***
"Hal ... Halimah!" Suara teriakan Diah di depan rumah membuat Halimah terlonjak. Dia melepaskan pelukan Gina dan sedikit berlari menuju ke sumber suara. "Hal, buka pintunya, Halimah!"
"Ada apa, Bu Diah?" tanya Halimah panik. "I-- ini kenapa pada ramai-ramai ke rumah saya?"
Diah berkacak pinggang. Sudah sangat larut untuk mencari gara-gara di rumah orang lain. Tapi Diah benar-benar merasa takut karena dia hampir saja terlibat dalam urusan bunuh membunuh. Ya. Diah berpikir jika Vano dan anak buahnya akan membunuh lelaki yang datang tadi, lelaki yang awalnya mengaku sebagai teman masa lalu putrinya.
"Interogasi, Pak RT! Kalian memang budek, sudah tau di rumah Halimah ada pertunjukan besar malah tidak ada yang keluar!" gerutu Diah geram. "Tadi saya hampir saja celaka tau tidak? Apalagi Vano ... dia bilang kalau akan memberi pelajaran pada ... hiihhh, sumpah ... Vano sepertinya adalah seorang pembunuh!"
"Jaga ucapan anda, Bu Diah!" ben
***"Buang semua pikiran buruk, Bu. Kenapa tiba-tiba meragukan Ayah, saya paham sekali tindakan apa yang harus diambil untuk mengancam musuh, dan Ayah ... saya yakin sekali kalau Ayah mengatakan membunuh hanya untuk menggertak. Percaya sama saya, setelah Ayah pulang Ibu bisa tanyakan semuanya."Halimah sedikit lebih tenang, begitupun dengan Gina. Asam garam kehidupan tidak lantas membuat keduanya bisa berpikir jernih dan logis pada situasi yang genting seperti sekarang.Pikiran mereka terlalu lelah. Halimah dengan segala masalah yang menimpa putranya, dan Gina dengan kabar Sea yang diculik entah oleh siapa. Masih menjadi misteri bagi ketiga wanita itu siapa yang sudah membawa Sea pergi dan ada masalah apa sebenarnya?***"Mas Tirta!" teriak Sea takut. Pisau kecil dengan ketajaman yang tidak bisa diragukan lagi tengah menempel sempurna di leher Sea. Sedikit saja bergerak maka bisa dipastikan kulitnya tersayat saat itu juga. "To ... lon
***Dua tamparan mendarat sempurna di pipi mulus Nayna. Wanita cantik itu meringis, sudut bibirnya berdarah. Tomi menatap nyalang pada sosok wanita di depannya. Bagaimana bisa seorang wanita menyakiti wanita yang lain? Sekalipun itu bukan Sea yang menjadi korban, tetap saja Tomi merasa geram karena sudah bermain-main dengan nyawa."Jalang?" Tomi mengulang ucapan Nayna. "Putriku jalang kamu bilang?""Ya! Dia jalang yang sudah merebut Tirta dariku!" teriaknya lantang. "Putrimu tidak pantas hidup karena sudah merebut kekasihku!"Sea melepaskan pelukan Vano. Sorot matanya yang redup kini mulai terbuka cukup lebar. Dia melangkah tertatih, kakinya yang bengkak dan memerah akibat ikatan yang cukup kuat membuatnya sedikit meringis menahan perih."Lalu siapa yang pantas hidup disini? Kamu?" tanya Sea dengan suara bergetar. "Wanita iblis sepertimu apakah pantas untuk hidup? Bahkan untuk dicintai saja rasanya sangat tidak pantas!""Tutup mulutmu, Jalang!""Kamu yang jalang!" teriak Sea tersengal
***"Siapa nama wanita tadi, Mas?"Tirta menoleh. Beberapa menit yang lalu ia terlihat termenung di dalam mobil tanpa berbicara sedikit kalimat pun."Nayna.""Kalian sudah lama berpacaran?""Kami sudah berbagi ranjang, Gas."Bagas meneguk ludahnya kasar. Pantas saja kelakuan Nayna begitu berani, berbeda dengan Seila yang bersembunyi di balik para orang-orang suruhannya."Kamu putuskan dia karena jatuh cinta pada Sea?"Tirta terkekeh. Dia tau pasti Bagas menganggapnya sebagai pria yang kurang ajar, brengsek, tidak bertanggung jawab. Apalagi ketika dengan terang-terangan dia mengatakan kalau dirinya dan Nayna pernah berbagi ranjang. Dulu ... zina menjadi hal yang sangat biasa bagi Tirta. Nauzubillah!"Apa aku sebrengsek itu, Gas?"Bagas mengedikkan bahu. "Entahlah, Mas. Aku belum mendengar cerita lengkapnya dari mulut kamu. Tapi jika memang yang kukatakan itu benar, demi apapun ... Pakde pasti me
***"Sea!" Gina yang tengah dipeluk oleh Halimah buru-buru melepaskan diri. Wanita paruh baya itu berlari mendekati anak dan suaminya yang kini sudah berdiri di ambang pintu. Belum lama dari kedatangan Tomi, Pandu sudah berada di rumah Halimah karena memang Gina sempat mengabarkan jika Sea diculik beberapa preman."Kamu baik-baik saja kan, Sayang? Kamu tidak ...." Gina menutup kedua matanya erat. Bibirnya bergetar hebat ketika penglihatannya menangkap pada pemandangan kaki jenjang Sea yang memerah bekas ikatan kuat dari anak buah Nayna. "Kenapa harus kamu ... punya masalah apa kamu dengan para penculik itu, Sea?"Gina memeluk Sea sambil menangis. Tomi segera membawa masuk istri dan putrinya agar tidak memancing keributan para tetangga. Pandu mendekat, dia membawa Sea ke dalam pelukan yang cukup erat. "Maaf," bisik Pandu. "Harusnya Mas bisa menjaga kamu, Se.""Aku baik-baik saja," sahut Sea lirih. Dia melipat bibirnya tipis agar tidak kembali bergetar karena menangis. "Tidak peduli me
***"Lalu bagaimana keadaan Sea?" Astri meredam emosinya pada Tirta. Bagaimanapun dia ikut andil dalam kesalahan yang Tirta perbuat, seharusnya dia bisa memperhatikan putranya yang semakin dewasa itu dengan baik, bukan malah menyibukkan diri dengan urusan Cafe yang sebenarnya mudah sekali untuk dihandle. "Apa dia tahu kalau kamu dan wanita itu ... siapa namanya tadi?""Nayna, Ma.""Iya. Apa Sea tau tentang semuanya?"Tirta mengangguk lemah. Otaknya terlalu lelah memikirkan bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Sea. Andai kata Sea menerima, bagaimana dengan Tomi dan Gina? Rela kah kedua orang tua itu memberikan restu pada pria yang hampir saja membuat nyawa putrinya melayang di tangan wanita lain.Astri menatap langit-langit Rumah Sakit dengan pikiran yang penuh dengan segala kemungkinan buruk. Sejak Vano dan Bagas pamit untuk pulang, Ibu dan anak itu terlibat obrolan yang cukup serius. Tapi tetap saja tidak ada jalan keluar yang bisa keduanya ambil kecuali bertemu langsung dengan To
***Tomi dan keluarga memutuskan untuk bermalam di rumah Halimah sementara Pandu pamit pulang karena istri dan anaknya pasti menunggu kedatangannya malam ini. Ada banyak hal yang akan Tomi jelaskan pada Leha, bagaimanapun wanita tua itu berhak tau apa yang tengah menimpa anak cucunya."Gas, sana tidur di ruang tamu!" usir Vano tengil. "Ayah mau istirahat sama Ibu. Sana ... sana!" Vano mengibas-kibaskan tangannya seperti sedang mengusir anak itik pergi.Bagas semakin mengeratkan pelukannya pada Halimah. Pria yang baru beberapa hari itu menyandang gelar sebagai suami Anita seakan tuli dengan ucapan Vano yang sedang menyuruhnya keluar."Bagas!"Halimah mendengus kesal. Baru saja ingin memejamkan mata tapi suami dan anaknya justru membuat keributan di kamarnya."Kalian berdua tidur di luar!" bentak Halimah kesal. "Anak sama Bapak kok kelakuannya sama. Sana!"Halimah menepis tangan Bagas yang membelit perutnya. "Gas, Lepaskan tanganmu! Itu istri Ayah!" sentak Vano tak kalah geram. "Jaga ba
***"Halo, ya ... kami datang sekarang juga, Bang. Oke ... Oke!""Siapa, Gas?" tanya Vano, "Nando?" Bagas mengangguk. Dia mengatakan jika Nando mengabarkan bahwa Seila sudah mendapat surat panggilan untuk datang ke kantor polisi."Kalau begitu ayo kesana!"Vano terlihat antusias. Dia ingin memastikan bagaimana sosok Seila yang dengan berani-beraninya ingin menghancurkan rumah tangga putranya."Aku ikut, Mas!""Yakin?" tanya Bagas ragu. "Kamu bisa mengendalikan diri kalau nanti Seila menyerang dengan lidah tajamnya?"Anita mengangguk mantap. Bibirnya yang tipis mengulas senyum yang begitu tenang."Bagaimana, Yah?""Boleh. Kesaksian Anita juga dibutuhkan nanti. Ayo!"Selain Anita, Tomi juga menawarkan diri untuk datang ke kantor polisi memenuhi undangan kesaksian untuk Bagas dan Anita. Pria paruh baya itu ingin memastikan pula jika masalah yang menimpa keponakannya benar-benar usai da
*** "Omong kosong apalagi ini, Nay?" Suara Tirta melemah. Hatinya begitu lelah menghadapi tingkah Nayna yang di luar pemikirannya. "Kita sudah lama tidak ... argh! Aku bahkan ingat sekali terakhir kali kita melakukan itu adalah beberapa bulan yang lalu!" Nayna mengusap air matanya yang mengalir membasahi pipi. "Kamu yakin?" "Ya!" sahut Tirta tegas. "Aku ingat sekali, Nay. Jangan mengada-ada dengan mengatakan kalau kamu tengah hamil anakku. Itu mustahil!" Nayna yang awalnya terlihat sendu dengan air mata yang menghiasi wajahnya. Kini justru memamerkan tawanya dengan lantang. "Dua bulan sebelum kamu datang kembali ke kota, kita melakukan hal itu lagi, Tir ... kamu ingat ... setelah kita pulang dari club' malam-malam? Kamu ... apa harus aku jelaskan bagaimana panasnya kita bergumul malam itu?" Tirta memejamkan matanya sembari mengumpat dalam hati. Nayna benar! Sebulan sebelum dia memutuskan untuk mengurus Cafe Astri, pria itu datang menawarkan penawaran untuk yang terakhir kalinya p
Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf
Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse
***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa
***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi
***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe
***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.
***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf
***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani
***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,