalihkan pandangan ke arah lain dengan bibir yang mengerucut sebal.Dia sedikit kecewa,
Yaya baru saja tiba di rumah Ocha, membawa rantang makanan yang khusus dibawanya untuk Ocha dari ibu mereka. Ia mulai mengetuk pintu, tetapi yang membuka bukanlah Ocha, melainkan seorang gadis yang hanya pernah bertemu tatap muka sekali dengannya--di rumah ini. Namun, Yaya mengenalnya karena gadis itu selalu mengirimkan pesan-pesan tidak penting melalui DM i*******m, meskipun Yaya terbilang jarang sekali menggubris. Namanya Lily. Dia pernah bekerja bersama Ocha sebagai sekretarisnya Aksa di Harmoni Gastronomi. Begitu katanya di DM instagramnya beberapa waktu lalu. Entah mengapa Lily ada di rumah Ocha sore-sore begini? Lily yang tengah menggendong Aqil pun tersenyum manis sekali pada Yaya. Senyuman yang mengandung senyawa sukrosa dengan rumus molekul C12H22O11 setidaknya mampu membuat Yaya salah tingkah, nyaris meleleh, tetapi pria muda itu berusaha bersikap biasa saja. “Mas Yaya? Silakan masuk. Kak Ocha belum pulang,” kata Lily mencoba ramah, walaupun sejauh ini pria di h
Aksa melengkungkan bibir, beralih mengambil putranya dari gendongan Yaya karena sedari tadi mereka datang, bayi kecil itu sudah menatapnya. “Emang kenapa kalau saya pulang bareng Ocha? Dan ....” Aksa memicing ke arah Lily. “Kamu ngapain di sini, Ly? Bolos ya?”Tak terima tuduhan sang bos, Lily menjawab dengan cepat. “Tidak, Pak! Saya pulang saat sudah jam pulang. Saya ke sini udah izin sama Kak Ocha kok, Pak. Lagian kangen sama Dedek Aqil.”“Anak saya gak kangen sama kamu kali!” cibir Aksa, sesekali mencium Aqil dengan gemas. “Mana ada, Pak? Tadi dia nempel ke saya. Kayak meluk kekasih hatinya. Tanyain aja Kak Wina kalau tidak percaya.”“Heh! Anakku masih kecil, Ly! Jangan diajarin gak benar!” cecar Ocha, “Apa-apaan bawa-bawa kekasih hati segala?”“Jangan dikatain, Sayang. Kasihan jomblo ngenes emang suka gitu!” sahut Aksa dengan nada mengejek.“Tuh, sana sama Yaya. Dia juga jomblo.” Ocha menunjuk Yaya dengan gerakan w
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok