Kurang ajar mereka!" geram Tomi. Dengan gegas Vano membawa mobil masuk ke dalam halaman rumah Handoko yang kebetulan pagarnya juga sedang terbuka lebar.Handoko dan istrinya sontak berdiri melihat sebuah mobil masuk ke pekarangan rumah mereka tanpa permisi.Asvia berkacak pinggang, namun setelah melihat Tomi yang keluar dari dalam mobil, langkahnya beringsut mundur dan membuang sapu dari tangan Tirta.Tirta berlari menghambur di pelukan Tomi. Bocah kecil itu menangis terisak dengan menyembunyikan kepalanya di perut ayah tirinya. Halimah mengambil alih Tirta dan membawanya ke pelukan. Sementara Handoko nampak marah melihat Tirta begitu dekat dengan keluarga suami mantan istrinya."Benar-benar lelaki pengecut! Anak sendiri kamu perlakukan sep
"Awas kalian, akan kulaporkan ke polisi!" teriak Handoko dengan lantang. Dia mengumpati mobil Vano yang semakin menjauh dan menghilang di belokan menuju jalan raya.Tomi mendesah dan menyandarkan punggungnya di kursi mobil bagian tengah, "Kira-kira salah apa bener yang aku lakuin ini?" Entah siapa yang dia ajak bicara, tapi matanya menatap Tirta yang meringkuk dalam pelukan Halimah."Jika dibilang salah, kamu memang salah, Nak. Kamu kalah posisi kalau dibandingkan dengan Handoko," sahut Karim. "Tapi jika dibilang benar ... kamu juga benar karena berusaha menyelamatkan Tirta dari kebengisan Papa dan Mama tirinya," sambung Karim lagi."Tapi tentu saja dengan segala konsekuensinya, Mas. Kita harus bersiap dengan segala kemungkinan terburuk. Kita juga tidak tau apa Handoko berniat melap
"Monggo masuk, Besan," pinta Leha pada kedua orang tua Astri.Sumi dan Rukun adalah orang kampung yang tinggal di kota sebelah, kebetulan anak pertama mereka tinggal disana dan sengaja memboyong Sumi dan Rukun untuk tinggal bersama. Mereka datang dengan kakak Astri yang bekerja sebagai karyawan toko. Fani, namanya."Ya Allah, Astri. Anakku, kenapa bisa begini?" teriak Sumi histeris melihat keadaan Astri yang begitu memprihatinkan."Jelaskan sama kami, Bu Leha, kenapa Astri bisa sampai seperti ini!" tutur Sumi dengan nada menekan.Karim mengangguk dan menceritakan semua kronologi kejadian pada kedua orang tua Astri. Bahkan cerita tentang Tirta juga Leha beberkan, dia tidak ingin ada kesalahpahaman dengan kedua besannya, apalagi sampai mereka menya
"Saat itu ... Agung berlari menuju ke rumah saya dan mengatakan jika Bapak sedang pingsan. Tanpa berpikir panjang, saya mengikuti Agung untuk memastikan keadaan Bapak. Saya memang bodoh ... padahal sudah jelas sekali jalan yang kami tempuh menuju hutan ... tapi saya masih saja berpikir positif saat itu karena memang ada akses jalan dari hutan menuju ke sawah." Halimah menjeda kalimatnya, dia meraup udara sebanyak-banyaknya untuk menetralisir perasaan yang semakin sulit dia kendalikan.Melihat raut muka Halimah yang mulai tidak bersahabat, Vano menggenggam jemari istrinya dengan lembut dan mengusapnya perlahan, "Pelan-pelan saja, Dek. Kalau merasa sulit kamu ceritakan ... kita bisa kok minta waktu sebentar," ujar Vano cemas.Halimah menggeleng dan tersenyum tipis. Tarjo menatap Halimah dengan tatapan yang sulit diartika
"Sudah ... cukup. Kami sudah mencatat semua laporan kesaksian yang ada di TKP. Tunggu surat panggilan dari kami untuk menghadiri putusan hakim di pengadilan."Satu per satu mereka keluar dari ruangan. Tarjo dibawa kembali untuk masuk ke dalam sel besi. Sebelum berbalik, Tarjo mengedipkan satu matanya pada Halimah membuat Vano hampir saja kehilangan kesabarannya."Bajingan!" umpat Vano. Halimah menarik lengan Vano dengan cepat dan segera pergi dari ruangan."Lihat saja. Mereka pasti akan dapat karma karena sudah membuat Tarjo dipenjara, padahal sudah jelas Tarjo bilang kalau wanita gatal itu yang menggodanya."Set ....Halimah membalik tubuh Eni hingga menghadap tepat di tubuhnya. Dilayang
"Bohong!" ujar Astri sedikit menekan kalimat yang keluar dari mulutnya. "Semua yang Mas Tomi katakan itu bohong." Setelah mengatakan demikian, dia justru menangis histeris membuat Rukun dan Sumi kelabakan.Fani menatap nyalang ke arah Tomi dengan napas memburu. Dilayangkannya satu tamparan keras di pipi Tomi tanpa bisa mengelak lebih dulu. Melihat hal itu, Karim dan Leha bangkit, sementara Vano menarik tangan Tomi, takut jika terjadi hal yang tidak diinginkan terjadi.Alih-alih marah, Tomi justru tertawa pelan dan mengusap pipinya lembut, karena tamparan Fani yang menyisakan sensasi perih."Kebohongan apa lagi yang ingin kamu ciptakan, Mbak?" tanya Halimah. Dia menatap nanar pada Astri yang tergeletak tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. "Belum puaskah kamu menghancurkan Mas Tom
"Kere?" sela Tomi dengan terkekeh pelan."Saya rasa urusan saya sudah selesai disini. Maaf, Pak, Bu, saya kembalikan Astri pada kalian. Maaf, jika selama menjadi suami Astri saya tidak bisa memenuhi kebutuhan secara finansial.""Jangan gegabah, Tom," ujar Rukun."Tidak, Pak. Bahkan talak tiga sudah saya ucapkan pada Astri beberapa hari yang lalu. Astri sendiri yang meminta untuk bercerai, dan ... saya kabulkan permintaannya."Tubuh Sumi luruh di lantai. Fani dengan sigap membantu Ibunya berdiri dan dibawa duduk di atas sofa. Sumi menghampiri Leha dan memeluk besannya itu dengan erat, "Maafkan Astri, Bu Leha. Maafkan dia," ujar Sumi di sela-sela tangisnya."Saya sudah memaafkan Astri, Bu.
Hesti berlari, dia berteriak meminta tolong padahal banyak lelaki di depan rumahnya yakni anak buah Ki Kusumo.Beberapa warga datang karena teriakan Hesti begitu lantang. Melihat banyak lelaki asing di depan rumah Eni, salah seorang tetangga memanggil Pak RT untuk datang."Apa pernikahannya akan dilangsungkan sekarang, Mbak Hesti?" tanya Pak RT ragu, mengingat yang datang bukanlah Brian melainkan orang-orang berperawakan besar dan banyak tato di lengannya."Pernikahannya, ba ... batal, Pak RT," jawab Hesti menahan air matanya agar tidak jatuh."Tapi orang-orang itu ....?""Dia rentenir dan anak buahnya, Pak RT. Tolong bantu kami ...."
Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf
Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse
***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa
***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi
***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe
***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.
***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf
***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani
***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,