"Wah, ada orang kota datang nih. Kok nggak kabar-kabar sih, Bu Leha?"
Keluarga Leha yang baru saja turun dari mobil seketika mendapat sambutan dari Diah, teman ghibah Eni di masa lalu. Mendengar suara Diah yang lebih mirip teriakan itu membuat para tetangga berhamburan keluar dan menjabat tangan satu per satu keluarga Halimah."Iya nih, Bu Leha. Tiba-tiba pulang tanpa kabar aja. Baik-baik semua kan ini?" tanya Nur yang tiba-tiba sudah mendekat ke arah Halimah. Leha tersenyum tipis mendapat cercaan dari pada tetangganya. "Saya sudah ngabarin Bu Gun, sama Bu RT juga. Kebetulan bulan kemarin kan yang menyewa rumah kami sudah selesai masa kontrak. Jadi ada baiknya kami kembali lagi ke kampung. Lebih enak hidup disini, banyak tetangga," sahut Leha datar. Halimah membantu Vano menurunkan barang bawaan sementara Tomi dan Karim bersama-sama membawa koper dan tas masuk ke dalam rumah.Meskipun cukup***"Tirta," gumam Leha lirih.Tirta berlari dan memeluk Leha dengan erat. Persis seperti seorang cucu yang sedang memeluk neneknya karena rindu. Tangis Tirta pecah saat melihat keluarga Tomi datang. Pasalnya, dulu Tomi pernah berjanji akan sesekali membawa Tirta ke kota, tapi janji hanyalah tinggal janji. Tirta tidak sekalipun bisa bertemu Tomi melainkan hanya dari sambungan telepon. Kesibukan di bengkel membuat Tomi sejenak melupakan keberadaan mantan anak tirinya itu."Nenek ... Tirta kangen," rengeknya manja. Leha hanya mampu mengelus pucuk kepala bocah itu dengan perasaan haru. "Tirta kangen sama Nenek."Leha mengulas senyum tipis. Dia memeluk tubuh Tirta yang kini terlihat semakin berisi. Bocah yang saat ini duduk di kelas 2 SD itu terlihat sehat daripada dulu."Nenek juga kangen. Makanya pulang, Nenek sama Kakek kangen kamu," ujar Leha membual. "Ayo masuk, ada Ayah sama Tante Halimah di dalam."
***"Ba-- Baik, Hal. Kami baik-baik saja," jawab Astri ragu."Halo anak baik, kangen nggak sama Tante?"Tirta melepaskan pelukan Tomi, dia menoleh ke arah dimana Halimah berdiri. Sejurus kemudian senyum sumringah terpancar di wajah Tirta. Bocah itu mengangguk dan berlari memeluk tubuh Halimah dengan erat. "Kangen banget, Tante," serunya.Halimah mengusap pucuk kepala Tirta dengan lembut. "Masa sih kangen, tapi kenapa nggak pernah telepon Tante ya?" godanya.Tirta mendongak, hingga sepersekian detik kepalanya memutar menatap Astri yang tetiba menunduk malu."Kata Mama, Tante sibuk sekali disana. Jadi Tirta nggak boleh ganggu."Halimah termenung. "Ah, pintar sekali. Terima kasih karena sudah memahami kesibukan Tante ya."Tirta tersenyum dan mengangguk. Dia memegang jemari Halimah dan memilih duduk di depan TV menyaksikan Tomi yang sedang membongkar tas mereka.
***"Tidur bersama."Plak ....Eni menampar pipi Kusaini dengan keras. Dadanya naik turun diiringi dengan air mata yang tiba-tiba mengalir deras membasahi pipinya."Katakan sekali lagi, Nak!"Hesti berusaha menahan lengan Ibunya dan mengusap-usapnya lembut. Berkali-kali wanita berusia hampir menginjak kepala tiga itu menenangkan Eni dengan kalimat-kalimat sabar yang dia bisikkan. Tapi kemarahan seolah sedang menguasai hati Eni, dia geram saat Kusaini mengatakan jika dirinya dan Gina sempat tidur bersama ketika berada di kota kemarin."Setelah apa yang dia lakukan, kamu masih saja mau kembali dengan lacur itu?""Dia bukan lacur, Bu! Dia mantan istriku yang sengaja pergi karena Ibu sudah memperlakukannya dengan tidak baik!""Jadi kamu mau menyalahkan ibu, begitu?"Terdengar hentakan napas dari Kusaini, laki-laki itu menyandarkan punggungnya di kursi sembar
***"Jaga mulutmu, Hesti!" hardik Eni marah. "Bagaimana bisa kamu mengatakan kalau Kusaini bajingan? Jelas-jelas Gina lah yang sudah menghasut Kusaini, dia menjebak anak Ibu ....""Tidak, Bu!" sela Kus, "Mbak Hesti benar, aku memang bajingan. Bahkan aku mengancam akan membunuh anakku sendiri kalau sampai Gina menolak ajakanku," jelasnya tanpa malu. "Aku sudah memaksa Gina untuk melayaniku, padahal aku tau dengan pasti jika dia sudah berubah menjadi wanita baik-baik. Aku memang bajingan! Demi obsesi rela mengancam orang lain dan menghancurkan masa depan Gina."Tubuh Eni luruh di lantai. Kus dan Hesti panik hingga ikut meluruhkan tubuhnya hendak membantu Eni berdiri, tapi wanita paruh baya itu menepis kasar tangan Kusaini.Mendapat respon menyakitkan dari Sang Ibu tidak membuat Kusaini menyesal. Karena dia yakin, hanya dengan begini maka perasaannya pada Gina tidak akan ada yang menghalangi. Obsesinya berubah menakutkan
***"Darimana saja, Mbak Gina? Saya perhatikan kok baru pulang?"Gina hanya tersenyum samar sembari mengangguk perlahan saat pertanyaan itu keluar dari mulut Ibu Pemilik Kos."Ibu ini kayak nggak pernah muda aja, kemarin Mbak Gina itu habis kencan," celetuk laki-laki paruh baya yang tempo hari bertemu dengan keluarga Halimah. "Oh ya, Mbak Gina ... waktu itu ada satu keluarga yang nyariin kamu. Muka mereka kayak yang tegang sekali, tapi waktu saya bilang kalau Mbak Gina pergi dengan calon suami, mereka langsung pamit pulang."Gina yang awalnya terlihat lesu dan tidak bersemangat, seketika mendekati sepasang suami istri pemilik rumah Kos yang dia tempati. "Sa-- satu keluarga, Pak?""Iya. Satu keluarga. Ada Bapak dan Ibu yang seumuran saya juga. Itu kerabat Mbak Gina?"Gina menggigit bibirnya dengan gamang. Perasaan haru seketika menyeruak di dalam hatinya. Itu artinya keluarga Tomi datang dan berusah
***"Waalaikumsalam. Ada perlu apa, Gin?"Di seberang sana Gina menutup mulutnya bimbang. Entah apa yang akan dia katakan, yang jelas dia tidak mau Tomi dan keluarganya menanggapi ucapan Kusaini dengan serius."Maaf, Mas ...."Alih-alih ingin bercerita tentang apa yang dia rasakan kemarin. Gina justru meminta maaf pada Tomi lalu setelahnya hanya terdengar suara tangis sesenggukan."Gin ... Gina ....?"Tomi terlihat panik. Pun Halimah yang berada di sebelahnya juga tiba-tiba berdiri semakin dekat seraya memainkan dagunya seakan bertanya 'Ada apa?'"Kamu baik-baik saja?""A-- aku baik-baik sa-- saja, Mas.""Katakan kalau kamu butuh bantuan, atau ....""Maaf karena sudah membuat Mas Tomi dan keluarga repot-repot datang ke tempat kos aku."Tomi tidak menyahut, dia takut jika ternyata penjelasan yang akan Gina berikan justru adalah kebenar
***"Apa Mama yang bilang, Nak?""Iya. Kata Mama kita akan tinggal lagi satu rumah."Kedua mata Tirta terpancar kebahagiaan. Entah mengapa anak sekecil itu bisa berbohong sedemikian rupa. Pasalnya, Astri tidak pernah mengatakan seperti itu, hanya saja Tirta ingin Tomi menjadi Ayahnya lagi seperti dulu. Apalagi Handoko sudah tidak pernah peduli pada dirinya sejak istri barunya melahirkan anak perempuan.Halimah mengusap lembut kepala Tirta dan berkata, "Sayang, Ayah sama Mama sudah tidak bisa tinggal satu rumah. Tirta mengerti?""Kenapa tidak bisa, Tante? Ayah dan Mama adalah suami istri, mereka harusnya tinggal bersama seperti dulu.""Itu dulu, Sayang. Dulu sebelum Mama dan Ayah memutuskan berpisah. Maaf jika Tante harus mengatakan ini, tapi Tirta harus paham kalau kedua orang tua sudah bercerai, maka tidak bisa lagi tinggal satu rumah. Sama seperti Mama dan Papa yang harus hidup terpisah.
***"Bicara sama saya, Bu?" tanya Halimah pada Diah yang sedang menyuapi cucunya makan siang. "Kalau ngomong sama saya, langsung saja nggak paket nyindir, saya orangnya nggak peka.""Siapa juga yang ngomong sama kamu," sahut Diah ketus. "Ayo, Sayang. Makan lagi biar gemuk. Duh, lucu sekali cucuku. Kasihan kalau sudah tua bukannya dikasih cucu malah dikasih beban aja terus."Kedua tangan Halimah mengepal. Ingin sekali dia mengatakan kalau dirinya sedang hamil, tapi seketika diurungkannya dan berlalu begitu saja meninggalkan Diah di depan rumahnya."Huuu, malu kan! Makanya jangan sok, mandul aja belagu!"Diurutnya baju yang melekat di dada. Lalu turun ke perut dan mengusapnya lembut. Halimah tidak mau kehamilannya terganggu karena meladeni orang-orang tidak penting di kampungnya.Sementara di tempat lain ...."Untuk apa lagi aku di kota ini jika yang kudapat hanyalah rasa kesal. Mas Kus sudah menghancurkan impianku. Lebih baik aku pulang ke rumah Ibu," gumam Gina. Dia mengemas baju-baju