Home / Romansa / Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat / #16 Di Balik Kesempurnaan

Share

#16 Di Balik Kesempurnaan

Author: Lunetha Lu
last update Last Updated: 2022-08-18 17:46:30

“Eh, Dek Cantika baru pulang? Jarang banget kelihatan?” sapa Bu Dwi, tetangganya, ketika Cantika memutar kunci.

Ada beberapa ibu-ibu lainnya yang sedang berdiri di sana, terlihat kepo mendengarkan percakapan.

“Iya, Bu, sibuk sama tugas kuliah. Lebih sering di rumah saudara juga,” jawab Cantika sopan.

“Ohh, memang sudah semester berapa?”

Cantika terdiam sejenak, merasa tidak nyaman dengan pertanyaan tersebut. “Semeter delapan. Saya pamit masuk dulu ya, Bu. Ada yang harus dikerjakan.” Diiringi senyum yang dipasang seramah mungkin, dia melangkah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Tak lama, senyumnya langsung lenyap begitu saja. Kemudian samar-samar masih bisa terdengar ghibah para tetangganya.

“Sombong banget mentang-mentang cantik, jadi nggak level ngobrol sama tetangga di sini. Enggak pernah mau bergaul, setiap kali diajak ngobrol langsung pergi.”

Meski ucapan mereka bukan dalam artian yang baik, dalam hati Cantika merasa tersanjung mendapati pujian di sela-sela cercaan. Dia lebih
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #17 Diculik

    Akhir pekan mungkin menjadi hari yang menyenangkan untuk sebagian besar orang. Cheating day, rest day, atau apa pun yang dilakukan orang-orang pada hari Minggu. Cantika iri melihat wajah-wajah yang tampak berseri duduk di restoran hotel berbintang itu. Menikmati makan malam dengan keluarga, pasangan, atau teman. Yang jelas, dua hari ini jiwa raganya lelah terjebak dalam perkumpulan keluarga yang mengharuskannya memasang tampang manis dan baik walau tak suka sekali pun. Satu hal yang mungkin disyukurinya hari ini, konten untuk update di media sosialnya. Itu saja. “Oh iya, Cantika semester berapa sih? Kok kelihatan santai? Geo udah mau buka klinik sendiri, Grisele juga dapat tawaran posisi Public Relation,” singgung Tante Santy. Cantika meletakkan ponselnya saat dia sedang merekam dan mengambil gambar. Stok topeng ‘baik-baik saja’ pada wajahnya mulai menipis malam ini. “Semester delapan.” “Mau skripsi dong, ya?” “Belum, Tante.” “Ya ampun, kamu ngulang mata kuliah lagi?” desis Tante

    Last Updated : 2022-08-19
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #18 Masuk

    “Kamu beneran bukan sengaja nguntit aku, kan?” tanya Cantika tiba-tiba, saat mereka sudah berada di dalam mobil. “Aku nggak kena hipnotis, kan?”“Pikiran kamu itu ...” Ben menoleh dan berdecak tak percaya. “Segitu curiganya sama aku?”“Habisnya ini gila, nggak masuk akal. Setelah dipikir lagi, kenapa aku mau-mau aja ikut kamu pergi? Astaga .... Pulang nanti aku pasti bakal tamat diomelin!” Dengan resah, Cantika menggigiti kuku jari telunjuknya. Kemudian mengeluarkan jarinya setelah sadar kuku-kukunya masih dalam polesan cat kuku.Masalahnya bukan hanya kabur dari acara keluarga, tetapi kenapa malam-malam begini dia malah mengikuti pria yang belum lama dikenalnya begitu saja? Di mana akal sehatnya? Dia pasti ketularan tidak tahu malu gara-gara belakangan ini jadi sering berinteraksi dengan Ben.“Kenapa nggak masuk akal? Kamu pergi dari sana karena bosan. Kebetulan aku juga bosan. Terus kita berdua kabur dari sana kayak lagi kawin lari.”“Siapa juga yang mau kawin lari sama kamu?!” peki

    Last Updated : 2022-08-20
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #19 Kisses

    Setelah diamati, rupanya rumah yang ditempati Ben mengusung teknologi smart living system. Bukan hanya pagar dan pintu, melainkan lampu, pendingin ruangan, dan Cantika bertaruh, masih bertebaran ‘benda pintar’ lainnya di rumah ini. “Kamu boleh duduk di sini,” cetus Ben mempersilakan Cantika. “Suit yourself. Mau minum apa?” “Mineral water aja, jangan dingin. Aku nggak minum soda dan sebagainya kalau malam.” “Oke.” Ini kali pertama Cantika menginjak lantai tiga rumah lelaki itu. Tidak henti-hentinya dia berdecak kagum dalam hati. Sebelumnya Cantika hanya pernah masuk sampai lantai dua saat menumpang ke toilet dan saat itu pun dia sudah terkagum dengan lantai duanya. Manik mata Cantika menyapu pemandangan di sekeliling sembari meletakkan tas dan menghempaskan diri di sofa berbahan kulit, yang anehnya terasa lembut dan nyaman seperti tekstur velvet. Baru pertama dia duduk di sofa kulit sehalus ini. Nuansa hangat warna coklat dan krem memenuhi ruangan. Semua dekorasi termasuk lantai

    Last Updated : 2022-08-21
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #20 Grace

    Di sisi lain, di restoran hotel bertbintang, keluarga besar Cantika masih berkumpul di sana. Beberapa saling mengobrol, sedangkan para sepupu Cantika berseliweran memburu makanan pencuci mulut. Hanya satu orang yang berhenti mengobrol dengan sanak saudaranya. “Pi, dari tadi kamu sibuk banget sih sama HP?” tegur Grace, memerhatikan pria yang ada di sebelahnya. Dany menyahut datar, “Chat customer.” “Nggak bisa ditunda? Kita kan lagi kumpul sama keluarga kamu. Lagi pula ini bukan hari kerja.” “Customer penting. Menambah nilai di mata mereka nggak mengenal hari libur. Lagi pula aku aku kerja untuk kamu dan anak-anak juga.” “Iya, tapi kan bisa ditunda setelah makan. Simpan dulu HP-nya, mereka pasti paham kalau kamu slow response.” “Hm.” Grace menghela napas melihat sikap suaminya dan bergumam pelan. “Terkadang, aku cuma mau kamu yang dulu.” Jemari Dany berhenti bergerak di atas layar ponselnya. Dia melirik sang istri dengan pandangan terganggu. Ekspresinya kaku dengan sorot tajam. “

    Last Updated : 2022-08-22
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #20 (II) Tunggu Di sini

    “Mau kisses?” Ben menatap lurus-lurus wajah Cantika. “A-apa?!” Gadis itu meminta konfirmasi ulang atas apa yang baru saja didengarnya. Dia sempat mengira pendengarannya salah. Namun tidak. Cantika tidak salah dengar. Dia yakin telinganya masih berfungsi sangat baik. Apa lagi ruangan itu tidak berisik. “Coklat.” “Hah?” Kepala Cantika berputar cepat ke belakang saat menyadari adanya suara gemerisik. Satu tangan Ben di belakangnya sedang meraih sebuah pouch plastik bertuliskan ‘kisses’—merek cokelat yang sering dijumpainya di supermarket–di atas meja kecil sebelah sofa. Hampir saja Cantika salah sangka. Hampir. “Kenapa?” Lelaki itu memasang senyum menyebalkan dengan mengangkat sebelah alisnya. “Kamu kira aku ajak ciuman?” “Siapa yang nggak bakal salah sangka kalau posisinya begini? Sana, mundur!” Cantika menggeser sedikit bokongnya ke belakang. Dia membuang muka dan memutar bola matanya ke arah lain. Tidak ingin jantungnya semakin berisik saat menatap pria di depannya. Lantaran B

    Last Updated : 2022-08-24
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #21 Bertahan

    “Di mana otak kamu, hah? Kamu gila?!”“Ampun, Ma! Ampun! Sakiit ....” Cantika mengangkat kedua tangannya di depan wajah, demi melindungi diri dari rotan keras yang beberapa kali diayunkan ke arahnya.Lengannya terasa perih, panas, sakit, dan berdenyut akibat sabetan rotan yang berkali-kali mendarat di permukaan kulitnya. Cantika tidak menyangka perbuatannya yang tidak seberapa itu malah mendatangkan hukuman dari ibunya separah ini.Apa pun yang dikatakannya percuma. Wanita yang usianya memasuki pertengahan empat puluh itu kini terbelalak marah, menarik satu pergelangan tangannya dengan kasar. “Kalau tahu sakit, kenapa kamu malah bertindak kurang ajar?” Memaksa turun tangannya yang tetap pada posisi pertahanan.“Kapan saya ajarin kamu jadi orang yang nggak tahu diri begitu? Jawab!!” Saking murkanya, kedua bola mata yang setiap hari tampak lelah itu seperti siap keluar dari tempatnya. Urat-urat halus berwarna merah pada warna putih di lensa mata Arita terlihat lebih jelas dari biasanya.

    Last Updated : 2022-08-25
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #22 Menembus Batas

    Olin baru saja selesai mandi ketika ia mendengar ponselnya berbunyi. Hari ini hari Minggu, biasanya Bayu tidak akan menemuinya di hari Minggu, sibuk dengan keluarganya. Bisa dibilang, sibuk bermain peran menjadi ayah dan suami yang baik di hadapan keluarganya.Entah apakah istri Bayu yang bodoh, atau Bayu yang pandai menutupi perselingkuhannya. Yang jelas selama empat tahun terakhir, Olin hidup nyaman dengan bantuan Bayu.Sambil mengusap rambut basahnya dengan handuk, Olin memeriksa pesan masuk pada ponselnya. Sebuah alamat dikirimkan oleh Bayu. Dengan pesan lain menyusul masuk.Papi: Km bisa ke sana? Temen yg waktu itu mau ketemu km lg.Olin: Sekarang?Papi: Iya, sekarang.Olin: Bisa sih, tapi Olin butuh waktu sebentar buat siap-siap.Papi: Take your time, jangan lama2 ya.Olin: OkPapi: Ingat aturan mainnya seperti waktu itu.Selesai bersiap-siap, Olin menyambar kunci mobilnya menuju ke alamat yang diberikan tadi. Sebuah apartemen di perbatasan antaarkota yang masih tergolong baru.

    Last Updated : 2022-08-26
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #23 Kosong

    Cantika memilah baju-baju bekas dan perlengkapan bekas lain yang diberikan oleh tantenya setelah pulang dari rumah Miko. Beberapa kena luntur, jahitan lepas, robek, atau ada noda. Dia memisahkan baju, tas, sepatu yang sekiranya masih bisa ia perbaiki atau bersihkan. Ada juga beberapa yang masih bagus. Sepertinya karena sudah tidak muat lagi. Dibandingkan saudara-saudara dan tantenya, Cantika memiliki tubuh yang lebih kurus dan ramping, mungkin turun-menurun dari keluarga ayahnya. Namun di bagian tertentu, dia cukup padat dan berisi. Seperti dada dan bokong, misalnya. Makanya kedua objek itu sering kali menjadi pusat perhatian buaya-buaya kelaparan. Tak jarang dia menerima tatapan-tatapan yang terasa seperti ingin menelanjanginya. Dulu Cantika sempat merasa tidak nyaman dan risih. Tapi lama-kelamaan dia tidak peduli lagi. Dia hanya perlu mengabaikan orang-orang seperti itu, sesuai anjuran Olin. Sahabatnya selalu bilang, perempuan yang punya tubuh molek adalah anugerah. Sheril juga s

    Last Updated : 2022-08-27

Latest chapter

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   139 Komitmen (END)

    “Kamu tau kan, aku udah kenal sama Pak Dany?” Ben buru-buru menambahkan saat melihat mata kecokelatan Cantika nyaris keluar dari tempatnya. Raut wanita itu bercampur antara ngeri, kaget, dan tak percaya “Karena kerjaan, aku sering pergi meeting sama Om kamu—desain rumahnya, desain kantor dan kantor cabangnya. Pak Dany orang yang ramah dan supel. Beberapa kali kami ketemu di luar jam kerja. Aku dikenalin ke circle teman-teman bisnisnya. Dari situ aku jadi tau, kalau dia pebisnis yang hebat, tapi bukan suami yang baik. Orang-orang yang aku temui itu kurang lebih punya skandal yang mirip atau bahkan lebih parah dari Pak Dany.” Informasi ini terlalu banyak untuk dicerna. Mulut Cantika sampai menganga bingung, merunut penjelasan dari Ben satu persatu. “Kamu pasti merasa canggung setiap ketemu Tante Grace. Karena itu yang aku rasain,” komentar Cantika kemudian. Ben tersenyum tipis sebagai tanda setuju. “Tapi, apa hubungannya sama Olin? Kenapa Om Dany nyuruh kamu ... sama ...” Kalimat C

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   138 Rahasia Terakhir

    “Kamu ingat, pertama kali kita ketemu?” Jemari tangan Ben tenggelam di antara helaian rambut hitam Cantika, menyisirnya lembut. Sementara Cantika menyandarkan kepala di ceruk leher Ben. Mengenang pertemuan awal mereka.Cantika masih berada di kamar hotel tempat Ben menginap. Sekian lama tidak bertemu, ada kesempatan duduk berdua dengan tenang. Rasanya sangat banyak yang ingin dibicarakan.“Mana mungkin lupa? Pertemuan paling absurd dan kacau seumur hidupku.”“Dan paling memalukan dalam sejarahku,” Ben tertawa. “Aku juga nggak tau, kenapa aku bisa segila itu. Kayaknya paling parah selama aku mabuk.”“Apanya yang paling parah? Kayaknya kebiasaan mabuk kamu memang jelek. Kalau bukan karena ada aku sama Ubay, malam itu kamu hampir terguling jatuh dari tangga kantor, nyaris jadi sushi roll. Jangan sampai kamu mabuk di depan orang lain, apa lagi cewek, malu-maluin!”Ben menyeringai, mengangkat dagu Cantika. “Kamu takut aku nyentuh cewek lain?”Selama dua detik Cantika menatap mata biru safi

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   137 Restart

    Butuh waktu bagi Cantika untuk menceritakan semuanya pada Ben. Mulai dari pertengkaran dengan ibunya sebelum pergi, niatnya untuk menggugurkan kandungan yang kemudian dibatalkan, kepergiannya dengan bantuan petunjuk dari Sheril, higga kehidupannya di Sydney.Lalu, kecelakaan yang membuat Cantika mengalami pendarahan terjadi. Awal petaka bagi janinnya. Jika memaksakan untuk tetap mengandung dan melahirkan, kemungkinan lahir dengan fisik dan organ yang cacat adalah 90 persen, sementara hidupnya dipertaruhkan.Alasan mengapa teman-teman di tempat kerjanya begitu ketat menjaga dan melindungi Cantika adalah karena kecelakaan tersebut disebabkan oleh seorang penguntit yang mengikuti Cantika di jalan pulang.Ben amat marah mendengar rangkaian cerita itu. Bukan marah kepada Cantika, marah kepada dirinya yang tidak ada di sana melindungi Cantika dan anak mereka. Marah kepada pria-pria yang mengganggu Cantika.“Karena bukan pertama kalinya ada orang yang terang-terangan nunjukkin ketertarikan m

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   136 Akhir Penyesalan

    “Aku tau kamu masih marah, tapi jangan ambil keputusan impulsif kayak gitu, Can.”Ben mengikuti Cantika keluar dari kedai yang sudah tutup. Melewati selasar toko-toko menuju ke jalan besar. Paving tegel batu terbentang di sepanjang selasar, menguarkan nuansa abu-abu pada lorong itu.Kendati desain setiap toko berbeda, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok sehingga tampak rapi dipandang mata. Tidak ada satu pun sampah di sana. Kebersihannya memanjakan penglihatan.“Iya atau nggak sama sekali?” desak Cantika berhenti melangkah.Ben terdiam dan memejamkan mata erat-erat. Lima menit mungkin cukup untuh menggerakkan hati Cantika. Lima menit mungkin bisa menggoyahkan pilihannya. Tapi ... apakah dia mampu?Cantika sudah terlampau terluka. Saat mereka bertemu, tidak ada lagi binar kerinduan yang pernah dilihatnya. Penyesalan, benci, dan muak mungkin telah menggantikan perasaan itu. Meski kemungkinan untuk membuat Cantika luluh sangatlah kecil, Ben tetap ingin memcoba memperbaiki mereka.“

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   135 Lima Menit Terakhir

    “Maybe it’s too late, tapi aku pengin dengar sendiri dari kamu. Katanya ... kamu hamil. Gimana kabar kamu, gimana kabarnya? I am so sorry, you went through a lot withouth me,” ucap Ben sungguh-sungguh“Kabar? Kamu nanya kabar sekarang??” Nadanya meninggi. Cantika mendengkus sinis. “Jangan bercanda! Ke mana aja kamu selama ini?” Disentaknya tangan Ben kasar.“Aku diusir mamaku. Aku nggak punya tempat pulang. Biarpun Olin dan Miko rela nampung aku, tapi nggak ada satu hari pun tanpa rasa bersalah setiap bertatapan sama Miko. Aku juga nggak bisa libatin Olin di antara masalahku sama Miko. Menurut kamu, gimana kabarku? Apa aku bisa lebih baik-baik aja dari pada sekarang?” Cantika menunjukkan senyum getirnya.Ben berdiri dari bangkunya, menatap Cantika dalam. “Aku benar-benar menyesal. Harusnya saat itu aku di samping kamu. Aku terlalu egois dan berengsek karena cuma mikirin diriku sendiri.”Entah sudah berapa ribu maaf yang dilontarkan Ben, rasanya Cantika sudah muak. Pada akhirnya mereka

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   134 Too Late

    Nada sambung telepon yang menyambut di seberang membuatnya tak sabar. Ben terus mengentak-entakan kaki di lantai. Notifikasi pesan dari Theo yang sejak pagi diabaikannya berubah menjadi suatu urgensi ketika Ben membukanya malam ini.Pesan yang dikirim Theo belakangan ini sering tidak penting dan absurd. Theo melaporkan segala kegiatannya pada Ben setiap perjalanan kerja ke luar kantor membuat Ben kerap kali jengah dan mengabaikannya.Perkara hewan liar yang ditemui Theo di jalan, barang incarannya, sarapannya, makan siangnya, makan malamnya, tempat Theo pergi, kadang juga foto selfie! Orang lain yang melihatnya mungkin akan mengira Theo abnormal. Bahkan Ben sudah lebih dulu berpikir demikian.Namun dari sekian ribu pesan yang dikirim Theo, baru kali ini ada pesan yang berbobot. Foto seseorang yang diambil Theo berlatar kedai kopi. Itu sebabnya ketika panggilannya dijawab, Ben tidak membuang waktu.“Di mana lo ambil foto itu?” tanya Ben berusaha tetap datar.“Gue kan udah bilang gue ke

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   133 Sydney

    Seorang perempuan duduk dengan kaki bersilang di sebuah toko kue. Rambut panjangnya melewati bahu, lurus, dan terkuncir rapi. Kaus lengan panjang bergaris dan celana panjang linennya tampak sangat nyaman. Sesekali perempuan itu melirik keluar jendela kaca di sebelahnya sambil mendengarkan orang yang mengoceh dari airpods hitam yang menyumbat satu telinganya. “Gue nggak habis pikir ya, sama tuh anak. Dia anggap apa gue selama ini? Udah setahun, tapi masih nggak ada kabar sama sekali. Email atau chat pun nggak. Apanya yang jangan dicari? Apanya yang tenang aja? Kalo begini terus, dia bisa bikin gue darah tinggi! Awas aja kalau dia pulang sambil cengengesan atau pasang tampang centilnya kayak biasa, gue jitakin itu anak!” “Sabar, Lin. Sabar ...” Seorang perempuan berseragam toko membawakan segelas minuman ke mejanya. Ada gelas latte kosong dan sepiring pastry yang hanya tersisa sesuap lagi di hadapan perempuan berkuncir itu. “Gimana bisa sabar?! Ini bukan seminggu atau sebulan lagi, ud

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   132 Jangan Dicari

    Ben bukan jenis orang yang sering mengakses media sosial. Kendati pernah membuat akun insta, dia tidak menggemari media sosial yang populer di kalangan masyarakat luas itu. Selama lebih dari sepuluh tahun, foto yang bertahan di akunnya hanya lima.Sebelumnya Ben pernah mengisi feed-nya dengan beberapa foto Viona dan foto mereka berdua. Sekian tahun setelah putus, Ben lalu menghapusnya. Lebih tepatnya, sesaat setelah bertemu Cantika. Karena Ben baru mulai mengakses media sosialnya kembali saat itu.Ben juga tidak tertarik menggulir beranda insta-nya untuk melihat unggahan orang-orang. Namun ketika mengenal Cantika, ia mulai menjelajahi akun miliknya yang sudah berdebu itu.Sudah satu jam sejak Ben memeriksa profil Cantika. Tidak ada unggahan terbaru di feed maupun story-nya. Perempuan itu menghilang lagi tanpa jejak. Ben membaca kolom-kolom komentar, berharap ada tanda yang bisa membantunya. Namun usahanya nihil. Cantika hanya membalas komentar-komentar di postingannya sebagai bentuk b

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   131 Bertamu

    Belum ada satu pun dari mereka yang berani bicara. Tiga orang yang sudah dewasa itu mati kutu di depan ibunya Cantika. Aura kelam Arita mengintimidasi. Mereka hanya diam memerhatikan ketika Arita membuka kunci pagar rumahnya.“Kalian mau terus di depan sana?”Olin menelan ludah susah payah dan menoleh pada Miko dan Ben bergantian. Dua pria itu juga menatapnya, menunggu petunjuk. Begitu Olin mengangguk pelan, mereka masuk ke rumah mengekori Arita.“Saya ingat kamu,” kata Arita pada Olin meski tidak menyebut nama. “Tapi kenapa kamu datang dengan suami Cantika?”Rumah mungil itu terasa seperti pengadilan untuk Olin. Jantungnya berpacu cepat saking takut dan gugupnya. Olin memang sudah terbiasa mengabaikan cemooh orang lain terhadap dirinya. Tetapi, ia masih tidak terbiasa dengan nada tajam dan sorot menuding Arita.Menyadari perubahan sikap Olin, Miko berusaha menggantikannya menjawab. “Umm ... begini—”Namun belum selesai kalimat Miko, Arita memotong. “Kamu teman perempuan ini?” Pasti y

DMCA.com Protection Status