Hampir saja tubuh wanita itu limbung jika saja Tomi tidak sigap menahan tangannya. Dengan cepat dia menepis tangan Tomi yang tidak sengaja berbenturan dengan kulit tangannya yang putih dan mulus.
"Ma-- Maaf, tidak sengaja," ucap Tomi terbatas. Jantungnya berdebar kencang melihat wajah cantik dengan balutan jilbab lebar yang menutupi tubuhnya. Wanita itu tersenyum tipis dan mengangguk, lalu membawa motornya sendiri untuk masuk ke dalam bengkel.Tomi terpaku, hingga sepersekian detik dia tersadar dan berlari kecil untuk membantu motor wanita cantik itu."Kau sudah menikah?" Entah keberanian dari mana Tomi menanyakan hal pribadi padanya.Wanita yang duduk tidak jauh darinya menggeleng, lalu membuang muka dengan tatapan ke arah jalanan yang semakin ramai. 'Jangan nangis, plis, jangan nangis. Kamu harus move on, Gina," batin wanita itu tanpa mau menoleh ke arah dimana Tomi berada."SudaHesti dan Kusaini menjalani hari-hari baru mereka dengan berat. Tinggal di kota asing tidak lantas membuat keduanya bebas dan merasa sudah terlepas dari apa yang sudah terjadi. Apalagi mereka hanya tinggal bertiga, beruntung anak Kusaini sudah dijemput oleh Gina sejak beberapa bulan yang lalu karena Gina mendengar jika Eni gila."Alhamdulillah, Mbak. Jadi kuli panggul di pasar uangnya cukup untuk kita makan sehari-hari," tutur Kusaini dengan mengeluarkan uang sebesar 75.000 dari dalam kantong celananya.Hesti menangis. Dia memeluk Kusaini dan berkali-kali meminta maaf, "Jika saja Mbak bisa menjaga diri, semua tidak akan terjadi, Kus. Maaf, karena Mbak kita harus mengalami hal sulit begini. Kamu dan Ibu harus rela membawaku bersembunyi."Kusaini mengusap lengan kakaknya dengan lembut. "Semua sudah terjadi, Mbak. Lebih baik kita sama-sama bertaubat agar Allah mengampuni dosa-dosa kita, juga memberikan kesembuhan untu
"Maafkan Hesti, Bu. Maafkan aku karena sudah menjadi anak yang tidak berguna."Hesti memeluk tubuh Eni yang semakin kurus. Dia berkali-kali mencium pipi Ibunya yang sudah basah oleh air mata. Kesedihan menyelimuti hati mereka berdua, bahkan Kusaini enggan mengganggu momen Ibu dan anak yang sedang menyemai rindu."Tidak, Nak. Harusnya Ibu yang minta maaf. Ibu sudah keterlaluan selama ini. Ibu bodoh ... ibu terlalu gila harta sampai ....""Tunggu! Ibu sudah sehat?"Eni menunduk. Dia kembali menyeka air mata yang sudah membasahi pipi. "Ibu ... sebenarnya Ibu tidak gila, Nak. Ibu hanya malu pada warga kampung, malu karena setelah mengagung-agungkan kamu yang bisa menikah dengan lelaki kota tapi ternyata jejakmu hilang begitu saja. Ibu marah pada diri Ibu sendiri ... Ibu bahkan diam-diam menangis saat Kusaini memperlakukan Ibu dengan begitu baik. Ibu tertampar, Hes. Ibu sadar jika selama ini Ibu bukanlah ibu yang b
"Ja--jadi Halimah dan keluarganya yang sudah membantu kamu, Nak?" tanya Eni. "Halimah yang selalu Ibu musuhi ternyata masih rela menolong kamu dari masalah sebesar ini. Ibu merasa semakin kerdil, Hes."Mereka bertiga larut dalam penyesalan yang mendalam. Dosa yang pernah Eni lakukan terbayang-bayang di pelupuk matanya, apalagi jika mengingat tentang kebejatan Tarjo pada Halimah dulu, dia benar-benar menyesal sudah membuat Halimah hidup dalam kesulitan dan ketidaknyamanan hingga harus pindah ke kota."Bagaimana cara kita berterima kasih pada mereka, Hes? Ibu ingin minta maaf, terlalu banyak kesalahan ibu pada keluarga Leha.""Tidak mudah untuk keluar dari kota ini, Bu. Anak buah Ki Kusumo pasti sedang berkeliaran mencariku. Lebih baik, ibu minta maaf dulu pada Allah, meminta pertolongan pada Sang Pemilik Kehidupan agar kita semua dimudahkan untuk menemui Halimah dan keluarganya."Eni mengangguk. Dia k
"Tunggu saja, kalian pasti senang melihat kedatangan wanita ini nanti."Halimah memilih diam dan menuruti ucapan Tomi, karena memaksa kakaknya bercerita pun percuma rasanya. Begitupun dengan Leha, wanita paruh baya itu cukup tersenyum melihat cekcok gurauan yang kedua anaknya lakukan."Lagi bahas apa sih, Mas ngucapin salam dari tadi nggak ada yang nyaut," seloroh Vano sembari mencium punggung tangan Ibu Mertuanya, dan beralih pada Halimah yang mencium punggung tangannya.Halimah terkekeh, dia meminta maaf karena terlanjut asyik menggoda Tomi yang terlihat tengah kasamaran. Dia mengikuti langkah Vano masuk ke dalam kamar setelah suaminya itu selesai basa-basi bersama Tomi dan Leha. Gurat lelah terpancar di wajahnya apalagi saat ini Cafe mereka sudah memiliki banyak cabang."Mas Tomi bilang hari Minggu besok mau ada cewek yang datang, Mas.""Oh ya, siapa?""Entahlah,
"Sial! Telepon rumah nggak diangkat, Van!"Vano memukul stir mobil dan menatap jalanan dengan gusar sementara Halimah meremas sepuluh jemari dengan cemas."Kebut, Van. Aku tidak mau Ibu dan Bapak kenapa-kenapa."Vano mengangguk. Dia menambah kecepatan mobil karena merasakan apa yang sedang Tomi rasakan saat ini. Mereka berdua laki-laki muda, untuk berkelahi kemungkinan menangnya akan tinggi, tapi Bapak dan Ibu ... siapa yang menjamin keselamatan mereka?"Maafkan aku, Mas ...."Suara Halimah terdengar bergetar. "Gara-gara aku, semuanya jadi kacau. Hidup kita jadi tidak tenang begini. Aku ... hu ... hu ... hu ....""Berhenti menangis dan merengek, Dek. Menghadapi orang-orang Ki Kusumo bukan dengan kelemahan!" bentak Vano. "Buang air matamu, Mas janji akan menyelamatkan kalian semua meskipun harus berkorban nyawa sekalipun.""Apa sebegitu mengerikan l
Setelah memastikan rencana mereka agar berjalan lancar, kedua tim khusus tadi mempersilahkan Tomi, Vano dan Halimah berangkat lebih dulu sementara petugas aparat memulai penyamarannya kali ini."Lebih baik kamu jangan ikut, Hal!"Halimah menggeleng cepat. Dia tidak mau jika suami dan Abangnya berjuang berdua sementara di menunggu ketidakpastian di rumah."Tidak, Mas. Bagaimanapun aku harus ikut, ada Bapak dan Ibu disana, mana mungkin aku berdiam diri menunggu kalian berdua dalam ketidakpastian," tutur Halimah."Halimah benar, Mas. Yang Ki Kusumo incar adalah dia, Ki Kusumo sengaja menculik Bapak dan Ibu itu karena Halimah. Aku tau, sejak dia datang ke kampung untuk menjemput Hesti waktu itu, matanya sudah menatap liar pada istriku," jelas Vano.Tomi seketika bungkam. Ingin menolak keikutsertaan Halimah, tapi dia tidak punya pilihan lain. Vano benar, dengan ikutnya H
"Lari, Hal ... cepat lari! Jangan sampai kamu tertangkap. Halimah ....!"Hesti terbangun dengan napas memburu. Keringatnya bercucuran sebesar biji jagung saat dia sadar jika semua yang dia lihat tadi hanyalah mimpi. Eni kebingungan lantas mengambil segelas air dan mengangsurkannya pada Hesti seraya bertanya, "Kenapa, Hes? Mimpi Halimah?"Hesti mengangguk. Dia memeluk Eni dengan menangis tersedu-sedu. Bayangan dalam mimpi seakan terlihat nyata. Ekor matanya melirik jam yang tertempel di dinding. Jarum pendek tepat bersandar di angka 01.00 dini hari. Gegas dia melepaskan pelukannya dan melangkah gontai menuju kamar mandi."Mau kemana?""Wudhu, Bu. Aku mau sholat malam, hatiku tidak tenang setelah mimpi barusan. Aku merasa Halimah sedang dalam masalah. Tidak ada salahnya aku mendoakan keselamatannya kan, Bu?" Eni mengangguk. Dia mengikuti langkah Hesti menuju kamar mandi. Mendengar putrinya hendak
****"Kamu siap, Mas?" tanya Vano sambil melirik Tomi. Dia mengangguk, lalu membuka pintu mobil dengan cepat."Bawa masuk mobilnya, cepat!"Teriakan dua anak buah Ki Kusumo tidak Tomi indahkan. Dia berjalan tenang mendekati satu laki-laki berparas sangar dan ...Bugh ....Bugh ....Melihat Tomi yang mulai menyerang, Vano dengan sigap mengikuti gerakan Tomi untuk melumpuhkan dua penjaga di pintu pagar. Halimah mengambil alih kemudi, sama seperti apa yang sudah mereka rencanakan. Klakson mobil berkali-kali dia bunyikan sebagai pertanda jika Tomi dan Vano sudah mulai menyerang."Jangan bergerak!" Dua laki-laki b