Share

#5 Mana Mungkin?

Author: Lunetha Lu
last update Last Updated: 2022-05-27 15:14:47

“Kalian kok bisa kenal pemilik doggy tadi?” tanya Cantika pada Byana yang duduk melipat kaki ke belakang di sebelahnya.

Mereka ada di kamar Bianca dan Byana, sibuk membereskan buku pelajaran untuk besok. Sore tadi Cantika tidak sempat bertanya karena Byana dan Bianca harus mandi, makan malam bersama maminya, lalu mengerjakan PR.

“Kan Byan pernah main sama doggynyaa,” jawab Byan dengan mimik dan nada lucu nan polos.

“Kenapa kamu manggil dia ‘Kak'? Dia jauh lebih tua. Kayaknya lebih cocok dipanggil Om sama kamu.”

“Katanya panggil Kak Ben aja. Kak Ben itu orangnya baiikk, deh. Udah gitu ganteng kayak artis.”

Cantika kontan ternganga.

Demi krabby patty, anak sekecil Byana saja bisa bilang dia ganteng?? Tahu dari mana dia? Siapa yang bilang begitu ke Byana yang polos??

“Kata siapa Om itu ganteng?” tanya Cantika memastikan. Dirinya tergelitik untuk mencari tahu.

“Emang ganteng kok, Kak!” Tiba-tiba Caca yang sedang memasukkan buku pelajaran ke tas sekolah ikut dalam obrolan. “Mirip pemeran Guardians of The Galaxy, versi mudanya.”

“Byan mau married sama laki-laki kayak Kak Ben kalau sudah besar,” ucap Byana sambil mesem-mesem imut.

“Kamu masih kecil, tau! Yang married duluan ya, aku!” Seketika mulai lagi perdebatan keduanya. Tiada hari tanpa bertengkar. Apalagi Bianca dan Brian, kalau sudah bertengkar bisa saling jambak dan tabok-tabokan. Kadang Cantika sampai kewalahan melerai mereka.

Tapi bukan itu masalahnya. Memang dua bocah perempuan ini paham apa itu married? Apa itu menikah?

“Kalian memang tau, married itu apa?” Sepasang alis Cantika bertaut penasaran.

“Tau dong, Kak!” sahut Bianca yakin. Anak itu tampaknya sudah selesai merapikan buku. Dia berdiri di depan Cantika dan menjawab, “Kayak Papi sama Mami. Habis pesta pernikahan, hidup bersama, tinggal bersama, terus punya anak!”

Ya Tuhan ... Ya Gusti ... Ya Lord ...’

Cantika jadi sakit kepala memikirkan anak-anak yang sudah berpikir dewasa sebelum waktunya. Waktu seumuran Bianca dulu, dia saja belum benar-benar mengerti apa itu pacaran. Hebat benar Bianca bisa tahu sampai soal punya anak. Mungkin kedengaran lucu kalau anak-anak yang polos punya impian seperti ini.

Jika calon suami impiannya aktor, penyanyi, atau teman sebaya, mungkin Cantika hanya akan menanggapinya sambil bergurau. Tapi ini Ben, loh! Ben! Pria mesum, sinting, sosiopat, predator maniak yang tertangkap melepaskan hasrat di dalam roda empatnya.

‘Wahai adik-adikku yang polos, jangan sampai muka ganteng pria bernama Ben itu meracuni pikiran kalian yang masih suci seperti kertas putih.’ Cantika membatin prihatin.

“Oh iya, Kak Can!” Bianca meraih tangannya seraya mengayun-ayunkan kedua tangan Cantika.

“Kenapa, Sayang?”

“Besok kita mau main ke T*mezone sama teman-teman sebelum les, Kak Brian juga. Tapi harus ditemenin Kak Can biar diizinin Mami. Kak Can ikut yaaa?”

“Hmm ... gimana yaa?” Cantika pura-pura berpikir.

“Ayo dong, Kak, sebentaar ajaaa.”

“Hmm ...” Kembali Cantika bergumam. Matanya melirik ke arah lain sambil tersenyum. “Oke, deh!” Serunya kemudian. Membuat cengiran lebar terbentuk di bibir Bianca sebelum dia dan Byana menjerit kegirangan.

***

Theo memandang lelaki di sebelahnya dengan kening berkerut. Sudah sejak dia datang tadi, Ben melamun dengan mulut mencebik dan bertingkah aneh. Berjalan sambil menyandarkan kepala dan sebelah sisi tubuhnya ke dinding, seperti orang yang tidak memiliki tulang.

“Kenapa lo?” Theo memilih mengambil sendiri minuman dari dalam lemari es ketimbang menunggu Ben yang bergerak mengambilkannya.

Terlalu lambat.

Kalau menunggu Ben yang sedang dalam mode gerak seperti siput begitu, Theo keburu dehidrasi. Satu jam mengalami macet-macetan di jalan usai bertemu klien membuatnya kehausan tanpa air di mobil.

“Baru kali ini,” gumam Ben dengan raut ditekuk. Bersandar miring pada lemari kabinet dapur di sebelahnya.

Theo membuka lemari es, mengambil dua kaleng soda dari sana. “Apa?” Diletakkannya satu kaleng di atas pantry, sedang yang satu lagi masih dipegangnya.

“Baru kali ini ada yang bilang begitu.”

Sembari menarik penutup kaleng yang ada dalam genggaman, Theo bertanya datar, “Bilang apa?”

“Katanya punya gue nggak ada apa-apanya, ulet keket.”

Minuman soda yang baru saja diteguk Theo segera menyembur keluar dari mulut. Pria yang merupakan sahabat Ben itu tidak bisa menahan untuk tidak terbahak. Terlalu geli sampai rasanya tertawa saja tak cukup. Saking puasnya Theo tergelak, dia sampai harus memegangi perutnya yang sakit akibat tertawa.

“Dasar jorok! Diam lo!”

Ben tahu, kalau waktu itu dia sedikit kelewatan bercanda. Tapi, hinaan yang didapatnya lebih menyelekit dan berhasil mengacak-acak harga dirinya. Sepanjang sejarah, belum pernah ada perempuan yang mengatakan milik dia tidak ada apa-apanya. Belum pernah! Sama sekali.

“Bahahaha ... ulet keket!” Theo bahkan belum bisa berhenti tertawa saat lanjut bertanya. “Unyu dong? Mini, imut, dan menggemaskan.”

Ben berdecak sebal dan melempar kaleng soda di pantry ke arah Theo—yang langsung ditangkap gesit oleh lelaki itu. Kalau saja Rubic Design Building—usaha yang dirintis mereka—bukan dikelola oleh Theo sekarang, pasti sudah Ben buat babak belur karena berani menertawakannya.

Ben merupakan Founder, sementara Theo adalah Co-Founder dari Rubic Design Building, perusahaan startup yang bergerak di bidang arsiterktur dan interior. Awalnya Ben tidak sampai kepikiran untuk mendirikan kantor. Mengingat ayahnya adalah Direktur di Asia dari industri furnitur terbesar yang mendunia dan pemilik perusahaan properti di Indonesia, serta kakaknya yang merupakan owner dari perusahaan smart living system, paling-paling Ben hanya berakhir membantu mereka.

Setelah lulus kuliah di London dan kembali ke Indonesia dengan Theo, dia mengajak Theo untuk bekerja sama menawarkan jasa desain arsitektur dan interior. Semuanya dimulai kecil-kecilan, bisa dibilang sebagai pengisi waktu luang.

Namun lambat laun, karena banyaknya permintaan dari para kenalan, mereka tidak sanggup lagi hanya menangani berdua. Ben mulai merekrut pekerja lepas, hingga akhirnya mereka menyewa tempat untuk kantor sendiri, dan terbentuklah Rubic Design Building. Hasilnya? Tentu saja Ben jadi pusing mengurus banyak hal.

“Siapa sih yang bilang? Siapa?” tanya Theo, masih menyisakan tawa.

“Lo ingat klien kita Pak Dany sama Bu Grace?”

“Yang rumahnya dekat sini?” Pertanyaan Theo dijawab Ben dengan anggukan. “Apa hubungannya sama mereka?”

“Cewek yang gue ketemu pagi-pagi itu, anaknya.” Setelah menjeda sebentar kalimatnya, Ben menambahkan, “Dia yang ngatain gue.”

Theo kembali tertawa sekencang-kencangnya, namun tak lama kemudian tawanya segera lenyap. “Tunggu,” katanya, mengacungkan sebelah tangan. “Anaknya Pak Dany yang cewek masih SD, woi! Lo ped*fil dong!”

“Yang paling besar, sialan!”

“Paling besar? Si Brian? Cowok, anjir! Selama ini lo bengkok?!”

“Bukannn, ada kakaknya lagi.”

“Memang ada? Seingat gue anaknya tiga, paling besar cowok, kayaknya masih SMP. Kalau ada kakaknya lagi, berarti lo kepincut anak SMA? Anak Sultan mah, beda seleranya.”

“Nggak, nggak mungkin masih SMA. Body udah jadi gitu, paling nggak udah dua puluhan umurnya. Lagian auranya bukan anak sekolahan.”

“Lah, Pak Dany sama Bu Grace aja rasanya nggak beda jauh sama kakak lo. Masa udah punya anak umur dua puluhan?”

Ben terpaku di tempat, berpikir sejenak dan mengolah semua informasi di kepala. Benar juga. Dany, kliennya, masih terlalu muda untuk punya anak sebesar itu. Bisa jadi dia bukan kakaknya Byana dan Bianca. Lantas, siapa sebenarnya gadis cantik itu?

“Apa saudaranya?” gumam Ben, lebih pada dirinya sendiri.

“Atau pembantu?” celetuk Theo yang langsung membuat Ben meliriknya tajam.

“Masa iya—”

“Jangan salah, banyak asisten rumah tangga sekarang cakep-cakep. Makanya banyak berita suami selingkuh sama ART.”

“Lo kebanyakan baca berita emak-emak kayaknya. Apa kebanyakan baca novel online?”

Masalahnya, gadis yang dilihat Ben itu benar-benar cantik tanpa celah. Kulit putih glowing, tampak terawat. Kalau dibilang model skincare, semua orang pasti akan lebih percaya. Rambutnya bahkan dicat ballayage dengan warna yang tidak terlihat murahan. Ditambah kaus berlabel GU*SS asli yang kenakannya. Penampilan dari atas sampai bawah sebegitu glamor.

Mana mungkin dia seorang ... pengasuh anak?

Lunetha Lu

Suka cerita ini? Beri rating dan tinggalkan komentar kamu ya :)

| Like

Related chapters

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #6 Pertolongan Kecil

    “Bannya bocor??” Satu tangan Cantika memindahkan ponsel ke telinga sebelahnya. Dia melirik ketiga bocah yang sedang duduk sambil memerhatikannya yang sedang menelepon. “Lama nggak, Pak? ... Ya udah, deh. Tolong kabarin secepatnya, ya? Sebentar lagi ‘kan udah jamnya anak-anak les. ... Oke, makasih, Pak.” Cantika mengembuskan napas panjang setelah memutus sambungan telepon. Dilihatnya jam yang ada sudut atas ponselnya, hampir jam setengah empat. Hari ini waktu kursus Brian, Bianca, dan Byana sama-sama pukul empat sore. Sengaja memilih waktu bersamaan karena masih satu tempat kursus. Dari mal di mana mereka berada butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai ke tempat kursus. Itu pun kalau jalanan tidak padat merayap. Kalau ada kendaraan yang geraknya lambat dan bikin macet, bisa lebih lama lagi. Semoga saja Pak supir bisa menjemput mereka kurang dari lima belas menit. “Kenapa Kak? Bannya bocor?” tanya Brian yang sejak tadi menyimak obrolan Cantika di telepon. Cantika memasukka

    Last Updated : 2022-06-22
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat    #7 Dibawa Ke Mana?

    Ini sudah yang kedua kalinya Cantika berada di dalam mobil milik Ben. Jujur saja yang pertama dia tidak terlalu ingat dengan mobilnya karena aksi mencengangkan lelaki itu. Dia juga tidak terlalu lama di dalam mobil. Namun kali ini berbeda, karena supir mereka tidak bisa datang menjemput, Cantika terpaksa harus menempuh perjalanan beberapa menit dengannya berduaan. Duduk di sebelahnya dan sadar kalau sesekali lelaki itu meliriknya. Iya, berdua. Brian, Bianca, dan Byana sudah diantar ke tempat les. Cantika tidak mungkin menunggu anak-anak sampai selesai kursus selama satu setengah jam. Jadi, lebih baik dia pulang. Niatnya Cantika mau pulang dengan taksi online, tapi dasar nasib, uang cash di dompet sisa selembar dua puluh ribu dan sepuluh ribuan, uang sakunya di ATM juga sangat menipis. Sehingga keberadaan Ben sejujurnya seperti pertolongan untuknya. Kalau Cantika jadi panggil taksi online tadi, dia harus menunggu kucuran dana lebih dulu untuk ongkos anak-anak. Waktu berangkat, Brian

    Last Updated : 2022-06-23
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #8 Taruhan

    “Yakin nggak mau makan?” tanya Ben seraya melihat-lihat jajaran kios penjual makanan di area food street. Cantika berjalan mengikutinya tak acuh. “Nggak. Masih kenyang.” “Dessert atau minum?” tawar Ben pada gadis yang masih tampak cemberut. Gadis itu diam sebentar, tampak menimbang-nimbang. “Kenapa? Kakak mau traktir?” tanyanya gamblang. Masalah bayar membayar itu butuh kejelasan, apalagi uang tunai yang dibawanya terbatas. Lagi pula Ben yang mengajaknya, jadi tidak ada salahnya dia bertanya. Ben kemudian mengangguk, tidak terganggu sama sekali dengan pertanyaannya. “Iya, pesan aja.” “Aku mau jus aja kalau gitu.” Setelah berpencar sebentar menuju kios yang menyediakan pesanan mereka, keduanya menempati salah satu meja kosong di sana. Duduk di bawah terpaan angin sore yang masih terasa hangat. Ben memerhatikan gadis berkulit putih di depannya yang sibuk melihat-lihat sekeliling. Rambut panjangnya yang dicat tampak berkilau di bawah matahari. Bulu mata lentik hasil lashlift-nya ma

    Last Updated : 2022-06-25
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat    #9 Pertanyaan Sensitif

    Ben pulang dengan suasana hati yang baik dan senyum merekah di wajah. Dia kira waktu cutinya ini hanya akan dihabiskan untuk sendirian, melanjutkan pekerjaan lain di rumah, atau ngalor-ngidul tidak jelas. Tetapi ternyata hal menarik ditemukannya sepanjang ia cuti. Kiara, gadis cantik yang masih kuliah, sepuluh tahun lebih muda darinya. Selama mengobrol, bibir penuh bergaris belah dan leher ramping gadis itu tidak luput dari pandangannya. Benar-benar membuatnya bergairah. Gadis itu memang bukan gadis cantik pertama yang dijumpai Ben. Tetapi daya tariknya amat kuat. Ben menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia membuka aplikasi media sosial dan mengetik nama Kiara pada kolom pencarian. Satu per satu foto profil ditelitinya. Terlalu banyak perempuan bernama Kiara. Sayang sekali dia tidak mendapatkan nama lengkap gadis itu. Ben lalu menghela napas kasar dan melempar pelan ponselnya ke meja sesaat sebelum benda pipih itu berbunyi. Dia sudah

    Last Updated : 2022-06-27
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat    #10 Sugar Baby

    “Lo masih ketemu om-om itu, Lin?” Pertanyaan sensitif dari Cantika mengundang helaan napas lolos dari mulut Olin. Wanita yang pernah tidak naik kelas dua kali akibat daftar kehadirannya di sekolah, mengepalkan sebelah tangan erat. Sangat kontras dengan senyum di wajahnya. “Menurut lo, dari mana gue bisa dapat ini semua kalau bukan dari dia?” ungkap Olin mengangkat sebelah tangannya dengan telapak terbuka. Atmosfir di ruangan Olin seketika berubah pekat. Cantika kira, dengan kesibukan Olin sekarang, dia sudah tidak menemui pria berumur itu lagi. Masalah Olin memang bukan urusan Cantika. Tetapi di lubuk hatinya, dia ingin Olin menjalani hubungan yang normal. Secara fisik, tidak ada yang kurang dari sahabatnya itu. Olin memiliki wajah manis khas Melayu. Kulitnya yang coklat eksotis dan tubuh berisinya membuat gadis itu kelihatan seksi. Meski tidak setinggi Cantika, tetapi Olin tidak tergolong pendek. Secara fisik penampilannya menarik. Secara kepribadian, dia wanita yang menyenangkan

    Last Updated : 2022-07-01
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #11 Tak Sedekat Itu

    “Jangan,” ujar Miko setelah mendengarkan cerita tentang Cantika. “Kamu masih belum pengalaman menghadapi cowok umur segitu. Menurutku Cantika nggak perlu ikutin kemauannya. Apalagi dengar pertemuan awal kalian yang ... ehem,” Miko berdeham sebelum melanjutkan dengan suaara lembutnya, “anti mainstream.” Garis bibir Cantika melengkung ke bawah, dia tidak begitu suka dianggap belum dewasa. Tapi apa yang dikatakan Miko juga tidak salah. Dia belum pernah berkencan dengan laki-laki yang jauh lebih dewasa darinya. Paling jauh hanya terpaut tiga tahun di atasnya. Cantika menopang wajah dengan sebelah tangan dan berkata, “Kalau aku betulan nggak sengaja ketemu sama cowok itu lagi, gimana? Aku harus bilang apa buat nolak taruhannya?” “Memang kamu berharap ketemu dia lagi?” tanya pria gagah berkulit putih yang sejak tadi mengundang beberapa pasang mata memandangi tubuh atletisnya. Tubuh kekar yang dibalut kaus hitam body fit begitu menggiurkan para kaum hawa. Kalau kalian pernah lihat koko-ko

    Last Updated : 2022-07-04
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #12 Sisi Gelap

    Cantika melihat lampu di halaman rumahnya sudah terang. Dia terdiam sejenak saat tiba di depan pintu, mengatur napas sebelum meraih gagang pintu. Masuk rumah sama gugupnya dengan masuk ruang interview.“Dari mana aja kamu?” Suara dingin dan ketus segera menyambut kedatangannya.“Mama tumben udah pulang.” Cantika tidak menjawab pertanyaan ibunya, hendak melangkah ke kamar.“Kamu yang pulang kemalaman. Nggak ada di rumah, nggak jemput Caca, kamu ngelayap ke mana?” tuding Arita, sang ibu.Gadis cantik itu menghentikan langkah dan menjawab, “Cuma ketemu Olin sebentar.”“Ada atau nggak ada tugas kuliah, kamu wajib ke rumah Om Dany dan Tante Grace. Bantu mereka sebisa kamu. Ingat, kuliah kamu dibayarin.”“Kata Tante Grace lagi ada supir, aku enggak perlu jemput anak-anak hari ini. Jadi aku ke tempat Olin sebentar, apa salahnya? Lagian dari Olin kadang aku dapat kerjaan. Rambutku dicat begini juga dibayar, bukan cuma gaya-gayaan.”Cantika tidak bohong. Olin mengenalkannya pada salah satu tem

    Last Updated : 2022-08-14
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #13 Mau Kamu

    “Astaga! Apa itu?!” Cantika terkejut ketika bumper mobil bagian belakangnya membentur sesuatu. Dengan panik dia menoleh ke kaca spion di depan. Cantika pikir siang itu jalanan kompleks sepi. Tapi saat dia mundur untuk putar balik di tikungan, rupanya ada mobil lain yang melaju di belakangnya. Karena terburu-buru, Cantika tidak memerhatikan sekeliling. Akibatnya, dia malah menabrak mobil orang. “Aduh, gimana ini?! Nggak sadar ada mobil di belakang, malah nabrak.” Dengan panik, dia menengok ke belakang dari bangkunya. “BMW pula! Kena dimaki nih, bisa-bisa.” Mobil itu bukan BMW seharga ratusan juta yang bisa dibeli sejuta umat. Melainkan jenis BMW kelas atas yang harganya menyentuh bilangan miliar. Bagaimana Cantika tidak ketar-ketir? Ketika menyadari mobil tersebut adalah sedan yang di kenalnya, Cantika merasa secuil bebannya terangkat. Paling tidak dia bisa menunduk minta maaf dan bernegosiasi. Gadis itu kemudian memberanikan diri turun dari mobil, menghampiri mobil di belakangnya.

    Last Updated : 2022-08-15

Latest chapter

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   139 Komitmen (END)

    “Kamu tau kan, aku udah kenal sama Pak Dany?” Ben buru-buru menambahkan saat melihat mata kecokelatan Cantika nyaris keluar dari tempatnya. Raut wanita itu bercampur antara ngeri, kaget, dan tak percaya “Karena kerjaan, aku sering pergi meeting sama Om kamu—desain rumahnya, desain kantor dan kantor cabangnya. Pak Dany orang yang ramah dan supel. Beberapa kali kami ketemu di luar jam kerja. Aku dikenalin ke circle teman-teman bisnisnya. Dari situ aku jadi tau, kalau dia pebisnis yang hebat, tapi bukan suami yang baik. Orang-orang yang aku temui itu kurang lebih punya skandal yang mirip atau bahkan lebih parah dari Pak Dany.” Informasi ini terlalu banyak untuk dicerna. Mulut Cantika sampai menganga bingung, merunut penjelasan dari Ben satu persatu. “Kamu pasti merasa canggung setiap ketemu Tante Grace. Karena itu yang aku rasain,” komentar Cantika kemudian. Ben tersenyum tipis sebagai tanda setuju. “Tapi, apa hubungannya sama Olin? Kenapa Om Dany nyuruh kamu ... sama ...” Kalimat C

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   138 Rahasia Terakhir

    “Kamu ingat, pertama kali kita ketemu?” Jemari tangan Ben tenggelam di antara helaian rambut hitam Cantika, menyisirnya lembut. Sementara Cantika menyandarkan kepala di ceruk leher Ben. Mengenang pertemuan awal mereka.Cantika masih berada di kamar hotel tempat Ben menginap. Sekian lama tidak bertemu, ada kesempatan duduk berdua dengan tenang. Rasanya sangat banyak yang ingin dibicarakan.“Mana mungkin lupa? Pertemuan paling absurd dan kacau seumur hidupku.”“Dan paling memalukan dalam sejarahku,” Ben tertawa. “Aku juga nggak tau, kenapa aku bisa segila itu. Kayaknya paling parah selama aku mabuk.”“Apanya yang paling parah? Kayaknya kebiasaan mabuk kamu memang jelek. Kalau bukan karena ada aku sama Ubay, malam itu kamu hampir terguling jatuh dari tangga kantor, nyaris jadi sushi roll. Jangan sampai kamu mabuk di depan orang lain, apa lagi cewek, malu-maluin!”Ben menyeringai, mengangkat dagu Cantika. “Kamu takut aku nyentuh cewek lain?”Selama dua detik Cantika menatap mata biru safi

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   137 Restart

    Butuh waktu bagi Cantika untuk menceritakan semuanya pada Ben. Mulai dari pertengkaran dengan ibunya sebelum pergi, niatnya untuk menggugurkan kandungan yang kemudian dibatalkan, kepergiannya dengan bantuan petunjuk dari Sheril, higga kehidupannya di Sydney.Lalu, kecelakaan yang membuat Cantika mengalami pendarahan terjadi. Awal petaka bagi janinnya. Jika memaksakan untuk tetap mengandung dan melahirkan, kemungkinan lahir dengan fisik dan organ yang cacat adalah 90 persen, sementara hidupnya dipertaruhkan.Alasan mengapa teman-teman di tempat kerjanya begitu ketat menjaga dan melindungi Cantika adalah karena kecelakaan tersebut disebabkan oleh seorang penguntit yang mengikuti Cantika di jalan pulang.Ben amat marah mendengar rangkaian cerita itu. Bukan marah kepada Cantika, marah kepada dirinya yang tidak ada di sana melindungi Cantika dan anak mereka. Marah kepada pria-pria yang mengganggu Cantika.“Karena bukan pertama kalinya ada orang yang terang-terangan nunjukkin ketertarikan m

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   136 Akhir Penyesalan

    “Aku tau kamu masih marah, tapi jangan ambil keputusan impulsif kayak gitu, Can.”Ben mengikuti Cantika keluar dari kedai yang sudah tutup. Melewati selasar toko-toko menuju ke jalan besar. Paving tegel batu terbentang di sepanjang selasar, menguarkan nuansa abu-abu pada lorong itu.Kendati desain setiap toko berbeda, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok sehingga tampak rapi dipandang mata. Tidak ada satu pun sampah di sana. Kebersihannya memanjakan penglihatan.“Iya atau nggak sama sekali?” desak Cantika berhenti melangkah.Ben terdiam dan memejamkan mata erat-erat. Lima menit mungkin cukup untuh menggerakkan hati Cantika. Lima menit mungkin bisa menggoyahkan pilihannya. Tapi ... apakah dia mampu?Cantika sudah terlampau terluka. Saat mereka bertemu, tidak ada lagi binar kerinduan yang pernah dilihatnya. Penyesalan, benci, dan muak mungkin telah menggantikan perasaan itu. Meski kemungkinan untuk membuat Cantika luluh sangatlah kecil, Ben tetap ingin memcoba memperbaiki mereka.“

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   135 Lima Menit Terakhir

    “Maybe it’s too late, tapi aku pengin dengar sendiri dari kamu. Katanya ... kamu hamil. Gimana kabar kamu, gimana kabarnya? I am so sorry, you went through a lot withouth me,” ucap Ben sungguh-sungguh“Kabar? Kamu nanya kabar sekarang??” Nadanya meninggi. Cantika mendengkus sinis. “Jangan bercanda! Ke mana aja kamu selama ini?” Disentaknya tangan Ben kasar.“Aku diusir mamaku. Aku nggak punya tempat pulang. Biarpun Olin dan Miko rela nampung aku, tapi nggak ada satu hari pun tanpa rasa bersalah setiap bertatapan sama Miko. Aku juga nggak bisa libatin Olin di antara masalahku sama Miko. Menurut kamu, gimana kabarku? Apa aku bisa lebih baik-baik aja dari pada sekarang?” Cantika menunjukkan senyum getirnya.Ben berdiri dari bangkunya, menatap Cantika dalam. “Aku benar-benar menyesal. Harusnya saat itu aku di samping kamu. Aku terlalu egois dan berengsek karena cuma mikirin diriku sendiri.”Entah sudah berapa ribu maaf yang dilontarkan Ben, rasanya Cantika sudah muak. Pada akhirnya mereka

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   134 Too Late

    Nada sambung telepon yang menyambut di seberang membuatnya tak sabar. Ben terus mengentak-entakan kaki di lantai. Notifikasi pesan dari Theo yang sejak pagi diabaikannya berubah menjadi suatu urgensi ketika Ben membukanya malam ini.Pesan yang dikirim Theo belakangan ini sering tidak penting dan absurd. Theo melaporkan segala kegiatannya pada Ben setiap perjalanan kerja ke luar kantor membuat Ben kerap kali jengah dan mengabaikannya.Perkara hewan liar yang ditemui Theo di jalan, barang incarannya, sarapannya, makan siangnya, makan malamnya, tempat Theo pergi, kadang juga foto selfie! Orang lain yang melihatnya mungkin akan mengira Theo abnormal. Bahkan Ben sudah lebih dulu berpikir demikian.Namun dari sekian ribu pesan yang dikirim Theo, baru kali ini ada pesan yang berbobot. Foto seseorang yang diambil Theo berlatar kedai kopi. Itu sebabnya ketika panggilannya dijawab, Ben tidak membuang waktu.“Di mana lo ambil foto itu?” tanya Ben berusaha tetap datar.“Gue kan udah bilang gue ke

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   133 Sydney

    Seorang perempuan duduk dengan kaki bersilang di sebuah toko kue. Rambut panjangnya melewati bahu, lurus, dan terkuncir rapi. Kaus lengan panjang bergaris dan celana panjang linennya tampak sangat nyaman. Sesekali perempuan itu melirik keluar jendela kaca di sebelahnya sambil mendengarkan orang yang mengoceh dari airpods hitam yang menyumbat satu telinganya. “Gue nggak habis pikir ya, sama tuh anak. Dia anggap apa gue selama ini? Udah setahun, tapi masih nggak ada kabar sama sekali. Email atau chat pun nggak. Apanya yang jangan dicari? Apanya yang tenang aja? Kalo begini terus, dia bisa bikin gue darah tinggi! Awas aja kalau dia pulang sambil cengengesan atau pasang tampang centilnya kayak biasa, gue jitakin itu anak!” “Sabar, Lin. Sabar ...” Seorang perempuan berseragam toko membawakan segelas minuman ke mejanya. Ada gelas latte kosong dan sepiring pastry yang hanya tersisa sesuap lagi di hadapan perempuan berkuncir itu. “Gimana bisa sabar?! Ini bukan seminggu atau sebulan lagi, ud

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   132 Jangan Dicari

    Ben bukan jenis orang yang sering mengakses media sosial. Kendati pernah membuat akun insta, dia tidak menggemari media sosial yang populer di kalangan masyarakat luas itu. Selama lebih dari sepuluh tahun, foto yang bertahan di akunnya hanya lima.Sebelumnya Ben pernah mengisi feed-nya dengan beberapa foto Viona dan foto mereka berdua. Sekian tahun setelah putus, Ben lalu menghapusnya. Lebih tepatnya, sesaat setelah bertemu Cantika. Karena Ben baru mulai mengakses media sosialnya kembali saat itu.Ben juga tidak tertarik menggulir beranda insta-nya untuk melihat unggahan orang-orang. Namun ketika mengenal Cantika, ia mulai menjelajahi akun miliknya yang sudah berdebu itu.Sudah satu jam sejak Ben memeriksa profil Cantika. Tidak ada unggahan terbaru di feed maupun story-nya. Perempuan itu menghilang lagi tanpa jejak. Ben membaca kolom-kolom komentar, berharap ada tanda yang bisa membantunya. Namun usahanya nihil. Cantika hanya membalas komentar-komentar di postingannya sebagai bentuk b

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   131 Bertamu

    Belum ada satu pun dari mereka yang berani bicara. Tiga orang yang sudah dewasa itu mati kutu di depan ibunya Cantika. Aura kelam Arita mengintimidasi. Mereka hanya diam memerhatikan ketika Arita membuka kunci pagar rumahnya.“Kalian mau terus di depan sana?”Olin menelan ludah susah payah dan menoleh pada Miko dan Ben bergantian. Dua pria itu juga menatapnya, menunggu petunjuk. Begitu Olin mengangguk pelan, mereka masuk ke rumah mengekori Arita.“Saya ingat kamu,” kata Arita pada Olin meski tidak menyebut nama. “Tapi kenapa kamu datang dengan suami Cantika?”Rumah mungil itu terasa seperti pengadilan untuk Olin. Jantungnya berpacu cepat saking takut dan gugupnya. Olin memang sudah terbiasa mengabaikan cemooh orang lain terhadap dirinya. Tetapi, ia masih tidak terbiasa dengan nada tajam dan sorot menuding Arita.Menyadari perubahan sikap Olin, Miko berusaha menggantikannya menjawab. “Umm ... begini—”Namun belum selesai kalimat Miko, Arita memotong. “Kamu teman perempuan ini?” Pasti y

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status