Maaf, bab 13 nya salah up kemarin. Silakan baca bab 13nya lagi ya
“Kalau gitu, jadi pacar aku aja biar kita bisa jalan berdua di akhir pekan.”Cantika menghentikan gerakannya dan menoleh. Bola matanya berputar jengah. “Bisaan banget, ya!”Ben menyunggingkan senyum, mencondongkan tubuh ke arah Cantika. Gadis itu sempat terlonjak, berjengit kaget ketika Ben berada dekat di sebelahnya. Jarak yang cukup dekat di antara mereka membuat indra penciuman Cantika dimanjakan oleh aroma citrus segar dari pria itu.Bunyi ‘klik’ pengunci sabuk pengaman selanjutnya menjemput kesadaran Cantika kembali. Pundaknya merosot turun, lega, saat Ben hanya mengambil alih sabuk pengaman dan memasangnya.“Bisalah, namanya juga usaha,” ujar Ben yang belum melepas senyum di wajah.Tubuh Cantika mengkeret, mundur merapat pada sandaran jok. Pikirannya sudah ke mana-mana tadi. Dia kira Ben akan berbuat aneh padanya sehingga dia kembali memasang pertahanan. “Jangan lupa, reputasi kamu di mata aku baru naik sedikiiit banget. Kesan pertama masih membekas.”“Nggak masalah, yang pentin
“Eh, Dek Cantika baru pulang? Jarang banget kelihatan?” sapa Bu Dwi, tetangganya, ketika Cantika memutar kunci.Ada beberapa ibu-ibu lainnya yang sedang berdiri di sana, terlihat kepo mendengarkan percakapan.“Iya, Bu, sibuk sama tugas kuliah. Lebih sering di rumah saudara juga,” jawab Cantika sopan.“Ohh, memang sudah semester berapa?”Cantika terdiam sejenak, merasa tidak nyaman dengan pertanyaan tersebut. “Semeter delapan. Saya pamit masuk dulu ya, Bu. Ada yang harus dikerjakan.” Diiringi senyum yang dipasang seramah mungkin, dia melangkah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Tak lama, senyumnya langsung lenyap begitu saja. Kemudian samar-samar masih bisa terdengar ghibah para tetangganya.“Sombong banget mentang-mentang cantik, jadi nggak level ngobrol sama tetangga di sini. Enggak pernah mau bergaul, setiap kali diajak ngobrol langsung pergi.”Meski ucapan mereka bukan dalam artian yang baik, dalam hati Cantika merasa tersanjung mendapati pujian di sela-sela cercaan. Dia lebih
Akhir pekan mungkin menjadi hari yang menyenangkan untuk sebagian besar orang. Cheating day, rest day, atau apa pun yang dilakukan orang-orang pada hari Minggu. Cantika iri melihat wajah-wajah yang tampak berseri duduk di restoran hotel berbintang itu. Menikmati makan malam dengan keluarga, pasangan, atau teman. Yang jelas, dua hari ini jiwa raganya lelah terjebak dalam perkumpulan keluarga yang mengharuskannya memasang tampang manis dan baik walau tak suka sekali pun. Satu hal yang mungkin disyukurinya hari ini, konten untuk update di media sosialnya. Itu saja. “Oh iya, Cantika semester berapa sih? Kok kelihatan santai? Geo udah mau buka klinik sendiri, Grisele juga dapat tawaran posisi Public Relation,” singgung Tante Santy. Cantika meletakkan ponselnya saat dia sedang merekam dan mengambil gambar. Stok topeng ‘baik-baik saja’ pada wajahnya mulai menipis malam ini. “Semester delapan.” “Mau skripsi dong, ya?” “Belum, Tante.” “Ya ampun, kamu ngulang mata kuliah lagi?” desis Tante
“Kamu beneran bukan sengaja nguntit aku, kan?” tanya Cantika tiba-tiba, saat mereka sudah berada di dalam mobil. “Aku nggak kena hipnotis, kan?”“Pikiran kamu itu ...” Ben menoleh dan berdecak tak percaya. “Segitu curiganya sama aku?”“Habisnya ini gila, nggak masuk akal. Setelah dipikir lagi, kenapa aku mau-mau aja ikut kamu pergi? Astaga .... Pulang nanti aku pasti bakal tamat diomelin!” Dengan resah, Cantika menggigiti kuku jari telunjuknya. Kemudian mengeluarkan jarinya setelah sadar kuku-kukunya masih dalam polesan cat kuku.Masalahnya bukan hanya kabur dari acara keluarga, tetapi kenapa malam-malam begini dia malah mengikuti pria yang belum lama dikenalnya begitu saja? Di mana akal sehatnya? Dia pasti ketularan tidak tahu malu gara-gara belakangan ini jadi sering berinteraksi dengan Ben.“Kenapa nggak masuk akal? Kamu pergi dari sana karena bosan. Kebetulan aku juga bosan. Terus kita berdua kabur dari sana kayak lagi kawin lari.”“Siapa juga yang mau kawin lari sama kamu?!” peki
Setelah diamati, rupanya rumah yang ditempati Ben mengusung teknologi smart living system. Bukan hanya pagar dan pintu, melainkan lampu, pendingin ruangan, dan Cantika bertaruh, masih bertebaran ‘benda pintar’ lainnya di rumah ini. “Kamu boleh duduk di sini,” cetus Ben mempersilakan Cantika. “Suit yourself. Mau minum apa?” “Mineral water aja, jangan dingin. Aku nggak minum soda dan sebagainya kalau malam.” “Oke.” Ini kali pertama Cantika menginjak lantai tiga rumah lelaki itu. Tidak henti-hentinya dia berdecak kagum dalam hati. Sebelumnya Cantika hanya pernah masuk sampai lantai dua saat menumpang ke toilet dan saat itu pun dia sudah terkagum dengan lantai duanya. Manik mata Cantika menyapu pemandangan di sekeliling sembari meletakkan tas dan menghempaskan diri di sofa berbahan kulit, yang anehnya terasa lembut dan nyaman seperti tekstur velvet. Baru pertama dia duduk di sofa kulit sehalus ini. Nuansa hangat warna coklat dan krem memenuhi ruangan. Semua dekorasi termasuk lantai
Di sisi lain, di restoran hotel bertbintang, keluarga besar Cantika masih berkumpul di sana. Beberapa saling mengobrol, sedangkan para sepupu Cantika berseliweran memburu makanan pencuci mulut. Hanya satu orang yang berhenti mengobrol dengan sanak saudaranya. “Pi, dari tadi kamu sibuk banget sih sama HP?” tegur Grace, memerhatikan pria yang ada di sebelahnya. Dany menyahut datar, “Chat customer.” “Nggak bisa ditunda? Kita kan lagi kumpul sama keluarga kamu. Lagi pula ini bukan hari kerja.” “Customer penting. Menambah nilai di mata mereka nggak mengenal hari libur. Lagi pula aku aku kerja untuk kamu dan anak-anak juga.” “Iya, tapi kan bisa ditunda setelah makan. Simpan dulu HP-nya, mereka pasti paham kalau kamu slow response.” “Hm.” Grace menghela napas melihat sikap suaminya dan bergumam pelan. “Terkadang, aku cuma mau kamu yang dulu.” Jemari Dany berhenti bergerak di atas layar ponselnya. Dia melirik sang istri dengan pandangan terganggu. Ekspresinya kaku dengan sorot tajam. “
“Mau kisses?” Ben menatap lurus-lurus wajah Cantika. “A-apa?!” Gadis itu meminta konfirmasi ulang atas apa yang baru saja didengarnya. Dia sempat mengira pendengarannya salah. Namun tidak. Cantika tidak salah dengar. Dia yakin telinganya masih berfungsi sangat baik. Apa lagi ruangan itu tidak berisik. “Coklat.” “Hah?” Kepala Cantika berputar cepat ke belakang saat menyadari adanya suara gemerisik. Satu tangan Ben di belakangnya sedang meraih sebuah pouch plastik bertuliskan ‘kisses’—merek cokelat yang sering dijumpainya di supermarket–di atas meja kecil sebelah sofa. Hampir saja Cantika salah sangka. Hampir. “Kenapa?” Lelaki itu memasang senyum menyebalkan dengan mengangkat sebelah alisnya. “Kamu kira aku ajak ciuman?” “Siapa yang nggak bakal salah sangka kalau posisinya begini? Sana, mundur!” Cantika menggeser sedikit bokongnya ke belakang. Dia membuang muka dan memutar bola matanya ke arah lain. Tidak ingin jantungnya semakin berisik saat menatap pria di depannya. Lantaran B
“Di mana otak kamu, hah? Kamu gila?!”“Ampun, Ma! Ampun! Sakiit ....” Cantika mengangkat kedua tangannya di depan wajah, demi melindungi diri dari rotan keras yang beberapa kali diayunkan ke arahnya.Lengannya terasa perih, panas, sakit, dan berdenyut akibat sabetan rotan yang berkali-kali mendarat di permukaan kulitnya. Cantika tidak menyangka perbuatannya yang tidak seberapa itu malah mendatangkan hukuman dari ibunya separah ini.Apa pun yang dikatakannya percuma. Wanita yang usianya memasuki pertengahan empat puluh itu kini terbelalak marah, menarik satu pergelangan tangannya dengan kasar. “Kalau tahu sakit, kenapa kamu malah bertindak kurang ajar?” Memaksa turun tangannya yang tetap pada posisi pertahanan.“Kapan saya ajarin kamu jadi orang yang nggak tahu diri begitu? Jawab!!” Saking murkanya, kedua bola mata yang setiap hari tampak lelah itu seperti siap keluar dari tempatnya. Urat-urat halus berwarna merah pada warna putih di lensa mata Arita terlihat lebih jelas dari biasanya.