"Memang ada aku bilang mau kasih pinjaman, Mbak?"Hesty mengkedip-kedipkan mata berharap Abian bisa diajak kerja sama saat ini."Duh, Mas Abian ini suka bercanda," ucap Hesty kikuk. "Udah buruan, ditungguin nih!""Jadi begini ...."Hesty tersenyum lebar mendengar Abian membuka suara. Dia bersedekap dada dan mengangkat dagu di depan dua petugas Bank dan kedua orang tuanya."Pertama-tama, saya tidak tahu menahu tentang hutang keluarga Bu Sur ya, Mas. Mbak Hesty ini selaku anak Bu Sur datang ke rumah saya merengek-rengek minta dipinjamkan uang buat bayar cicilan hutang di Bank. Saya sudah bilang kalau nggak bisa ngasih pinjaman, eh dia maksa ... makanya saya datang ke sini biar semuanya jelas.""Eh, Mas Abian ini ngomong apa sih ....""Saya belum selesai bicara, jadi diam!" Suara tegas Abian membuat nyali Hesty menciut. "Kedua ... Bu Sur, Pak Bambang dan Mas Reyhan, tolong ... saya datang kesini mau melapor kalau tindakan Mbak Hesty sudah sangat mengganggu keluarga saya. Mana ada orang m
"I-- ini, ambil uang ini, tolong lepaskan kami," ucap Maya terbata sembari menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah. "Tol- tolong berikan kami jalan. Kalian boleh ambil semua uang ini."Ibu menangis tanpa bersuara mendengar suara Maya yang bergetar. Sungguh, berada di situasi seperti ini bukanlah harapan keduanya. Apalagi tidak ada pria yang membersamai, hanya sesama wanita yang tidak berdaya."Ha ... ha ..., kau pikir kami butuh uangmu?" sahut salah satu pria sambil menyentak kasar tangan Maya membuat uang-uang itu berhamburan di dalam mobil. Jantung Maya berdegup kencang. Empat pria berbadan kekar tertawa nyaring membuat suasana yang semula mencekam kian mendebarkan. "A-- apa yang kalian mau? Mo-- mobil ini? Ambil!" gagap Maya hampir menangis. "Tolong biarkan kami pergi."Ibu memeluk lengan Maya dari belakang. Kaca mobil yang terbuka setengah memudahkan tangan pria itu masuk dan ...."Keluar!" pintanya. Sebilah pisau dikalungkan di leher Maya yang jenjang. Tidak bisa menah
Assalamualaikum, maaf kalau pembaca tidak suka dengan alur yang saya buat. Beberapa part memang dibuat guna menyelesaikan urusan dengan tokoh yang lain agar tidak gantung. Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan Maya sehari-hari, dengan tetangga, dengan ipar dan dengan orang-orang culas di sekitarnya, jadi, tidak bisa berfokus pada satu titik ya. Maaf kalau tidak berkenan dan terima kasih sudah mengikuti cerita saya sampai sejauh ini. Part tentang Sarah hanya beberapa saja, setelah itu kita kembali di kehidupan Perumahan Citra Kencan. Jadi mohon diterima alur yang saya buat ya. Komentar kalian adalah support bagi pemula seperti saya. ***"Ibu!" Abian berlari setelah memarkirkan mobilnya di depan sebuah warung berdinding papan. Mobil yang Maya kendarai pun terlihat terparkir di sana, dengan satu mobil derek yang ternyata belum beranjak, juga satu mobil polisi dan mobil lain yang pemiliknya sedang menjelaskan kronologi bagaimana dia bisa menemukan mobil ringsek berisikan satu wanit
Abian dan Ibu sampai di rumah Maya menjelang sore. Kedua mertuanya syok berat sampai Emak pun pingsan setelah mendengar cerita yang keluar dari mulut Ibu. Siapa yang mengira jika ada orang yang memendam dendam pada Maya sampai bermain-main dengan nyawa."Yakin kalian tidak punya musuh, Bian?"Abian menggeleng lemah. "Kami selalu menghindari pertikaian dengan orang, Pak. Bapak tau sendiri kalau Maya bukan tipe wanita yang suka mencari keributan dengan orang lain.""Ini bukan tentang siapa yang gemar mencari perkara, Bian. Tapi ... bisa saja ada orang yang merasa iri dengan pencapaian kalian. Yakin kamu tidak merasa ada yang aneh belakangan ini?"Abian nampak mengingat-ingat semua kejadian demi kejadian yang terjadi beberapa hari belakangan."Sebenernya ...."Abian menceritakan tentang kasus penyelewengan uang Restoran dan orang kepercayaan yang dia penjarakan. Juga bagaimana keluarga Bu Saroh kabur dari rumah sejak Satria diputuskan menjadi tersangka dan mendapat hukuman 10 tahun penja
Abian menoleh dengan tangan yang masih mencengkeram kerah baju Chiko. Napasnya memburu, kemarahan menguasai dirinya mengingat nyawa Maya sedang dalam bahaya."Apa yang kamu katakan, Lila?" tanya Ibu Dasimah dari arah belakang. "Kamu menuduh Sarah yang menculik Maya, iya?"Lila menatap nanar pada sosok Chiko yang terbaring lemah dengan wajah lebam."Kamu tau Rumah bekas Belanda yang ada di Kota Sidoarjo, Bian?"Abian mengangguk pasti. Jelas ia tau, jarak antara kota Sidoarjo dengan Surabaya tidak terlalu jauh."Sarah menyekap Maya disana. Cepat datang sebelum ia memindahkan Maya ke tempat lain."Chiko menatap tidak percaya pada istrinya. "Jangan memfitnah Sarah, Lila!""Aku tidak memfitnah, Mas!" teriak Lila frustrasi. "Telingaku mendengar dengan sangat jelas rencana Sarah bersama orang-orang suruhannya. Berhenti membela dan melindungi adikmu. Dia itu gila!"Plak ...!!!!Dasimah menampar pipi Lila dengan sangat keras. Wanita paruh baya itu menarik menantunya masuk ke dalam rumah sement
Empat orang sewaan Sarah kalang kabut mencari jalan keluar. Sayang, ruangan ini hanya ada satu pintu dan satu-satunya jalan sudah dikepung dengan banyak penyelamat untuk Maya.Sarah gelagapan. Dengan gerakan cepat sudah berada di belakang Maya dan mengalungkan sebilah pisau kecil di leher jenjang iparnya itu."Jangan mendekat!" teriak Sarah dengan suara bergetar.Empat orang yang sudah ia sewa dengan harga mahal pun dengan cepat di bekuk polisi dan diamankan, sementara wanita licik itu sendiri kebingungan mencari cara bagaimana agar ia bisa kabur."Berani mendekat, aku potong sekarang juga leher jalang ini!" ancam Sarah. Maya menangis entah untuk yang ke berapa kalinya. Hanya saja, air matanya kali ini mengalir karena rasa syukur. Abian dan semua tim datang tepat waktu sebelum hal buruk terjadi. Ya, meskipun tubuhnya mendapat banyak luka akibat ulah Sarah."Minggir!" bentak Sarah. Dengan tangan bergetar dia membuka ikatan kaki Maya dengan satu tangan tetap mengancam leher putih berka
"Astaga, Mbak Maya ... kami pikir kalian sudah pindah loh," tegur Bu Hanum ketika mobil Abian berhenti di depan rumah.Maya dan Ibu yang baru keluar dari mobil pun mau tidak mau mengulas senyum tipis di depan para tetangga yang terlihat sedang kongkow di depan rumah Dahlia."Iya, tiba-tiba rumahnya kosong lama sekali. Kata Mbak Eti udah bangkrut makanya pindah," celetuk Dahlia, "Eh, beneran emang udah bangkrut, Mbak?""Hooh, beneran, Mbak Maya? Trus nasib rumah baru di depan rumah Bu Sur itu gimana? Dijual?" sahut Bu Sur kepo. "Boleh lah kalau dijual, Hesty pasti bisa gantiin itu rumah, berapa sih?"Maya dan Ibu melongo. Entah kabar darimana para tetangganya sehingga bisa menyimpulkan bahwa Maya dan Abian sudah bangkrut."Siapa yang bilang kami bangkrut, Bu? Restoran kami bahkan masih ramai semua loh," elak Maya. Semua ibu-ibu saling pandang. "Mbak Eti! Kan aku tadi sudah bilang kalau Mbak Eti yang bilang. Mbak Maya kenapa jadi bolot begini sih?" gerutu Dahlia sambil curi-curi pandan
Seperti biasa, Maya kembali beraktivitas dengan berbelanja di tempat Kang Sayur. Pengalaman pahit tentang bagaimana ia disekap oleh Sarah tidak sedikitpun wanita itu ungkap di depan tetangga. Biarlah itu menjadi rahasia di keluarganya tanpa ada orang luar yang tahu."Wah, belanja banyak nih, Mbak Maya?" tanya Bu RT basa-basi."Iya, Bu," sahut Maya singkat. Tangannya kembali sibuk memilah-milah sayur di depannya. "Minggir!" sentak Eti kasar ketika tangan Maya hendak menyentuh sekantong ikan segar di depannya. "Ini sudah aku pesan, sana cari yang lain!"Maya menatap jengah pada sosok Eti yang semakin menjadi-jadi. "Ini sudah dipesan, Mang?" tanya Maya pada Mamang. Mamang menoleh dan menggeleng tegas, "Belum, Mbak Maya. Mau Mbak Maya ambil?""Eh, Mang ... kamu gimana sih, itu ikan sudah aku pesan dari tadi. Kenapa malah dikasihkan ke orang lain, hah?"Mamang terlihat mengerutkan kening dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Apa iya? Bukannya Mbak Eti sama Bu Saroh nggak suka makan