Mobil mereka sampai di depan rumah Ibu. Rumah yang biasanya terlihat berpenghuni kini seolah menunjukkan tidak ada kehidupan di dalam sana. Sepi.Lampu teras masih menyala. Daun-daun dari pohon mangga di halaman rumah berserakan dimana-mana serta gorden yang terlihat masih menutupi semua jendela."Sepi sekali, Bian," celetuk Ibu heran. "Sepertinya Sarah nggak pulang ke rumah ini," lanjutnya.Maya membuka pintu mobil. Dia berjalan mendekati ibu-ibu yang terlihat sedang bercengkerama di depan rumah tetangga yang jaraknya tidak jauh dari rumah Ibu."Permisi, Ibu-ibu ....""Eh, Mbak Maya. Mau ambil baju Ibu ya?" sapa tetangga yang memang mengenal Maya. "Tadi itu saya mau lihat keadaan Ibu, Mbak, cuma mobil yang bawa Ibu sama Mbak Sarah buru-buru pergi," jelas tetangga Ibu bernama Bu Kela."Baju?" tanya Maya sembari memicing. "Bu Kela yakin itu Ibu? Soalnya ... ibu ada sama saya dan Mas Abian. Itu di dalam mobil," tunjuk Maya.Bu Kela nampak mengingat-ingat apa yang dia lihat lalu berseru
"Pasien yang baru datang atas nama Sarah Amalia ada di ruangan Anggrek nomor 14, Pak. Silahkan, dari sini anda lurus saja, nanti ada jalan bercabang empat, Bapak belok kanan, itu sudah ruangan Anggrek ya, Pak. Tinggal cari nomor kamarnya saja," papar salah seorang pegawai RS di bagian administrasi.Abian mengangguk paham dan mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya berlalu dan memimpin jalan menuju ruangan yang mereka cari.Tepat di depan kamar nomor 14, seorang wanita terlihat terbaring lemah sementara di sisi ranjangnya ada kedua orang tua Sarah dan kakak laki-lakinya serta Sang Istri."Assalamualaikum," ucap Abian memecahkan keributan di dalam kamar inap.Mereka semua menoleh. Kakak Sarah yang bernama Chiko tiba-tiba melayangkan tinjunya tepat di rahang Abian, tapi sayang ... gerakannya bisa dibaca dengan mudah oleh pria berparas tenang itu."Jangan tunjukkan siapa dirimu di depan orang lain, Mas," tukas Abian dingin. "Kami kesini ingin meluruskan banyak hal, bukan ingin berkelahi
"Kurang ajar! Rumah Saroh sepi, nggak ada orang!" omel Pak Bambang. "Mereka pasti kabur. Dasar tetangga maling!"Maya dan Abian yang baru datang dari Rumah Sakit pun dibuat terkejut dengan adanya keramaian di depan rumah Bu Sur. "Maaf, Bu Puji, ini ada apa ya?" tanya Maya penuh selidik. "Bu Sur habis gelut sama Bu Saroh. Kepalanya bolong, untung bukan punggungnya yang bolong," guraunya sambil cekikikan.Maya nyengir. Dalam otaknya membayangkan kalau kepala Bu Sur benar-benar bolong seperti yang Bu Puji katakan."Sudah dibawa ke Rumah Sakit, Bu?" timpal Abian. "Bahaya kalau cuma diobati di rumah," imbuhnya.Bu Puji tergelak disusul dengan gelak tawa dua tetangga yang lain."Oalah, Mas Bian, itu saya bercanda. Kepalanya cuma lecet dan berdarah sedikit. Orangnya juga sudah sadar, baik-baik saja dia," jelas Bu Puji sambil tertawa. "Lagian ngeselin, Mas Abian ... masa tadi pura-pura amnesia, lepas itu Hesty dengan sombongnya bilang mau bawa ibunya ke dokter spesialis, eh ujung-ujungnya m
"Nggak punya etika!" hardik Ibu. "Kamu tau aku ini siapa, hah?!"Maya dan Abian membelalak mendengar suara Ibu yang mulai meninggi. Memang, sejak tidak bersama mereka, penyakit gula Ibu perlahan-lahan bisa diatasi karena menantunya yang hati-hati sekali memilih dan mengolah makanan untuk Sang Mertua. Pun dengan kolesterol yang Ibu miliki, sedikit banyak wanita paruh baya itu mulai bisa berjalan meskipun agak sedikit nyeri di bagian belakang lutut. Tapi setidaknya ada perubahan daripada ketika hidup bersama Sarah dulu."Ck, bacot!" umpat Hesty. "Mbak ... Mbak Maya, keluar dong!"Maya tidak tahan mendengar Hesty mengumpati Sang Mertua, dia keluar setelah menarik napas panjang disusul Abian di belakangnya."Ada apa, Mbak? Ini bukan hutan loh, lagipula situ orang apa Tarzan?"Hesty mencebik. "Kalau nggak kepepet juga aku nggak sudi teriak-teriak di depan rumah kamu, Mbak Maya," sungutnya kesal."Hes, cepat!" teriak Reyhan dari depan rumah mereka. "Udah ditungguin ini!" lanjutnya masih den
"Memang ada aku bilang mau kasih pinjaman, Mbak?"Hesty mengkedip-kedipkan mata berharap Abian bisa diajak kerja sama saat ini."Duh, Mas Abian ini suka bercanda," ucap Hesty kikuk. "Udah buruan, ditungguin nih!""Jadi begini ...."Hesty tersenyum lebar mendengar Abian membuka suara. Dia bersedekap dada dan mengangkat dagu di depan dua petugas Bank dan kedua orang tuanya."Pertama-tama, saya tidak tahu menahu tentang hutang keluarga Bu Sur ya, Mas. Mbak Hesty ini selaku anak Bu Sur datang ke rumah saya merengek-rengek minta dipinjamkan uang buat bayar cicilan hutang di Bank. Saya sudah bilang kalau nggak bisa ngasih pinjaman, eh dia maksa ... makanya saya datang ke sini biar semuanya jelas.""Eh, Mas Abian ini ngomong apa sih ....""Saya belum selesai bicara, jadi diam!" Suara tegas Abian membuat nyali Hesty menciut. "Kedua ... Bu Sur, Pak Bambang dan Mas Reyhan, tolong ... saya datang kesini mau melapor kalau tindakan Mbak Hesty sudah sangat mengganggu keluarga saya. Mana ada orang m
"I-- ini, ambil uang ini, tolong lepaskan kami," ucap Maya terbata sembari menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah. "Tol- tolong berikan kami jalan. Kalian boleh ambil semua uang ini."Ibu menangis tanpa bersuara mendengar suara Maya yang bergetar. Sungguh, berada di situasi seperti ini bukanlah harapan keduanya. Apalagi tidak ada pria yang membersamai, hanya sesama wanita yang tidak berdaya."Ha ... ha ..., kau pikir kami butuh uangmu?" sahut salah satu pria sambil menyentak kasar tangan Maya membuat uang-uang itu berhamburan di dalam mobil. Jantung Maya berdegup kencang. Empat pria berbadan kekar tertawa nyaring membuat suasana yang semula mencekam kian mendebarkan. "A-- apa yang kalian mau? Mo-- mobil ini? Ambil!" gagap Maya hampir menangis. "Tolong biarkan kami pergi."Ibu memeluk lengan Maya dari belakang. Kaca mobil yang terbuka setengah memudahkan tangan pria itu masuk dan ...."Keluar!" pintanya. Sebilah pisau dikalungkan di leher Maya yang jenjang. Tidak bisa menah
Assalamualaikum, maaf kalau pembaca tidak suka dengan alur yang saya buat. Beberapa part memang dibuat guna menyelesaikan urusan dengan tokoh yang lain agar tidak gantung. Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan Maya sehari-hari, dengan tetangga, dengan ipar dan dengan orang-orang culas di sekitarnya, jadi, tidak bisa berfokus pada satu titik ya. Maaf kalau tidak berkenan dan terima kasih sudah mengikuti cerita saya sampai sejauh ini. Part tentang Sarah hanya beberapa saja, setelah itu kita kembali di kehidupan Perumahan Citra Kencan. Jadi mohon diterima alur yang saya buat ya. Komentar kalian adalah support bagi pemula seperti saya. ***"Ibu!" Abian berlari setelah memarkirkan mobilnya di depan sebuah warung berdinding papan. Mobil yang Maya kendarai pun terlihat terparkir di sana, dengan satu mobil derek yang ternyata belum beranjak, juga satu mobil polisi dan mobil lain yang pemiliknya sedang menjelaskan kronologi bagaimana dia bisa menemukan mobil ringsek berisikan satu wanit
Abian dan Ibu sampai di rumah Maya menjelang sore. Kedua mertuanya syok berat sampai Emak pun pingsan setelah mendengar cerita yang keluar dari mulut Ibu. Siapa yang mengira jika ada orang yang memendam dendam pada Maya sampai bermain-main dengan nyawa."Yakin kalian tidak punya musuh, Bian?"Abian menggeleng lemah. "Kami selalu menghindari pertikaian dengan orang, Pak. Bapak tau sendiri kalau Maya bukan tipe wanita yang suka mencari keributan dengan orang lain.""Ini bukan tentang siapa yang gemar mencari perkara, Bian. Tapi ... bisa saja ada orang yang merasa iri dengan pencapaian kalian. Yakin kamu tidak merasa ada yang aneh belakangan ini?"Abian nampak mengingat-ingat semua kejadian demi kejadian yang terjadi beberapa hari belakangan."Sebenernya ...."Abian menceritakan tentang kasus penyelewengan uang Restoran dan orang kepercayaan yang dia penjarakan. Juga bagaimana keluarga Bu Saroh kabur dari rumah sejak Satria diputuskan menjadi tersangka dan mendapat hukuman 10 tahun penja