"Gina ....?" seru Tomi sedikit memekik. Bagaimana Gina bisa berada dalam rumah Ki Kusumo?
Suara tawa Ki Kusumo kembali menggelegar. Dia mengusap lembut pipi mulus Gina dengan tatapan penuh hasrat. Hal tersebut sontak saja membuat Tomi naik pitam."Bajingan!"
Dia hendak menyerang Ki Kusumo tapi tim khusus segera masuk dan berkata, "Jangan bergerak!"
"Angkat tangan kalian!"
Anak buah Ki Kusumo saling pandang, sampai pada akhirnya mereka menurut dan mengangkat kedua tangan ke atas.
"Berani sekali kalian datang ke rumahku?" seru Ki Kusumo tenang. Tidak ada ketakutan di wajahnya seolah-olah tim khusus yang datang bersama Tomi dan Vano bukanlah benar-benar polisi yang akan meringkusnya bersama semua anak buah.
Tidak ada yang menjawab. Pelan tapi pasti, para tim khusus bergerak cepat ke arah Leha dan Karim, beberapa dari mereka
Mobil Halimah melaju semakin menjauh. Dadanya sesak membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan menimpa suami dan Kakaknya."Jangan terlalu jauh, Hal. Kasihan Tomi dan Vano, lebih baik kita tunggu di jalanan ramai saja," ujar Leha cemas."Tidak bisa! Mas Tomi berpesan agar kalian segera pergi jauh! Resikonya terlalu tinggi kalau kamu dan kedua orang tuamu ada di sekitar sini, Hal!"Halimah menoleh sinis ke arah Gina. Dia menghembuskan napasnya kasar dan berkata, "Jangan ikut campur urusan kelurgaku!""A-- aku hanya mengatakan apa yang Tomi katakan, Hal ....""Cukup!" bentak Halimah menyela, "Katakan kamu akan turun dimana, setelah itu jangan menunjukkan batang hidungmu lagi di depanku!"Bibir Gina mengatup. Dia membuang muka dan menghela napas kasar setelah mendapat balasan menohok dari mulut Halimah."B
"Kamu salah, Halimah! Mas yang sudah memintanya untuk membawa kalian pergi. Bagaimana bisa kamu menyuruhnya turun, hah?""Harusnya dia berpikir, Mas! Ada suami dan Kakakku di dalam sana yang sedang melawan bahaya. Tapi dia bahkan menyuruhku ....""Cukup, Halimah!" bentak Tomi. "Kamu terlalu menyudutkan Gina padahal jelas-jelas dia sudah berusaha membantu kamu pergi. Bagaimana jika Mas dan suamimu tidak selamat, hah?"Leha mencekal lengan Tomi dan menggeleng samar membuat laki-laki itu seketika terdiam. Halimah membuang muka ke jalanan sementara Vano masih bungkam dengan fokusnya menyetir."Tidak baik kalian bertengkar sementara Allah sudah menyelamatkan hidup kita semua," tegur Karim bijak. "Bapak tau Halimah kalut, Tom. Dia tidak bisa meninggalkan kamu dan suaminya pergi, dan Bapak tau apa yang Halimah rasakan. Tapi Gina juga tidak bersalah, Hal. Dia meminta kita pergi untuk meng
"Berhari-hari firasatku berkata buruk, Kus," ujar Hesti di suatu siang. "Andai ada ponsel, Mbak ingin menghubungi Halimah dan keluarganya, bagaimana kabar mereka setelah membantuku kabur dari Ki Kusumo." Suara Hesti terdengar sendu. Berhari-hari dia mendapat mimpi yang sama, apalagi nuansa rumah Ki Kusumo selalu menghiasi mimpi-mimpinya selama ini membuat Hesti berpikir jika keluarga Halimah dengan dalam bahaya."Kamu mau kita bagaimana, Mbak? Sementara untuk memiliki ponsel adalah hal yang seharusnya kita hindari. Bagaimana jika mereka masih mengincar kamu, Mbak?"Hesti terdiam. Perasaannya kalut mengingat betapa bengis Ki Kusumo kepada tawanannya. "Tapi bagaimana jika Halimah dan keluarganya kenapa-kenapa, Kus? Mbak tidak bisa memaafkan diri Mbak sendiri jika sampai itu terjadi."Kusaini menghela napas kasar. Belum genap sebulan dia dan dua wanita yang dia sayangi tinggal di kota ini, tapi nyatanya hidup
"Kamu tidak berhak menghakimi masa lalu, Gina, Hal. Mas tidak suka jika kamu mengungkit-ungkit keburukan orang lain.""Mas ....""Sudah, sudah! Kita bicarakan ini nanti, tidak baik cekcok di tengah jalan," ujar Karim tegas.Suasana mendadak hening. Leha menggenggam tangan Tomi dengan erat membuat hati laki-laki itu seketika menghangat.Sementara di tempat lain ....Kusaini mengemas beberapa helai baju ke dalam tas ransel miliknya. Tekadnya sudah bulat untuk pergi ke kota menemui keluarga Halimah."Kami yakin, Kus?""Tidak ada pilihan lain, Kak. Aku ingin kita hidup tenang dengan memastikan keluarga Bu Leha dan Pak Karim.""Maafkan aku, seharusnya aku tidak merepotkanmu, Kus ....""Mbak, kita ini keluarga sudah sepantasnya saling bahu membahu. Berdoa saja semoga semuanya b
"Gina ....?"Gina membuang muka saat dia menyadari kalau laki-laki yang baru saja dia tabrak adalah Kusaini, mantan suaminya dulu."Bagaimana kabar kamu, kabar anak kita?"Kusaini membantu Gina membetulkan letak motor yang baru saja tergeletak akibat menabrak dirinya. Entah mengapa, Gina merasa seperti takdir sedang mempermainkannya saat ini. Setelah dia jauh-jauh pergi merantau meninggalkan kampung dan Kusaini, sekarang justru mereka dipertemukan kembali disini."Baik. Aku dan anak kita baik-baik saja. Maaf, aku permisi!""Tunggu, Gin!"Mau tidak mau wanita itu berhenti. Dia menoleh meskipun deru motor masih menghiasi kecanggungan di antara keduanya."Kamu ... cantik sekali," puji Kusaini. Laki-laki itu masih saja belum bisa melupakan sosok Gina. Mantan istrinya yang sudah membuat kenangan buruk semasa masih men
"Aku akan turun jika kamu membahas perihal perasaan, Mas." Gina mengancam sengit. Bukan tanpa alasan, dia tidak ingin Kusaini merasa bahwa dirinya masih memiliki perasaan yang sama. Padahal sejatinya rasa cinta untuk Tomi belum juga sirna.Kusaini meraup udara dengan rakus. Dia tau jika perasaannya mungkin tidak berbalas. Tapi tetap saja, mendapat penolakan dari mantan istri membuat lidahnya mendadak kelu."Berhenti di jejeran ruko depan," pinta Gina.Tanpa menjawab sepatah katapun, laki-laki itu menghentikan motornya tepat di depan sebuah bengkel yang lumayan besar dengan nama Tom Reparasi."Tutup, Gin. Apa mungkin Mas Tomi libur ya?"Gina mengedikkan bahu. Dia membuka ponsel berharap ada pesan masuk dari Tomi. Tapi nihil. Nomor Tomi bahkan terakhir dilihat beberapa hari yang lalu."Susah sekali mencari orang di kota besar," gumam K
"Tamu siapa, Hal?"Tomi keluar dari dalam kamar membuat Kusaini tersentak dan kembali menguasai dirinya. Bagaimanapun, Gina sudah bukan bagian dari hidupnya, tidak etis rasanya jika dia begitu mengulik urusan pribadi mantan istrinya itu."Mas ...," sapa Kusaini seraya berdiri dan menjabat tangan Tomi. Laki-laki itu menepuk pundak Kusaini dan bertanya, "Aku kaget banget kamu bisa sampai disini, Kus. Bagaimana kabar Hesti?"Kusaini mengulas senyuman tipis. Lagi-- dia mengucapkan rasa terima kasih pada keluarga Halimah untuk yang kesekian kalinya."Tidak masalah, Kus. Lagi pula Ki Kusumo sudah tertangkap. Insya Allah kita sekarang hidup dengan tenang," tutur Tomi, "Ngomong-ngomong bagaimana kamu tau rumah kami?"Kusaini menyingkir dari hadapan Tomi, membuat laki-laki itu seketika menyadari jika Kusaini tidak datang sendirian. Ada Gina sedang duduk di salah
Halimah tersentak mendengar bentakan Vano. Kedua mata wanita itu berkelindan air mata saat suaminya melayangkan tatapan tajam."Mas ... kamu membentakku?""Lalu apa Mas akan membiarkan kamu berbicara tidak sopan pada Mas Tomi, begitu?" Halimah melengos. "Kamu istriku, Hal. Jika kamu salah sudah sepantasnya Mas mengingatkan.""Tapi Mas Tomi ....""Berkali-kali aku bilang jangan mencampuri urusan hati Mas Tomi, apalagi kamu sampai mengungkit-ungkit apa yang sudah kita berikan. Sebagai adik kamu tidak pantas berbuat seperti itu, Halimah!"Halimah menunduk lesu. Dia berjalan gontai mendekati Leha dan memeluk Ibunya dengan erat, "Aku hanya tidak mau Mas Tomi gagal untuk yang kedua kalinya, Bu. Apa aku salah, Bu?"Leha membawa anak perempuannya duduk di atas sofa sementara Karim menepuk pundak Tomi dan berkata, "Duduklah. Kalian sesama saudara jangan sering bertikai. Selesaikan masalah yang kalian
Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf
Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse
***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa
***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi
***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe
***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.
***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf
***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani
***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,