***"Darimana kamu?"Sea menoleh dengan terkejut. Terlihat Gina berdiri dengan bersedekap dada melihat putrinya yang masuk ke dalam rumah dengan mengendap-endap."Eh, Bu ....""Darimana?""Anu, itu ... dari rumah teman."Gina menautkan kedua alisnya. Tidak biasa Sea pergi tanpa pamit apalagi tanpa membawa mobilnya. "Teman yang mana, kenapa nggak pamit, trus berangkat pakai apa kalau mobil kamu ada di rumah, hem?"Sea terkekeh. Dia memeluk Gina dengan erat seraya bermanja-manja dengan Ibunya yang masih nampak cantik di usia yang sudah tidak muda lagi."Kenapa sih, Bu? Ibu takut aku punya cowok?"Gina memukul lengan Sea dengan kasar. "Jawab Ibu!""Aku pergi ke rumah teman, Bu. Ibu nggak kenal, dia teman baru. Cewek, Demi Allah!"Gina luluh. Setiap kali melibatkan Tuhan dalam setiap perkataan maka dia akan selalu percaya. Sea memang benar, dia bertemu dengan rekan barunya yakni Citra, tidak ada yang salah dengan kejujurannya pada Gina saat ini."Kenapa nggak bawa mobil, kamu nggak lagi
***Bagas memarkirkan mobil di depan rumah. Dengan langkah lebar dia masuk tanpa mempersilahkan Anita untuk masuk pula padahal ada Halimah dan Vano sedang duduk berbincang di ruang tamu."Buru-buru amat, Gas, mau kemana?" selidik Halimah membuat langkah Bagas terhenti. "Eh, ini kenapa baju bisa kotor semua, kamu habis darimana?" Suara Halimah naik satu oktaf, dia menelisik wajah Bagas yang nampak begitu murung. "Berkelahi dengan siapa? Apa penyakit gelud ayahmu sekarang menurun padamu, hem?"Bagas menghela napas kasar. Dia menoleh ke arah Vano yang terlihat mengedikkan bahu karena Halimah mengatakan jika penyakit gelud yang dia miliki adalah keturunan dari Vano. "Gelud bukan penyakit, Sayang. Kita laki-laki memang dituntut untuk menjadi yang terkuat, demi keluarga ....""Jangan mencoba membela apapun saat ini, Mas! Sudah cukup kamu membahayakan Bagas waktu menyelamatkan Nenek Anita!"Bagas menoleh. Dia tidak menyangka jika Halimah mengetahui semuanya. Dia kembali menatap Vano dan la
***"Bukan maksud Ayah dan Ibu ikut campur urusan kalian. Maaf kalau kamu dan Bagas merasa seperti itu, apalagi kalian berdua memang belum menikah, mungkin tidak seharusnya Ayah masuk ke dalam masalah yang sedang kalian hadapi," tutur Vano. Dia menjeda ucapannya dan meminta Halimah untuk duduk di sebelahnya. "Tapi, setelah Bagas memutuskan untuk meminang kamu, Nit. Saat itu juga Ayah dan Ibu yakin jika kebahagiaan Bagas mungkin bersarang padamu. Sekarang kami berdua melihat kalian saling diam, dan Bagas memutuskan untuk membatalkan acara pertunangan kalian berdua. Sehebat apa masalah yang terjadi sampai Bagas dan kamu memutuskan untuk membatalkan semuanya? Ayah dan Ibu hanya ingin tau, jika memang alasan kalian bisa kami terima, lalu kami bisa apa selain menyetujui?"Anita melirik ke arah Bagas yang kini sedang menyandarkan punggungnya di sofa, sementara Vano dan Halimah terlihat seakan-akan mengintimidasi dirinya karena tidak satupun dari mereka yang melihat ke arah Bagas. Seolah sem
***"Kamu yakin dengan keputusan kamu, Gas?"Bagas bergeming. Dia memijit-mijit pelipisnya dan menyandarkan punggungnya di sofa sementara Halimah tiba-tiba menepuk lengan Sang Anak agar menjawab pertanyaan Vano."Apa, Bu?""Dengarkan apa kata Ayah!""Apalagi? Apa Ayah dan Ibu bisa memaafkan kesalahan Anita?"Vano mengulas senyum tipis. Dia tahu, Bagas pasti kecewa mengetahui calon tunangannya yang ternyata adalah kaki tangan orang lain untuk membuatnya dia dan keluarganya malu serta hancur. Tidak dipungkiri, Vano dan Halimah pun merasakan demikian tadi saat mereka mengetahui kebenarannya."Sepertinya Anita memang benar benar, Gas, kalian tidak akan bertemu jika Cahyo tidak mengutusnya menghancurkan kamu," seloroh Vano tenang. "Mungkin ini memang jalan jodoh kamu, Gas. Jangan terlalu keras memikirkannya karena bagaimanapun sekarang Anita sedang terjebak dengan hatinya sendiri.""Dan Ayah percaya saat dia mengatakan benar-benar tulus padaku saat ini dan menyesali semua perbuatannya?"Va
***Dua hari berlalu, Anita dan Bagas masih saja saling diam tanpa bertukar kabar. Keduanya memilih untuk menenangkan diri sementara kasus Cahyo sudah mulai mendapat penanganan dan berujung dengan menginapnya dia di hotel prodeo.Siang ini Anita diminta datang untuk memberikan kesaksian. Jantungnya berdegup kencang, kedua tangannya terasa begitu dingin membayangkan dia harus bertemu lagi dengan Cahyo, laki-laki yang hampir saja membuat harga dirinya rusak jika Bagas tidak segera datang.Mengingat tentang Bagas, Anita lagi-lagi mengusap air matanya dengan kasar. Hatinya kembali perih jika membayangkan betapa Bagas selama ini sudah menjadi pahlawan dalam hidupnya, bahkan dalam keadaan apapun."Besok Nenek sudah boleh pulang, sekarang Anita mau ijin pergi sebentar, Nenek nggak papa sendirian dulu?"Haryati mengangguk mantap. Dua hari belakangan dia merasa Anita seperti sedang menyembunyikan sesuatu, tapi dia tau ... jika Anita masih bungkam dan enggan cerita maka Haryati pun tidak ingin
***"Hai, Nit," sapa Ambar, wanita yang selama ini menjadi majikan Anita, yang tidak lain adalah orang tua tunggal Cahyo.Anita mengangguk sungkan seraya tersenyum kikuk. Bingung harus bereaksi bagaimana karena selama ini meskipun ucapan Ambar terlalu pedas, tapi untuk urusan gaji dia termasuk majikan yang royal."Saya sengaja datang kesini menemui kamu, polisi bilang kalau kamu hampir saja menjadi korban pelecehan Cahyo, benarkah?""Kalau saya mengatakan itu adalah kebenaran, apa Bu Ambar akan percaya?"Ambar tertawa lebar. Dia menyilangkan kaki dan bersedekap dada menatap Anita dengan pandangan meremehkan. Pandangan bagaimana selayaknya orang kaya sombong terhadap orang-orang yang mereka anggap miskin."Di ruangan ini hanya ada kita bertiga, Anita. Aku dan kamu, dan ya ... dia adalah calon ayah baru Cahyo, jadi kupastikan dia akan tutup mulut dengan semua yang akan kita bicarakan saat ini. Jadi, aku harap kamu bisa menuruti semua yang kubilang, kamu tentu tidak lupa bukan siapa yang
***"Ka-- kamu nggak marah lagi, Mas? Kamu ... kamu ....?""Sssttt, diamlah! Kita cari makan dulu, setelah jelaskan kenapa kamu tidak memberitahuku kalau pihak Kepolisian meminta kesaksianmu hari ini," tutur Bagas tegas.Anita mengangguk pasrah. Hatinya benar-benar lega mendengar Bagas yang tidak lagi menjaga jarak. Keduanya melangkah menuju sebuah Cafe yang letaknya tidak jauh dari kantor kepolisian. Sepanjang perjalanan, Bagas menggenggam jemari Anita dengan erat, meyakinkan diri sendiri bahwa wanita di sampingnya tidak akan lagi merasakan luka seperti sebelum-sebelumnya. Vano benar, tanpa Cahyo mungkin keduanya tidak akan bertemu. ***"Ternyata benar kan yang saya bilang, kamu itu murahan, Anita." Ambar berdiri di sebelah kursi yang Anita duduki. Melihat kedatangan Ambar yang tiba-tiba membuat Anita sedikit berjingkat dan seketika menunduk. Ucapan wanita paruh baya dengan tampilan glamour itu mampu membuat beberapa mata para pengunjung melirik ke arah dimana Anita dan Bagas sedang
***"Kenapa kamu penasaran sekali, Se? Itu urusan Ayahmu dan pihak kepolisian disini," kata Nando tegas. Dia tidak mau Sea melampaui batasnya untuk mengorek informasi yang ada di kantor polisi saat ini."Ayolah, Bang. Kali ini saya beritahu aku, siapa laki-laki yang Ayah bawa, atau jangan-jangan ... laki-laki yang bersama Anita, benar?"Nando menoleh dengan cepat. Dia mencoba menelisik wajah Sea yang terlihat begitu penasaran pada tahanannya yang datang bersama Tomi."Ah, sudahlah. Saat ini urusan Anita tidak jauh lebih penting daripada kedua orang tua temanku.""Teman?" Nando mengulangi kata Sea yang mengatakan jika Guntur dan Tini adalah orang tua temannya."Ah, maksutku ... oh, ayolah, Bang kali ini saja bantu aku, aku janji tidak akan mengecewakan kamu dan akan membuat kedua tahanan itu berubah menjadi lebih baik. Katakan, berapa yang harus aku bayar agar kamu mau melepaskan mereka dengan alasan apa saja lah!"Nando membuang muka. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini tapi yan
Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf
Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse
***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa
***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi
***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe
***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.
***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf
***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani
***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,