Share

#6 Pertolongan Kecil

Penulis: Lunetha Lu
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-22 20:53:31

“Bannya bocor??”

Satu tangan Cantika memindahkan ponsel ke telinga sebelahnya. Dia melirik ketiga bocah yang sedang duduk sambil memerhatikannya yang sedang menelepon. “Lama nggak, Pak? ... Ya udah, deh. Tolong kabarin secepatnya, ya? Sebentar lagi ‘kan udah jamnya anak-anak les. ... Oke, makasih, Pak.”

Cantika mengembuskan napas panjang setelah memutus sambungan telepon. Dilihatnya jam yang ada sudut atas ponselnya, hampir jam setengah empat.

Hari ini waktu kursus Brian, Bianca, dan Byana sama-sama pukul empat sore. Sengaja memilih waktu bersamaan karena masih satu tempat kursus. Dari mal di mana mereka berada butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai ke tempat kursus. Itu pun kalau jalanan tidak padat merayap. Kalau ada kendaraan yang geraknya lambat dan bikin macet, bisa lebih lama lagi.

Semoga saja Pak supir bisa menjemput mereka kurang dari lima belas menit.

“Kenapa Kak? Bannya bocor?” tanya Brian yang sejak tadi menyimak obrolan Cantika di telepon.

Cantika memasukkan ponselnya ke dalam tas tangan Kate Spade mini yang hanya muat ponsel dan dompet. “Iya Bri, kita tunggu dulu di sini ya.”

“Kak, Brian mau beli minum deh, haus.”

“Ya udah. Jangan kelamaan loh, cari yang nggak antri aja.”

Brian beranjak dari duduknya dan mengangkat tangan, membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. Mengisyaratkan kata ‘oke’ seraya berjalan keluar food court.

***

Ben belum lama tiba di mal. Niatnya mau ke toko buku sekalian cari makan. Berhubung mal hanya berjarak kurang lebih sepuluh menit dari rumah, jalan-jalan sendiri tidak ada salahnya. Lagi pula dia tipe orang yang tidak pernah mempermasalahkan pergi keluar sendiri atau berkelompok.

Ada ‘kan, orang-orang yang merasa aneh kalau pergi ke mal sendirian, makan sendirian, atau aktivitas apa pun di luar rumah sendirian. Katanya ngenes banget. Tapi menurut Ben, biasa saja, tuh. Kenapa harus merasa ngenes kalau memang punya keperluan?

Ben baru saja turun dari eskalator ketika melihat sosok yang dikenal.

“Kak Ben.” Remaja laki-laki bertubuh besar dan berwajah imut menyapanya.

“Eh, Brian lagi di sini juga,” sahut Ben. Dia menjulurkan kepala ke kiri dan kanan. Mencari sosok lain yang datang bersama remaja di depannya. “Kamu sendirian?”

“Nggak, Kak. Ada Caca sama Byan di food court. Brian barusan beli minum aja.” Ditunjuknya segelas minuman cokelat yang dia pegang. “Kak Ben sendiri?”

“Iya, mau makan. Yuk, ke food court bareng.”

Ben terpaku saat menapakkan kaki memasuki area food court bersama Brian. Mimpi apa dia semalam? Rasanya dia seperti ketiban durian runtuh. Pelarian ke rumah Barry, kakaknya, seolah adalah pilihan tepat. Kemudian pertemuannya dengan gadis cantik yang duduk di depan sana seakan seperti takdir.

Jika sudah begini, boleh ‘kan dia mengambil langkah selanjutnya? Memang ada kebetulan yang berturut-turut seperti ini? Baginya ini semacam pertanda.

“Jadi gimana, Pak?” Suara sopran gadis cantik itu terdengar oleh Ben. Dia sedang berbicara di telepon. “Ban serepnya juga belum diperbaiki sebelumnya? ... Duh, kenapa nggak bilang dari tadi? Kalau tau ‘kan saya bisa langsung pesan taksi online. Waktu les anak-anak udah mepet banget, lagi. ... Ya udah deh, Pak. ... Iya, nggak usah ke sini. Nggak keburu juga. ... Makasih.”

Dilihatnya gadis itu kemudian menoleh, menyadari kedatangan Brian. “Bri, Pak Supir nggak bisa—” Kata-katanya terputus karena baru menyadari ada sosok lain di sebelah Brian.

Ben menyunggingkan seulas senyum kaku, berniat menyapa Cantika. Namun yang didapatnya hanyalah ekspresi tak acuh gadis itu yang kemudian membuang muka.

Wajar.

Setelah apa yang terjadi di antara mereka, amat wajar bila gadis itu bersikap begini. Malahan, aneh kalau dia terlihat baik-baik saja, balas tersenyum ramah pada Ben. Itu tandanya gadis itu masih cukup waras untuk tidak beramah tamah dengan Ben kepergok melakukan hal tak senonoh.

“Kenapa, Kak?” tanya Brian sambil asyik menyedot minumannya.

“Pak Supir nggak bisa jemput. Kita pesan taksi online aja, ya?”

Ben bisa melihat, gadis itu meliriknya lagi. Seolah mempertanyakan keberadaan Ben di sana. Tapi dia lebih memilih untuk tidak mengacuhkan Ben sama sekali.

“Keburu nggak, Kak?” tanya Brian lagi.

“Kamu les di mana memang, Bri?” sela Ben. Sebelumnya Brian sudah cerita perkara ban mobilnya yang bocor. Tapi Ben belum tahu kalau ada gadis itu juga di sini. Yang dia tahu, Brian sedang menunggu supir.

“Daerah Citra, Kak.”

“Oh, nggak jauh. Kak Ben yang antar aja gimana? Jam berapa lesnya?”

“Jam empat, Kak. Nggak pa-pa, nih? Kak Ben bukannya mau makan?” sahut Brian berusaha santun. Tidak enak kalau langsung menerima. Dia takut merepotkan.

Ben mengangguk mantap sambil menjawab, “Iya, tenang aja. Masih bisa ditunda itu, sih.”

Sementara Byana dan Bianca berseru girang. Semuanya tampak lega mendapatkan solusi. Hanya satu orang yang kelihatan cemberut menekuk wajah.

“Bri, kita pesan taksi online aja. Nggak enak ngerepotin orang lain.”

“Nggak repot, kok.” Ben menyahut cepat. “Lagian udah mepet, kan? Kalau nunggu taksi online belum tentu langsung dapat, nanti malah telat.”

Kemudian Ben kembali mengalihkan pandangan pada Brian. “Gimana, Bri?”

“Iya, tolong ya, Kak? Maaf ngerepotin.”

“Ya udah, yuk!” ajak Ben.

Bianca dan Byana bangkit dari kursi, menggendong ransel mereka di punggung. Berebut mengobrol dengan Ben. Sementara gadis cantik berambut ballayage, alias si kakak paling besar, mau tidak mau ikut beranjak dari bangkunya.

Gadis itu mengembuskan napas kasar. Dia tampak keberatan dengan gagasan dari Ben. Tapi dia juga hanya bisa pasrah. Membuat Ben mau tak mau berusaha menahan senyum sepanjang perjalanan mereka ke mobil.

Setelah mengantar anak-anak, Ben harus memastikan mereka bicara empat mata. Dia benar-benar ingin tahu tentang gadis ini. Ben tidak boleh menyia-nyiakan peluang yang datang padanya.

Lunetha Lu

story by @lunetha_lu

| Sukai

Bab terkait

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat    #7 Dibawa Ke Mana?

    Ini sudah yang kedua kalinya Cantika berada di dalam mobil milik Ben. Jujur saja yang pertama dia tidak terlalu ingat dengan mobilnya karena aksi mencengangkan lelaki itu. Dia juga tidak terlalu lama di dalam mobil. Namun kali ini berbeda, karena supir mereka tidak bisa datang menjemput, Cantika terpaksa harus menempuh perjalanan beberapa menit dengannya berduaan. Duduk di sebelahnya dan sadar kalau sesekali lelaki itu meliriknya. Iya, berdua. Brian, Bianca, dan Byana sudah diantar ke tempat les. Cantika tidak mungkin menunggu anak-anak sampai selesai kursus selama satu setengah jam. Jadi, lebih baik dia pulang. Niatnya Cantika mau pulang dengan taksi online, tapi dasar nasib, uang cash di dompet sisa selembar dua puluh ribu dan sepuluh ribuan, uang sakunya di ATM juga sangat menipis. Sehingga keberadaan Ben sejujurnya seperti pertolongan untuknya. Kalau Cantika jadi panggil taksi online tadi, dia harus menunggu kucuran dana lebih dulu untuk ongkos anak-anak. Waktu berangkat, Brian

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-23
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #8 Taruhan

    “Yakin nggak mau makan?” tanya Ben seraya melihat-lihat jajaran kios penjual makanan di area food street. Cantika berjalan mengikutinya tak acuh. “Nggak. Masih kenyang.” “Dessert atau minum?” tawar Ben pada gadis yang masih tampak cemberut. Gadis itu diam sebentar, tampak menimbang-nimbang. “Kenapa? Kakak mau traktir?” tanyanya gamblang. Masalah bayar membayar itu butuh kejelasan, apalagi uang tunai yang dibawanya terbatas. Lagi pula Ben yang mengajaknya, jadi tidak ada salahnya dia bertanya. Ben kemudian mengangguk, tidak terganggu sama sekali dengan pertanyaannya. “Iya, pesan aja.” “Aku mau jus aja kalau gitu.” Setelah berpencar sebentar menuju kios yang menyediakan pesanan mereka, keduanya menempati salah satu meja kosong di sana. Duduk di bawah terpaan angin sore yang masih terasa hangat. Ben memerhatikan gadis berkulit putih di depannya yang sibuk melihat-lihat sekeliling. Rambut panjangnya yang dicat tampak berkilau di bawah matahari. Bulu mata lentik hasil lashlift-nya ma

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-25
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat    #9 Pertanyaan Sensitif

    Ben pulang dengan suasana hati yang baik dan senyum merekah di wajah. Dia kira waktu cutinya ini hanya akan dihabiskan untuk sendirian, melanjutkan pekerjaan lain di rumah, atau ngalor-ngidul tidak jelas. Tetapi ternyata hal menarik ditemukannya sepanjang ia cuti. Kiara, gadis cantik yang masih kuliah, sepuluh tahun lebih muda darinya. Selama mengobrol, bibir penuh bergaris belah dan leher ramping gadis itu tidak luput dari pandangannya. Benar-benar membuatnya bergairah. Gadis itu memang bukan gadis cantik pertama yang dijumpai Ben. Tetapi daya tariknya amat kuat. Ben menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia membuka aplikasi media sosial dan mengetik nama Kiara pada kolom pencarian. Satu per satu foto profil ditelitinya. Terlalu banyak perempuan bernama Kiara. Sayang sekali dia tidak mendapatkan nama lengkap gadis itu. Ben lalu menghela napas kasar dan melempar pelan ponselnya ke meja sesaat sebelum benda pipih itu berbunyi. Dia sudah

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-27
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat    #10 Sugar Baby

    “Lo masih ketemu om-om itu, Lin?” Pertanyaan sensitif dari Cantika mengundang helaan napas lolos dari mulut Olin. Wanita yang pernah tidak naik kelas dua kali akibat daftar kehadirannya di sekolah, mengepalkan sebelah tangan erat. Sangat kontras dengan senyum di wajahnya. “Menurut lo, dari mana gue bisa dapat ini semua kalau bukan dari dia?” ungkap Olin mengangkat sebelah tangannya dengan telapak terbuka. Atmosfir di ruangan Olin seketika berubah pekat. Cantika kira, dengan kesibukan Olin sekarang, dia sudah tidak menemui pria berumur itu lagi. Masalah Olin memang bukan urusan Cantika. Tetapi di lubuk hatinya, dia ingin Olin menjalani hubungan yang normal. Secara fisik, tidak ada yang kurang dari sahabatnya itu. Olin memiliki wajah manis khas Melayu. Kulitnya yang coklat eksotis dan tubuh berisinya membuat gadis itu kelihatan seksi. Meski tidak setinggi Cantika, tetapi Olin tidak tergolong pendek. Secara fisik penampilannya menarik. Secara kepribadian, dia wanita yang menyenangkan

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-01
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #11 Tak Sedekat Itu

    “Jangan,” ujar Miko setelah mendengarkan cerita tentang Cantika. “Kamu masih belum pengalaman menghadapi cowok umur segitu. Menurutku Cantika nggak perlu ikutin kemauannya. Apalagi dengar pertemuan awal kalian yang ... ehem,” Miko berdeham sebelum melanjutkan dengan suaara lembutnya, “anti mainstream.” Garis bibir Cantika melengkung ke bawah, dia tidak begitu suka dianggap belum dewasa. Tapi apa yang dikatakan Miko juga tidak salah. Dia belum pernah berkencan dengan laki-laki yang jauh lebih dewasa darinya. Paling jauh hanya terpaut tiga tahun di atasnya. Cantika menopang wajah dengan sebelah tangan dan berkata, “Kalau aku betulan nggak sengaja ketemu sama cowok itu lagi, gimana? Aku harus bilang apa buat nolak taruhannya?” “Memang kamu berharap ketemu dia lagi?” tanya pria gagah berkulit putih yang sejak tadi mengundang beberapa pasang mata memandangi tubuh atletisnya. Tubuh kekar yang dibalut kaus hitam body fit begitu menggiurkan para kaum hawa. Kalau kalian pernah lihat koko-ko

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-04
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #12 Sisi Gelap

    Cantika melihat lampu di halaman rumahnya sudah terang. Dia terdiam sejenak saat tiba di depan pintu, mengatur napas sebelum meraih gagang pintu. Masuk rumah sama gugupnya dengan masuk ruang interview.“Dari mana aja kamu?” Suara dingin dan ketus segera menyambut kedatangannya.“Mama tumben udah pulang.” Cantika tidak menjawab pertanyaan ibunya, hendak melangkah ke kamar.“Kamu yang pulang kemalaman. Nggak ada di rumah, nggak jemput Caca, kamu ngelayap ke mana?” tuding Arita, sang ibu.Gadis cantik itu menghentikan langkah dan menjawab, “Cuma ketemu Olin sebentar.”“Ada atau nggak ada tugas kuliah, kamu wajib ke rumah Om Dany dan Tante Grace. Bantu mereka sebisa kamu. Ingat, kuliah kamu dibayarin.”“Kata Tante Grace lagi ada supir, aku enggak perlu jemput anak-anak hari ini. Jadi aku ke tempat Olin sebentar, apa salahnya? Lagian dari Olin kadang aku dapat kerjaan. Rambutku dicat begini juga dibayar, bukan cuma gaya-gayaan.”Cantika tidak bohong. Olin mengenalkannya pada salah satu tem

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-14
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #13 Mau Kamu

    “Astaga! Apa itu?!” Cantika terkejut ketika bumper mobil bagian belakangnya membentur sesuatu. Dengan panik dia menoleh ke kaca spion di depan. Cantika pikir siang itu jalanan kompleks sepi. Tapi saat dia mundur untuk putar balik di tikungan, rupanya ada mobil lain yang melaju di belakangnya. Karena terburu-buru, Cantika tidak memerhatikan sekeliling. Akibatnya, dia malah menabrak mobil orang. “Aduh, gimana ini?! Nggak sadar ada mobil di belakang, malah nabrak.” Dengan panik, dia menengok ke belakang dari bangkunya. “BMW pula! Kena dimaki nih, bisa-bisa.” Mobil itu bukan BMW seharga ratusan juta yang bisa dibeli sejuta umat. Melainkan jenis BMW kelas atas yang harganya menyentuh bilangan miliar. Bagaimana Cantika tidak ketar-ketir? Ketika menyadari mobil tersebut adalah sedan yang di kenalnya, Cantika merasa secuil bebannya terangkat. Paling tidak dia bisa menunduk minta maaf dan bernegosiasi. Gadis itu kemudian memberanikan diri turun dari mobil, menghampiri mobil di belakangnya.

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-15
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #14 Jadi Pacar

    Namanya Cantika, Ben baru mengetahuinya kemarin saat datang ke rumah Grace, istri dari salah satu mantan kliennya. “Oh, jadi yang tabrakan sama Cantika itu mobil kamu, Ben? Astaga, maaf banget, ya?” “Nggak pa-pa, Bu Grace. Sebetulnya itu salah saya yang nggak perhatikan jalan karena masih dalam kompleks.” Keluarga Pak Dany sudah cukup mengenalnya, sehingga mereka bicara lebih kasual satu sama lain. Ben juga mendengar Cantika memanggil Grace dengan sebutan ‘Tante’. Berdasarkan yang dia lihat, terkadang gadis itu menemani Byana dan Bianca bermain. Mengantar jemput dua bocah perempuan itu beserta Brian, kakaknya. Kabar lain yang ditangkap dari obrolan mereka, Cantika tidak tinggal di sana. Sebab waktu dia bilang akan menjemputnya, gadis itu menolak. Memilih bertemu di tempat janjian atau datang ke rumah Ben. Apa hubungan Cantika dengan keluarga Pak Dany dan Bu Grace, Ben sendiri belum tahu. Sewaktu mengobrol di sana, sama sekali tidak disinggung apakah mereka keluarga atau bukan. P

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16

Bab terbaru

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   139 Komitmen (END)

    “Kamu tau kan, aku udah kenal sama Pak Dany?” Ben buru-buru menambahkan saat melihat mata kecokelatan Cantika nyaris keluar dari tempatnya. Raut wanita itu bercampur antara ngeri, kaget, dan tak percaya “Karena kerjaan, aku sering pergi meeting sama Om kamu—desain rumahnya, desain kantor dan kantor cabangnya. Pak Dany orang yang ramah dan supel. Beberapa kali kami ketemu di luar jam kerja. Aku dikenalin ke circle teman-teman bisnisnya. Dari situ aku jadi tau, kalau dia pebisnis yang hebat, tapi bukan suami yang baik. Orang-orang yang aku temui itu kurang lebih punya skandal yang mirip atau bahkan lebih parah dari Pak Dany.” Informasi ini terlalu banyak untuk dicerna. Mulut Cantika sampai menganga bingung, merunut penjelasan dari Ben satu persatu. “Kamu pasti merasa canggung setiap ketemu Tante Grace. Karena itu yang aku rasain,” komentar Cantika kemudian. Ben tersenyum tipis sebagai tanda setuju. “Tapi, apa hubungannya sama Olin? Kenapa Om Dany nyuruh kamu ... sama ...” Kalimat C

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   138 Rahasia Terakhir

    “Kamu ingat, pertama kali kita ketemu?” Jemari tangan Ben tenggelam di antara helaian rambut hitam Cantika, menyisirnya lembut. Sementara Cantika menyandarkan kepala di ceruk leher Ben. Mengenang pertemuan awal mereka.Cantika masih berada di kamar hotel tempat Ben menginap. Sekian lama tidak bertemu, ada kesempatan duduk berdua dengan tenang. Rasanya sangat banyak yang ingin dibicarakan.“Mana mungkin lupa? Pertemuan paling absurd dan kacau seumur hidupku.”“Dan paling memalukan dalam sejarahku,” Ben tertawa. “Aku juga nggak tau, kenapa aku bisa segila itu. Kayaknya paling parah selama aku mabuk.”“Apanya yang paling parah? Kayaknya kebiasaan mabuk kamu memang jelek. Kalau bukan karena ada aku sama Ubay, malam itu kamu hampir terguling jatuh dari tangga kantor, nyaris jadi sushi roll. Jangan sampai kamu mabuk di depan orang lain, apa lagi cewek, malu-maluin!”Ben menyeringai, mengangkat dagu Cantika. “Kamu takut aku nyentuh cewek lain?”Selama dua detik Cantika menatap mata biru safi

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   137 Restart

    Butuh waktu bagi Cantika untuk menceritakan semuanya pada Ben. Mulai dari pertengkaran dengan ibunya sebelum pergi, niatnya untuk menggugurkan kandungan yang kemudian dibatalkan, kepergiannya dengan bantuan petunjuk dari Sheril, higga kehidupannya di Sydney.Lalu, kecelakaan yang membuat Cantika mengalami pendarahan terjadi. Awal petaka bagi janinnya. Jika memaksakan untuk tetap mengandung dan melahirkan, kemungkinan lahir dengan fisik dan organ yang cacat adalah 90 persen, sementara hidupnya dipertaruhkan.Alasan mengapa teman-teman di tempat kerjanya begitu ketat menjaga dan melindungi Cantika adalah karena kecelakaan tersebut disebabkan oleh seorang penguntit yang mengikuti Cantika di jalan pulang.Ben amat marah mendengar rangkaian cerita itu. Bukan marah kepada Cantika, marah kepada dirinya yang tidak ada di sana melindungi Cantika dan anak mereka. Marah kepada pria-pria yang mengganggu Cantika.“Karena bukan pertama kalinya ada orang yang terang-terangan nunjukkin ketertarikan m

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   136 Akhir Penyesalan

    “Aku tau kamu masih marah, tapi jangan ambil keputusan impulsif kayak gitu, Can.”Ben mengikuti Cantika keluar dari kedai yang sudah tutup. Melewati selasar toko-toko menuju ke jalan besar. Paving tegel batu terbentang di sepanjang selasar, menguarkan nuansa abu-abu pada lorong itu.Kendati desain setiap toko berbeda, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok sehingga tampak rapi dipandang mata. Tidak ada satu pun sampah di sana. Kebersihannya memanjakan penglihatan.“Iya atau nggak sama sekali?” desak Cantika berhenti melangkah.Ben terdiam dan memejamkan mata erat-erat. Lima menit mungkin cukup untuh menggerakkan hati Cantika. Lima menit mungkin bisa menggoyahkan pilihannya. Tapi ... apakah dia mampu?Cantika sudah terlampau terluka. Saat mereka bertemu, tidak ada lagi binar kerinduan yang pernah dilihatnya. Penyesalan, benci, dan muak mungkin telah menggantikan perasaan itu. Meski kemungkinan untuk membuat Cantika luluh sangatlah kecil, Ben tetap ingin memcoba memperbaiki mereka.“

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   135 Lima Menit Terakhir

    “Maybe it’s too late, tapi aku pengin dengar sendiri dari kamu. Katanya ... kamu hamil. Gimana kabar kamu, gimana kabarnya? I am so sorry, you went through a lot withouth me,” ucap Ben sungguh-sungguh“Kabar? Kamu nanya kabar sekarang??” Nadanya meninggi. Cantika mendengkus sinis. “Jangan bercanda! Ke mana aja kamu selama ini?” Disentaknya tangan Ben kasar.“Aku diusir mamaku. Aku nggak punya tempat pulang. Biarpun Olin dan Miko rela nampung aku, tapi nggak ada satu hari pun tanpa rasa bersalah setiap bertatapan sama Miko. Aku juga nggak bisa libatin Olin di antara masalahku sama Miko. Menurut kamu, gimana kabarku? Apa aku bisa lebih baik-baik aja dari pada sekarang?” Cantika menunjukkan senyum getirnya.Ben berdiri dari bangkunya, menatap Cantika dalam. “Aku benar-benar menyesal. Harusnya saat itu aku di samping kamu. Aku terlalu egois dan berengsek karena cuma mikirin diriku sendiri.”Entah sudah berapa ribu maaf yang dilontarkan Ben, rasanya Cantika sudah muak. Pada akhirnya mereka

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   134 Too Late

    Nada sambung telepon yang menyambut di seberang membuatnya tak sabar. Ben terus mengentak-entakan kaki di lantai. Notifikasi pesan dari Theo yang sejak pagi diabaikannya berubah menjadi suatu urgensi ketika Ben membukanya malam ini.Pesan yang dikirim Theo belakangan ini sering tidak penting dan absurd. Theo melaporkan segala kegiatannya pada Ben setiap perjalanan kerja ke luar kantor membuat Ben kerap kali jengah dan mengabaikannya.Perkara hewan liar yang ditemui Theo di jalan, barang incarannya, sarapannya, makan siangnya, makan malamnya, tempat Theo pergi, kadang juga foto selfie! Orang lain yang melihatnya mungkin akan mengira Theo abnormal. Bahkan Ben sudah lebih dulu berpikir demikian.Namun dari sekian ribu pesan yang dikirim Theo, baru kali ini ada pesan yang berbobot. Foto seseorang yang diambil Theo berlatar kedai kopi. Itu sebabnya ketika panggilannya dijawab, Ben tidak membuang waktu.“Di mana lo ambil foto itu?” tanya Ben berusaha tetap datar.“Gue kan udah bilang gue ke

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   133 Sydney

    Seorang perempuan duduk dengan kaki bersilang di sebuah toko kue. Rambut panjangnya melewati bahu, lurus, dan terkuncir rapi. Kaus lengan panjang bergaris dan celana panjang linennya tampak sangat nyaman. Sesekali perempuan itu melirik keluar jendela kaca di sebelahnya sambil mendengarkan orang yang mengoceh dari airpods hitam yang menyumbat satu telinganya. “Gue nggak habis pikir ya, sama tuh anak. Dia anggap apa gue selama ini? Udah setahun, tapi masih nggak ada kabar sama sekali. Email atau chat pun nggak. Apanya yang jangan dicari? Apanya yang tenang aja? Kalo begini terus, dia bisa bikin gue darah tinggi! Awas aja kalau dia pulang sambil cengengesan atau pasang tampang centilnya kayak biasa, gue jitakin itu anak!” “Sabar, Lin. Sabar ...” Seorang perempuan berseragam toko membawakan segelas minuman ke mejanya. Ada gelas latte kosong dan sepiring pastry yang hanya tersisa sesuap lagi di hadapan perempuan berkuncir itu. “Gimana bisa sabar?! Ini bukan seminggu atau sebulan lagi, ud

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   132 Jangan Dicari

    Ben bukan jenis orang yang sering mengakses media sosial. Kendati pernah membuat akun insta, dia tidak menggemari media sosial yang populer di kalangan masyarakat luas itu. Selama lebih dari sepuluh tahun, foto yang bertahan di akunnya hanya lima.Sebelumnya Ben pernah mengisi feed-nya dengan beberapa foto Viona dan foto mereka berdua. Sekian tahun setelah putus, Ben lalu menghapusnya. Lebih tepatnya, sesaat setelah bertemu Cantika. Karena Ben baru mulai mengakses media sosialnya kembali saat itu.Ben juga tidak tertarik menggulir beranda insta-nya untuk melihat unggahan orang-orang. Namun ketika mengenal Cantika, ia mulai menjelajahi akun miliknya yang sudah berdebu itu.Sudah satu jam sejak Ben memeriksa profil Cantika. Tidak ada unggahan terbaru di feed maupun story-nya. Perempuan itu menghilang lagi tanpa jejak. Ben membaca kolom-kolom komentar, berharap ada tanda yang bisa membantunya. Namun usahanya nihil. Cantika hanya membalas komentar-komentar di postingannya sebagai bentuk b

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   131 Bertamu

    Belum ada satu pun dari mereka yang berani bicara. Tiga orang yang sudah dewasa itu mati kutu di depan ibunya Cantika. Aura kelam Arita mengintimidasi. Mereka hanya diam memerhatikan ketika Arita membuka kunci pagar rumahnya.“Kalian mau terus di depan sana?”Olin menelan ludah susah payah dan menoleh pada Miko dan Ben bergantian. Dua pria itu juga menatapnya, menunggu petunjuk. Begitu Olin mengangguk pelan, mereka masuk ke rumah mengekori Arita.“Saya ingat kamu,” kata Arita pada Olin meski tidak menyebut nama. “Tapi kenapa kamu datang dengan suami Cantika?”Rumah mungil itu terasa seperti pengadilan untuk Olin. Jantungnya berpacu cepat saking takut dan gugupnya. Olin memang sudah terbiasa mengabaikan cemooh orang lain terhadap dirinya. Tetapi, ia masih tidak terbiasa dengan nada tajam dan sorot menuding Arita.Menyadari perubahan sikap Olin, Miko berusaha menggantikannya menjawab. “Umm ... begini—”Namun belum selesai kalimat Miko, Arita memotong. “Kamu teman perempuan ini?” Pasti y

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status