Share

#3 Keduluan

Penulis: Lunetha Lu
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-27 15:11:20

“Nggak ada. Di sana nggak ada, di sini juga nggak ada.” Cantika berdecak sambil lalu menghela napas.

Gadis itu sudah berkali-kali mencari. Di lemari, laci, saku celana, ranjang, tas-tas yang biasa dipakai, tapi benda yang dicari tetap tidak ketemu juga.

“Duh, di mana ya itu earphone? Masa iya punya kaki?” desis Cantika menggaruk kepalanya. Dia lalu membungkuk, menarik selimut ke atas, berjongkok memeriksa kolong tempat tidur, namun hasilnya tetap nihil. Cantika tidak menemukan benda berkabel yang dicarinya.

“Coba ingat-ingat, terakhir bawa ke mana, ya? Kemarin masih dibawa waktu ....”

Tiba-tiba dia teringat hari di mana penglihatannya terkontaminasi oleh pemandangan meresahkan namun menggoda iman. Pagi itu dia memakai earphone-nya. Lalu melepasnya saat melihat seseorang yang tampak dalam keadaan darurat di dalam mobil – yang ternyata hanya lelaki mabuk dengan aktivitas solonya. Setelah itu, apa lagi?

Cantika berusaha mengingat lebih jauh, apakah dia masih mengantonginya saat pulang ke rumah. Atau jangan-jangan perangkat telinga itu jatuh saat dia berlari. Kalau benar jatuh di jalan, sepertinya sudah tidak tertolong, hancur terlindas kendaraan yang lewat. Akhirnya dia hanya bisa menghela napas pasrah.

Dering ponsel selanjutnya mengalihkan perhatian Cantika. Sebaris tulisan pengingat tertera di layar, ‘Jemput anak-anak’.

Sudah waktunya dia berangkat.

***

“Yeyy, Kak Can yang jemput! Horee!” Suara nyaring Bianca dan Byana memenuhi gendang telinganya.

“Haii, gimana tadi lesnya?” Cantika mengambil alih ransel kedua anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu dan meletakannya di jok belakang mobil.

Kedua bocah perempuan yang sudah seperti adik betulan bagi nya masih memakai seragam sekolah dengan wajah lelah mereka. Kadang Cantika merasa kasihan, nasib anak-anak zaman sekarang pulang sekolah harus kursus ini kursus itu sampai sore, atau malah sampai malam.

Berbeda dengannya dulu saat masih SD, dia santai saja. Pulang sekolah berganti baju, langsung duduk depan televisi, menonton film kartun favoritnya. Baru sorenya mengerjakan PR di rumah setelah mandi. Dia pernah mengikuti les, tapi tidak bertahan lama. Sebab Cantika tidak suka belajar.

“Tadi temen Byan ada nangis, dia numpahin minum kena bukunya,” celoteh Byana si bungsu, yang masih kelas dua SD.

“Oh iya? Terus kena bukunya Byan, nggak?”

“Nggak, duduknya agak jauh.”

“Caca mau duduk depan!” seru Bianca, si kakak. Sudah menyerobot membuka pintu mobil berbody besar itu.

“Ih, Byan yang duduk depan!”

Cantika hanya bisa garuk kepala melihat anak-anak yang tak pernah kehabisan tenaga untuk berdebat. Dia lalu tersenyum.

“Oke, Caca di depan. Nanti Brian yang di belakang sama Byana. Kita jemput Brian dulu, ya!”

“Tapi Byan mau di depannn,” Si bungsu memanyunkan bibir tanda protes.

“Gantian ya, besok Byana duduk depan. Oke?”

Bianca menjulurkan lidah, melompat duduk di sebelah kursi pengemudi. Sedang Byana pasrah dibantu Cantika naik ke mobil, mau tak mau duduk di belakang. Usai menutup pintu untuk para bocah, Cantika naik ke bangku pengemudi, lanjut menjemput Brian, adiknya yang paling besar.

“Nanti kita mau jalan-jalan sore nggak? Mumpung hari ini nggak ada les lagi.”

“Mauu, mauuu!!” Sahut kedua bocah perempuan itu kompak.

Niatnya, sekalian Cantika ingin menyusuri jalan. Mencari earphone yang hilang. Barangkali dia mujur. Meski tidak berharap banyak, tapi tidak ada salahnya mencoba. Sebelum dia memutuskan untuk membeli yang baru.

“Oke, kita jalan-jalan ya nanti!”

***

Setibanya di rumah, Byana dan Bianca buru-buru meletakkan tas sekolah asal. Melepas sepatu, berganti sandal santai. Anak-anak itu sudah tidak sabar ingin jalan-jalan sore dengan Cantika.

Sedangkan Brian, remaja laki-laki yang sudah kelas delapan, lebih memilih naik ke kamarnya. Beristirahat sambil bermain game di ponsel. Katanya dia sudah janji mau war bareng teman. Anak laki-laki memang beda selera dibanding perempuan.

Tidak lupa Cantika mengambil foto dan video saat jalan-jalan sore dengan Byana dan Bianca untuk mengisi story media sosialnya. Guna menyuguhkan kegiatan sehari-harinya pada enam belas ribu pengikut di akun miliknya. Bukan jumlah pengikut yang banyak, bukan juga jumlah yang sedikit. Tak jarang ia mendapat tawaran endorsement beberapa produk.

“Kak Can, Kak Can!” seru Byana menarik-narik ujung baju Cantika sambil berjalan mengitari kompleks perumahan. “Mau liat serigala sama beruang nggak?”

‘Serigala?

Beruang?’

Kening Cantika berkerut tak mengerti mendengarnya. Serigala betulan?

“Iya, Kak!” Kali ini Bianca yang berceloteh. “Ada yang pelihara anjing, besaarrr bangettt! Mirip serigala sama beruang!”

‘Ohh ... rupanya maksud Byana adalah anjing.’

Cantika tersenyum menggandeng kedua bocah perempuan di sisi kiri dan kanannya. “Mana?”

“Tapi kita harus jalan ke sana,” unjuk Bianca. Jalan itu adalah jalan yang belum pernah Cantika lewati sebelumnya, karena terletak beberapa blok di belakang.

Rumah yang dihuni mereka sekarang baru beberapa bulan ditempati. Letaknya sedikit di depan, tidak terlalu jauh dari gerbang kompleks. Jadi, blok belakang adalah jalan yang belum pernah dijamah oleh Cantika.

“Oke, yuk kita liat. Tapi lewatin lapangan di depan dulu, ya.”

Dipimpin oleh arahan Bianca, beberapa menit kemudian mereka tiba di depan sebuah rumah besar dengan gerbang hitam beruas. Celah pagar yang cukup besar membuat siapa saja yang lewat dapat melihat pekarangan dan bentuk rumah tersebut.

Seperti kata Byana dan Bianca, ada dua ekor anjing besar yang menyerupai serigala dan beruang diikat di halaman. Dua-duanya tampak menyeramkan, tetapi juga menggemaskan. Cantika heran, kapan anak-anak ini jalan sampai ke sini? Mungkin waktu dia tidak ada di rumah.

“Wow, besar ya,” ujar Cantika takjub.

“Ya kan, Kak?! Yang putih mirip beruang. Yang abu-abu mirip serigala.” Byana melompat-lompat heboh mendekati pagar. Mengamati Alaskan Malamute dan Chow Chow putih di halaman.

“Eh, Byana, jangan deket-deket! Nanti digigit!” Buru-buru Cantika menarik sepupu kecilnya.

Di saat yang bersamaan deru mesin mobil mendekat ke arah mereka. Berhenti tepat di depan rumah.

Cantika melangkah mundur menggandeng dua bocah perempuan di sebelahnya. Melirik ke sedan biru navy yang tampak tidak asing.

Pintu pengemudi pun terbuka, disusul sosok laki-laki bertubuh tegap yang turun dari sana dengan pakaian santai. Tersenyum cerah kepadanya — tidak. Sepertinya dia tersenyum pada Byana dan Bianca.

“Byan, Caca,” Laki-laki itu bahkan memanggil nama panggilan mereka dengan akrab.

“Kak Bennn!!” Keduanya menghambur mendekati pria yang dipanggil Ben.

Cantika amat terkejut saat itu. Bukan hanya karena penasaran, bagaimana kedua bocah yang bersamanya bisa mengenal pria blasteran yang baru saja turun dari mobil. Cantika tidak mungkin bisa melupakan sosok ini. Sosok yang menyerupai model pria di sampul majalah, yang ditemuinya pagi itu, si tampan maniak.

Detik berikutnya alarm dalam kepala Cantika memberi peringatan untuk segera beranjak pergi dari tempat itu sebelum—

“Lagi jalan-jalan, ya? Mau liat Kenzo sama Lulu?” tanya pria itu pada Byana dan Bianca.

Selagi Cantika memproses semua yang sedang terjadi di depannya, kedua gadis kecil itu menoleh pada Cantika meminta persetujuannya.

“Kak Can, Byan pingin pegang Lulu.”

“Caca juga mau pegang Kenzo.”

Nada membujuk dan sorot mata memelas mereka adalah salah satu kelemahan Cantika. Akan tetapi, dia tidak bisa langsung menyetujuinya. Cantika harus menjaga  Byana dan Bianca dari si mesum ini. “Duh, nanti galak, By.”

“Enggak kok, mereka jinak.”

Suara bariton yang ditangkap oleh indra pendengaran Cantika seakan seperti embusan angin yang membuat tubuhnya merinding. Cantika menggosok-gosokan sebelah telapak tangannya di lengan, berusaha mengusir hawa aneh itu, sebelum dia benar-benar menyadari kalau pria yang dipanggil Ben telah membuka pagar rumahnya. Mengajak Byana dan Bianca memasuki halaman.

Celaka. Dia keduluan.

Lunetha Lu

Baca juga cerita lain yang sudah tamat, Bukan Simpanan CEO. Terima kasih~ story by @lunetha_lu

| Sukai

Bab terkait

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #4 Ulet Keket

    Sumpah, dia merasa risih! Setelah ikut terseret ke halaman rumahnya, Cantika langsung memasang benteng pertahanan penuh. Mengawasi Bianca dan Byana yang sedang bermain di halaman rumah pria asing dengan ekstra ketat supaya lelaki yang dipanggil Ben itu tidak berbuat macam-macam pada mereka. Setelah apa yang ia lihat pagi itu, bisa saja lelaki bernama Ben ini juga seorang ped*fil. Jangan sampai dia tertipu oleh wajah tampan dan suara merdu lelaki itu. Jangan. Byana dan Bianca betah mengelus makhluk berbulu lebat yang terikat. Tampaknya kedua anjing tersebut memang benar jinak. Mereka hanya duduk, menempel-nempel manja, dan menggoyangkan ekor saat Byana bermain-main dengan telinganya. Tiba-tiba saja Cantika merasakan sesuatu. Sejak menjemput anak-anak tadi, dia sempat ingin ke toilet. Tapi harus menundanya karena takut Brian menunggu lama. Waktu pulang, dia malah lupa ke toilet dulu sebelum jalan-jalan dengan Byana dan Bianca. Akibatnya, sekarang dia malah kebelet! ‘Ya ampun, Cantik

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-27
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #5 Mana Mungkin?

    “Kalian kok bisa kenal pemilik doggy tadi?” tanya Cantika pada Byana yang duduk melipat kaki ke belakang di sebelahnya. Mereka ada di kamar Bianca dan Byana, sibuk membereskan buku pelajaran untuk besok. Sore tadi Cantika tidak sempat bertanya karena Byana dan Bianca harus mandi, makan malam bersama maminya, lalu mengerjakan PR. “Kan Byan pernah main sama doggynyaa,” jawab Byan dengan mimik dan nada lucu nan polos. “Kenapa kamu manggil dia ‘Kak'? Dia jauh lebih tua. Kayaknya lebih cocok dipanggil Om sama kamu.” “Katanya panggil Kak Ben aja. Kak Ben itu orangnya baiikk, deh. Udah gitu ganteng kayak artis.” Cantika kontan ternganga. Demi krabby patty, anak sekecil Byana saja bisa bilang dia ganteng?? Tahu dari mana dia? Siapa yang bilang begitu ke Byana yang polos?? “Kata siapa Om itu ganteng?” tanya Cantika memastikan. Dirinya tergelitik untuk mencari tahu. “Emang ganteng kok, Kak!” Tiba-tiba Caca yang sedang memasukkan buku pelajaran ke tas sekolah ikut dalam obrolan. “Mirip pe

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-27
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #6 Pertolongan Kecil

    “Bannya bocor??” Satu tangan Cantika memindahkan ponsel ke telinga sebelahnya. Dia melirik ketiga bocah yang sedang duduk sambil memerhatikannya yang sedang menelepon. “Lama nggak, Pak? ... Ya udah, deh. Tolong kabarin secepatnya, ya? Sebentar lagi ‘kan udah jamnya anak-anak les. ... Oke, makasih, Pak.” Cantika mengembuskan napas panjang setelah memutus sambungan telepon. Dilihatnya jam yang ada sudut atas ponselnya, hampir jam setengah empat. Hari ini waktu kursus Brian, Bianca, dan Byana sama-sama pukul empat sore. Sengaja memilih waktu bersamaan karena masih satu tempat kursus. Dari mal di mana mereka berada butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai ke tempat kursus. Itu pun kalau jalanan tidak padat merayap. Kalau ada kendaraan yang geraknya lambat dan bikin macet, bisa lebih lama lagi. Semoga saja Pak supir bisa menjemput mereka kurang dari lima belas menit. “Kenapa Kak? Bannya bocor?” tanya Brian yang sejak tadi menyimak obrolan Cantika di telepon. Cantika memasukka

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-22
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat    #7 Dibawa Ke Mana?

    Ini sudah yang kedua kalinya Cantika berada di dalam mobil milik Ben. Jujur saja yang pertama dia tidak terlalu ingat dengan mobilnya karena aksi mencengangkan lelaki itu. Dia juga tidak terlalu lama di dalam mobil. Namun kali ini berbeda, karena supir mereka tidak bisa datang menjemput, Cantika terpaksa harus menempuh perjalanan beberapa menit dengannya berduaan. Duduk di sebelahnya dan sadar kalau sesekali lelaki itu meliriknya. Iya, berdua. Brian, Bianca, dan Byana sudah diantar ke tempat les. Cantika tidak mungkin menunggu anak-anak sampai selesai kursus selama satu setengah jam. Jadi, lebih baik dia pulang. Niatnya Cantika mau pulang dengan taksi online, tapi dasar nasib, uang cash di dompet sisa selembar dua puluh ribu dan sepuluh ribuan, uang sakunya di ATM juga sangat menipis. Sehingga keberadaan Ben sejujurnya seperti pertolongan untuknya. Kalau Cantika jadi panggil taksi online tadi, dia harus menunggu kucuran dana lebih dulu untuk ongkos anak-anak. Waktu berangkat, Brian

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-23
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #8 Taruhan

    “Yakin nggak mau makan?” tanya Ben seraya melihat-lihat jajaran kios penjual makanan di area food street. Cantika berjalan mengikutinya tak acuh. “Nggak. Masih kenyang.” “Dessert atau minum?” tawar Ben pada gadis yang masih tampak cemberut. Gadis itu diam sebentar, tampak menimbang-nimbang. “Kenapa? Kakak mau traktir?” tanyanya gamblang. Masalah bayar membayar itu butuh kejelasan, apalagi uang tunai yang dibawanya terbatas. Lagi pula Ben yang mengajaknya, jadi tidak ada salahnya dia bertanya. Ben kemudian mengangguk, tidak terganggu sama sekali dengan pertanyaannya. “Iya, pesan aja.” “Aku mau jus aja kalau gitu.” Setelah berpencar sebentar menuju kios yang menyediakan pesanan mereka, keduanya menempati salah satu meja kosong di sana. Duduk di bawah terpaan angin sore yang masih terasa hangat. Ben memerhatikan gadis berkulit putih di depannya yang sibuk melihat-lihat sekeliling. Rambut panjangnya yang dicat tampak berkilau di bawah matahari. Bulu mata lentik hasil lashlift-nya ma

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-25
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat    #9 Pertanyaan Sensitif

    Ben pulang dengan suasana hati yang baik dan senyum merekah di wajah. Dia kira waktu cutinya ini hanya akan dihabiskan untuk sendirian, melanjutkan pekerjaan lain di rumah, atau ngalor-ngidul tidak jelas. Tetapi ternyata hal menarik ditemukannya sepanjang ia cuti. Kiara, gadis cantik yang masih kuliah, sepuluh tahun lebih muda darinya. Selama mengobrol, bibir penuh bergaris belah dan leher ramping gadis itu tidak luput dari pandangannya. Benar-benar membuatnya bergairah. Gadis itu memang bukan gadis cantik pertama yang dijumpai Ben. Tetapi daya tariknya amat kuat. Ben menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia membuka aplikasi media sosial dan mengetik nama Kiara pada kolom pencarian. Satu per satu foto profil ditelitinya. Terlalu banyak perempuan bernama Kiara. Sayang sekali dia tidak mendapatkan nama lengkap gadis itu. Ben lalu menghela napas kasar dan melempar pelan ponselnya ke meja sesaat sebelum benda pipih itu berbunyi. Dia sudah

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-27
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat    #10 Sugar Baby

    “Lo masih ketemu om-om itu, Lin?” Pertanyaan sensitif dari Cantika mengundang helaan napas lolos dari mulut Olin. Wanita yang pernah tidak naik kelas dua kali akibat daftar kehadirannya di sekolah, mengepalkan sebelah tangan erat. Sangat kontras dengan senyum di wajahnya. “Menurut lo, dari mana gue bisa dapat ini semua kalau bukan dari dia?” ungkap Olin mengangkat sebelah tangannya dengan telapak terbuka. Atmosfir di ruangan Olin seketika berubah pekat. Cantika kira, dengan kesibukan Olin sekarang, dia sudah tidak menemui pria berumur itu lagi. Masalah Olin memang bukan urusan Cantika. Tetapi di lubuk hatinya, dia ingin Olin menjalani hubungan yang normal. Secara fisik, tidak ada yang kurang dari sahabatnya itu. Olin memiliki wajah manis khas Melayu. Kulitnya yang coklat eksotis dan tubuh berisinya membuat gadis itu kelihatan seksi. Meski tidak setinggi Cantika, tetapi Olin tidak tergolong pendek. Secara fisik penampilannya menarik. Secara kepribadian, dia wanita yang menyenangkan

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-01
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #11 Tak Sedekat Itu

    “Jangan,” ujar Miko setelah mendengarkan cerita tentang Cantika. “Kamu masih belum pengalaman menghadapi cowok umur segitu. Menurutku Cantika nggak perlu ikutin kemauannya. Apalagi dengar pertemuan awal kalian yang ... ehem,” Miko berdeham sebelum melanjutkan dengan suaara lembutnya, “anti mainstream.” Garis bibir Cantika melengkung ke bawah, dia tidak begitu suka dianggap belum dewasa. Tapi apa yang dikatakan Miko juga tidak salah. Dia belum pernah berkencan dengan laki-laki yang jauh lebih dewasa darinya. Paling jauh hanya terpaut tiga tahun di atasnya. Cantika menopang wajah dengan sebelah tangan dan berkata, “Kalau aku betulan nggak sengaja ketemu sama cowok itu lagi, gimana? Aku harus bilang apa buat nolak taruhannya?” “Memang kamu berharap ketemu dia lagi?” tanya pria gagah berkulit putih yang sejak tadi mengundang beberapa pasang mata memandangi tubuh atletisnya. Tubuh kekar yang dibalut kaus hitam body fit begitu menggiurkan para kaum hawa. Kalau kalian pernah lihat koko-ko

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-04

Bab terbaru

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   139 Komitmen (END)

    “Kamu tau kan, aku udah kenal sama Pak Dany?” Ben buru-buru menambahkan saat melihat mata kecokelatan Cantika nyaris keluar dari tempatnya. Raut wanita itu bercampur antara ngeri, kaget, dan tak percaya “Karena kerjaan, aku sering pergi meeting sama Om kamu—desain rumahnya, desain kantor dan kantor cabangnya. Pak Dany orang yang ramah dan supel. Beberapa kali kami ketemu di luar jam kerja. Aku dikenalin ke circle teman-teman bisnisnya. Dari situ aku jadi tau, kalau dia pebisnis yang hebat, tapi bukan suami yang baik. Orang-orang yang aku temui itu kurang lebih punya skandal yang mirip atau bahkan lebih parah dari Pak Dany.” Informasi ini terlalu banyak untuk dicerna. Mulut Cantika sampai menganga bingung, merunut penjelasan dari Ben satu persatu. “Kamu pasti merasa canggung setiap ketemu Tante Grace. Karena itu yang aku rasain,” komentar Cantika kemudian. Ben tersenyum tipis sebagai tanda setuju. “Tapi, apa hubungannya sama Olin? Kenapa Om Dany nyuruh kamu ... sama ...” Kalimat C

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   138 Rahasia Terakhir

    “Kamu ingat, pertama kali kita ketemu?” Jemari tangan Ben tenggelam di antara helaian rambut hitam Cantika, menyisirnya lembut. Sementara Cantika menyandarkan kepala di ceruk leher Ben. Mengenang pertemuan awal mereka.Cantika masih berada di kamar hotel tempat Ben menginap. Sekian lama tidak bertemu, ada kesempatan duduk berdua dengan tenang. Rasanya sangat banyak yang ingin dibicarakan.“Mana mungkin lupa? Pertemuan paling absurd dan kacau seumur hidupku.”“Dan paling memalukan dalam sejarahku,” Ben tertawa. “Aku juga nggak tau, kenapa aku bisa segila itu. Kayaknya paling parah selama aku mabuk.”“Apanya yang paling parah? Kayaknya kebiasaan mabuk kamu memang jelek. Kalau bukan karena ada aku sama Ubay, malam itu kamu hampir terguling jatuh dari tangga kantor, nyaris jadi sushi roll. Jangan sampai kamu mabuk di depan orang lain, apa lagi cewek, malu-maluin!”Ben menyeringai, mengangkat dagu Cantika. “Kamu takut aku nyentuh cewek lain?”Selama dua detik Cantika menatap mata biru safi

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   137 Restart

    Butuh waktu bagi Cantika untuk menceritakan semuanya pada Ben. Mulai dari pertengkaran dengan ibunya sebelum pergi, niatnya untuk menggugurkan kandungan yang kemudian dibatalkan, kepergiannya dengan bantuan petunjuk dari Sheril, higga kehidupannya di Sydney.Lalu, kecelakaan yang membuat Cantika mengalami pendarahan terjadi. Awal petaka bagi janinnya. Jika memaksakan untuk tetap mengandung dan melahirkan, kemungkinan lahir dengan fisik dan organ yang cacat adalah 90 persen, sementara hidupnya dipertaruhkan.Alasan mengapa teman-teman di tempat kerjanya begitu ketat menjaga dan melindungi Cantika adalah karena kecelakaan tersebut disebabkan oleh seorang penguntit yang mengikuti Cantika di jalan pulang.Ben amat marah mendengar rangkaian cerita itu. Bukan marah kepada Cantika, marah kepada dirinya yang tidak ada di sana melindungi Cantika dan anak mereka. Marah kepada pria-pria yang mengganggu Cantika.“Karena bukan pertama kalinya ada orang yang terang-terangan nunjukkin ketertarikan m

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   136 Akhir Penyesalan

    “Aku tau kamu masih marah, tapi jangan ambil keputusan impulsif kayak gitu, Can.”Ben mengikuti Cantika keluar dari kedai yang sudah tutup. Melewati selasar toko-toko menuju ke jalan besar. Paving tegel batu terbentang di sepanjang selasar, menguarkan nuansa abu-abu pada lorong itu.Kendati desain setiap toko berbeda, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok sehingga tampak rapi dipandang mata. Tidak ada satu pun sampah di sana. Kebersihannya memanjakan penglihatan.“Iya atau nggak sama sekali?” desak Cantika berhenti melangkah.Ben terdiam dan memejamkan mata erat-erat. Lima menit mungkin cukup untuh menggerakkan hati Cantika. Lima menit mungkin bisa menggoyahkan pilihannya. Tapi ... apakah dia mampu?Cantika sudah terlampau terluka. Saat mereka bertemu, tidak ada lagi binar kerinduan yang pernah dilihatnya. Penyesalan, benci, dan muak mungkin telah menggantikan perasaan itu. Meski kemungkinan untuk membuat Cantika luluh sangatlah kecil, Ben tetap ingin memcoba memperbaiki mereka.“

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   135 Lima Menit Terakhir

    “Maybe it’s too late, tapi aku pengin dengar sendiri dari kamu. Katanya ... kamu hamil. Gimana kabar kamu, gimana kabarnya? I am so sorry, you went through a lot withouth me,” ucap Ben sungguh-sungguh“Kabar? Kamu nanya kabar sekarang??” Nadanya meninggi. Cantika mendengkus sinis. “Jangan bercanda! Ke mana aja kamu selama ini?” Disentaknya tangan Ben kasar.“Aku diusir mamaku. Aku nggak punya tempat pulang. Biarpun Olin dan Miko rela nampung aku, tapi nggak ada satu hari pun tanpa rasa bersalah setiap bertatapan sama Miko. Aku juga nggak bisa libatin Olin di antara masalahku sama Miko. Menurut kamu, gimana kabarku? Apa aku bisa lebih baik-baik aja dari pada sekarang?” Cantika menunjukkan senyum getirnya.Ben berdiri dari bangkunya, menatap Cantika dalam. “Aku benar-benar menyesal. Harusnya saat itu aku di samping kamu. Aku terlalu egois dan berengsek karena cuma mikirin diriku sendiri.”Entah sudah berapa ribu maaf yang dilontarkan Ben, rasanya Cantika sudah muak. Pada akhirnya mereka

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   134 Too Late

    Nada sambung telepon yang menyambut di seberang membuatnya tak sabar. Ben terus mengentak-entakan kaki di lantai. Notifikasi pesan dari Theo yang sejak pagi diabaikannya berubah menjadi suatu urgensi ketika Ben membukanya malam ini.Pesan yang dikirim Theo belakangan ini sering tidak penting dan absurd. Theo melaporkan segala kegiatannya pada Ben setiap perjalanan kerja ke luar kantor membuat Ben kerap kali jengah dan mengabaikannya.Perkara hewan liar yang ditemui Theo di jalan, barang incarannya, sarapannya, makan siangnya, makan malamnya, tempat Theo pergi, kadang juga foto selfie! Orang lain yang melihatnya mungkin akan mengira Theo abnormal. Bahkan Ben sudah lebih dulu berpikir demikian.Namun dari sekian ribu pesan yang dikirim Theo, baru kali ini ada pesan yang berbobot. Foto seseorang yang diambil Theo berlatar kedai kopi. Itu sebabnya ketika panggilannya dijawab, Ben tidak membuang waktu.“Di mana lo ambil foto itu?” tanya Ben berusaha tetap datar.“Gue kan udah bilang gue ke

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   133 Sydney

    Seorang perempuan duduk dengan kaki bersilang di sebuah toko kue. Rambut panjangnya melewati bahu, lurus, dan terkuncir rapi. Kaus lengan panjang bergaris dan celana panjang linennya tampak sangat nyaman. Sesekali perempuan itu melirik keluar jendela kaca di sebelahnya sambil mendengarkan orang yang mengoceh dari airpods hitam yang menyumbat satu telinganya. “Gue nggak habis pikir ya, sama tuh anak. Dia anggap apa gue selama ini? Udah setahun, tapi masih nggak ada kabar sama sekali. Email atau chat pun nggak. Apanya yang jangan dicari? Apanya yang tenang aja? Kalo begini terus, dia bisa bikin gue darah tinggi! Awas aja kalau dia pulang sambil cengengesan atau pasang tampang centilnya kayak biasa, gue jitakin itu anak!” “Sabar, Lin. Sabar ...” Seorang perempuan berseragam toko membawakan segelas minuman ke mejanya. Ada gelas latte kosong dan sepiring pastry yang hanya tersisa sesuap lagi di hadapan perempuan berkuncir itu. “Gimana bisa sabar?! Ini bukan seminggu atau sebulan lagi, ud

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   132 Jangan Dicari

    Ben bukan jenis orang yang sering mengakses media sosial. Kendati pernah membuat akun insta, dia tidak menggemari media sosial yang populer di kalangan masyarakat luas itu. Selama lebih dari sepuluh tahun, foto yang bertahan di akunnya hanya lima.Sebelumnya Ben pernah mengisi feed-nya dengan beberapa foto Viona dan foto mereka berdua. Sekian tahun setelah putus, Ben lalu menghapusnya. Lebih tepatnya, sesaat setelah bertemu Cantika. Karena Ben baru mulai mengakses media sosialnya kembali saat itu.Ben juga tidak tertarik menggulir beranda insta-nya untuk melihat unggahan orang-orang. Namun ketika mengenal Cantika, ia mulai menjelajahi akun miliknya yang sudah berdebu itu.Sudah satu jam sejak Ben memeriksa profil Cantika. Tidak ada unggahan terbaru di feed maupun story-nya. Perempuan itu menghilang lagi tanpa jejak. Ben membaca kolom-kolom komentar, berharap ada tanda yang bisa membantunya. Namun usahanya nihil. Cantika hanya membalas komentar-komentar di postingannya sebagai bentuk b

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   131 Bertamu

    Belum ada satu pun dari mereka yang berani bicara. Tiga orang yang sudah dewasa itu mati kutu di depan ibunya Cantika. Aura kelam Arita mengintimidasi. Mereka hanya diam memerhatikan ketika Arita membuka kunci pagar rumahnya.“Kalian mau terus di depan sana?”Olin menelan ludah susah payah dan menoleh pada Miko dan Ben bergantian. Dua pria itu juga menatapnya, menunggu petunjuk. Begitu Olin mengangguk pelan, mereka masuk ke rumah mengekori Arita.“Saya ingat kamu,” kata Arita pada Olin meski tidak menyebut nama. “Tapi kenapa kamu datang dengan suami Cantika?”Rumah mungil itu terasa seperti pengadilan untuk Olin. Jantungnya berpacu cepat saking takut dan gugupnya. Olin memang sudah terbiasa mengabaikan cemooh orang lain terhadap dirinya. Tetapi, ia masih tidak terbiasa dengan nada tajam dan sorot menuding Arita.Menyadari perubahan sikap Olin, Miko berusaha menggantikannya menjawab. “Umm ... begini—”Namun belum selesai kalimat Miko, Arita memotong. “Kamu teman perempuan ini?” Pasti y

DMCA.com Protection Status