Empat orang sewaan Sarah kalang kabut mencari jalan keluar. Sayang, ruangan ini hanya ada satu pintu dan satu-satunya jalan sudah dikepung dengan banyak penyelamat untuk Maya.Sarah gelagapan. Dengan gerakan cepat sudah berada di belakang Maya dan mengalungkan sebilah pisau kecil di leher jenjang iparnya itu."Jangan mendekat!" teriak Sarah dengan suara bergetar.Empat orang yang sudah ia sewa dengan harga mahal pun dengan cepat di bekuk polisi dan diamankan, sementara wanita licik itu sendiri kebingungan mencari cara bagaimana agar ia bisa kabur."Berani mendekat, aku potong sekarang juga leher jalang ini!" ancam Sarah. Maya menangis entah untuk yang ke berapa kalinya. Hanya saja, air matanya kali ini mengalir karena rasa syukur. Abian dan semua tim datang tepat waktu sebelum hal buruk terjadi. Ya, meskipun tubuhnya mendapat banyak luka akibat ulah Sarah."Minggir!" bentak Sarah. Dengan tangan bergetar dia membuka ikatan kaki Maya dengan satu tangan tetap mengancam leher putih berka
"Astaga, Mbak Maya ... kami pikir kalian sudah pindah loh," tegur Bu Hanum ketika mobil Abian berhenti di depan rumah.Maya dan Ibu yang baru keluar dari mobil pun mau tidak mau mengulas senyum tipis di depan para tetangga yang terlihat sedang kongkow di depan rumah Dahlia."Iya, tiba-tiba rumahnya kosong lama sekali. Kata Mbak Eti udah bangkrut makanya pindah," celetuk Dahlia, "Eh, beneran emang udah bangkrut, Mbak?""Hooh, beneran, Mbak Maya? Trus nasib rumah baru di depan rumah Bu Sur itu gimana? Dijual?" sahut Bu Sur kepo. "Boleh lah kalau dijual, Hesty pasti bisa gantiin itu rumah, berapa sih?"Maya dan Ibu melongo. Entah kabar darimana para tetangganya sehingga bisa menyimpulkan bahwa Maya dan Abian sudah bangkrut."Siapa yang bilang kami bangkrut, Bu? Restoran kami bahkan masih ramai semua loh," elak Maya. Semua ibu-ibu saling pandang. "Mbak Eti! Kan aku tadi sudah bilang kalau Mbak Eti yang bilang. Mbak Maya kenapa jadi bolot begini sih?" gerutu Dahlia sambil curi-curi pandan
Seperti biasa, Maya kembali beraktivitas dengan berbelanja di tempat Kang Sayur. Pengalaman pahit tentang bagaimana ia disekap oleh Sarah tidak sedikitpun wanita itu ungkap di depan tetangga. Biarlah itu menjadi rahasia di keluarganya tanpa ada orang luar yang tahu."Wah, belanja banyak nih, Mbak Maya?" tanya Bu RT basa-basi."Iya, Bu," sahut Maya singkat. Tangannya kembali sibuk memilah-milah sayur di depannya. "Minggir!" sentak Eti kasar ketika tangan Maya hendak menyentuh sekantong ikan segar di depannya. "Ini sudah aku pesan, sana cari yang lain!"Maya menatap jengah pada sosok Eti yang semakin menjadi-jadi. "Ini sudah dipesan, Mang?" tanya Maya pada Mamang. Mamang menoleh dan menggeleng tegas, "Belum, Mbak Maya. Mau Mbak Maya ambil?""Eh, Mang ... kamu gimana sih, itu ikan sudah aku pesan dari tadi. Kenapa malah dikasihkan ke orang lain, hah?"Mamang terlihat mengerutkan kening dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Apa iya? Bukannya Mbak Eti sama Bu Saroh nggak suka makan
Eti melengos sambil terus mengunyah sisa makanan di mulut. Sementara Bu Saroh, wanita paruh baya itu nampak berulang kali memasukkan sesuatu ke dalam tasnya."Mau kantong kresek, Bu?" tanya Emak, "Barangkali mau, saya ambilkan.""A-- apa maksud kamu?" tanya Bu Saroh gugup. Eti menatap ibunya yang terlihat sedang bersitegang dengan Emak Maya dari kampung. "Kamu pikir aku sudi bawa makanan murahan ini segala pakai kamu tawarin kantong, hah?"Emak mengerutkan keningnya yang sudah mengeriput. Niat hati ingin menawarkan kantong agar semua makanan tidak berceceran di dalam tas Bu Saroh, tapi ternyata wanita paruh baya itu menatap sengit ke arah Emak dengan berkacak pinggang."Ada apa, Mak?" tanya Abian menghampiri. Emak menggeleng samar, enggak memperkeruh keadaan dan berujung ribut mengingat ini adalah acara syukuran untuk rumah baru anak dan menantunya."Bilangin sama mertua kamu, Mas Abian, jangan memandang rendah orang lain hanya karena anak dan menantunya punya rumah baru," seru Bu Sar
Seminggu sejak keributan yang terjadi di rumah Maya, Eti jarang menampakkan batang hidungnya. Kini, wanita yang menjadi buah bibir di Perumahan Citra Kencana itu lebih suka mengurung diri di rumah, bahkan Bu Saroh pun terlihat sudah tidak pernah berbaur dengan tetangga.Pun dengan Maya, sejak pindah, belum terlihat istri Abian itu keluar meskipun sekedar untuk berbelanja mengingat semua kebutuhan dapur sudah tersedia untuk satu bulan ke depan.Emak dan Bapak hari ini akan pulang, sengaja Abian meliburkan diri dari rutinitas Restoran dan memilih menemani Sang Mertua kembali ke kampung, tentu saja bersama Maya dan Ibu."Emak yakin nggak tinggal disini saja?" tanya Abian. "Sepertinya lebih ramai kalau Emak dan Bapak ada disini," lanjutnya.Emak menatap sendu ke arah menantunya. "Di kampung adalah tanah kelahiran Emak, Bian. Disana, Emak dan Bapak memulai semuanya dari awal. Jatuh bangun, tangis tawa, semua kami lalui di kampung berdua. Maaf, Nak ... Emak dan Bapak memilih untuk pulang, b
"Ck, ayolah, Mas Abian, tau sendiri kan kalau di rumahku nggak ada mobil, suami juga suka alergi kulitnya kalau pakai motor," elak Bu Sur sombong. "Apa salahnya sih bantuin tetangga, lagipula kita ini tetangga dekat loh!""Maaf, Bu Sur," sahut Abian. "Tapi kami mau ke Rumah Sakit, Maya sedang tidak enak badan."Bu Sur menelisik raut wajah Maya yang menurutnya terlihat baik-baik saja."Kamu bohong ya? Itu Mbak Maya baik-baik saja loh," celetuk Bu Sur seraya mencebik. "Wajahnya juga nggak pucat, sengaja nggak mau bantuin aku?"Tanpa banyak bicara, Bapak membuka pintu mobil dan berkata, "Masuk, Nak!"Maya mengangguk lemah. Dia bersama Ibu dan Emak masuk ke dalam mobil tanpa peduli pada sosok Bu Sur yang mencak-mencak di depan Abian."Sekali lagi saya minta maaf, tapi anak saya memang sedang tidak enak badan. Ibu bisa minta tolong ke tetangga yang lain," saran Bapak. "Bukannya kami tidak mau membantu, tapi kondisi Maya memang sedang sakit.""Memang sakit apa Mbak Maya?" tanya Bu Sur ketus
Keluar dari ruangan, mata ketiga manusia beda generasi itu terlihat sembab. Ibu segera mendekat, dipeluknya tubuh Maya yang dirasa sedikit berisi beberapa hari belakangan. Bapak membuang muka, hal seperti ini bukan yang pertama kali terjadi. Pernah, di awal-awal tahun pernikahan Maya dan Abian, anak menantunya itu kerap menangis setelah periksa ke Dokter yang ternyata hasilnya adalah zonk. Rahim Maya masih saja kosong bahkan setelah banyak sekali resep dokter, saran, dan ramuan nenek moyang yang sudah Maya konsumsi."Tidak apa-apa, jangan bersedih," ucap Ibu dengan suara bergetar. Dipeluknya Maya semakin erat membuat menantunya itu semakin mengeraskan tangisannya. Siapa sangka ... hubungan yang hampir meregang karena ulah Sarah ternyata sekarang keduanya semakin dekat seperti ibu dan anak kandung. "Lagipula kedatangan kita ke Dokter memang untuk memeriksakan kesehatan kamu kan?"Maya mengangguk tanpa menghentikan tangisnya. "Bu ....""May, Ibu tidak masalah sekalipun kalian berdua bel
"Mbak Hesty serius?" tanya Maya. "Tau kan ART? Ehm, maksutku ... yakin mau jadi ART di rumahku, bukannya ....""Yakin lah, Mbak Maya," sela Hesty cepat. "Lagipula aku sama suami lagi kehilangan pekerjaan.""Takut kena razia lagi ya, Hes?" sahut Bu Hanum julid. "Pindah tempat saja sih, Hes, sayang loh ... pasti kamu sudah berbakat sekali menjadi peminta di jalanan."Hesty melengos. Paham sekali dengan sindiran yang tengah di lontarkan oleh Bu Hanum."Jangan ikut campur deh, Bu Hanum!" seru Hesty kesal. "Bukannya ikut campur, tapi aku ini lagi kasih saran. Sayang loh, itu bakat terpendam yang nggak semua orang mampu. Apalagi sampai bisa menahan malu di depan banyak orang. Mengemis sambil bawa anak padahal sendirinya dan suami masing-masing punya kaki tangan lengkap, sehat wal afiat. Pokoknya nggak semua orang bisa kehilangan rasa malu seperti kamu, Hes ...."Dada Hesty naik turun. Napasnya memburu melihat beberapa tetangga ikut cekikikan di belakang Bu Hanum. Jelas sekali tetangga samp
Tubuh Gading mematung. Lagi-lagi pertemuannya dengan Laura membawa kilas pedih pada masa lalu. "O-- oh, hai, Ra," sapa Gading kikuk. "Sama suami kamu lagi?"Laura bergeming sementara Hesty menatap heran ke arah suaminya. "Mas kenal suami Laura?" tanya Hesty menyelidik.Gading mengedikkan bahu. Dia menurunkan Seila dan menjawab. "Kapan hari kan Mas ketemu Laura sama suaminya. Gading, Mas!" Gading menjulurkan tangannya di depan Reyhan. "Reyhan, Mas," sahut mantan suami Hesty datar. "Kalau begitu kami pamit dulu. Permisi!"Reyhan berjalan sembari menggandeng tangan Mazaya sementara Laura mengekor di belakang mereka dengan air mata yang menganak sungai. "Mas ...." Panggil Hesty lirih. Gading menoleh. Wajahnya berubah sendu ketika bertemu Laura untuk yang kesekian kalinya. "Dia ... mantan suamiku," aku Hesty."Dia?"Hesty mengangguk. "Sepertinya dia baru keluar dari penjara. Entah bagaimana ceritanya, Mas Reyhan ... tidak mau membahas luka yang sudah aku ciptakan."Gading seketika men
"D-- dia istri kamu, Mas?" tanya Hesty gagap. Kedua matanya memanas melihat Mazaya, gadis kecil yang begitu Reyhan lindungi ternyata putri dari wanita yang sudah ia hancurkan rumah tangganya. "D-- dia ...?"Reyhan terkekeh getir. Dia melepaskan genggaman tangannya pada Mazaya dan mempersilahkan wanita di sampingnya menggendong putri kecil yang beberapa menit lalu ia cari-cari."Kalau wanita seperti kamu saja bisa membuangku tanpa berpikir dua kali, apa kamu pikir ada wanita lain yang mau menerimaku sebagai suami, Hes?" tanya Reyhan perih. "Aku hanyalah pria kotor yang rela melakukan apa saja demi memenuhi gaya hidup istriku dan keluarganya. Tapi itu dulu ... sekarang, aku hanyalah seorang pria yang berjuang untuk keluarganya. Untuk Emak dan Bapakku di kampung. Apalagi setelah aku tahu bahwa putriku hidup dengan layak, sepertinya memang aku harus meredam ego. Demi masa depannya. Demi mentalnya. Jaga dia!"Reyhan melengos sembari mengusap sudut matanya yang berair. Sejenak kemudian, dia
"Apa kabar, Hes?" Reyhan bertanya dengan nada dingin. Bertanya kabar mantan istrinya dengan air muka begitu tenang. "Putriku sudah sebesar ini ya? Boleh aku gendong?"Seila menggeleng kata tangan Reyhan terangkat ke udara. Gadis kecil itu berlari bersembunyi di belakang tubuh Bu Sur dan berceloteh gemas. "Kata Papa gak boleh! Jangan gendong Seila, Om," ucapnya cadel. Hati Reyhan berdenyut nyeri. Seila, bayi mungil yang dulu selalu nyaman berada dalam gendongannya kini menolak pelukan darinya dengan dalih dilarang oleh Papa. Papa siapa yang Seila maksud, batin Reyhan."Om cuma mau peluk. Boleh?"Seila menggeleng takut. Kedua mata Reyhan memanas dengan satu tangan yang kembali menggenggam erat jemari Mazaya. Gadis kecil yang usianya sepadan dengan Seila."M-- Mas sudah bebas?" tanya Hesty dengan suara bergetar. Ada perasaan bersalah yang teramat dalam untuk mantan suakmunya itu. Bagaimana dulu Hesty memilih bercerai karena Reyhan kedapatan tertangkap polisi sedang mengedarkan barang ha
"Nanti siang aku mampir ke Restoran ya, Mas?"Hesty yang sedang menyuapi putrinya berbicara manja pada Gading. Sejak setahun yang lalu suaminya bekerja di Restoran milik Abian dan kehidupan Hesty perlahan-lahan mulai membaik. Gaji yang Abian tawarkan memang tidak kaleng-kaleng. Apalagi selama ini Restoran itu terkenal dengan hidangan yang lezat. Ada harga, ada rasa."Memangnya nanti siang mau kemana?" tanya Gading menelisik. "Jalan-jalan?"Hesty nyengir. Dia mengangguk ragu dan melirik Bu Sur yang juga tengah sarapan bersama mereka di ruang makan. "Boleh ya, Mas?""Boleh, sekalian ajak Ibu."Bu Sur mengangkat kepalanya. Matanya memanas. Untuk pertama kalinya dia merasakan kehangatan dari hubungan rumah tangga Hesty. Kegagalan di masa lalu membuat wanita muda itu banyak belajar bahwa menerima kekurangan pasangan jauh lebih baik daripada harus saling menuntut."Bapak gak sekalian, Ding?"Gading tertawa lebar. "Ki
"Apa kabar anak Ayah hari ini? Bunda nakal gak? Kamu menyusu dengan baik kan?" goda Abian sembari mengambil alih sang putra dari gendongan Ibunya. "Jelas dengan baik lah, kan Ayah sudah kehilangan jatah menyusu," sahut Ibu sarkas.Maya dan Abian mematung. Keduanya tergelak ketika menyadari ucapan Ibu terlalu frontal sore ini."Ibu apa-apaan sih, ada Bu Saroh tuh, gak baik bicara seperti itu. Bikin kita malu aja!" gerutu Abian yang dibalas tawa renyah oleh Ibu."Diskusi apa sama Maya, Ibu boleh tau?"Abian mengangguk. Mereka berjalan menuju ruang makan sementara Abimanyu ia serahkan pada Bu Saroh."Tolong ajak Abimanyu sebentar ya, Bu.""Dengan senang hati, sini anak manis," sahut Bu Saroh yang tersenyum lebar mendapatkan tubuh Abimanyu yang mungil dalam dekapan. "Jadi aku tadi mampir ke rumah Mbak Hesty, Bu," kata Abian bercerita. "Kebetulan kepala dapur di Restoran Cempaka resign, dia ikut istrinya pulang kampung dan cari kerja disana saja katanya. Aku pikir, daripada aku ambil ora
Satu minggu kemudian ....Abian pulang dengan membawa rasa rindu pada istri dan anaknya. Bahkan pria itu sekarang lebih sering berada di rumah dan menghandle Restoran dari rumah. "Baru pulang, Mas Gading?" Abian yang menutup pintu pagar sengaja menyapa Gading yang baru pulang dari bekerja. Mamang pergi mengantar Emak dan Bapak yang sudah kembali ke kampung, itu sebabnya sekarang Abian membawa mobil sendiri."Iya, Mas," sahut Gading sambil mengulas selarik senyum. Gading terlihat kelelahan mendorong gerobak yang sudah ia pisahkan dari motornya. Peluh membasahi bajunya yang nampak lusuh. Benar-benar ... kesalahan membuat Gading dan Hesty berubah banyak beberapa bulan belakangan. Abian merasa kasihan. Dulu, ia sengaja menolak memperkerjakan Gading karena memang kurang suka dengan gaya bicara tetangganya itu. Apalagi dulu Gading masih menjunjung tinggi sikap sombong dan pongah membuat Abian jengah dan enggan beruru
"Oek ... oek ...."Suara tangis bayi memecah ketegangan dalam ruangan. Maya terengah, sementara Abian berulang kali mengecup pelipis Sang Istri tanpa lupa mengucap syukur atas kelahiran bayinya."Alhamdulillah, bayi laki-laki yang sehat dan lahir dengan kondisi tubuh lengkap tanpa kurang satu apapun. Berat sekitar 3,3 kg," papar suster menjawab rasa penasaran Abian.Maya tersenyum lega. Dia diberi kesempatan untuk memeluk bayinya sebelum Suster yang bertugas membersihkan Sang Bayi ke dalam ruangan khusus. "Bisa saya adzani dulu, Sus?""Tentu saja, Pak. Mari, silahkan!"Suster mengangguk dan mengarahkan telinga bayi tampan itu tepat di bibir Abian. Abian hampir saja tergugu jika dia tidak segera menguasai emosinya. Bayi mungil dengan wajah Maya membuat hatinya terenyuh. Penantian mereka akhirnya terbayar dengan memuaskan."Terima kasih," kata Abian. Suster mengangguk ramah dan segera membawa bayi Maya menuju ruangan terpisah. Sementara Maya sedang terbaring lemah dan mendapatkan pena
. . Dua bulan berlalu, perut Maya sudah semakin membuncit dan seminggu lagi adalah jadwal bayinya dilahirkan. Namun sepertinya Tuhan berkehendak lain, pagi ini ... istri Abian itu merasakan mulas yang teramat sangat. Celana tidur yang ia pakai sudah basah karena air ketuban yang pecah. Maya memanggil-manggil Abian yang sedang berada di dalam kamar mandi. "Kenapa, May?" Abian keluar hanya memakai handuk, bahkan buih sabun masih menempel di tubuhnya. Pria itu panik, takut jika ada apa-apa dengan istrinya menjelang melahirkan."Mas, sshhh ... perutku," keluhnya.Mata Abian melotot tatkala melihat sprei yang sudah basah ditambah dengan celana yang istrinya kenakan pun sama basahnya."Sepertinya mau lahiran," adu Maya sambil meringis.Abian mengusap sisa sabun di tubuhnya tanpa membilas lebih dulu menggunakan air. Dengan gerakan cepat, ia berganti pakaian tanpa peduli apakah Maya melihat
Laura hanya menoleh sekilas, lalu menatap bungkusan cilok yang ada di tangan keponakannya."Sudah beli jajannya? Ayo!"Abigail mengangguk. Dia berlari menuju dimana mobil Tantenya berada sementara Gading memanggil-manggil nama Laura membuat wanita itu terpaksa menghentikan langkah."Ba-- bagaimana kabar kamu?" tanya Gading basa-basi. Mantan istrinya terlihat begitu cantik dengan baju yang sedikit kedodoran."Menurut kamu?" sahut Laura balik bertanya. "Akta perceraian sudah aku kirim ke rumah istri kamu, sudah kamu terima kan?"Gading mengangguk. Kini, penyesalan terasa begitu menusuk ke dalam relung hatinya. Melepaskan Laura sama halnya dengan melepas berlian yang tengah bersinar indah."Maafkan aku, Ra!"Laura yang hendak berbalik kini lagi-lagi menghentikan langkah."Aku sadar kalau aku banyak salah, maaf sudah menyakiti kamu, Ra. Maaf sudah mengkhianati pernikahan kita dulu. Maafkan aku ...."Jantung Laura berdegup kencang. Perlahan tangannya mengusap perut yang masih rata. Entah.